agraria (11) agribisnis (6) agriculture (3) agriculture innovation system (1) AIS (1) ASEAN (1) badan riset dan inovasi nasional (1) balai penyuluhan pertanian (1) beras (1) berdagang secara Islami (1) bertani dan berdagang secara Islami (1) bertani secara Islami (1) big data (1) bisnis (1) BPP (1) BRIN (1) buku (2) Buku Pertanian dunia 2020 (1) demo (1) ekonomi pertanian islam (1) family farming (1) food security (1) food sovereignity (1) hak petani (2) hukum adat (2) ilmu (1) inovasi (1) Iptek (1) Islam untuk petani (1) islamic agricultural economy (1) islamic agricultural socioeconomic (1) islamic food economy (1) kebijakan (19) kecamatan (1) kedaulatan pangan (6) kedaulatan petani atas pangan (2) kelembagaan (23) ketahanan pangan (4) konflik agaria (4) koperasi (2) korporasi (5) korporasi petani (5) korupsi (2) KPK (1) landreform (1) lembaga (18) mahasiswa (1) nelayan (2) organisasi (23) organisasi petani (4) pangan (2) partisipasi (1) pedagang (4) pedesaan (4) pembangunan (11) pembangunan pertanian (3) pembaruan agraria (2) pemberdayaan (5) pembiayaan (1) pendekatan pembangunan (14) penelitian (2) pengetahuan (1) pengukuran kelembagaan (2) pengukuran organisasi (2) penyuluh (7) penyuluhan pertanian (2) penyuluhan pertanian swasta (2) perdagangan (1) pertanian (1) petani (15) petani bermartabat (1) petani kecil (5) pintar (1) PPP (1) Program Serasi (1) public-private partnership (1) rawa (1) reforma agraria (1) sistem (1) sistem inovasi (1) sistem inovasi pertanian (1) social capital (4) sosial ekonomi pertanian islam (1) sosiologi pertanian islam (1) syariah (1) teori (17) valorisasi (1)

Senin, 17 September 2012

Kebijakan Lahan Abadi Untuk Pertanian Sulit Diwujudkan


 
Oleh: Syahyuti
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jalan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161. @ 2006.
(dimuat dalam majalah Analisis Kebijakan Pertanian Vol.04 No.02 2006)


Pendahuluan

Satu kebijakan terakhir yang cukup penting di bidang agraria dan pertanian, adalah kebijakan tentang “lahan abadi”. Hal ini disampaikan pemerintah sebagai salah bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). Namun, jika dicermati secara mendalam, ada persoalan mendasar dibalik itu yang dapat menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yang menadasar tersebut adalah tidak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan.

Hal ini sedikit banyak sama dengan sulitnya mengendalikan konversi lahan di Inodnesia. Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek penggunaan dan pemanfaatan lahan kurang memiliki landasan yang kuat dalam hukum agraria nasional.

Hal ini akan dibahas dalma tulisan ini, yang merupakan kajian terhadap sistem hukum dan tata hukum agraria yang cenderung kurang mendukung kepada pembangunan pertanian.

Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, masing-masing aspek diperhatikan oleh pihak yang berbeda. Sebagian besar pihak, terutama kalangan LSM misalnya,  lebih banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform. Berbagai tulisan dan diskusi, khususnya yang berskala nasional, umumnya mengangkat topik “tanah untuk siapa”, bukan “tanah untuk apa”. Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, lebih memperhatikan kepada aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.
Jadi, satu permasalahan yang mendasar dalam perjuangan pembaruan agraria di Indonesia adalah terjadinya kesenjangan perhatian, di samping kesenjangan dalam hal semangat dan juga otoritas masing-masing pihak. Pihak yang fokus kepada aspek penguasaan bertolak dari filosofi tentang hak penguasaan petani terhadap tanah, karena itulah makna yang mendasar tentang ”kemerdekaan” bagi petani. Sebaliknya, di sisi pemerintah, di luar Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang merupakan instansi teknis, adalah pada peruntukannya. Di sisi lain, ada kalangan tertentu yang cenderung berpikir secara mikro dan teknis, sebaliknya pihak lain berfikir secara makro dan konseptual.

Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan agraria telah memberikan hasil yang parsial pula. Itulah kenapa Revolusi Hijau (aspek pengusahaan) yang tidak didahului oleh program landreform (aspek penguasaan), hanya mampu mencapai peningkatan produksi dan swasembada, namun  tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya.

Dari sisi wacana, tulisan yang dipublikasikan di Indonesia khususnya didominasi oleh tulisan tentang aspek ”penguasaan dan pemilikan”. Untuk  mengimbanginya,  maka tulisan ini berupaya memberikan pengantar permasalahan teknis yang menghadang kita. Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran makro tentang permasalahan teknis yang mesti dipertimbangkan dalam merancang reforma agraria. Bahkan, tidak atau ada pun reforma agraria dalam konteks sebagai “gerakan”, persoalan ini tetap menjadi agenda yang mesti dipikirkan. Pada prinsipnya pembaruan agraria menuju pada kesejahteraan masyarakat. Aspek penguasaan maupun pengusahaan sesungguhnya sama-sama menuju kepada tujuan tersebut.  

 Aspek Penggunaan Diposisikan Kurang Penting Dibandingkan Aspek Penguasaan

            Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR  No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”.            Aspek “penguasaan/pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.

                UUPA No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yang sudah sejak tahun 2003 dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16  sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal.

                Selain jumlah pasal yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada  pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya adalah, bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama.

                Keluarnya produk hukum seperti ini dapat dimengerti, karena UUPA lahir di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, jauh lebih penting dari aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yang disusun selama tujuh tahun (mulai tahun 1953 sampai 1960), adalah bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial menjadi tanah negara dan rakyat Indonesia.

                Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya dengan tanah tersebut jelas. Beberapa akibat (dan implikasi) yang terlihat selama ini dari paradigma berpikir UUPA tersebut adalah:

 
(1)     Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Itulah kenapa Inpres dan berbagai Perda yang dikeluarkan berkenaan dengan konversi lahan tidak bergigi. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa, Inpres dan Perda tersebut tidak konsisten dengan UUPA.

(2)     Implikasinya, kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang dicetuskan dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering, sesungguhnya tidak akan dapat direalisasikan. Penyebabnya adalah karena peraturan yang ada, terutama  UUPA sebagai hukum pokok agraria, tidak cukup menjamin kebijakan tersebut.

(3)     Lemahnya pengaturan dalam “aspek penggunaan“ tersebut, secara tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, karena hak pihak yang menguasainya dijamin dalam UUPA.

 
                Khusus untuk Departemen Pertanian, wewenangnya terbatas “hanya” pada aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan produksi pertanian. Hal ini selaras dengan sub-sub organisasi dalam Deptan yang terdiri dari bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-lain. Jadi, dengan wewenang Deptan yang hanya terbatas pada aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah),  sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat secara hukum, terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang kegiatan pertanian kurang terjamin. Menyerahkan kegiatan pertanian, produksi pertanian,  dan ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air) tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri, pariwisata, dan lain-lain.

Penstrukturan terhadap konsep ini ini sangat penting, karena Deptan misalnya hanya memiliki otoritas pada aspek non-landreform. Ketika landreform masih tinggal menjadi wacana, Deptan (dan jajarannya) sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Deptan menjalankan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini penulis temukan di Sukabumi, dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar,  malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).                

                “Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat),  tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan  lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan/pemilikan  secara vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee).

                Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi,   topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani.


Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Pertanian dalam RPPK

                 Secara umum, sektor pertanian dihadapkan kepada sempitnya penguasaan lahan per petani dimana banyak petani gurem (< 0,5 ha/keluarga), cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dan tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai dan berpotensi dijadikan lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam revitalisasi pertanian ditempuh beberapa strategi berkenaan dengan ini, yaitu kompensasi untuk yang melakukan konversi lahan sawah dan pembukaan lahan pertanian baru, bersamaan dengan penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan agar tekanan tenaga kerja terhadap lahan berkurang.

                Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Dari sisi sumberdaya lahan terbuka peluang besar untuk  pembukaan lahan pertanian melalui (1) pemanfaatan lahan terlantar, yang dewasa ini diperkirakan mencapai luas 9,7 juta ha, dan   (2) pembukaan lahan baru untuk pertanian.

                Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat, atau milik pribadi. Kebijakan pertanian 5 tahun ke depan diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan meningkatkan produksi berbagai komoditas unggulan, dengan memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan usaha serta kesejahteraan petani.

                 Program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui: (a) pemanfaatan lahan terlantar (lahan alangalang dan semak belukar) di 13 propinsi, (b) pengendalian konversi lahan sawah, (c) perluasan areal sawah di luar Pulau Jawa, (d) perluasan areal pertanian lahan kering, (e) peningkatan luas penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, dan (f) penguatan kelembagaan yang kondusif untuk menunjang agroindustri pedesaan.

                Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas petapeta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok.

Konsep Penguasaan menurut Hukum

                Selain itu, karena strategi atau politik agrarian dalam UUPA menganut politik agraria populis (menentang strategi kapitalis yang dapat menyebabkan penghisapan manusia atas manusia/ exploitation de l’homme par l’homme dan menentang strategi sosialis karena dianggap menegasikan hak-hak individual atas tanah) maka terdapat perbedaan penguasaan atas lahan dibandingkan dengan negara-negara lain.

Beberapa perbedaan penguasaan atas lahan tersebut adalah:

(1)   Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini seperti hak ulayat pada masyarakat adat yang memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan ataupun badan hukum;

(2)   Hanya warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21 ayat 1 UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan;

(3)   Warga negara asing tidak dapat memiliki hak atas dasar hak milik (pasal 26 ayat 6 UUPA);

(4)   Asas domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti dengan hak menguasai dari negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA). Hak menguasai ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas adat;

(5)   Tanah mengandung fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Fauzi (1999) menuliskan bahwa prinsip tanah berfungsi sosial ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok) tidak dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum;

(6)   Prinsip land reform. Prinsip ini terdapat pada pasal 13 jo pasal 17, tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh seorang petani, supaya dapat hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Pada undang-undang ini tercantum pula batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (pasal 17 UUPA). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penguasaan tanah yang luas pada tangan segelintir orang. Selanjutnya, pada pasal 7 UUPA dinyatakan pula pelarangan pemilikan tanah yang melampaui batas, karena bisa merugikan kepentingan umum, khususnya rakyat petani.

                 Jika dicermati kebijakan terakhir, pemerintah baru saja menggulirkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005. Kebijakan ini mengamanatkan bangsa ini perlu membangun ketahahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi.  Selanjutnya, dalam dokumen ”Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010” yang sejalan dengan RPPK, termuat  arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan tersebut, yaitu mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai swasembada untuk komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula (tahun 2009) dan daging  sapi (tahun 2010).

                Bagaimanapun, Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk, dihadapkan dengan tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Di sisi lain, tenaga kerja pertanian kita juga cukup banyak. Pada prinsipnya, kita harus mandiri di bidang pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari sekadar swasembada, karena memuat pula nuansa politik dan harga diri sebagai sebuah bangsa (Husodo, 2005).

Kebutuhan terhadap Lahan Pertanian
                Hampir disepakati oleh seluruh pihak, bahwa visi untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri merupakan sesuatu yang mutlak. Salah satu komponen kemandirian tersebut adalah kemandirian dalam hal pangan. Di luar pangan, kita juga memiliki potensi yang besar untuk merebut pasar dunia misalnya untuk komoditas karet, kelapa sawit, kakao, kopi, teh, lada, serta perikanan dan kehutanan.

Dalam konteks kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5 komoditas sebagai komoditas pokok, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan sapi. Seluruh komoditas kecuali peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau disebut sebagai land based agricultural .

Jika Indonesia ingin berswasembada untuk keempat jenis pangan tersebut, maka untuk saat ini saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan tersebut dapat berupa lahan sawah maupun lahan kering, namun memenuhi untuk penanaman tanaman semusim seperti halnya jagung dan kedelai.

Tanah yang Tersedia untuk Pertanian      

                Secara umum, data yang dipublikasikan tentang ketersediaan tanah serta yang telah digunakan saat ini tidak akurat dan tidak konsisten. Demikian pula dengan data tentang potensi tanah yang dapat menjadi areal untuk pertanian.
                Menurut data di Badan Pertanhan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.
                Dalam konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga daya dukung lahan dan prinisp sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya (Tabel 2). Sesuai dengan fungsinya dan kepatutan penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah berupa hutan, sedangkan kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan non-hutan, yaitu untuk pertanian dan non-pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain).
                Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan lindung yang seharusnya berupa hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian.

                Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian adalah data spasial (peta) potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting tentang distribusi, luasan, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang dapat diterapkan. Namun, hingga saat ini, informasi sumberdaya lahan tersebut belum tersedia secara menyeluruh pada skala yang memadai. Sebagai contoh, informasi sumberdaya lahan yang tersedia di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) Badan Litbang Pertanian hanya peta pada skala eksplorasi (1:1.000.000), sedangkan data/peta pada skala tinjau (1:250.000) baru sekitar 57 persen dari total wilayah Indonesia, dan peta pada skala semi detil hingga detil (1:50.000 atau lebih besar) hanya sekitar 13 persen dari total wilayah. Peta pada skala eksplorasi (1:1.000.000) hanya sesuai digunakan sebagai acuan untuk perencanaan atau arahan pengembangan komoditas secara nasional. Sedangkan untuk tujuan operasional pengembangan pertanian di tingkat kabupaten/kecamatan, diperlukan peta sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 atau lebih besar.
                Berbeda dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,4 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokuemn RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta ha.
                Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
                Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini, ditemui data yang beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha.
                Total areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, mencakup mulai dari sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan wilayah pertanian.
                Lebih jauh dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan  sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar. Dalam dokumen tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar.           

                Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1 juta hektar di antaranya terjadi di Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan kondisi infrastruktur yang juga lebih mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian.

                Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003).
                Salah satu potensi yang sampat saat ini kurang diperhatikan adalah keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yang tersebar dibanyak propinsi, namun yang terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha), Papua (4,2 juta ha), dan Sulawesi (1,2 juta ha). Dengan teknologi yang ada, petani telah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Namun dengan peningkatan teknologi, yaitu pada skala penelitian, telah mampu dihasilkan 7-8 ton gabah per ha. Selain untuk padi sawah, lahan rawa  juga sesuai untuk palawija yaitu jagung dan kedelai.

 Kebijakan Lahan Abadi
Dalam Program RPPK, program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui tiga bentuk. Satu, pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) di 13 propinsi, yang diprioritaskan pada wilayah dengan kendala minimum. Peta lahan terlantar tersebut sudah tersedia dalam skala 1 : 50.000. Total luas lahan alang-alang adalah sekitar 8,5 juta. Lahan ini sangat berpeluang dikembangkan baik untuk tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi dimana infrastruktur cukup baik dan tenaga kerja tersedia.

Dua, pengendalian konversi lahan sawah. Konversi lahan sawah ke non pertanian yang sekarang total 110.000 ha per tahun (antara 1999-2002), diharapkan dapat diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun mulai tahun 2009, dan secara bertahap mendekati nol. Lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok.
                Tiga, perluasan areal sawah dan lahan kering terutama ke luar Jawa. Dari sisi hukum, tanah negara yang berpotensi untuk perluasan pertanian, terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini dapat diperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola secara baik dan ramah lingkungan. Saat ini, sudah ada 4,5 juta ha lahan yang diberikan HGU oleh pemerintah, yang setengahnya berada di Pulau Sumatera.

                Salah satu kebijakan terbaru berkenaan dengan permasalahan lahan, adalah kebijakan “lahan abadi”. Pemerintah telah menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan.  Lahan ini akan dibagi menjadi dua, yakni 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi, dan 15 juta hektar merupakan lahan kering. Lahan tersebut tersebar di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk menjaga ketersediaan pangan nasional.           

Kesimpulan dan Saran Kebijakan

                Penulis tidak mengerti hukum, namun penulis berharap bagaimana istilah-istilah misalnya “produksi pertanian”, “ketahanan pangan”, dan “skala usaha ekonomis-minimal” dapat masuk ke dalam amandemen UUPA. Intinya adalah bagaimana “aspek penggunaan” dibuat lebih sejajar dengan “aspek penguasaan”, karena jika kita bicara reforma agraria keduanya harus dijalankan secara bersamaan. Revolusi hijau yang hanya memperhatikan “aspek penggunaan tanah” terbukti tidak berhasil optimal. Di sisi lain, betapa banyak petani yang melepaskan tanahnya ke pihak lain, karena mereka tidak cukup menguasai modal untuk mengolah tanahnya sendiri secara baik. Tanah yang sudah dikuasainya (aspek pertama) tidak bermakna ketika ia tidak mampu mengolahnya sendiri (aspek kedua).

Daftar Pustaka

Anonim1. “Tahun 2025 Penduduk Indonesia 273,7 Juta: Lansia, Pengangguran, dan Penduduk Miskin Bertambah”. http://www.embassyofindonesia.org/ beritaUTama/05/Agustus/3%20-%20Penduduk%20Indonesia.htm, 2 januari 2006.
Badan Litbang Pertanian. 2005. e-Files Buku Komoditas Pertanian dan Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. http://www.litbang.deptan.go.id/b1lahan.php, 5 januari 2006.
Husodo, Sisiwono Y. 2005. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian. Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds) 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Husodo, Siswono Y. (Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). 2005. Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0305/26/ekonomi/330983.htm, 5 Januari 2006.
Kepala BPN. 2001. “Pertanahan Indonesia: Suatu Retrospeksi”. Paper: disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional dihadapan Ibu Wakil Presiden Republik Indonesia di Istana Wakil Presiden RI, tanggal 12 Februari 2001.
Kompas. 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. 9 Februari 2003. Hal 25.
Kompas. 2005 Konsumsi Masih Tinggi: Produksi Beras Tetap Menjadi Masalah Besar di Masa Depan. Kompas. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/05/ekonomi/1949849.htm
Menteri Pertanian. 2005. Produktivitas Benih Padi Tak Cukupi Kebutuhan Pangan 2025. Business & Economy. JAKARTA, investorindonesia.com. Selasa, 09 Agustus 2005, 17:34 WIB. http://www.investorindonesia.com/news.html?id=1123585496, 20 Desember 2005.
Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun. 2002. Kajian pembaruan agraria dalam mendukung pengembangan usaha dan sistem agribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor.
Tempo Interaktif. ”30 Juta Hektar Lahan Abadi Pertanian”.
Selasa, 11 Oktober 2005. 
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional /2005/10/11/brk,20051011-67816,id.html, 20 desember 2005.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.

*****

 

Rabu, 29 Agustus 2012

Rekonseptualisasi Lembaga dan Organisasi


Rekonseptualisasi Lembaga dan Organisasi untuk Teori dan Praktek Penyuluhan Pertanian Yang Lebih Efektif

Oleh: Syahyuti (Peneliti Madya pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor dan kandidat doktor sosiologi pada Universitas Indonesiam, Depok). Disampaikan pada Pertemuan Nasional Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian Indonesia, di Universitas Padjajaran tanggal 25-26 Januari 2012

Sebagian besar kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia selalu mengandalkan wadah organisasi formal petani, terutama kelompok tani dan Gapoktan.  Semua petani diharapkan berada dalam organisasi, untuk mengefisienkan komunikasi. Namun, keberhasilannya sangat terbatas. Penyebab utamanya adalah karena pemerintah (melalui Penyuluh Pertanian), LSM dan Perguruan Tinggi sering keliru dalam memahami konsep, teori dan praktek tentang lembaga (institution) dan organisasi (organization). Mereka beranggapan organisasi formal adalah satu-satunya pendekatan, dan bahwa dengan menggunakan organisasi dianggap telah menyentuh aspek-aspek lembaga dan kelembagaan. Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru, organisasi formal adalah sebuah opsi belaka, karena ada banyak cara untuk memberdayakan petani melalui aspek lembaga.

Kata kunci: lembaga, organisasi, paham kelembagaan baru, penyuluhan, petani.

PENDAHULUAN

Lembaga (institution) dan organisasi (organization) bukan objek yang tergolong mainstream utama dalam khasanah ilmu sosiologi. Namun, “lembaga”, “kelembagaan”, dan “organisasi” merupakan kosa kata yang sangat akrab sehari-hari yang digunakan dalam berbagai ruang rapat, seminar, ruang pelatihan dan kampus, serta dalam berbagai literatur dan produk-produk legislatif. Sayangnya, pemaknaan terhadap objek ini banyak yang kabur, keliru, dan tumpang tindih; sehingga sangat membingungkan.
Mulai dari penyuluhan era Bimas tahun 1960-an sampai “era pemberdayaan” saat ini, mengorganisasikan petani secara formal merupakan pendekatan utama pemerintah untuk pemberdayaan petani. Hampir pada semua program, petani disyaratkan untuk berkelompok oleh Penyuluh Pertanian. Kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang tunai), dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana program (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006). Untuk mewujudkan ini, telah dihabiskan anggaran dan dukungan tenaga lapang yang cukup besar.
Permasalahannya, kelompok-kelompok tersebut tidak berkembang sesuai harapan. Kapasitas keorganisasian mereka lemah, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program (Bourgeois et al., 2003), bahkan menjadi kendala dalam pelaksanaan program (PSEKP, 2006). Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah membangun organisasi petani (Hellin et al., 2007: 5; Grootaert, 2001), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi (Stockbridge et al., 2003).
Ada banyak pendapat apa penyebab kegagalan ini, misalnya karena kurang dihargainya inisiatif lokal (Taylor dan  Mckenzie, 1992), pendekatan yang seragam (blue print approach) (Uphof, 1986), kurang mengedepankan partisipasi dan dialog (Amien, 2005), lemahnya kemampuan aparat pemerintah (Bourgeois et al., 2003), dan karena menggunakan paradigma yang kurang tepat (Chambers, 1987; Nordholt (1987). 
Ironisnya, meskipun terbukti gagal, sampai sekarang berbagai kebijakan masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan. Lihat misalnya Peraturan Menteri Pertanian No: 273/kpts/ot.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani, serta Keputusan Menko Kesra No: 25/Kep/Menko/Kesra/vii/2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Mandiri. Selain pemerintah, pihak LSM bahkan perguruan tinggi, juga mendukung keyakinan ini. Untuk menjelaskan fenomena ini, baik pada level teori maupun praktek, digunakan pendekatan konsep dan teori kelembagaan, dengan konsep pokok ”lembaga” (institutions) dan ”organisasi” (organization).   

Kekacauan Konsep dan Teori Lembaga dan Organisasi

Pada awalnya studi terhadap lembaga terpisah dari studi terhadap organisasi, namun kemudian menyatu dalam bentuk kajian kelembagaan baru (new institutionalism). Dalam paper ini, kata “lembaga” merupakan terjemahan langsung dari “institution”, dan kata “organsiasi” sebagai terjemahan “organization”; sementara “kelembagaan” sebagai terjemahan “institutional” dan keorganisasian untuk “organizational”. Meskipun terminologi ini tampak begitu sederhana[1], namun sesungguhnya selama ini penerjemahan kedua kata ini dari bahan bacaan berbahasa Inggris ke Bahasa Indonesia telah dibuat membingungkan oleh banyak penulis.

Ketidakkonsistenan konsep di level akademisi

Penggunaan istilah ”institution” pada literatur berbahasa Inggris, ataupun istilah ”lembaga” dan ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia cenderung tidak konsisten dan tidak memperoleh pengertian yang sama antar ahli, demikian pula dengan konsep ”organization” [2]. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution” menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”.
Penyebabnya adalah karena banyak pihak yang menulis tentang objek ini namun tidak mengembangkan konsep dan teorinya. Ketidaksepakatan ini dinyatakan oleh Uphhof (1986: 8) bahwa: “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of continuing debate among social scientist….. The term institution and organization are commonly used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion”. Richard Scott yang telah merangkum seluruh perkembangan teori kelembagaan juga menemukan hal serupa. Scott (2008: vii) menyatakan bahwa: “The existing literature is a jungle of conflicting conceptions, divergent underlying assumptions, and discordant voices”. Ia menemukan penggunaan asumsi yang berbeda dan penuh pertentangan satu sama lain. Sementara, Soemardjan dan Soemardi juga mengakuinya. “Belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’……. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ ….. ada pula yang ‘bangunan sosial’” (Soemardjan dan Soemardi, 1964; 61). ”The words ‘institution’ and ‘organization’ are usually used interchangeably or inclusively and often lead to misunderstandings and misguided interventions” (Lobo, 2008).
Penggunaan istilah ”institution” dan ”organization” dalam literatur berbahasa Inggris sering kali juga tidak konsisten (lihat Horton dan Hunt, 1984). Sebagian mendefiniskan social institution yang mencakup aspek organisasi, sebaliknya ada yang memasukkan aspek-aspek lembaga dibawah topik social organization. Para ahli menggunakan entry istilah yang berbeda, namun membicarakan hal yang sama [3].
Dalam hal konsep, terutama pada literatur-literatur di Indonesia, setidaknya ada empat bentuk cara pembedaan antara lembaga dan organisasi. Literatur berbahasa Indonesia biasanya menggunakan kata “kelembagaan”, karena mereka menggunakan “lembaga” sebagai sebutan lain untuk “organisasi”. Pembedaan tersebut adalah: (1)  tradisional dan modern[4], (2) asal pembentukannya dari bawah dan atas (Tjondronegoro, 1999: 22), (3) berbeda level namun dalam satu kontinuum (Uphoff, 1986: 8; Huntington, 1965: 378), dan (4) pembedaan dimana organisasi merupakan elemen dari lembaga[5].
Pada kalangan ahli di dunia internasional sekalipun, yang dapat dilacak dari literatur-literatur berbahasa Inggris, sebagaimana ahli ekonomi kelembagaan (Douglass C. North[6] dan Lionel Robbins [7]) dan pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism) (Scott, 1995;  2008); kedua objek ini pada awalnya berbaur lalu kemudian menjadi terpisah [8]. Ini karena penulis bersangkutan hanya mengenal satu kata saja dalam menerangkan fenomena sosial: institution saja, atau organization saja[9]. Sebagian penulis tidak sadar atau kurang perduli dengan penggunaan istilah ini.
Studi terhadap lembaga dan analisis bagaimana lembaga mempengaruhi individu dalam masyarakat dimulai kalangan sosiologi abad ke-19 dan 20 misalnya Max Weber pada studi birokrasi dan bagaimana birokrasi mempengaruhi cara berprilaku masyarakat (Weber, 1914). Perhatian terhadap lembaga cukup konstan dari masa ke masa meskipun menggunakan berbeda istilah (Scott, 2008: 8).  Melalui pendekatan teori perilaku (behavioural theory) dan teori pilihan rasional (rational choice theory), studi kelembagaan menjadi  lebih mikro dan individual.
Dalam dekade sosiologi klasik, Spencer misalnya melihat masyarakat sebagai sebuah sistem organis yang terbentuk oleh proses waktu. Sementara bagi Sumner, lembaga berisi konsep (ide, notion, doktrin, interest) dan sebuah struktur (Sumner dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67), sementara Cooley melihat pada kesalinghubungan antara individu dengan lembaga dalam konteks self dan structure. Perilaku individu terbentuk atau terpengaruh oleh lembaga tempat dimana ia hidup (Scott, 2008: 10). Dalam kurun ini pula, Durkheim  menjelaskan masyarakat dengan memberi perhatian terhadap lembaga yang menghasilkan keteraturan kolektif yang didasarkan pada tindakan-tindakan rasional (Durkheim, 1965). Bagi Durkheim, lembaga sosial adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan otoritas moral (Dalam Scott, 2008: 12).
Norma sebagai pembentuk perilaku banyak menjadi perhatian kalangan sosiologi klasik, misalnya Weber dan Parsons. Menurut Parsons lembaga adalah ”sistem norma yang mengatur relasi antar ndividu, yakni bagaimana relasi individu semestinya” (Scott, 2008: 14-15). Nilai dan norma juga merupakan aspek yang dikaji oleh Durkheim (dalam Suicide, tahun 1968). “ …. Social integration and individual regulation through consensus about morals and values”. Demikian pula  dengan Soekanto (1999: 218) yang menyebut bahwa lembaga adalah sebagai jelmaan dari kesatuan norma-norma yang dijalankan atau diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Dalam konteks ini pula Sumner atau Cooley memaknai lembaga sebagai “established norm” (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 75). Sementara Uphoff (1992) mendefinisikan   lembaga sebagai “a complex of norms and behaviours that persist overtime by serving some socially valued purpose”.
Pada perkembangan yang lebih baru, beberapa sosiolog memberikan perhatian pada pengetahuan sebagai faktor pembentuk perilaku individu  di tengah masyarakat. Bourdieu misalnya, melalui perjuangan simbolik, mendeskripsikan bagaimana kekuatan beberapa kelompok menekankan kerangka  pengetahuan dan konsepnya tentang realitas sosial terhadap  pihak lain (Ritzer, 1996; Perdue, 1986). Demikian pula dengan Berger dan Luckmann (1976), yang fokus pada penciptaan realitas sosial yang memandang bahwa lembaga adalah pola perilaku (pattern of conduct) untuk mencapai kebutuhan (end).
Sementara, studi tentang organisasi diawali dengan studi tentang birokrasi oleh Weber (Colignon, 2009), lalu Robert Merton yang dengan kerangka kerja Weber membangun teori lebih rendah (middle range theory), dan dilanjutkan Selznick dengan menggunakan teori struktural fungsional dan membangun pendekatan kelembagaan lama (old institutional). Selznick menekankan pentingnya kontrol norma (normative controls) yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi (internalized) aktor dan menekannya dalam situasi sosial (social situations). Pendekatan kelembagaan baru terhadap organisasi dimulai dari  usaha Meyer and Rowan (tahun 1977) yang membangun dari pendekatan kelembagaan Selznick. Mereka mempelajari “ ……how organizational decision making is shaped, mediated, and channeled by normative institutional arrangements (DiMaggio, 1991).
Saat ini, disadari bahwa kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh norma dan harapan (expectations), juga oleh teknologi dan pasar (Colignon, 2009). Berkembang pula pendekatan jaringan organisasi (organizational networks) yang digabungkan dengan persoalan “fields” serta relasi dengan negara (state-organization relations) (Casey, 2002: 4-5). Masyarakat modern dicirikan oleh kehidupan berorganisasi [10].
Interaksi antara Teori Kelembagaan (Institutional Theory) dan Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (New Institutionalisme Theory). Menurut Scott (2008: vii) studi lembaga dan organisasi mulai berinteraksi semenjak era 1970-an,  yaitu dengan tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan lapangan organisasi (organization fields). Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber dengan teori birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap organisasi, Herbert Simmon yang berkerjasama dengan James G. March yang mempelajari sifat atau ciri rasionalitas pada organisasi, Selznick yang mempelajari teori kelembagaan terhadap organisasi (Scott, 2008: 20-23),  serta Victor Nee dalam konteks analisa kelembagaan (institutional analysis) yang mempelajari hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (institutional settings) [11].
Pertautan ini menurut Nee dan Ingram (1998) berasal dari teori pilihan rasional dengan teori kelekatan (embeddedness theory). Riset-riset dalam konteks kelembagaan baru berkaitan dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku manusia melalui aturan-aturan (rules), norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural-cognitive) yang dibangun dan dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive), dimana individu bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial.
Pendekatan mikro terhadap teori kelembagaan (microfoundations of Institutional Theory) relatif sejalan dengan ini. Dalam pandangan mikro ini, dipelajari bagaimana individu memposisikan dirinya dalam relasi sosial dan memahami konteks yang melingkupinya, serta bagaimana orang-orang dalam organisasi menjaga dan mentrasformasikan kekuatan-kekuatan kelembagaan dalam praktek hidup sehari-hari (Powell dan Colyvas, 2008). Melalui kacamata mikro ini akan dapat menjelaskan kondisi makro. Sumbangan lain diberikan Battilana (2006), dimana studinya dengan menggunakan analisis pada level individual (dengan kerangka Bourdieu), sesuatu yang selama ini diabaikan kalangan kelembagaan baru; mendapatkan bahwa posisi sosial individu merupakan satu variabel kunci dalam memahami bagaimana mereka dapat menjadi seorang institutional entrepreneurs dalam satu tekanan kelembagaan.
Powell dan DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new institutionalism” dengan menolak model aktor rasional dari ekonomi klasik. Menurut Scott (2008: 36), teori kelembagaan baru adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi [12]. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi. Ada 3 elemen yang disebut dengan pilar (pillar) yang membangun lembaga yakni aspek regulatif, normatif, dan aspek kultural-cognitif [13].

Ketidakkonsistenan Istilah dalam Produk Legislasi Pemerintah

Secara umum, dalam berbagai produk hukum yang dikeluarkan pemerintah, istilah yang dipakai adalah “kelembagaan” dan “organisasi”. Kadang-kadang juga digunakan istilah “lembaga” sebagai kata lain untuk organisasi.
Dalam dokumen Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan  (RPPK) tahun 2005, dibedakan antara ”kebijakan pengembangan kelembagaan” dengan ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi petani”. Masing-masing pada sub bab berbeda. Dalam dokumen ini, ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah hal berbeda, dimana kelembagaan  adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”, sedangkan organisasi  berada di level petani. Sesuai dengan rekonseptualisasi yang saya susun di buku ini, maka kedua hal ini merupakan “organisasi”.
Dalam Sub Bab Kebijakan Pengembangan Kelembagaan, objek yang diatur adalah lembaga keuangan perdesaan, sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu produk-produk. Kata “lembaga” disini jelas adalah organisasi menurut konsep sosiologi. Sementara, pada bagian Kebijakan Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani, mencakup kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan  kelembagaan ekonomi petani di perdesaan. Kata “kelembagaan” di kalimat terakhir ini bermakna sebagai kesalinghubungan berbagai organisasi dalam menjalankan satu urusan, misalnya bagaimana relasi antara Pemerintah Daerah dengan kelompok tani dalam mencapai ketahanan pangan.              
Contoh kedua adalah Permentan No. 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Dalam bagian batasan tidak dicakup apa itu lembaga, kelembagaan, dan organisasi”; meskipun sebenarnya ini merupakan hal yang sangat mendasar dalam dokumen ini. Pada bagian Pengembangan Kelompok Tani tertulis: “Menumbuhkembangkan kemampuan manajerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan kelembagaan tani serta pelaku agribisnis lainnya”. Lalu, “Memfasilitasi penumbuhan dan pengembangan kelembagaan tani baik non formal maupun formal serta terlaksananya berbagai forum kegiatan, dan “Menginventarisasi kelompoktani, GAPOKTAN dan kelembagaan tani lainnya yang berada di wilayah kabupaten /kota. Dalam kalimat-kalimat ini digunakan istilah “kelembagaan tani”, yang maksudnya adalah organisasi-organisasi milik petani.
Sementara, pada kalimat Merencanakan dan melaksanakan pertemuan-pertemuan berkala baik di dalam Gapoktan, antar Gapoktan atau dengan instansi/lembaga terkait, kata “lembaga” disini bermakna sebagai organisasi milik pemerintah. Dalam ilmu sosiologi, ini tergolong organisasi.
Dalam Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyaraat (PNPM) Mandiri tahun 2008, bagian tujuan point b tertulis Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif, dan akuntabel. Lalu, pada kalimat “PNPM Mandiri diarahkan menggunakan dan mengembangkan secara optimal kelembagaan masyarakat yang telah ada”. Kata “kelembagaan masyarakat” disini bisa dimaknai sebagai organisasi. Namun pada kalimat  “Dimensi kelembagaan masyarakat meliputi proses pengambilan keputusan dan tindakan kolektif, organisasi, serta aturan main”, maknanya sudah mencakup aspek-aspek lembaga.
Pada bagian lain tertulis: “Harmonisasi kelembagaan dilakukan melalui pengembangan dan penguatan kapasitas kelembagaan yang telah ada dengan cara meningkatkan kapasitas pengelola, memperbaiki kinerja dan etika lembaga, dan meningkatkan tingkat keterwakilan berbagai lembaga yang ada”. Dari kalimat ini, kata “harmonisasi kelembagaan” lebih tepat disebuti sebagai  manajemen kegiatan, sedangkan “kelembagaan yang telah ada” adalah organisasi.
Sementara pada kalimat “Konsolidasi organisasi pelaksana program sektor yang bersifat adhoc dan koordinasi berbagai kelompok masyarakat yang ada oleh lembaga keswadayaan masyarakat di desa/ kelurahan” dan ”Kelembagaan PNPM Mandiri di desa/kelurahan adalah lembaga keswadayaan masyarakat yang dibentuk, ditetapkan oleh masyarakat, ...”; istilah Lembaga keswadayaan masyarakat (LKM) yang dimaksud disini hanya sebutan (= nama organik) untuk sebuah organisasi kecil beranggotakan biasanya 5 orang. Mereka mengajukan dana pinjaman ke pengelola PNPM yang disebut dengan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), dimana mereka menjalankan kegiatan ekonomi misalnya 5 orang ibu-ibu yang semuanya menjalankan usaha jahit menjahit.
Contoh terakhir, adalah Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 1 point 17 tertulis ”Kelembagaan petani, pekebun, peternak nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk pelaku utama”. Kata “kelembagaan” dan “lembaga” disini mestinya diganti dengan organisasi. Demikian pula pada point  25: ”Kelembagaan penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan/ atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan”; juga Pasal 8 Kelembagaan penyuluhan terdiri atas: kelembagaan penyuluhan pemerintah; kelembagaan penyuluhan swasta; dan kelembagaan penyuluhan swadaya”; dan Pasal 9 Badan penyuluhan pada tingkat pusat mempunyai tugas ....”..Dalam UU ini tidak ditemukan penggunaan kata “organisasi” sama sekali.
Kesan kuat yang tampak dari berbagai dokumen ini adalah: Pertama, tidak ada kesamaan konsep antar produk legislasi dan pedoman kegiatan, sehingga membingungkan petugas lapang termasuk penyuluh. Kedua, bahwa mengorganisasikan petani dalam organisasi formal merupakan sebuah upaya lembaga dan kelembagaan. Ketiga, pembentukan organisasi formal dan bekerja hanya dengan organisasi formal, merupakan pendekatan yang ideal. Tanpa sadar pendekatan ini telah meminggirkan petani-petani yang tidak berorganisasi. Petani ini tidak akan pernah memperoleh bantuan dan dukungan apapun dari pemerintah. Penyuluh Pertanian pun kurang memperdulikannya. 

Rekonseptualisasi “lembaga dan organisasi” yang lebih operasional sesuai dengan Pendekatan Kelembagaan Baru

Menghadapi berbagai kekeliruan dan ketidaksepakatan ini, saya mengusulkan perumusan rekonseptualisasi sebagaimana matrik berikut.

Rekonseptulasisasi “lembaga” dan “organisasi”
Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris
Sering diterjemahkan menjadi
Terminologi semestinya
Batasan dan materi di dalamnya
1. institution
Kelembagaan, institusi
Lembaga
Berisi norma, nilai, regulasi, pengetahuan, dll.  Menjadi pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi)
2. institutional
Kelembagaan, institusi
Kelembagaan
Hal-hal berkenaan dengan lembaga.
3. organization
Organisasi, lembaga
Organisasi
Adalah social group, aktor sosial, yg sengaja dibentuk, punya anggota, untuk mencapai tujuan tertentu, dimana aturan dinyatakan tegas. Misal: koperasi, kelompok tani, kantor pemerintah.
4. organizational
Keorganisasian, kelembagaan
Keorganisasian
Hal-hal berkenaan dengan organisasi. Misal: kepemimpinan, keanggotaan, manajemen,  keuangan organisasi, kapasitas organisasi, relasi dgn organisasi lain.

   Sesuai dengan pendekatan Teori Kelembagaan Baru, organisasi petani dalam bentuk formal semata-mata hanyalah pilihan. Ia hanyalah aktor sebagaimana aktor individu. Untuk berjalannya pembangunan  pertanian, atau aktivitas agribisnis khususnya, yang dibutuhkan adalah pengorganisasian petani (dalam makna luas) yang efektif. Indikasinya adalah berjalannya agribisnis yang dikelola petani secara efektif dan efisien. Setiap transaksi dapat dijalankan dengan biaya murah, dan tersedia jaringan antar pelaku dengan bentuk terpola sehingga dapat menjadi wadah yang dapat diakses petani dengan mudah.
Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjalankan tindakan kolektif, dengan keyakinan bahwa tindakan kolekif lebih murah dan efektif. Untuk mewujudkan  tindakan kolektif dibutuhkan daya kohesi, relasi sosial yang stabil, adanya hierarki, dan saling percaya dalam relasi yang saling tergantung (Beard dan Dasgupta, 2006). Menurut King (2008), agar tindakan kolektif berjalan, maka harus dapat ditemukan cara untuk memotivasi individu agar mau melibatkan diri. Untuk ini dibutuhkan struktur yang memobilisasi agar tindakan kolektif berjalan.
Organisasi hanya salah satu wadah dalam menjalankan tindakan kolektif. Tanpa organisasi sekalipun, tindakan kolektif masih dapat dijalankan (Davis et al., 2009). Tindakan kolektif yang selama ini gagal dijalankan dalam organisasi-organisasi formal petani di Indonesia, tampaknya disebabkan karena petani-petani telah memiliki berbagai relasi sebagai sandaran untuk menjalankan berbagai tindakan kolektif, dimana relasi-relasi tersebut berada di luar organisasi-organisasi formal. Mereka enggan berorgansiasi karena kompensasi yang diterima tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh (Hellin et al. 2007). Perilaku demikian didasari oleh seperangkat rasionalitas tersendiri.
Lembaga, yang terdiri atas aspek normatif, regulatif, dan kultural-kognitif (Scott, 2008), telah cukup bagi petani untuk bertindak dan menjalin relasi. Lembaga memberi pedoman, serta sekaligus mendorong (enhanced) dan membatasi (constrain) bagi petani. Ini yang dilakukan sebagian besar petani selama ini. Mereka mengandalkan lembaga untuk menjalin relasi dengan pemilik lahan, dengan pedagang sarana produksi, dalam mencari tenaga kerja buruh tani, dan seterusnya. Bahkan untuk petani yang sudah masuk dalam kelompok tani sekalipun, mereka masih mengandalkan relasi di luar kelompok tani dalam menjalankan agribisnisnya.
Selain dalam organisasi (formal), tindakan kolektif juga berjalan dalam  jaringan. Menurut teori jaringan, relasi para aktor bersifat saling tergantung satu sama lain, sehingga seseorang tidak akan mampu mencapai tujuan-tujuannya tanpa menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki oleh orang lain. Mekanisme kesalingtergantungan ini berjalan melalui pertukaran sumber daya antar aktor. Kemudian, interaksi dan mekanisme pertukaran sumberdaya-sumberdaya dalam jaringan itu akan terjadi secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan keseharian. Keberulangan dan kontinuitas proses-proses itu kemudian secara bertahap akan memunculkan suatu aturan yang mengatur perilaku mereka dalam jaringan.
Dengan demikian, pengembangan keorganisasian petani setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip, yaitu: (1) pemerintah dan pelaku pemberdayaan lain mesti mempertimbangkan bahwa organisasi formal bagi petani hanyalah sebuah opsi, bukan keharusan yang mutlak; (2) organisasi hanyalah alat, bukan tujuan; (3) petani sepantasnya dihargai sebagai individu yang rasional; (4) bentuk organisasi yang ditawarkan ke petani sebaiknya adalah yang mampu memperkuat relasi vertikal petani dengan pelaku lain, jangan hanya terbatas pada relasi horizontal belaka (misalnya dalam kelompok tani).

Kesimpulan dan Implikasi
  
Pemberdayaan petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal, sementara pasar cenderung menekan petani (secara individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan menguntungkan. Sesuai dengan tekanan kultur pasar, petani tidak harus berperilaku secara kolektif dalam kelompok-kelompok formal.
Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru (New Instituionalism) perilaku petani dipersepsikan sebagai sebuah tindakan yang sadar dan rasional sesuai dengan konteks sosial politik yang mereka miliki dan berbagai kekuatan yang melingkupi mereka. Dengan dasar ini, maka pemberdayaan petani dimasa mendatang tidak mesti melalui organisasi formal. Ada banyak upaya yang dapat dijalankan dalam konteks pengembangan lembaga petani, baik dari sisi normatif, regulatif, maupun kultural-kognitifnya. Misalnya adalah dengan mengandalkan basis nilai-nilai kerjasama dalam komunitas serta menggunakan relasi-relasi primordial untuk mendapatkan buruh tani yang bisa dipercaya. Dengan pelayanan dan distribusi sarana produksi yang baik, petani bisa memperoleh benih dan pupuk misalnya tanpa harus masuk koperasi.

Daftar Pustaka

Amien, Mappadjantji. 2005.  Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Badan Litbang Pertanian. 2006. Buku Panduan Umum Primatani. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005 – 2025. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Jakarta
Badan SDM Deptan. 2007. Program P4K. Pusbangluh, Deptan. Jakarta.
Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun 2006. Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006.  Badan SDM Pertanian, Deptan. Jakarta.
Beard, Victoria A. and Aniruddha Dasgupta. 2006. Collective Action and Community-driven Development in Rural and Urban Indonesia. Urban Studies, Vol. 43, No. 9, 1451–1468, August 2006. Sage Publication and Urban Studies Journal Limited. http://usj.sagepub.com
Berger, Peter and Thomas Luckman. 1979. The Sosial Construction of Reality: A Treative in The Sociology of Knowledge. Penguin Book, New York.
Bourgeois, Robin; Franck Jesus; Marc Roesch; Nena Soeprapto; Andi Renggana; and Anne Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization.
Casey, Catherine. 2002. Critical Analysis of Organizations: Theory, Practice, Revitalization. SAGE Publications: London, Thousand Oaks, New Delhi. First edition.
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.
Colignon, Richard A. 2009. St. Louis University, St. Louis, Missouri. "The Sociology of Organization." 21st Century Sociology. 2006. SAGE Publications. 8 Sep. 2009. http://sage-ereference.com
Davis, Peter; Rafiqul Haque;  Dilara Hasin; and Md. Abdul Aziz. 2009. Everyday Forms of Collective Action in Bangladesh: Learning from Fifteen Cases. CAPRi Working Paper No. 94. International Food Policy Research Institute: Washington, DC. http://dx.doi.org.
Douglass C. North.  “Prize Lecture: Lecture to the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993. http://nobelprize.org. 27 April 2005.
Durkheim, Emile.  1965. The Elementary Forms of The Religious Life. The Free Press, New York.
Durkheim, Emile. 1968. Suicide: A Study in Sociology. The Free Press, New York dan Coliier-MacMillan, Canada.
Grootaert, Christiaan. 2001. Does Social Capital Help the Poor?:  A Synthesis of Findings from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia. The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network. Local Level Institutions Working Paper No. 10, June 2001.
Hellin, Jon; Mark Lundy;  and Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007. Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington.
King, Brayden. 2008. A Social Movement Perspective of Stakeholder Collective Action and Influence. Sage Publication and International Association for Business and Society. http://bas.sagepub.com
McKone, CE. 1990. FAO People's Participation Programme - the First 10 Years: Lessons Learnt and Future Directions. Human Resources  Institutions and Agrarian Reform Division, Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1990.
Nee, Victor dan Paul Ingram. 1998. Embeddednes and Beyond: Institutions, Exchange, and Social Structure. Dalam: Brinton, Mary C. dan Victor Nee. The New Institutionalism in Sociology. Russel Sage Foundation, NewYork. 
Nee, Victor. 2005. The New Institutionalism in Economics and Sociology.  Dalam: The Handbook of Economic Sociology. 2nd ed. Niel J. Smelser dan Richard Swedberg (eds.) Princeton University Press.
North, Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org. 27 April 2005.
Nordholt , Nico Schulte. 1987. Ojo Dumen: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Pustakan Sinar Harapan. Jakarta.
Perdue, William D. 1986. Sosiological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Mayfield Publishing Company. Palo Alto, California.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). 2006. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian. Laporan Penelitian. Biro Perencanaan Deptan dan PSEKP, Jakarta.
Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Robin, Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu. 25 Oktober 2005.
Scott, Richard W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266 hal.
Scott, Richard W. 1995. Institutions and OrganizationsFoundations for Organizational Science: Foundations for Organizational Science. A Sage Publications Series. Sage Publications, Inc.
Soemardjan, Selo dan S. Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. hal. 61.
Soekanto, Soejono. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cet ke 28. 
Sunito, Satyawan dan  Saharuddin. 2001. Farmer Organizations in Upland Natural Resource Management in Indonesia. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 29. This report is part of the ASB Project in Indonesia. The Asian Development Bank, under RETA 5711, financially supported this specific work.
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.
Tjondronegoro, SMP. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Dalam buku “Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan”. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tjondronegoro, Sediono M.P. 1990. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa (pp 3-14). Majalah Prisma No. 2 tahun 1990.
Uphoff, Norman. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press, Cornell University, USA.
Weber, Max. 1914. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Edited by Guenther Roth and Claus Wittich. University of California Press: Berkeley, Los Angeles, London.

*****


[1] Satu buku yang belakangan ini sangat populer di Indonesia, yaitu buku “Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Aplikasi” yang ditulis oleh A. E. Yustika, menerjemahkan institution dan institutional menjadi “kelembagaan” saja.
[2] Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institution” dalam literatur berbahasa Inggris. Contohnya, ”kelembagaan”  sering digunakan untuk menyebut organisasi petani pengguna air di Bali yaitu”subak”, padahal dalam literatur berbahasa Inggris subak biasanya disebut sebagai ”nonformal organization”.
[3] Soekanto (1999) dan Hebding dan Glick (1994: 301-2) misalnya hanya mengenal istilah institusi yang disebutnya dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial dan tidak mengenal sub bab organisasi sosial secara khusus. Untuk organisasi dengan pembahasan tentang grup, kelompok, dll. Sedangkan Ralph et. al (1977:. 423-4) mengenal istilah social organization dan tak menjadikan institusi atau istilah yang sinonim dengannya sebagai bab atau sub bab. Ini tidak cukup untuk menyimpulkan, bahwa insitusi dikenal di sosiologi sedangkan organisasi dikenal di antroplogi, namun hanya menunjukkan bahwa tiap penulis menggunakan istilah yang berbeda untuk menyebut objek yang sama.
[4] “Some institutional manifestations are indigenous or diffuse and thus are difficult to adress in terms of technical or financial assistance, so we are focusing on organizational structure or channels which have been, or could be, more readily institutionalized” (Uphhof, 1986. Hal. 8). Juga Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraww-Hill Book Company;  Sidney, Tokyo, dan lain-lain. Hal. 211.
[5] Dari kacamata ekonomi, Binswanger dan Ruttan mengemukakan pandangan, bahwa: “An institution is usually defined as the set of behavioral rules that govern a particular pattern of section and relationship. An organization is generally seen as a decision making unit – a family, a firm, a bureau – that exercise control of resources….. the concept of institution will include that of organization” (Binswanger, Hans P.  dan VW. Ruttan.  1978. Induced Innovation: Technology, Institutions and Development. The Johns Hopkins  University Press, Baltimore and London. Hal. 329).
[6] Douglass C. North.  “Prize Lecture: Lecture to the memory of Alfred Nobel, December 9, 1993. (http://nobelprize.org/economics/laureates/1993/north-lecture.html., 27 April 2005.
[7] Lionel Robin. “Understanding Institutions: Institutional Persistence and Institutional Change”. hhttp://www.lse.ac.uk/collections/LSEPublicLecturesAndEvents/ events/2004/20031222t0946z001.htm., 27 April 2005.
[8] Perubahan ini misalnya dapat ditelusuri pada Mitchell, G. Duncan (ed). 1968. hal 172-3, dan di bawah entry social institution dan social organization.
[9] Perhatikan dua definisi berikut antara yang menggunakan social institution dengan yang menggunakan social organization. Objek yang dilihat sesungguhnya sama, namun menggunakan dua kata yang berbeda. Sumner memasukkan aspek struktur ke dalam pengertian kelembagaan: “An institution consist s of a concept (idea, notion, doctrine, interest) and structure. The structure is a framework, or apparatus, or perhaps only a number of functionaries set to-operate in prescribed ways at a certain conjuncture. The structure holds  the concepts and furnishes instrumentalis for bringing it into the world of facts and action in a way to serve the interaest of men in society” (W.G. Sumner. 1906 Folkways. Ginn and Co., Boston. Hal. 53-4. Dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964. hal. 67. Juga dalam Mitchell, 1968. hal. 99). Sebaliknya Cooley  dalam buku Social Organization yang terbit tahun 1909, memasukkan objek mental dalam pembahasannya tentang grup primer. Ia menyatakan: “…. his view of social organization as the ‘diferentiated unity of mental or social life’….. mind and one’s conception of self are shaped through social interaction, and social organization is nothing more than the shared activities and understanding which social interaction requires” (Mitchell, 1968: 173).
[10] Casey mengikuti pemikiran Alain Touraine, yang memandang kehidupan masyarakat modern sebagai: “ ….. society conceived as rationally organized around a central system of institutional and behavioural regulation”. 
[11] Vicki D. Alexander dari University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New Institutionalism in Sociology. Russell Sage Foundation: New York. xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html
[12] Scott merumuskan lembaga sebagai: “…are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities  and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).
[13] Pilar kognitif dalam paham kelembagaan baru berakar dari pemikiran sosiologi pengetahuan yang dibangun oleh Mannheim serta Berger dan Luckman (1979).