Blog ini berisi pendapat pribadi saya tentang kondisi pertanian secara umum yang sedang kita hadapi, sesuai dengan latar saya sebagai peneliti bidang Sosiologi Pertanian.
agraria
(11)
agribisnis
(6)
agriculture
(3)
agriculture innovation system
(1)
AIS
(1)
ASEAN
(1)
badan riset dan inovasi nasional
(1)
balai penyuluhan pertanian
(1)
beras
(1)
berdagang secara Islami
(1)
bertani dan berdagang secara Islami
(1)
bertani secara Islami
(1)
big data
(1)
bisnis
(1)
BPP
(1)
BRIN
(1)
buku
(2)
Buku Pertanian dunia 2020
(1)
demo
(1)
ekonomi pertanian islam
(1)
family farming
(1)
food security
(1)
food sovereignity
(1)
hak petani
(2)
hukum adat
(2)
ilmu
(1)
inovasi
(1)
Iptek
(1)
Islam untuk petani
(1)
islamic agricultural economy
(1)
islamic agricultural socioeconomic
(1)
islamic food economy
(1)
kebijakan
(19)
kecamatan
(1)
kedaulatan pangan
(6)
kedaulatan petani atas pangan
(2)
kelembagaan
(23)
ketahanan pangan
(4)
konflik agaria
(4)
koperasi
(2)
korporasi
(5)
korporasi petani
(5)
korupsi
(2)
KPK
(1)
landreform
(1)
lembaga
(18)
mahasiswa
(1)
nelayan
(2)
organisasi
(23)
organisasi petani
(4)
pangan
(2)
partisipasi
(1)
pedagang
(4)
pedesaan
(4)
pembangunan
(11)
pembangunan pertanian
(3)
pembaruan agraria
(2)
pemberdayaan
(5)
pembiayaan
(1)
pendekatan pembangunan
(14)
penelitian
(2)
pengetahuan
(1)
pengukuran kelembagaan
(2)
pengukuran organisasi
(2)
penyuluh
(7)
penyuluhan pertanian
(2)
penyuluhan pertanian swasta
(2)
perdagangan
(1)
pertanian
(1)
petani
(15)
petani bermartabat
(1)
petani kecil
(5)
pintar
(1)
PPP
(1)
Program Serasi
(1)
public-private partnership
(1)
rawa
(1)
reforma agraria
(1)
sistem
(1)
sistem inovasi
(1)
sistem inovasi pertanian
(1)
social capital
(4)
sosial ekonomi pertanian islam
(1)
sosiologi pertanian islam
(1)
syariah
(1)
teori
(17)
valorisasi
(1)
Selasa, 25 September 2012
Memahami petani: analisis organisasi vs analisis kelembagaan
Senin, 17 September 2012
Kebijakan Lahan Abadi Untuk Pertanian Sulit Diwujudkan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jalan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161. @ 2006.
(dimuat dalam majalah Analisis Kebijakan Pertanian Vol.04 No.02 2006)
Pendahuluan
Satu kebijakan terakhir yang cukup penting di bidang agraria dan pertanian, adalah kebijakan tentang “lahan abadi”. Hal ini disampaikan pemerintah sebagai salah bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). Namun, jika dicermati secara mendalam, ada persoalan mendasar dibalik itu yang dapat menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yang menadasar tersebut adalah tidak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan.
Hal
ini sedikit banyak sama dengan sulitnya mengendalikan konversi lahan di
Inodnesia. Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi
lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek penggunaan dan
pemanfaatan lahan kurang memiliki landasan yang kuat dalam hukum agraria
nasional.
Hal
ini akan dibahas dalma tulisan ini, yang merupakan kajian terhadap sistem hukum
dan tata hukum agraria yang cenderung kurang mendukung kepada pembangunan
pertanian.
Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, masing-masing aspek diperhatikan oleh pihak yang berbeda. Sebagian besar pihak, terutama kalangan LSM misalnya, lebih banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform. Berbagai tulisan dan diskusi, khususnya yang berskala nasional, umumnya mengangkat topik “tanah untuk siapa”, bukan “tanah untuk apa”. Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, lebih memperhatikan kepada aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.
Jadi, satu permasalahan yang mendasar dalam perjuangan pembaruan agraria di Indonesia adalah terjadinya kesenjangan perhatian, di samping kesenjangan dalam hal semangat dan juga otoritas masing-masing pihak. Pihak yang fokus kepada aspek penguasaan bertolak dari filosofi tentang hak penguasaan petani terhadap tanah, karena itulah makna yang mendasar tentang ”kemerdekaan” bagi petani. Sebaliknya, di sisi pemerintah, di luar Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang merupakan instansi teknis, adalah pada peruntukannya. Di sisi lain, ada kalangan tertentu yang cenderung berpikir secara mikro dan teknis, sebaliknya pihak lain berfikir secara makro dan konseptual.
Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan agraria telah memberikan hasil yang parsial pula. Itulah kenapa Revolusi Hijau (aspek pengusahaan) yang tidak didahului oleh program landreform (aspek penguasaan), hanya mampu mencapai peningkatan produksi dan swasembada, namun tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya.
Dari sisi wacana, tulisan yang dipublikasikan di Indonesia khususnya didominasi oleh tulisan tentang aspek ”penguasaan dan pemilikan”. Untuk mengimbanginya, maka tulisan ini berupaya memberikan pengantar permasalahan teknis yang menghadang kita. Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran makro tentang permasalahan teknis yang mesti dipertimbangkan dalam merancang reforma agraria. Bahkan, tidak atau ada pun reforma agraria dalam konteks sebagai “gerakan”, persoalan ini tetap menjadi agenda yang mesti dipikirkan. Pada prinsipnya pembaruan agraria menuju pada kesejahteraan masyarakat. Aspek penguasaan maupun pengusahaan sesungguhnya sama-sama menuju kepada tujuan tersebut.
Secara
konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek
“penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini
misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang
terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001
Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan
agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan
kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”.
Aspek “penguasaan/pemilikan”
jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama
berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang
kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan
dimanfaatkan.
UUPA
No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yang sudah sejak tahun 2003 dimasukkan
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih
penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus
(Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh
UUPA hanya berisi 58 pasal.
Selain
jumlah pasal yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek
penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang,
pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4
ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya adalah,
bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah bagian
dari aspek pertama.
Keluarnya
produk hukum seperti ini dapat dimengerti, karena UUPA lahir di saat
permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, jauh lebih penting dari
aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yang disusun
selama tujuh tahun (mulai tahun 1953 sampai 1960), adalah bagaimana “merebut”
tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial menjadi
tanah negara dan rakyat Indonesia.
Dengan
pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa
peraturan ini tidak melindungi kegiatan
pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk
mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya
dengan tanah tersebut jelas. Beberapa akibat (dan implikasi) yang terlihat
selama ini dari paradigma berpikir UUPA tersebut adalah:
(1) Pemerintah
tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Itulah
kenapa Inpres dan berbagai Perda yang dikeluarkan berkenaan dengan konversi
lahan tidak bergigi. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa, Inpres dan Perda
tersebut tidak konsisten dengan UUPA.
(2) Implikasinya,
kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang dicetuskan dalam RPPK (Revitalisasi
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15
juta ha lahan kering, sesungguhnya tidak akan dapat direalisasikan. Penyebabnya
adalah karena peraturan yang ada, terutama UUPA sebagai hukum pokok agraria, tidak cukup menjamin
kebijakan tersebut.
(3) Lemahnya
pengaturan dalam “aspek penggunaan“ tersebut, secara tidak langsung juga
berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem
secara keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat
saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, karena hak pihak yang
menguasainya dijamin dalam UUPA.
Khusus
untuk Departemen Pertanian, wewenangnya terbatas “hanya” pada aspek kedua,
yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan
dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan produksi pertanian. Hal ini
selaras dengan sub-sub organisasi dalam Deptan yang terdiri dari bagian yang mengurusi
teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, memikirkan
pemasarannya, dan lain-lain. Jadi, dengan wewenang Deptan yang hanya terbatas
pada aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat
secara hukum, terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan
bahwa memang kegiatan pertanian kurang terjamin. Menyerahkan kegiatan
pertanian, produksi pertanian, dan
ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan
pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang
digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air)
tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri,
pariwisata, dan lain-lain.
Penstrukturan
terhadap konsep ini ini sangat penting, karena Deptan misalnya hanya memiliki
otoritas pada aspek non-landreform. Ketika landreform masih tinggal menjadi
wacana, Deptan (dan jajarannya) sulit untuk dituntut melakukan pembaruan
agraria secara utuh. Artinya, Deptan menjalankan “Pembaruan Agraria tanpa
Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka
aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi
tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan
pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini penulis temukan di Sukabumi,
dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang
sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena
mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah,
ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et
al., 2002).
“Aspek
landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan
tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi
setempat misalnya ketersediaan lapangan
kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik
penguasaan/pemilikan secara vertikal dan
horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”),
ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani
sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data.
Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya
adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan
harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima,
perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban
tanah guntay (absentee).
Sementara
pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang
penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor
geografi, topografi tanah, kesuburan
tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan
demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani,
serta insentif
dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini
di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat
pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik
penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan
agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah
secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas
tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian
kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta
pengembangan keorganisasian petani.
Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya
Lahan Pertanian dalam RPPK
Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Dari sisi sumberdaya lahan terbuka peluang besar untuk pembukaan lahan pertanian melalui (1) pemanfaatan lahan terlantar, yang dewasa ini diperkirakan mencapai luas 9,7 juta ha, dan (2) pembukaan lahan baru untuk pertanian.
Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha,
terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu
keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan
lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang
untuk perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi
dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik
adat, atau milik pribadi. Kebijakan pertanian 5 tahun ke depan diarahkan untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan meningkatkan produksi berbagai komoditas
unggulan, dengan memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan usaha serta
kesejahteraan petani.
Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan
melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut
harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk
pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum
bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan
terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang
dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya.
Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas petapeta Lahan Sawah Utama yang
sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok.
Konsep
Penguasaan menurut Hukum
Selain
itu, karena strategi atau politik agrarian dalam UUPA menganut politik agraria
populis (menentang strategi kapitalis yang dapat menyebabkan penghisapan
manusia atas manusia/ exploitation de l’homme par l’homme dan menentang
strategi sosialis karena dianggap menegasikan hak-hak individual atas tanah)
maka terdapat perbedaan penguasaan atas lahan dibandingkan dengan negara-negara
lain.
Beberapa perbedaan penguasaan
atas lahan tersebut adalah:
(1)
Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (pasal 1 ayat 3
UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia
masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa
Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini seperti hak ulayat pada masyarakat
adat yang memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan
ataupun badan hukum;
(2)
Hanya warga negara Indonesia
saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21 ayat 1
UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan;
(3)
Warga negara asing tidak dapat memiliki hak atas dasar hak milik (pasal 26 ayat
6 UUPA);
(4)
Asas domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti
dengan hak menguasai dari negara, yang digunakan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA). Hak menguasai ini
dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/ kota , kecamatan dan desa)
dan bahkan pada suatu komunitas adat;
(5) Tanah mengandung fungsi sosial (pasal
6 UUPA). Fauzi (1999) menuliskan bahwa prinsip tanah berfungsi sosial ini
berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok) tidak
dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai
merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi
kepentingan umum;
(6) Prinsip land reform. Prinsip ini
terdapat pada pasal 13 jo pasal 17, tentang batas minimum luas tanah yang harus
dimiliki oleh seorang petani, supaya dapat hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya. Pada undang-undang ini tercantum pula batas maksimum luas tanah
yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (pasal 17 UUPA). Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah penguasaan tanah yang luas pada tangan segelintir
orang. Selanjutnya, pada pasal 7 UUPA dinyatakan pula pelarangan pemilikan
tanah yang melampaui batas, karena bisa merugikan kepentingan umum, khususnya
rakyat petani.
Bagaimanapun,
Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya
secara mandiri. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk, dihadapkan dengan
tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Di sisi lain, tenaga kerja
pertanian kita juga cukup banyak. Pada prinsipnya, kita harus mandiri di bidang
pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari sekadar swasembada, karena
memuat pula nuansa politik dan harga diri sebagai sebuah bangsa (Husodo, 2005).
Kebutuhan terhadap Lahan Pertanian
Hampir disepakati oleh seluruh pihak, bahwa visi untuk menjadikan Indonesia
sebagai bangsa yang mandiri merupakan sesuatu yang mutlak. Salah satu komponen
kemandirian tersebut adalah kemandirian dalam hal pangan. Di luar pangan, kita
juga memiliki potensi yang besar untuk merebut pasar dunia misalnya untuk
komoditas karet, kelapa sawit, kakao, kopi, teh, lada, serta perikanan dan
kehutanan.
Dalam konteks
kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5 komoditas sebagai komoditas
pokok, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan sapi. Seluruh komoditas kecuali
peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau
disebut sebagai land based agricultural
.
Jika Indonesia
ingin berswasembada untuk keempat jenis pangan tersebut, maka untuk saat ini
saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan tersebut dapat berupa lahan
sawah maupun lahan kering, namun memenuhi untuk penanaman tanaman semusim
seperti halnya jagung dan kedelai.
Tanah yang Tersedia
untuk Pertanian
Secara
umum, data yang dipublikasikan tentang ketersediaan tanah serta yang telah
digunakan saat ini tidak akurat dan tidak konsisten. Demikian pula dengan data
tentang potensi tanah yang dapat menjadi areal untuk pertanian.
Menurut
data di Badan Pertanhan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi
eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini
sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191
juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas
daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.Dalam konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga daya dukung lahan dan prinisp sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya (Tabel 2). Sesuai dengan fungsinya dan kepatutan penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah berupa hutan, sedangkan kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan non-hutan, yaitu untuk pertanian dan non-pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain).
Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan lindung yang seharusnya berupa hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian.
Salah
satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian adalah data
spasial (peta) potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting
tentang distribusi, luasan, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan
alternatif teknologi yang dapat diterapkan. Namun, hingga saat ini, informasi
sumberdaya lahan tersebut belum tersedia secara menyeluruh pada skala yang
memadai. Sebagai contoh, informasi sumberdaya lahan yang tersedia di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) Badan
Litbang Pertanian hanya peta pada skala eksplorasi (1:1.000.000), sedangkan
data/peta pada skala tinjau (1:250.000) baru sekitar 57 persen dari total
wilayah Indonesia, dan peta pada skala semi detil hingga detil (1:50.000 atau
lebih besar) hanya sekitar 13 persen dari total wilayah. Peta pada skala
eksplorasi (1:1.000.000) hanya sesuai digunakan sebagai acuan untuk perencanaan
atau arahan pengembangan komoditas secara nasional. Sedangkan untuk tujuan
operasional pengembangan pertanian di tingkat kabupaten/kecamatan, diperlukan
peta sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 atau lebih besar.
Berbeda
dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik
lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk
pertanian bukan 123,4 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama
dengan dokuemn RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah
seluas 100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini, ditemui data yang beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha.
Total
areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, mencakup mulai dari
sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika
disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta
ha), maka masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan
wilayah pertanian.
Lebih jauh dalam dokumen RPPK
terbaca, bahwa lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi
negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi
berupa lahan terlantar. Dengan demikian,
pengembangan areal tanaman pangan hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar.
Dalam dokumen tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan
untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan
68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta
hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian
berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar.
Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui
ketersediaannya (over utilization).
Selain over utilization, lahan di
Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan
laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan
sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1 juta
hektar di antaranya terjadi di Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di Jawa
jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan kondisi infrastruktur yang juga lebih
mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan
sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian.
Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena
penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang
ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas
areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di
sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha
atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003).
Salah satu potensi yang sampat saat ini kurang
diperhatikan adalah keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di
Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yang tersebar dibanyak propinsi, namun yang
terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha),
Papua (4,2 juta ha), dan Sulawesi (1,2 juta ha). Dengan teknologi yang ada,
petani telah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Namun dengan peningkatan
teknologi, yaitu pada skala penelitian, telah mampu dihasilkan 7-8 ton gabah
per ha. Selain
untuk padi sawah, lahan rawa juga sesuai
untuk palawija yaitu jagung dan kedelai.
Dua, pengendalian konversi lahan sawah. Konversi lahan sawah ke non pertanian
yang sekarang total 110.000 ha per tahun (antara 1999-2002), diharapkan dapat
diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun mulai tahun 2009, dan secara bertahap
mendekati nol. Lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan
keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar
dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi
lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan
perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi
pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta
swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap
pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu
mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap
dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan
tersebut didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa,
Bali dan Lombok.
Tiga, perluasan areal sawah dan lahan kering terutama ke luar Jawa. Dari sisi hukum, tanah negara yang berpotensi untuk
perluasan pertanian, terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan
selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak
guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk
merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini
dapat diperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola
secara baik dan ramah lingkungan. Saat ini, sudah ada 4,5 juta ha lahan yang
diberikan HGU oleh pemerintah, yang setengahnya berada di Pulau Sumatera.
Salah
satu kebijakan terbaru berkenaan dengan permasalahan lahan, adalah kebijakan
“lahan abadi”. Pemerintah telah menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk
pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah
kepemilikan. Lahan ini akan dibagi
menjadi dua, yakni 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi, dan 15 juta
hektar merupakan lahan kering. Lahan tersebut tersebar di seluruh Indonesia
dengan tujuan untuk menjaga ketersediaan pangan nasional.
Kesimpulan
dan Saran Kebijakan
Penulis
tidak mengerti hukum, namun penulis berharap bagaimana istilah-istilah misalnya
“produksi pertanian”, “ketahanan pangan”, dan “skala usaha ekonomis-minimal”
dapat masuk ke dalam amandemen UUPA. Intinya adalah bagaimana “aspek
penggunaan” dibuat lebih sejajar dengan “aspek penguasaan”, karena jika kita
bicara reforma agraria keduanya harus dijalankan secara bersamaan. Revolusi
hijau yang hanya memperhatikan “aspek penggunaan tanah” terbukti tidak berhasil
optimal. Di sisi lain, betapa banyak petani yang melepaskan tanahnya ke pihak
lain, karena mereka tidak cukup menguasai modal untuk mengolah tanahnya sendiri
secara baik. Tanah yang sudah dikuasainya (aspek pertama) tidak bermakna ketika
ia tidak mampu mengolahnya sendiri (aspek kedua).
Daftar Pustaka
Anonim1. “Tahun 2025 Penduduk Indonesia 273,7
Juta: Lansia, Pengangguran, dan Penduduk Miskin Bertambah”. http://www.embassyofindonesia.org/
beritaUTama/05/Agustus/3%20-%20Penduduk%20Indonesia.htm, 2 januari
2006.
Badan Litbang Pertanian. 2005. e-Files Buku
Komoditas Pertanian dan Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. http://www.litbang.deptan.go.id/b1lahan.php,
5 januari 2006.Husodo, Sisiwono Y. 2005. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian. Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds) 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Husodo, Siswono Y. (Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). 2005. Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0305/26/ekonomi/330983.htm, 5 Januari 2006.
Kepala BPN. 2001. “Pertanahan Indonesia: Suatu Retrospeksi”. Paper: disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional dihadapan Ibu Wakil Presiden Republik Indonesia di Istana Wakil Presiden RI, tanggal 12 Februari 2001.
Kompas. 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. 9 Februari 2003. Hal 25.
Kompas. 2005 Konsumsi Masih Tinggi: Produksi Beras Tetap Menjadi Masalah Besar di Masa Depan. Kompas. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/05/ekonomi/1949849.htm
Menteri Pertanian. 2005. Produktivitas Benih Padi Tak Cukupi Kebutuhan Pangan 2025. Business & Economy. JAKARTA, investorindonesia.com. Selasa, 09 Agustus 2005, 17:34 WIB. http://www.investorindonesia.com/news.html?id=1123585496, 20 Desember 2005.
Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun. 2002. Kajian pembaruan agraria dalam mendukung pengembangan usaha dan sistem agribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor.
Tempo Interaktif. ”30 Juta Hektar Lahan Abadi Pertanian”.
Selasa, 11 Oktober 2005. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional /2005/10/11/brk,20051011-67816,id.html, 20 desember 2005.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
*****
Rabu, 29 Agustus 2012
Rekonseptualisasi Lembaga dan Organisasi
Rekonseptualisasi Lembaga dan Organisasi untuk Teori dan Praktek
Penyuluhan Pertanian Yang Lebih Efektif
Oleh: Syahyuti (Peneliti Madya pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor
dan kandidat doktor sosiologi pada Universitas Indonesiam, Depok). Disampaikan pada Pertemuan Nasional
Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian Indonesia, di Universitas Padjajaran
tanggal 25-26
Januari 2012
Sebagian besar kegiatan penyuluhan pertanian di
Indonesia selalu mengandalkan wadah organisasi formal petani,
terutama kelompok tani dan Gapoktan. Semua
petani diharapkan berada dalam organisasi, untuk mengefisienkan komunikasi.
Namun, keberhasilannya sangat
terbatas. Penyebab utamanya adalah karena pemerintah (melalui
Penyuluh Pertanian), LSM dan Perguruan Tinggi sering keliru dalam memahami
konsep, teori dan praktek tentang lembaga (institution)
dan organisasi (organization). Mereka
beranggapan organisasi formal adalah satu-satunya pendekatan, dan bahwa dengan menggunakan
organisasi dianggap telah menyentuh aspek-aspek lembaga dan kelembagaan. Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru,
organisasi formal adalah sebuah opsi
belaka, karena ada banyak cara untuk memberdayakan petani melalui aspek
lembaga.
Kata kunci: lembaga,
organisasi, paham kelembagaan baru, penyuluhan,
petani.
PENDAHULUAN
Lembaga (institution)
dan organisasi (organization) bukan
objek yang tergolong mainstream utama
dalam khasanah ilmu sosiologi. Namun, “lembaga”, “kelembagaan”, dan “organisasi”
merupakan kosa kata yang sangat akrab sehari-hari yang digunakan dalam berbagai
ruang rapat, seminar, ruang pelatihan dan kampus, serta dalam berbagai
literatur dan produk-produk legislatif. Sayangnya, pemaknaan terhadap objek ini
banyak yang kabur, keliru, dan tumpang tindih; sehingga sangat membingungkan.
Mulai dari penyuluhan era Bimas tahun 1960-an
sampai “era pemberdayaan” saat ini, mengorganisasikan petani secara formal merupakan pendekatan utama pemerintah
untuk pemberdayaan petani. Hampir pada semua program, petani disyaratkan untuk
berkelompok oleh Penyuluh Pertanian. Kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan
(material atau uang tunai), dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik
antar peserta maupun dengan pelaksana program (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006). Untuk mewujudkan
ini, telah dihabiskan anggaran dan dukungan tenaga lapang yang cukup besar.
Permasalahannya, kelompok-kelompok tersebut tidak
berkembang sesuai harapan. Kapasitas keorganisasian mereka lemah, sehingga
tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program (Bourgeois et al., 2003), bahkan menjadi kendala dalam pelaksanaan program
(PSEKP, 2006). Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah membangun organisasi
petani (Hellin et al., 2007: 5; Grootaert,
2001), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi
(Stockbridge et al., 2003).
Ada
banyak pendapat apa penyebab kegagalan ini, misalnya
karena kurang dihargainya inisiatif
lokal (Taylor dan Mckenzie, 1992),
pendekatan yang seragam (blue print
approach) (Uphof, 1986), kurang mengedepankan partisipasi dan dialog
(Amien, 2005), lemahnya kemampuan aparat pemerintah (Bourgeois et al., 2003), dan karena menggunakan
paradigma yang kurang tepat (Chambers, 1987; Nordholt (1987).
Ironisnya, meskipun terbukti gagal, sampai sekarang berbagai kebijakan masih tetap
menjadikan organisasi formal sebagai keharusan. Lihat misalnya Peraturan Menteri
Pertanian No: 273/kpts/ot.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan
Petani, serta Keputusan Menko Kesra No: 25/Kep/Menko/Kesra/vii/2007 tentang Pedoman Umum
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Mandiri. Selain pemerintah, pihak LSM bahkan perguruan
tinggi, juga mendukung keyakinan ini. Untuk menjelaskan fenomena ini, baik pada level teori
maupun praktek, digunakan pendekatan konsep
dan teori kelembagaan, dengan konsep pokok ”lembaga” (institutions) dan ”organisasi” (organization).
Kekacauan
Konsep dan Teori Lembaga dan Organisasi
Pada awalnya studi terhadap
lembaga terpisah dari studi terhadap organisasi, namun kemudian menyatu dalam
bentuk kajian kelembagaan baru (new
institutionalism). Dalam paper
ini, kata “lembaga” merupakan terjemahan langsung dari “institution”, dan kata “organsiasi” sebagai terjemahan “organization”; sementara “kelembagaan”
sebagai terjemahan “institutional”
dan keorganisasian untuk “organizational”.
Meskipun terminologi ini tampak begitu sederhana[1],
namun sesungguhnya selama ini penerjemahan kedua kata ini dari bahan bacaan
berbahasa Inggris ke Bahasa Indonesia telah dibuat membingungkan oleh banyak
penulis.
Ketidakkonsistenan konsep di level akademisi
Penggunaan istilah ”institution” pada literatur berbahasa Inggris, ataupun istilah
”lembaga” dan ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia cenderung tidak
konsisten dan tidak memperoleh pengertian yang sama antar ahli, demikian pula dengan konsep ”organization” [2]. Kekeliruan yang paling sering adalah
menerjemahkan ”institution” menjadi
”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”.
Penyebabnya adalah karena
banyak pihak yang menulis tentang objek ini namun tidak mengembangkan konsep
dan teorinya. Ketidaksepakatan ini dinyatakan oleh Uphhof (1986:
8) bahwa: “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of continuing
debate among social scientist….. The term institution and organization are
commonly used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion”.
Richard Scott yang telah merangkum seluruh perkembangan teori kelembagaan juga
menemukan hal serupa. Scott (2008: vii) menyatakan bahwa: “The existing literature is a jungle of conflicting conceptions,
divergent underlying assumptions, and discordant voices”. Ia menemukan penggunaan asumsi
yang berbeda dan penuh pertentangan satu sama lain. Sementara, Soemardjan dan
Soemardi juga mengakuinya. “Belum
terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana
sosiologi untuk menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’……. Ada yang menterjemahkannya dengan
istilah ‘pranata’ ….. ada pula yang ‘bangunan sosial’” (Soemardjan dan
Soemardi, 1964; 61). ”The words ‘institution’ and ‘organization’ are
usually used interchangeably or inclusively and often lead to misunderstandings
and misguided interventions” (Lobo,
2008).
Penggunaan istilah ”institution” dan ”organization”
dalam literatur berbahasa Inggris sering kali juga tidak konsisten (lihat
Horton dan Hunt, 1984). Sebagian mendefiniskan social institution yang
mencakup aspek organisasi, sebaliknya ada yang memasukkan aspek-aspek lembaga
dibawah topik social organization. Para ahli menggunakan entry istilah yang
berbeda, namun membicarakan hal yang sama [3].
Dalam hal konsep, terutama pada literatur-literatur
di Indonesia, setidaknya ada empat bentuk cara pembedaan antara lembaga dan
organisasi. Literatur berbahasa Indonesia biasanya menggunakan
kata “kelembagaan”, karena mereka menggunakan “lembaga” sebagai sebutan lain
untuk “organisasi”. Pembedaan tersebut adalah: (1) tradisional
dan modern[4],
(2) asal pembentukannya dari bawah dan atas (Tjondronegoro, 1999: 22),
(3) berbeda level namun dalam satu kontinuum (Uphoff, 1986: 8; Huntington,
1965: 378), dan (4) pembedaan dimana organisasi merupakan elemen dari lembaga[5].
Pada kalangan ahli di dunia internasional
sekalipun, yang dapat dilacak dari literatur-literatur berbahasa Inggris,
sebagaimana ahli ekonomi kelembagaan (Douglass C. North[6] dan Lionel Robbins [7]) dan pendekatan kelembagaan
baru (new institutionalism) (Scott,
1995; 2008); kedua objek ini pada
awalnya berbaur lalu kemudian menjadi terpisah [8]. Ini karena penulis
bersangkutan hanya mengenal satu kata saja dalam menerangkan fenomena sosial: institution
saja, atau organization saja[9].
Sebagian penulis tidak sadar atau kurang perduli dengan penggunaan istilah ini.
Studi terhadap lembaga dan
analisis bagaimana lembaga mempengaruhi individu dalam masyarakat dimulai
kalangan sosiologi abad ke-19 dan 20 misalnya Max Weber pada studi birokrasi
dan bagaimana birokrasi mempengaruhi cara berprilaku masyarakat (Weber, 1914).
Perhatian terhadap lembaga cukup konstan dari masa ke masa meskipun menggunakan
berbeda istilah (Scott, 2008: 8).
Melalui pendekatan teori perilaku (behavioural
theory) dan teori pilihan rasional (rational
choice theory), studi kelembagaan menjadi
lebih mikro dan individual.
Dalam dekade sosiologi klasik,
Spencer misalnya melihat masyarakat sebagai sebuah sistem organis yang
terbentuk oleh proses waktu. Sementara bagi Sumner, lembaga berisi konsep (ide,
notion, doktrin, interest) dan sebuah struktur (Sumner dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67), sementara
Cooley melihat pada kesalinghubungan antara individu dengan lembaga dalam
konteks self dan structure. Perilaku individu terbentuk atau terpengaruh oleh
lembaga tempat dimana ia hidup (Scott, 2008: 10). Dalam kurun ini pula,
Durkheim menjelaskan masyarakat dengan
memberi perhatian terhadap lembaga yang menghasilkan keteraturan kolektif yang
didasarkan pada tindakan-tindakan rasional (Durkheim, 1965). Bagi Durkheim,
lembaga sosial adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan
otoritas moral (Dalam Scott, 2008: 12).
Norma sebagai pembentuk perilaku banyak menjadi
perhatian kalangan sosiologi klasik, misalnya Weber dan Parsons. Menurut
Parsons lembaga adalah ”sistem norma yang
mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu semestinya”
(Scott, 2008: 14-15). Nilai dan norma juga merupakan aspek yang dikaji oleh
Durkheim (dalam Suicide, tahun 1968). “ …. Social integration and individual regulation through consensus
about morals and values”. Demikian
pula dengan Soekanto (1999: 218) yang
menyebut bahwa lembaga adalah sebagai jelmaan dari kesatuan norma-norma yang
dijalankan atau diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Dalam konteks ini pula
Sumner atau Cooley memaknai lembaga sebagai “established norm” (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 75).
Sementara Uphoff (1992) mendefinisikan
lembaga sebagai “a complex of
norms and behaviours that persist overtime by serving some socially valued
purpose”.
Pada perkembangan yang lebih baru, beberapa
sosiolog memberikan perhatian pada pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku
individu di tengah masyarakat. Bourdieu
misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan
beberapa kelompok menekankan kerangka
pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap pihak lain (Ritzer, 1996; Perdue, 1986).
Demikian pula dengan Berger dan Luckmann (1976), yang fokus pada penciptaan
realitas sosial yang memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai
kebutuhan (end).
Sementara, studi tentang organisasi diawali dengan
studi tentang birokrasi oleh Weber (Colignon, 2009), lalu Robert Merton yang
dengan kerangka kerja Weber membangun teori lebih rendah (middle range theory), dan dilanjutkan Selznick dengan menggunakan
teori struktural fungsional dan membangun pendekatan kelembagaan lama (old institutional). Selznick menekankan
pentingnya kontrol norma (normative
controls) yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi (internalized) aktor dan menekannya dalam
situasi sosial (social situations).
Pendekatan kelembagaan baru terhadap
organisasi dimulai dari usaha Meyer and
Rowan (tahun 1977) yang membangun dari pendekatan kelembagaan Selznick. Mereka
mempelajari “ ……how organizational
decision making is shaped, mediated, and channeled by normative institutional
arrangements (DiMaggio, 1991).
Saat ini, disadari bahwa
kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh norma dan harapan (expectations), juga oleh teknologi dan
pasar (Colignon, 2009). Berkembang
pula pendekatan jaringan organisasi (organizational
networks) yang digabungkan dengan persoalan “fields” serta relasi dengan negara (state-organization relations) (Casey, 2002: 4-5). Masyarakat modern dicirikan oleh kehidupan
berorganisasi [10].
Interaksi antara Teori
Kelembagaan (Institutional Theory)
dan Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (New
Institutionalisme Theory). Menurut Scott (2008: vii) studi lembaga dan
organisasi mulai berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu dengan tumbuhnya perhatian pada
pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational
forms) dan lapangan organisasi (organization
fields). Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber
dengan teori birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap
organisasi, Herbert Simmon yang berkerjasama dengan James G. March yang
mempelajari sifat atau ciri rasionalitas pada organisasi, Selznick yang
mempelajari teori kelembagaan terhadap organisasi (Scott, 2008: 20-23), serta Victor Nee dalam konteks analisa
kelembagaan (institutional analysis) yang
mempelajari hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan
kelembagaan (institutional settings) [11].
Pertautan ini menurut Nee dan
Ingram (1998) berasal dari teori pilihan rasional dengan teori kelekatan (embeddedness theory). Riset-riset dalam
konteks kelembagaan baru berkaitan dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku
manusia melalui aturan-aturan (rules),
norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural-cognitive) yang dibangun dan
dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah
penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive),
dimana individu bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial.
Pendekatan mikro terhadap
teori kelembagaan (microfoundations of
Institutional Theory) relatif sejalan dengan ini. Dalam pandangan mikro
ini, dipelajari bagaimana individu memposisikan dirinya dalam relasi sosial dan
memahami konteks yang melingkupinya, serta bagaimana orang-orang dalam
organisasi menjaga dan mentrasformasikan kekuatan-kekuatan kelembagaan dalam
praktek hidup sehari-hari (Powell dan Colyvas, 2008). Melalui kacamata mikro
ini akan dapat menjelaskan kondisi makro. Sumbangan lain diberikan Battilana
(2006), dimana studinya dengan menggunakan analisis pada level individual
(dengan kerangka Bourdieu), sesuatu yang selama ini diabaikan kalangan
kelembagaan baru; mendapatkan bahwa posisi sosial individu merupakan satu
variabel kunci dalam memahami bagaimana mereka dapat menjadi seorang institutional entrepreneurs dalam satu tekanan
kelembagaan.
Powell dan DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new institutionalism” dengan menolak
model aktor rasional dari ekonomi klasik. Menurut Scott (2008: 36), teori
kelembagaan baru adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan
baru dalam mempelajari sosiologi organisasi [12]. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif,
teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi. Ada 3 elemen yang
disebut dengan pilar (pillar) yang
membangun lembaga yakni aspek regulatif, normatif, dan aspek kultural-cognitif [13].
Ketidakkonsistenan Istilah
dalam Produk Legislasi Pemerintah
Secara
umum, dalam berbagai produk hukum yang dikeluarkan pemerintah, istilah yang
dipakai adalah “kelembagaan” dan “organisasi”. Kadang-kadang juga digunakan
istilah “lembaga” sebagai kata lain untuk organisasi.
Dalam dokumen Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(RPPK) tahun 2005, dibedakan antara ”kebijakan pengembangan kelembagaan”
dengan ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi petani”. Masing-masing pada
sub bab berbeda. Dalam dokumen ini, ”kelembagaan”
dan ”organisasi” adalah hal berbeda, dimana kelembagaan
adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan organisasi berada di level petani. Sesuai dengan
rekonseptualisasi yang saya susun di buku ini, maka kedua hal ini merupakan
“organisasi”.
Dalam Sub Bab Kebijakan
Pengembangan Kelembagaan, objek yang diatur adalah lembaga keuangan perdesaan,
sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu
produk-produk. Kata “lembaga” disini jelas adalah organisasi menurut konsep
sosiologi. Sementara, pada bagian Kebijakan
Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani, mencakup kelembagaan ketahanan pangan
di perdesaan, dan kelembagaan ekonomi
petani di perdesaan. Kata “kelembagaan” di kalimat terakhir ini bermakna
sebagai kesalinghubungan berbagai organisasi dalam menjalankan satu urusan,
misalnya bagaimana relasi antara Pemerintah Daerah dengan kelompok tani dalam
mencapai ketahanan pangan.
Contoh kedua adalah Permentan No. 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan
Kelembagaan Petani. Dalam bagian batasan tidak dicakup apa itu “lembaga, kelembagaan, dan
organisasi”; meskipun sebenarnya ini
merupakan hal yang sangat mendasar dalam dokumen ini. Pada bagian Pengembangan
Kelompok Tani tertulis: “Menumbuhkembangkan kemampuan manajerial,
kepemimpinan, dan kewirausahaan kelembagaan tani serta pelaku agribisnis lainnya”. Lalu, “Memfasilitasi penumbuhan dan pengembangan kelembagaan
tani baik non formal maupun
formal serta terlaksananya berbagai forum kegiatan”, dan “Menginventarisasi kelompoktani, GAPOKTAN dan
kelembagaan tani lainnya yang berada di wilayah kabupaten /kota”. Dalam
kalimat-kalimat ini digunakan istilah “kelembagaan tani”, yang maksudnya adalah
organisasi-organisasi milik petani.
Sementara, pada kalimat ”Merencanakan
dan melaksanakan pertemuan-pertemuan berkala baik di dalam Gapoktan, antar
Gapoktan atau dengan instansi/lembaga terkait”, kata “lembaga” disini bermakna sebagai
organisasi milik pemerintah. Dalam ilmu sosiologi, ini tergolong organisasi.
Dalam Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyaraat (PNPM) Mandiri
tahun 2008, bagian tujuan point b tertulis “Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar,
representatif, dan akuntabel”. Lalu, pada kalimat “PNPM Mandiri diarahkan menggunakan dan mengembangkan secara optimal
kelembagaan masyarakat yang telah ada”. Kata “kelembagaan
masyarakat” disini bisa dimaknai sebagai organisasi. Namun pada kalimat “Dimensi kelembagaan
masyarakat meliputi proses pengambilan keputusan dan tindakan kolektif,
organisasi, serta aturan main”, maknanya sudah
mencakup aspek-aspek lembaga.
Pada bagian lain tertulis: “Harmonisasi
kelembagaan dilakukan melalui pengembangan dan penguatan kapasitas kelembagaan
yang telah ada dengan cara meningkatkan kapasitas pengelola, memperbaiki
kinerja dan etika lembaga, dan meningkatkan tingkat keterwakilan berbagai
lembaga yang ada”. Dari kalimat ini,
kata “harmonisasi kelembagaan” lebih tepat disebuti sebagai manajemen kegiatan, sedangkan “kelembagaan
yang telah ada” adalah organisasi.
Sementara pada
kalimat “Konsolidasi organisasi
pelaksana program sektor yang bersifat adhoc dan koordinasi berbagai kelompok
masyarakat yang ada oleh lembaga keswadayaan masyarakat di desa/ kelurahan” dan ”Kelembagaan PNPM Mandiri di desa/kelurahan adalah
lembaga keswadayaan masyarakat yang dibentuk, ditetapkan oleh masyarakat, ...”; istilah Lembaga keswadayaan masyarakat
(LKM) yang dimaksud disini hanya sebutan (= nama organik) untuk sebuah
organisasi kecil beranggotakan biasanya 5 orang. Mereka mengajukan dana
pinjaman ke pengelola PNPM yang disebut dengan Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM), dimana mereka menjalankan kegiatan ekonomi misalnya 5 orang ibu-ibu yang
semuanya menjalankan usaha jahit menjahit.
Contoh terakhir, adalah Undang-Undang No. 16 tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 1 point 17 tertulis ”Kelembagaan petani, pekebun, peternak nelayan,
pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk
pelaku utama”. Kata “kelembagaan”
dan “lembaga” disini mestinya diganti dengan organisasi. Demikian pula pada point 25: ”Kelembagaan
penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan/ atau masyarakat yang mempunyai tugas
dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan”; juga Pasal 8 “Kelembagaan penyuluhan terdiri atas: kelembagaan
penyuluhan pemerintah; kelembagaan penyuluhan swasta; dan kelembagaan
penyuluhan swadaya”; dan Pasal 9 “Badan penyuluhan pada
tingkat pusat mempunyai tugas ....”..Dalam UU ini tidak ditemukan penggunaan kata “organisasi” sama sekali.
Kesan kuat yang tampak dari berbagai dokumen ini adalah: Pertama, tidak ada kesamaan konsep antar
produk legislasi dan pedoman kegiatan, sehingga membingungkan petugas lapang
termasuk penyuluh. Kedua, bahwa
mengorganisasikan petani dalam organisasi formal merupakan sebuah upaya lembaga
dan kelembagaan. Ketiga, pembentukan
organisasi formal dan bekerja hanya dengan organisasi formal, merupakan
pendekatan yang ideal. Tanpa sadar pendekatan ini telah meminggirkan
petani-petani yang tidak berorganisasi. Petani ini tidak akan pernah memperoleh
bantuan dan dukungan apapun dari pemerintah. Penyuluh Pertanian pun kurang
memperdulikannya.
Rekonseptualisasi
“lembaga dan organisasi” yang lebih operasional sesuai dengan Pendekatan Kelembagaan Baru
Menghadapi berbagai kekeliruan dan ketidaksepakatan
ini, saya mengusulkan perumusan rekonseptualisasi sebagaimana matrik berikut.
Rekonseptulasisasi “lembaga” dan
“organisasi”
Terminologi dalam
literatur berbahasa Inggris
|
Sering diterjemahkan
menjadi
|
Terminologi semestinya
|
Batasan dan materi di
dalamnya
|
1. institution
|
Kelembagaan, institusi
|
Lembaga
|
Berisi norma, nilai,
regulasi, pengetahuan, dll. Menjadi
pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi)
|
2. institutional
|
Kelembagaan, institusi
|
Kelembagaan
|
Hal-hal berkenaan dengan
lembaga.
|
3. organization
|
Organisasi, lembaga
|
Organisasi
|
Adalah social group, aktor
sosial, yg sengaja dibentuk, punya anggota, untuk mencapai tujuan tertentu,
dimana aturan dinyatakan tegas. Misal: koperasi, kelompok tani, kantor
pemerintah.
|
4. organizational
|
Keorganisasian, kelembagaan
|
Keorganisasian
|
Hal-hal berkenaan dengan
organisasi. Misal: kepemimpinan, keanggotaan, manajemen, keuangan organisasi, kapasitas organisasi,
relasi dgn organisasi lain.
|
Sesuai
dengan pendekatan Teori Kelembagaan Baru, organisasi petani dalam bentuk formal
semata-mata hanyalah pilihan. Ia hanyalah aktor sebagaimana aktor individu.
Untuk berjalannya pembangunan pertanian,
atau aktivitas agribisnis khususnya, yang dibutuhkan adalah pengorganisasian
petani (dalam makna luas) yang efektif. Indikasinya adalah berjalannya agribisnis
yang dikelola petani secara efektif dan efisien. Setiap transaksi dapat
dijalankan dengan biaya murah, dan tersedia jaringan antar pelaku dengan bentuk
terpola sehingga dapat menjadi wadah yang dapat diakses petani dengan mudah.
Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan
upaya untuk menjalankan tindakan kolektif, dengan keyakinan bahwa tindakan
kolekif lebih murah dan efektif. Untuk mewujudkan tindakan kolektif dibutuhkan daya kohesi,
relasi sosial yang stabil, adanya hierarki, dan saling percaya dalam relasi
yang saling tergantung (Beard dan Dasgupta,
2006). Menurut King (2008), agar tindakan kolektif berjalan, maka harus
dapat ditemukan cara untuk memotivasi individu agar mau melibatkan diri. Untuk
ini dibutuhkan struktur yang memobilisasi agar tindakan kolektif berjalan.
Organisasi hanya salah satu wadah dalam menjalankan
tindakan kolektif. Tanpa organisasi sekalipun, tindakan kolektif masih dapat
dijalankan (Davis et al., 2009).
Tindakan kolektif yang selama ini gagal dijalankan dalam organisasi-organisasi
formal petani di Indonesia, tampaknya disebabkan karena petani-petani telah
memiliki berbagai relasi sebagai sandaran untuk menjalankan berbagai tindakan
kolektif, dimana relasi-relasi tersebut berada di luar organisasi-organisasi
formal. Mereka enggan berorgansiasi karena kompensasi yang diterima tidak
sebanding dengan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh (Hellin et al. 2007). Perilaku demikian didasari oleh seperangkat
rasionalitas tersendiri.
Lembaga, yang terdiri atas aspek normatif,
regulatif, dan kultural-kognitif (Scott, 2008), telah cukup bagi petani untuk
bertindak dan menjalin relasi. Lembaga memberi pedoman, serta sekaligus
mendorong (enhanced) dan membatasi (constrain) bagi petani. Ini yang
dilakukan sebagian besar petani selama ini. Mereka mengandalkan lembaga untuk
menjalin relasi dengan pemilik lahan, dengan pedagang sarana produksi, dalam
mencari tenaga kerja buruh tani, dan seterusnya. Bahkan untuk petani yang sudah
masuk dalam kelompok tani sekalipun, mereka masih mengandalkan relasi di luar
kelompok tani dalam menjalankan agribisnisnya.
Selain dalam organisasi
(formal), tindakan kolektif juga berjalan dalam
jaringan. Menurut teori jaringan,
relasi para aktor bersifat saling tergantung satu sama lain, sehingga seseorang
tidak akan mampu mencapai tujuan-tujuannya tanpa menggunakan
sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki oleh orang lain. Mekanisme
kesalingtergantungan ini berjalan melalui pertukaran sumber daya antar aktor.
Kemudian, interaksi dan mekanisme pertukaran sumberdaya-sumberdaya dalam
jaringan itu akan terjadi secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam jangka
waktu yang lama dalam kehidupan keseharian. Keberulangan dan kontinuitas proses-proses
itu kemudian secara bertahap akan memunculkan suatu aturan yang mengatur
perilaku mereka dalam jaringan.
Dengan demikian,
pengembangan keorganisasian petani setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip,
yaitu: (1) pemerintah dan pelaku pemberdayaan lain mesti mempertimbangkan bahwa
organisasi formal bagi petani hanyalah sebuah opsi, bukan keharusan yang mutlak;
(2) organisasi hanyalah alat,
bukan tujuan; (3) petani sepantasnya dihargai
sebagai individu yang rasional; (4) bentuk organisasi yang ditawarkan ke petani
sebaiknya adalah yang mampu memperkuat relasi vertikal petani dengan pelaku lain,
jangan hanya terbatas pada relasi horizontal belaka (misalnya dalam kelompok
tani).
Kesimpulan
dan Implikasi
Pemberdayaan petani dengan pendekatan
pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di
Indonesia, namun kurang berhasil. Negara menginginkan petani diorganisasikan
secara formal, sementara pasar cenderung menekan petani (secara individu dan
kelompok) untuk berperilaku efisien dan menguntungkan. Sesuai dengan tekanan
kultur pasar, petani tidak harus berperilaku secara kolektif dalam
kelompok-kelompok formal.
Sesuai dengan pendekatan paham
kelembagaan baru (New Instituionalism)
perilaku petani dipersepsikan sebagai sebuah tindakan yang sadar dan rasional
sesuai dengan konteks sosial politik yang mereka miliki dan berbagai kekuatan
yang melingkupi mereka. Dengan
dasar ini, maka pemberdayaan petani
dimasa mendatang tidak mesti melalui organisasi formal. Ada banyak upaya yang dapat dijalankan dalam konteks pengembangan
lembaga petani, baik dari sisi normatif, regulatif, maupun
kultural-kognitifnya. Misalnya adalah dengan mengandalkan basis nilai-nilai
kerjasama dalam komunitas serta menggunakan relasi-relasi primordial untuk
mendapatkan buruh tani yang bisa dipercaya. Dengan pelayanan dan distribusi
sarana produksi yang baik, petani bisa memperoleh benih dan pupuk misalnya
tanpa harus masuk koperasi.
Daftar
Pustaka
Badan
Litbang Pertanian. 2006. Buku Panduan Umum Primatani. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Badan
Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005 – 2025. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Jakarta
Badan
SDM Deptan. 2007. Program P4K. Pusbangluh, Deptan. Jakarta.
Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan
Pengembangan SDM Pertanian tahun 2006. Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM
Pertanian Februari 2006. Badan SDM
Pertanian, Deptan. Jakarta.
Beard, Victoria A. and Aniruddha Dasgupta. 2006. Collective Action and
Community-driven Development in Rural and Urban Indonesia. Urban Studies, Vol.
43, No. 9, 1451–1468, August 2006. Sage Publication and Urban Studies Journal
Limited. http://usj.sagepub.com
Berger, Peter and Thomas Luckman. 1979. The Sosial Construction of
Reality: A Treative in The Sociology of Knowledge. Penguin Book, New York.
Bourgeois, Robin; Franck Jesus; Marc Roesch; Nena
Soeprapto; Andi Renggana; and Anne Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization.
Casey, Catherine. 2002. Critical Analysis of Organizations: Theory,
Practice, Revitalization. SAGE Publications: London, Thousand Oaks, New
Delhi. First edition.
Colignon, Richard A. 2009. St. Louis University,
St. Louis, Missouri. "The Sociology of Organization." 21st Century Sociology. 2006. SAGE
Publications. 8 Sep. 2009. http://sage-ereference.com
Davis, Peter; Rafiqul Haque;
Dilara Hasin; and Md. Abdul Aziz. 2009. Everyday Forms of Collective
Action in Bangladesh: Learning from Fifteen Cases. CAPRi Working Paper No. 94.
International Food Policy Research Institute: Washington, DC.
http://dx.doi.org.
Douglass C. North. “Prize Lecture: Lecture to the memory of
Alfred Nobel, December 9, 1993. http://nobelprize.org. 27 April 2005.
Durkheim, Emile.
1965. The Elementary Forms of
The Religious Life. The Free Press, New York.
Durkheim, Emile. 1968. Suicide: A Study in
Sociology. The Free Press, New York dan Coliier-MacMillan, Canada.
Grootaert, Christiaan. 2001. Does Social Capital
Help the Poor?: A Synthesis of Findings
from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and
Indonesia. The World Bank: Social Development Family Environmentally and
Socially Sustainable Development Network. Local Level Institutions Working
Paper No. 10, June 2001.
Hellin, Jon; Mark Lundy; and
Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market Access
in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007. Research Workshop
on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 -
Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI),
Washington.
King, Brayden. 2008. A Social
Movement Perspective of Stakeholder Collective Action and Influence. Sage
Publication and International Association for Business and Society. http://bas.sagepub.com
McKone, CE. 1990. FAO People's Participation
Programme - the First 10 Years: Lessons Learnt and Future Directions. Human Resources Institutions and Agrarian Reform Division,
Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1990.
Nee, Victor dan Paul Ingram. 1998. Embeddednes and
Beyond: Institutions, Exchange, and Social Structure. Dalam: Brinton, Mary C.
dan Victor Nee. The New Institutionalism in Sociology. Russel Sage Foundation,
NewYork.
Nee, Victor. 2005. The New Institutionalism in Economics and
Sociology. Dalam: The Handbook of
Economic Sociology. 2nd ed. Niel J. Smelser dan Richard Swedberg (eds.)
Princeton University Press.
Nordholt , Nico Schulte. 1987. Ojo Dumen:
Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Pustakan Sinar Harapan. Jakarta.
Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory:
Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto,
California.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). 2006.
Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian. Laporan Penelitian. Biro Perencanaan
Deptan dan PSEKP, Jakarta.
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication
International. Edisi keempat.
Scott,
Richard W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los
Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266
hal.
Scott, Richard W. 1995. Institutions and
OrganizationsFoundations for Organizational Science: Foundations
for Organizational Science. A Sage Publications Series. Sage Publications, Inc.
Soemardjan, Selo dan S.
Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. hal. 61.
Soekanto, Soejono. 1999.
Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet ke 28.
Sunito, Satyawan dan Saharuddin.
2001. Farmer Organizations in Upland Natural Resource Management in Indonesia.
Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 29. This report is part of
the ASB Project in Indonesia. The Asian Development Bank, under RETA 5711,
financially supported this specific work.
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge.
Chapter 1 dan 10.
Tjondronegoro, SMP.
1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Dalam buku
“Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan”. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tjondronegoro, Sediono M.P.
1990. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa (pp 3-14). Majalah
Prisma No. 2 tahun 1990.
Uphoff, Norman. 1992.
Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper
Series SA31. IIED, London.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional
Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press, Cornell
University, USA.
Weber, Max. 1914. Economy and Society: An Outline
of Interpretive Sociology. Edited by Guenther Roth and Claus Wittich.
University of California Press: Berkeley, Los Angeles, London.
*****
[1]
Satu buku yang belakangan ini sangat populer di Indonesia, yaitu buku “Ekonomi
Kelembagaan: Definisi, Teori dan Aplikasi” yang ditulis oleh A. E. Yustika,
menerjemahkan institution dan institutional menjadi “kelembagaan”
saja.
[2]
Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak
selalu merupakan terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institution” dalam literatur berbahasa
Inggris. Contohnya, ”kelembagaan” sering
digunakan untuk menyebut organisasi petani pengguna air di Bali yaitu”subak”,
padahal dalam literatur berbahasa Inggris subak biasanya disebut sebagai ”nonformal organization”.
[3]
Soekanto (1999) dan Hebding dan Glick (1994: 301-2) misalnya hanya mengenal
istilah institusi yang disebutnya dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga
sosial dan tidak mengenal sub bab organisasi sosial secara khusus. Untuk
organisasi dengan pembahasan tentang grup, kelompok, dll. Sedangkan Ralph et.
al (1977:. 423-4) mengenal istilah social
organization dan tak menjadikan institusi atau istilah yang sinonim
dengannya sebagai bab atau sub bab. Ini tidak cukup untuk menyimpulkan, bahwa
insitusi dikenal di sosiologi sedangkan organisasi dikenal di antroplogi, namun
hanya menunjukkan bahwa tiap penulis menggunakan istilah yang berbeda untuk
menyebut objek yang sama.
[4] “Some institutional manifestations are
indigenous or diffuse and thus are difficult to adress in terms of technical or
financial assistance, so we are focusing on organizational structure or
channels which have been, or could be, more readily institutionalized”
(Uphhof, 1986. Hal. 8). Juga Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984.
Sociology. Sixth Edition. McGraww-Hill Book Company; Sidney, Tokyo,
dan lain-lain. Hal. 211.
[5]
Dari kacamata ekonomi, Binswanger dan Ruttan mengemukakan pandangan, bahwa: “An institution is usually defined as the
set of behavioral rules that govern a particular pattern of section and
relationship. An organization is generally seen as a decision making unit – a
family, a firm, a bureau – that exercise control of resources….. the concept of
institution will include that of organization” (Binswanger, Hans P. dan VW. Ruttan. 1978. Induced Innovation: Technology,
Institutions and Development. The Johns
Hopkins University
Press, Baltimore
and London.
Hal. 329).
[6]
Douglass C. North. “Prize Lecture:
Lecture to the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993. (http://nobelprize.org/economics/laureates/1993/north-lecture.html., 27 April 2005.
[7]
Lionel Robin. “Understanding Institutions: Institutional Persistence and
Institutional Change”. hhttp://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/
events/2004/20031222t0946z001.htm., 27 April 2005.
[8]
Perubahan ini misalnya dapat ditelusuri pada Mitchell, G. Duncan (ed). 1968.
hal 172-3, dan di bawah entry social institution dan social
organization.
[9]
Perhatikan dua definisi berikut antara yang menggunakan social institution dengan
yang menggunakan social organization. Objek yang dilihat sesungguhnya
sama, namun menggunakan dua kata yang berbeda. Sumner memasukkan aspek struktur
ke dalam pengertian kelembagaan: “An institution consist s of a concept
(idea, notion, doctrine, interest) and structure. The structure is a framework,
or apparatus, or perhaps only a number of functionaries set to-operate in
prescribed ways at a certain conjuncture. The structure holds the concepts and furnishes instrumentalis for
bringing it into the world of facts and action in a way to serve the interaest
of men in society” (W.G. Sumner. 1906 Folkways. Ginn and Co., Boston. Hal. 53-4. Dalam
Soemardjan dan Soemardi, 1964. hal. 67. Juga dalam Mitchell, 1968. hal. 99).
Sebaliknya Cooley dalam buku Social
Organization yang terbit tahun 1909, memasukkan objek mental dalam
pembahasannya tentang grup primer. Ia menyatakan: “…. his view of social
organization as the ‘diferentiated unity of mental or social life’….. mind and
one’s conception of self are shaped through social interaction, and social
organization is nothing more than the shared activities and understanding which
social interaction requires” (Mitchell, 1968: 173).
[10] Casey mengikuti pemikiran Alain Touraine, yang memandang
kehidupan masyarakat modern sebagai: “
….. society conceived as rationally organized around a central system of
institutional and behavioural regulation”.
[11] Vicki D.
Alexander dari
University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New
Institutionalism in Sociology. Russell
Sage Foundation: New York.
xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[12]
Scott merumuskan lembaga sebagai: “…are
comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that,
together with associated activities and
resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).
[13] Pilar kognitif dalam paham kelembagaan baru berakar dari pemikiran
sosiologi pengetahuan yang dibangun oleh Mannheim serta Berger dan Luckman
(1979).
Langganan:
Postingan (Atom)