agraria (11) agribisnis (6) agriculture (3) agriculture innovation system (1) AIS (1) ASEAN (1) badan riset dan inovasi nasional (1) balai penyuluhan pertanian (1) beras (1) berdagang secara Islami (1) bertani dan berdagang secara Islami (1) bertani secara Islami (1) big data (1) bisnis (1) BPP (1) BRIN (1) buku (2) Buku Pertanian dunia 2020 (1) demo (1) ekonomi pertanian islam (1) family farming (1) food security (1) food sovereignity (1) hak petani (2) hukum adat (2) ilmu (1) inovasi (1) Iptek (1) Islam untuk petani (1) islamic agricultural economy (1) islamic agricultural socioeconomic (1) islamic food economy (1) kebijakan (19) kecamatan (1) kedaulatan pangan (6) kedaulatan petani atas pangan (2) kelembagaan (23) ketahanan pangan (4) konflik agaria (4) koperasi (2) korporasi (5) korporasi petani (5) korupsi (2) KPK (1) landreform (1) lembaga (18) mahasiswa (1) nelayan (2) organisasi (23) organisasi petani (4) pangan (2) partisipasi (1) pedagang (4) pedesaan (4) pembangunan (11) pembangunan pertanian (3) pembaruan agraria (2) pemberdayaan (5) pembiayaan (1) pendekatan pembangunan (14) penelitian (2) pengetahuan (1) pengukuran kelembagaan (2) pengukuran organisasi (2) penyuluh (7) penyuluhan pertanian (2) penyuluhan pertanian swasta (2) perdagangan (1) pertanian (1) petani (15) petani bermartabat (1) petani kecil (5) pintar (1) PPP (1) Program Serasi (1) public-private partnership (1) rawa (1) reforma agraria (1) sistem (1) sistem inovasi (1) sistem inovasi pertanian (1) social capital (4) sosial ekonomi pertanian islam (1) sosiologi pertanian islam (1) syariah (1) teori (17) valorisasi (1)

Senin, 30 Juli 2007

DUNIA TERDIRI ATAS TIGA KELEMBAGAAN: Pemerintah, Pasar, dan Komunitas

Dunia sosial berdiri di atas tiga pilar utama, yang satu sama lain saling mempengaruhi dan ikut mewarnai setiap bentuk sistem sosial yang hidup dalam masyarakat, termasuk sistem agribisnis. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, pasar, dan komunitas. Secara sederhana ketiganya mewakili kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang selalu eksis dalam setiap kelompok masyarakat. Kinerja agribisnis di pedesaan dipengaruhi oleh ketiga kekuatan tersebut, yang dapat menjadi faktor pendorong maupun penghambat bagi pengembangan agribisnis. Pemahaman terhadap aspek ini sangat penting sebagai dasar untuk mempelajari berbagai faktor penjelas untuk menerangkan kapasitias pengembangan suatu sistem agribisnis.

Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa, selama ini peran pemerintah dirasakan terlalu dominan dalam upaya pengembangan agribisnis. Hal ini memberi iklim yang kurang baik, karena pada prinsipnya agribisnis akan lebih maju bila dikembangkan dalam bentuk sebagai sebuah kelembagaan pasar.

Kehidupan masyarakat sehari-hari secara sederhana dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial pokok, yang masing-masing pilar secara fundamental memiliki ciri yang khas. Masing-masing memiliki paradigma, ideologi, nilai, norma, rules of the game, dan bentuk keorganisasiannya sendiri. Ketiga pilar yang dimaksud adalah: pemerintah, pasar, dan komunitas. Setiap analisa sosial hampir pasti akan sampai kepada penganalisaan terhadap ketiga pilar ini, yang umumnya ditulis serangkai menjadi analisa “sosial-ekonomi-politik”.
Secara konseptual, masing-masing pilar idealnya memiliki posisi dan peranan yang spesifik. Dalam kehidupan nyata di masyarakat ketiganya saling berinteraksi, sehingga konfigurasi pengaruh di antara ketiganya akan mewarnai dan menjadi faktor yang memberi corak kehidupan sistem sosial secara keseluruhan.

Secara umum, dominasi di antara ketiga pilar dari waktu ke waktu mengalami pergeseran mengikuti tahap perkembangan dan peradaban masyarakat. Pola perkembangan umum yang terjadi hingga kini adalah adanya pergeseran dominasi dari komunitas ke pemerintah dan terakhir ke pasar. Pada era masyarakat agraris pra-kapitalis peran komunitas sangat besar, ketika negara dan pasar belum terbentuk. Kemudian, negara mendominasi komunitas dan pasar pada era pembentukan masyarakat modern. Perkembangan terakhir, ketika tekanan globalisasi semakin kuat pada dunia yang nir-batas, maka pasar-lah yang menguasai dunia. Korporasi-korporasi transnasional mendominasi kebijakan-kebijakan pemerintah dan komunitas, baik pada level nasional maupun pada tingkat lokal.

Pola perubahan ini juga terjadi pada masyarakat pertanian di Indonesia. Peradaban pertanian pada tahap subsisten hampir sepenuhnya dijalankan oleh komunitas, dengan prinsip pertukaran sosial, contohnya adalah pertukaran tenaga kerja berupa ”sambat-sinambat” di Jawa dan “mapalus” di Sulawesi. Selanjutnya, pada era Orde Baru, pemerintah sangat berperan mulai dari menyediakan input murah, kredit, teknologi, bahkan pemasaran misalnya dengan dibangunnnya BULOG. Pada tahap terakhir, pasar adalah institusi yang paling menonjol dalam pembangunan pertanian, terlihat dengan dihapuskannya berbagai subsidi untuk input dan bunga kredit. Ringkasnya, pembangunan pertanian pada akhirnya semakin diserahkan kepada mekanisme pasar.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan agribisnis di pedesaan adalah belum siapnya seluruh komponen dengan perubahan konfigurasi saling pengaruh tersebut. Karena itulah pengembangan agribisnis antar komoditas dan wilayah sangat beragam. Selain itu, satu hal yang masih lemah adalah sulitnya mengidentifkasi peran dari institusi manakah yang paling tepat pada satu kasus, apakah pemerintah, pasar, ataukah komunitas. *****

Jumat, 20 Juli 2007

Kultur Bank Syariah tidak sama dengan Bagi Hasil di Pertanian

Bagi hasil merupakan pola kerjasama ekonomi yang menjadi unggulan bank syariah. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”. Bagi hasil dianggap lebih mampu menjamin keadilan antar pelakunya, dimana keadilan tersebut merupakan hakekat perekonomian Islam.Penerapan bagi hasil dalam institusi ekonomi lahir secara alamiah, dan dapat ditemukan dalam berbagai corak ideologi ekonomi, baik feodalis, sosialis, bahkan kapitalis. Di Indonesia, bagi hasil sudah dikenal pada usaha-usaha pertanian semenjak dahulu, mulai dari Aceh, Bali, sampai Ternate, Toraja dan Gorontalo.

Meskipun demikian bagi hasil yang berjalan pada masyarakat kita memiliki beberapa karakteristik yang perlu dicermati. Penerapan bagi hasil yang diusung oleh bank syariah belum tentu sejalan dengan kebiasaan yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Meskipun nilai-nilai dan motif yang menjadi landasannya sama, namun ada banyak variasi dalam prakteknya yang mungkin sangat berbeda. Perlu kreatifitas untuk menciptakan pola-pola baru dengan mengadaptasi bentuk-bentuk yang sudah ada.Penerapan bagi hasil di masyarakat pedesaan khususnya ada pada strata bawah. Secara umum, penerapannya dilandasi semangat sosial, masih terbatas pada bentuk ekonomi subsistensi, menolerir ketidakjujuran pada batas tertentu, dan pengawasan melalui relasi sosial yang bersifat intim.

Bagi hasil yang ditawarkan Bank SyariahBagi hasil ditawarkan baik pada produk-produk penyaluran dana maupun penghimpunan dana. Dalam penyaluran dana, selain bagi hasil juga diterapkan prinsip jual beli dan sewa. Jika pada jual beli dan sewa perolehan bank ditetapkan di depan, maka pada bagi hasil tingkat pendapatan bank ditentukan besarnya keuntungan usaha dan nisbah bagi hasil. Kelompok produk yang menerapkan prinsip bagi hasil yang sudah dikenal luas adalah Musyarakah dan Mudharabah.Keduanya dibedakan berdasarkan sumber dana dan keterlibatan pemilik dana dalam pengelolaan usaha. Dalam musyarakah kedua belah pihak memadukan seluruh sumberdaya, baik materil dan non materil, yaitu dana tunai, barang perdagangan, kewirausahaan, skill, dan peralatan. Pemilik modal berhak ikut serta menentukan kebijakan pengelolaan usaha. Sementara dalam mudharabah, sumber modal hanya dari pemilik modal (shahibul maal). Ia tidak terlibat dalam manajemen, karena telah mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola (mudharib). Mudharabah juga dikenal dalam penghimpunan dana, dimana penabung sebagai pemilik modal dan bank sebagai pengelolanya.Keduanya merupakan kontrak usaha yang menuntut kejujuran yang tinggi dengan dilandasi kepercayaan. Perhitungan bagi hasil dapat dilakukan terhadap hasil bersih maupun kotor. Kedua pihak harus mampu menganalisa struktur usaha dan cermat dalam mengkalkulasikan seluruh komponen biaya yang dibutuhkan. Masing-masing harus bisa memperkiarakan korbanannya dan memperhitungkan perolehannya. Seberapa dalam keterlibatan pemilik modal dalam manajemen usaha, selain tergantung jenis usaha, juga kepada karakter moral pengelolanya.

Karakteristik bagi hasil di pertanian kitaBagi hasil umumnya lahir pada usaha yang hasilnya kurang dapat dipastikan dan memiliki resiko yang besar. Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 2 tahun 1960 dan UU No. 16 tahun 1964 tentang Perjanjian Bagi Hasil untuk usaha pertanian dan perikanan, namun implementasinya sangat lemah. Bagi hasil yang eksis sampai saat ini tidak berpedoman kepada aturan ini, meskipun adakalanya sejalan.

Dalam dunia pertanian dikenal “hubungan penyakapan” (tenancy relation) yang memiliki pengertian yang luas, mencakup berbagai bentuk hubungan sementara yang terjadi akibat penguasaan tanah oleh pengelola yang bukan pemilik, mencakup sewa dan bagi hasil. Namun dalam perkembangannya, istilah penyakapan hanya untuk bagi hasil, tidak termasuk sewa. Pada usahatani padi, adakalanya input produksi ditanggung sendiri oleh pemilik atau ditanggung bersama dengan penggarap. Demikian pula dalam keterlibatan pengelolaan, adakalanya pemilik tanah terlibat atau tidak sama sekali.Pada wilayah yang terbuka, dimana kompetisi untuk memperoleh tanah garapan tinggi, maka sewa semakin berkembang.

Ada kecenderungan pendapat, bahwa bagi hasil mengindikasikan pertanian tradisional, sedangkan sewa merupakan ciri pertanian modern. Penerapan bagi hasil lebih adil, karena penyakap pastilah berasal dari kelas yang lebih rendah. Sedangkan petani yang berani memilih sewa umumnya dari kelas ekonomi yang lebih tinggi. Jadi, bagi hasil merupakan mekanisme untuk mewujudkan nilai sosial dari tanah.Untuk usaha pertanian padi sawah, sampai saat ini umumnya pembagian dilakukan terhadap hasil kotor, meskipun spirit landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih. Pembagian dari hasil kotor mengandung sifat sosial berupa kebersamaan. Ini lebih adil, karena penyakap yang investasinya berupa kerja, dan pemilik dengan investasi tanah dan modal lain (bibit, pupuk, dan pestisida), sama-sama menanggung resiko. Jika hasil panen anjlok, maka kedua belah pihak masih tetap sama-sama memperoleh bagian meskipun kecil. Namun jika pembagian dari hasil bersih, penyakap memiliki resiko yang lebih besar. Jika panen sedikit, maka bisa bisa saja itu sudah habis untuk membayar sarana produksi, sehingga penggarap tidak memperoleh apapun.

Selain bagi hasil, juga dikenal “bagi usaha”. Pada usahatani padi di Jawa misalnya dikenal sistem “kedokan”, yaitu upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon. Disini berlangsung penyakapan secara berganda, karena si penyakap menyakapkan lagi pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada orang lain.Khusus untuk pekerjaan memanen, adakalanya petani yang memperoleh hak bawon membaginya lagi dengan si pemanen yang disebut penderep. Artinya, pada satu petak sawah telah terjadi tiga tingkat penyakapan yang menerapkan bagi hasil dan bagi usaha yang melibatkan empat pihak sekaligus. Keempat pihak tersebut adalah pemilik sawah, penyakap, petani yang melakukan kedokan, dan penderep.

Tampak bahwa konsep bagi hasil telah dikembangkan sedemikian kompleksnya, yang mungkin belum terpikirkan dalam produk-produk bank syariah. Kerjasama tak lagi hanya antar pihak yang bermodal dengan yang tidak, tapi juga antara mereka yang sama-sama hanya mengandalkan tenaga. Ini hanya bisa terjadi bila mengaplikasikan prinsip bagi hasil yang perolehan tiap pihak lebih mudah menghitungnya.Bagi usaha juga ditemui pada usaha peternakan. Selain untuk dikembangbiakkan, adalah hal yang umum ternak hanya “dititipkan” sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sebagai imbalan dalam pemeliharaannya, maka induk dapat diperkerjakan oleh si pemelihara untuk membajak di sawah orang lain dengan mendapat upah.

Bagaimanapun ragamnya, namun kerjasama bagi hasil selalu didahului oleh perjanjian (akad) bagi hasil yang tegas dan jangka waktu tertentu. Inilah benang tipis yang “diperjuangkan” dalam perbankan Islam, yang membedakannya dengan ideologi ekonomi lain. Satu pendekatan yang menarik ditemui dalam pengawasan usaha. Tidak sebagaimana pengawasan dalam perekonomian modern yang berlangsung secara vulgar dan frontal, pemilik modal mengawasi usaha secara halus dalam hubungan yang intim berformat hubungan patron-klien yang tentu tidak anonim. Kepercayaan (trust) merupakan modal unik yang dibangun melalui hubungan yang cukup lama. Hanya dengan inilah dapat dipahami karakter moral rekan usaha. Namun demikian, ada toleransi terhadap ketidakjujuran dalam batas-batas tertentu. Tak ada kejujuran mutlak. Pemilik tanah tahu bahwa penyakap adakalanya tidak melaporkan hasil panen sesungguhnya, terutama bila panen kurang baik. Ini dianggap korbanan dari sistem pengawasan yang “murah” tersebut. Namun, dalam kondisi usaha yang dikerjakan gagal, maka yang diutamakan adalah nasib pekerja. Dalam usaha perikanan tangkap, jika hasil tangkapan sedikit sekali, maka nelayan boleh membawa pulang ke rumahnya masing-masing. Demikian pula jika hasil panen gagal, maka bagian untuk penyakap lebih diutamakan. Hal ini karena buruh nelayan dan petani penggarap umumnya hidup dalam garis batas subsistensi. Dengan cara ini, maka sistem bagi hasil telah menunaikan kewajiban moralnya.

Kenyataannya, bagi hasil juga membuka peluang terjadinya perilaku eksploitatif oleh pemilik modal. Hal ini lumrah ditemukan dalam usaha perikanan tangkap. Para buruh nelayan yang teralienasi terhadap “ekosistem daratan”, memudahkan pemilik (juragan darat) mengeruk bagian secara lebih besar dengan tidak menginformasikan secara benar tentang harga es, garam, dan bahan bakar yang menjadi modal kerja, serta harga ikan perolehan.

Tantangan penerapan bagi hasil

Kerjasama ekonomi dengan menerapkan bagi hasil merupakan produk yang fitrah alamiah yang akan selalu eksis, sebagaimana ekonomi Islam itu sendiri. Namun, sistem bagi hasil masih memikul stigma sebagai bentuk usaha ekonomi yang tradisional, dimana relasi sosial merupakan asset yang lebih penting dari sekedar perolehan materi. Hal ini didukung kenyataan bahwa bagi hasil di masyarakat kita umumnya berlangsung pada usaha pertanian yang berskala kerakyatan. Sulitnya, pertanian dan usaha kecil lainnya merupakan area yang masih alergi untuk diakrabi perbankan nasional.Bagi hasil akan tetap eksis selama menumpuknya pemilikan modal pada sekelompok orang dihadapkan dengan barisan manusia yang hanya mengandalkan tenaga dan ketrampilannya. Bahkan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah juga menerapkan bagi hasil untuk menentukan perolehan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk suatu usaha pertambangan misalnya. Faktor pendorong lain untuk eksistensi bagi hasil adalah resiko yang besar dan tingginya ketidakpastian, karena kemalasan pemilik atau karena pemilik tak cukup tenaga untuk menggarap sendiri, serta hidupnya nilai-nilai saling berbagi di antara sesama. Keunggulan lainnya adalah sifat fleksibelitas bagi hasil yang memungkinkan variasi penerapan yang tak terbatas.

Bagi perbankan syariah, ada kendala antara kultur perbankan yang menuntut pengelolaan secara modern dan kepastian manajemen, dihadapkan kepada penerapan bagi hasil pada masyarakat kita yang cenderung mengandalkan hubungan-hubungan atas solidaritas tradisional. Namun, akibat invansi ekonomi kapitalis, sudah merupakan hal yang umum, bahwa masyarakat lebih suka dengan kalkulasi yang serba pasti. Sayangnya, bagi hasil yang mengandalkan kejujuran sebagai critical point-nya, justeru saat ini sedang menjadi penyakit pada bangsa kita.******

Jangan Gegabah bikin-bikin GAPOKTAN

Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005-2025. Sesungguhnya, selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Ke depan, agar dapat berperan sebagai aset komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan mestilah dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga menjadi mandiri. Pembentukan dan pengembangan Gapoktan yang akan dibentuk di setiap desa, juga harus menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.Ada dua kebijakan penting akhir-akhir ini, yaitu pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-20025 tanggal 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat; serta dikeluarkannya

Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun 1980-an. Lahirnya UU ini dapat pula dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian tersebut.Pada kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap merupakan bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di tingkat mikro. Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).Departemen

Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya yang berbasiskan pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru yang diinisiasikan oleh Departemen Pertanian, meskipun semenjak awal 1990-an Gapoktan sesungguhnya telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk untuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani.Point utama yang ingin disampaikan adalah perlunya dihindari pengembangan kelembagaan dengan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam, karena telah memperlihatkan kegagalan.

Pemberdayaan petani dan usaha kecil di pedesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah gagalnya pengembangan kelompok dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan masyarakat secara hakiki. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat. Tulisan ini ingin mengkaji secara kritis kebijakan Deptan untuk pengembangan Gapoktan, serta mengidentifikasi berbagai hambatan dan tantangan yang nantinya akan di hadapi.Secara konseptual, tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan peran tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan sebuah lembaga adalah sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya P3A), untuk tujuan aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk pengembangan usaha (KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi (kelompok Pencapir), untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain.Khusus untuk kegiatan ekonomi, ada banyak lembaga pedesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi, dan Kelompok Usaha Agribsinis. Secara konseptual, masing-masing lembaga dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Koperasi misalnya, dapat menjalankan seluruh aktifitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir. Namun, tampaknya ada keengganan sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai entry point untuk pengembangan ekonomi petani, yang mungkin karena kesan negatif yang selama ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah lembaga dengan fungsi yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang dapat dipilih (opsi) di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam aktifitas ekonomi secara langsung.Sampai dengan tahun 2006, setidaknya sudah terbentuk 3000 unit Gapoktan. Khusus untuk tahun 2007, Deptan menargetkan pembentukan 22 ribu unit Gapoktan. Tujuan utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Disini terlihat bahwa, pembentukan Gapoktan bias kepada kepentingan “atas”, yaitu sebagai “kendaraan” untuk menyalurkan dan menjalankan berbagai kebijakan dari luar desa.

Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga yang mewakili kebutuhan petani sebagai representattive institution, namun awal terbentuknya bukan dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan gejala yang berulang sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan kuantitas belaka, namun tidak berakar di masyarakat setempat.Pembentukan Gapoktan didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di pedesaan melalui pertanian, di antaranya adalah dengan membentuk Gapoktan (Sekjend Deptan, 2006). Unit-unit usaha dalam Gapoktan dapat menjadi penggerak perekonomian di pedesaan. Untuk mendukung rencana tersebut, tiap propinsi mulai tahun 2007 diwajibkan untuk membuat cetak biru (master plan) pengembangan agribisnis di Kabupaten/Kota sesuai komoditas unggulan.Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan, “Gabungan Kelompok Tani” adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya. Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar Kelompok tani-nelayan (WKAK), yaitu kumpulan dari beberapa kelompok tani-nelayan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Dalam Kepmen tersebut, dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi Petani-Nelayan. Dalam batasan ini, asosiasi adalah kumpulan petani-ne!ayan yang sudah mengusabakan satu atau kombinasi beberapa komoditas petanian secara komersial.Disini terlihat, bahwa pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari lembaga petani yang sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani. Dengan kata lain, adalah tidak tepat langsung membuat Gapoktan pada wilayah yang secara nyata kelompok-kelompok taninya tidak berjalan baik. Ketentuan ini sesuai dengan pola pengembangan kelembagaan secara umum, karena Gapoktan diposisikan sebagai institusi yang mengkoordinasi lembaga-lembaga fungsional di bawahnya, yaitu para kelompok tani.Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan kelembagaan. Untuk dapat berkembangnya sistem dan usaha agribisnis diperlukan penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha dan pemerintah agar dapat berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing. Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.

Kelembagaan pertanian tersebut meliputi kelembagaan penyuluhan (BPP), kelompok tani, Gapoktan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, institusi perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA, dan lain-lain.Upaya pemberdayaan desa seyogyanya tidak dilakukan dengan berbasis pada suatu “grand scenario”, karena hal yang seperti itu tidak pernah mampu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Yang diperlukan pada saat ini dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa adalah membangun prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai sebuah acuan dalam perumusan kebijaksanaan pemberdayaan desa, yang disusun sendiri secara otonom oleh masing-masing derah. Dua prinsip dasar yang disebutkan sebelumnya (penciptaan peluang dan peningkatan kemandirian memanfaatkan peluang tersebut) masih perlu dilengkapi dengan prinsp-prinsip lainnya, yang diharapkan mucul dari forum ini.Pembentukan dan penumbuh Gapoktan mestilah ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat menuju pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural Development). Gapoktan hanyalah alat, dan merupakan salah satu opsi kelembagaan yang dapat dipilih; bukan tujuan dan juga bukan keharusan. Penggunaan kelembagaan yang semata-mata hanya untuk mensukseskan kegiatan lain, dan bukan untuk pengembangan kelembagaan itu sendiri, sebagaimana selama ini; hanya akan berakhir dengan lembaga-lembaga Gapoktan yang semu, yang tidak akan pernah eksis secara riel. *****

Kamis, 19 Juli 2007

"Kearifan Timur": keselarasan hukum adat dan Islam tentang tanah

Sangat mencengangkan, karena ada kesamaan konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dengan ketentuan Islam, dan sangat berbeda dengan konsep kapitalis Barat.

Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani serta termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya. Penulis menemukan bahwa konsep penguasaan terhadap tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia yang terbukti memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam. Beberapa cirinya yang utama adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk memperjual belikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah.

Penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam tampaknya memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan; dibandingkan konsep “penguasaan mutlak” menurut hukum kapitalis Barat.Hak penguasaan merupakan hal yang paling pokok yang terdapat dalam sistem agraria di satu negara maupun di satu kelompok masyarakat. Penguasaan terhadap tanah merupakan permasalahan penting dalam keagrariaan. Dari titik inilah akan ditentukan bagaimana struktur agraria yang akan terbangun, yang akan berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya. Di Indonesia, UUPA No. 5 tahun 1960, menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal. Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 4 ayat 2, dan pasal 14 ayat 1. Hal ini dapat dimengerti karena UUPA lahir pada saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, yaitu bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial.Dalam konsep ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa. Tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk.

Dalam konteks ini, manusia tidak hanya makhluk sosial namun sekaligus juga makhluk religius. Menurut Gamal (2006), ilmu Ekonomi Islam sesungguhnya menjadi dasar bagi ilmu-ilmu ekonomi yang berkembang saat ini.Penulis menemukan bahwa ada satu bentuk penguasaan yang sangat berbeda dengan bentuk-bentuk pemilikan ekonomi kapitalis, yaitu pada kearifan hukum adat yang tampaknya memiliki banyak kesejajaran dengan penguasaan tanah dalam agama Islam, dimana tanah “tidak dimiliki secara mutlak”. Apa yang dapat disebut dengan suatu ”kearifan Timur” ini tampak lebih berkeadilan dan mengedepankan fungsi sosial dari tanah.Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan ”hak ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda-beda. Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah ”tanah ulayat” selalu digunakan untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.Secara umum, setidaknya ada empat karakteristik pokok bentuk penguasaan tanah menurut hukum adat, yaitu tidak adanya kepemilikan mutlak, penguasaan yang bersifat inklusif, larangan untuk memperjual belikan tanah (meskipun untuk tanah yang sudah dikuasai secara pribadi), serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding tanah.

Keempat sifat ini saling mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas tidak sebagai mana sumberdaya ekonomi lain. Karena jumlahnya yang terbatas, maka tanah harus digunakan secara adil, dan harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh orang di muka bumi. Untuk itu, tanah jangan dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas. *****