Oleh: Syahyuti
(Dimuat dalam Majalah Forum Agro Ekonomi Vol 32 No. 1 tahun 2014)
Abstrak
Pelibatan petani sebagai pendukung dan
pelaku langsung dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama dengan
berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak tani pada
era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan “penyuluhan dari petani ke petani” (farmer
to farmer extension) di P4S, serta pengangkatan penyuluh
swakarsa (tahun 2004), dan terakhir penyuluh
swadaya (sejak tahun
2008). Keberadaan penyuluh swadaya diakui
secara resmi semenjak diundangkannya UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Namun, meskipun sudah berjalan hampir 10 tahun, perkembangan peran penyuluh swadaya belum
optimal. Tulisan ini merupakan review dari berbagai tulisan termasuk penelitian
tentang penyuluh swadaya terakhir, untuk mempelajari potensi dan permasalahan penyuluh
pertanian swadaya saat ini. Ditemukan bahwa penyuluh swadaya memiliki kapabilitas dan posisi sosial yang
khas, sehingga batasan perannya mestilah diberikan secara tepat. Dukungan yang tepat harus diberikan
kepada penyuluh swadaya sebagai sosok penyuluh pertanian yang strategis di masa
mendatang, yang mesti
dibedakan dengan penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta.
Kata kunci: penyuluhan pertanian, paradigma baru
penyuluhan, penyuluh pertanian
swadaya.
Abstract
The involvement of farmers as actors to support extension activities have been underway for a long
time with various approaches. In Indonesia, it started from the involvement of “Kontak Tani” in Supra Insus era, then farmer to farmer
extension at P4S, as well as “Penyuluh Swakarsa” (in
2004), and the last is “Penyuluh Swadaya” (self-help farmer
extension worker) since 2008.
The existence of self-help farmer
extension worker recognized since the
enactment of Law number 16 of 2006 on Extension System of Agricultural, Forestry and Fisheries. However, even
though it runs nearly 10 years, the development of the role of self-help farmer extension worker is not optimal. This paper is a review
of various posts including the recent research on
self-help farmer
extension worker, to study
the potential and problems of self-help farmer extension worker.
It found that the self-help farmer extension worker has a self-help capabilities and
distinctive social position, so the limitation must necessarily be given the
right role. Appropriate support should be given to self-help farmer extension worker as being agricultural extension worker in the future, which must be distinguished by the extension worker of government and private.
Keywords: agricultural extension, new paradigm of agricultural
extension, “self-help farmer extension worker”.
Pendahuluan
Pendekatan dan
strategi penyuluhan konvensional banyak menuai
kritik. Hadirnya sosok penyuluh di Indonesia secara massif (era 1970-an sampai 1990-an) bersamaan dengan implementasi program dengan pendekatan Revolusi Hijau. Akibatnya, berbagai sisi positif dan juga kritik terhadap revolusi hijau dianggap
juga merupakan keberhasilan dan
sekaligus kelemahan dari
penyuluh itu sendiri. Revolusi Hijau misalnya dikritik karena menghasilkan polusi kimia berlebihan,
penyeragaman komoditas, memperbesar ketergantungan petani, dan sering
paket-paket yang disampaikan tidak cocok dengan kebutuhan petani. Metode LAKU (Latihan dan Kunjungan) juga
dikritik karena pengetahuan cenderung berjalan searah dari atas ke bawah, dan agak
memaksa.
Dampak
negatif Revolusi Hijau membuat orang-orang mulai mempersoalkan pula pendekatan
“penyuluhan”. Sebagian orang beralih ke konsep lain, misalnya “pemberdayaan”, namun sebagian tetap dengan konsep
penyuluhan namun dengan pendekatan baru. Mereka berkeyakinan, bahwa tidak ada yang salah dengan
“penyuluhan”. Maka, mereka merumuskan pendekatan baru untuk
penyuluhan.
Berbagai
pemikiran baru untuk memodernkan dunia penyuluhan terangkum dalam UU No. 16
tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, yang
lahir setelah diimpikan semenjak tahun 1980-an oleh para ahli penyuluhan. Salah
satu sisinya adalah tidak hanya melibatkan petani sebagai objek, namun juga
menjadi subjek penyuluhan, yakni dengan mengangkat para penyuluh swadaya yang
berasal dari kalangan petani sendiri. Pengangkatan penyuluh swadaya belum
memiliki pendekatan dan strategi yang matang, namun baru sebatas sekedar
memenuhi kuantitas penyuluh, yang pernah ditarget “satu penyuluh untuk satu
desa”.
Sesuai dengan Permentan No. 72 tahun 2011 tentang Pedoman Formasi
Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, kebutuhan penyuluh pertanian seluruh Indonesia adalah 71.479 orang. Dari jumlah tersebut, yang baru
tersedia adalah 27.961 orang atau hanya 39,4 persen. Kondisi inilah yang membuat pemerintah mengangkat
para penyuluh non PNS yakni PPL Tenaga Harian Lepas (THL) semenjak tahun
2007. Selain itu, untuk mendukung
di lapangan, sesuai dengan mandat UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan, juga diangkat para “Penyuluh
Swadaya”. Meskipun penyuluh swadaya telah diangkat, namun kebijakan pemerintah
daerah dalam manajemen sumber daya manusia penyuluhan berbeda antar wilayah,
sehingga kinerja mereka di lapangan pun bervariasi. Dukungan langsung
kepada penyuluh swadaya masih terbatas, meskipun beberapa Pemda di tingkat
provinsi telah membentuk Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) terpisah dengan
dinas teknis.
Tulisan ini bertujuan menyampaikan bagaimana perkembangan pemikiran tentang
paradigma baru penyuluhan pertanian, dimana keberadaan penyuluh pertanian
swadaya merupakan salah satu implikasinya. Disampaikan pula dinamika
keterlibatan petani sebagai subjek dalam kegiatan penyuluhan di Indoensia,
serta keberadaan penyuluh swadaya saat ini. Diharapkan tulisan ini mampu membuka pemikiran para pengambil kebijakan bahwa penyuluh swadaya mestilah
diposisikan secara tepat, sehingga akan lebih berdaya guna.
Tinjauan Kritis Sistem Penyuluhan
Pertanian Indonesia
Penyuluhan Indonesia selama ini sedikit banyak masih berorientasi sektoral (sector-oriented
extension), dengan ciri berupa promosi komoditas, promosi
penggunaan input tertentu, promosi penggunaan kredit pertanian, dan promosi
pembangunan berkelanjutan berbasiskan sumberdaya alam. Orientasi pada hal-hal
yang lebih bersifat konsultasi masih lemah, dimana selain pada aktifitas di tingkat usahatani (farm level), penyuluh harus terlibat pula pada tingkat komunitas (community level). Penyuluh mestilah pula mengembangkan program kemandirian (self-help initiatives) dengan mepromosikan struktur sosial,
organisasi sosial, memotivasi, dan meningkatkan kesadaran kelompok sasaran .
Pada
era Bimas, tugas-tugas seorang penyuluh pertanian selengkapnya adalah (Padmanegara, 1980): (1) menyebarkan informasi pertanian
yang bermanfaat, (2) mengajarkan keterampilan dan kecakapan bertani dan
lain-lain yang lebih baik, (3) memberikan rekomendasi berusahatani dan
lain-lain yang lebih menguntungkan, (4) mengikhtiarkan fasilitas-fasilitas
produksi dan usaha yang lebih menguntungkan dan menggairahkan, serta (5)
menimbulkan swadaya dan swadana dalam usaha perbaikan dalam usahatani. Penyuluh
pertanian di Indonesia memegang peranan yang sentral ketika pelaksanaan Program
Bimas dahulu. Menurut Badan Pengendali Bimas, tugas-tugas yang diemban Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) dalam Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) adalah (Sutjipta, 1982): menyelenggarakan berbagai demonstrasi
perbaikan usahatani bersama petani, membuat dan melaksanakan rencana kerja,
membuat laporan untuk bahan evaluasi tugas dan pemecahan masalah, membina
kelompok tani dan Kontak Tani, membantu terselenggaranya kegiatan petani dalam
usahatani, mengumpulkan data untuk bahan penyuluhan pertanian, membantu
pengadaan sarana dan informasi yang diperlukan, mengadakan penilaian kegiatan
hasil penyuluhan pertnaian di daerahnya, menyebarkan informasi pertanian,
mengajarkan pengetahuan, menyampaikan rekomendasi perbaikan usahatani, mengembangkan swakarya/swadana petani dan
mengupayakan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, serta membuat catatan
keadaan dan kejadian penting di daerah kerjanya.
Secara
keorganisasian, cikal bakal lembaga penyuluhan pertanian di Indonesia, adalah
pendirian Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) tahun 1948. Lembaga ini tidak
hanya bergerak dalam pertanian, namun melayani seluruh kebutuhan masyarakat
sekitarnya, bahkan termasuk untuk pengembangan kesenian dan budaya setempat. Tenaga penyuluh secara khusus
diangkat mulai pada awal tahun 1970-an, dalam program Bimas untuk
menyebarluaskan teknologi intensifikasi pertanian yang dikemas dalam “Panca
Usahatani” ke tengah masyarakat.
Selama ini di Indonesia, telah terjadi perubahan
sosok kemampuan penyuluh. Sebelum era kemerdekaan, dikenal mantri-mantri
pertanian yang memiliki kemampuan spesialis dalam komoditas tertentu. Pertama
penyuluh diangkat tahun 1970, ia masih
spesialis (monovalent), lalu
berubah menjadi generalis (polivalent) pada
tahun 1974, namun semenjak tahun 1991 menjadi monovalent lagi. Lalu, semenjak tahun 1996 menjadi monovalent tapi juga sekaligus polivalent.
Semenjak tahun 1970-an, World Bank
telah mempromosikan dan membiayai program yang dikenal dengan “Metode Latihan
dan Kunjungan” (Training and Visit
System) yang dipendekkan menjadi Metode LAKU. Metode ini memberi tekanan kepada
pengorganisasian penyuluhan. Disiplin dalam bekerja (rigid work) dan jadwal
kerja merupakan pedoman kerja sekaligus alat untuk melakukan monitoring. Hubungan dengan lembaga penelitian
bersifat formal, dan melakukan kontak secara teratur. Dengan membuat pemetaan
kerja dan jaringan kerja dengan baik, maka lebih banyak
petani dapat dijangkau. Petugas penyuluh menerima pelatihan
secara reguler dan berkosentrasi kepada permasalahan yang nyata di lapangan.
Pada awal 1990-an berkembang metode sekolah lapang petani (Farmer
Field School), dimana petani
selain belajar langsung dengan mengalami sendiri, juga menjadi petani pemandu
di kelompok petani yang baru. Petani yang sudah mahir dan terampil, lalu menjadi
“penyuluh” pada kesempatan yang lain, yaitu pada petani yang baru belajar.
Metode Sekolah Lapang
(SL) sudah sangat dikenal di Indonesia. Pendekatan ini digunakan dalam bentuk SL-PHT
(Pengendalian Hama Terpadu), yang merupakan temuan
peneliti Indonesia yang dapat dikatakan sangat mendunia, terutama konsep “sekolah
lapang” nya ini. Pendekatan ini telah diadopsi oleh
banyak negara, dan sebagian di antara mereka mengakui secara terbuka ide awal
sekolah lapang ini. Pada
website wikipedia misalnya terbaca dengan jelas bahwa: “The Farmer Field School (FFS)
is a group-based learning process that has been used by a number of
governments, NGOs and international agencies to promote Integrated Pest
Management (IPM).
The first FFS were designed and managed by the UN Food and Agriculture
Organisation in
Indonesia in 1989 since then more than two million farmers across Asia have
participated in this type of learning” (https://en.wikipedia.org/wiki/Farmer_Field_School).
Sekolah Lapang
menggabungkan konsep dan metode agroekologi, experiential
education dan pemberdayaan komunitas (community
development). SLPHT
merupakan langkah penting kepada tercapainya suatu pengendalian hama secara
terpadu (Integrated Pest Management)
(Barlett, 2005), yang memadukan teori dan pengalaman
petani di lapangan. Sebagai
hasilnya jutaan petani terutama di China, India, Indonesia, Filipina dan Vietnam telah mampu mengurangi
penggunaan pestisida dan memberikan hasil panen yang berkelanjutan (Dilts,
2001).
Sekolah Lapang merupakan sebuah proses belajar secara
kelompok (group-based learning process).
Ini merupakan hal baru, karena sebelumnya penyuluhan oleh PPL dilakukan secara
individual, meskipun pertemuan dilakukan dalam sebuah kelompok. Pengembangan
lebih jauh konsep SL ini adalah pada “Farm
Business School” (FBS). Ini adalah penerapan metode SL
untuk materi pengembangan pemasaran hasil pertanian. Pola FBS mulai marak diterapkan semenjak tahun 2000-an, untuk memperkuat kemampuan dan kapasitas petani dan
organisasi petani dalam menjalankan usaha pertanian, terutama untuk memasarkan
hasil produksinya. Disini petani
belajar meningkatkan efisiensi, pendapatan dan
keuntungan, serta mampu memilih secara tepat apa
komoditas yang mau ditanam, mengelola modal dan tenaga kerja, dan menangani
resiko. Farm Business School menggunakan
pendekatan FFS dalam kegiatannya yaitu “…to strengthen the entrepreneurial
capacities of farmers and farmer organizations” (FAO, 2011). Di Indonesia kegiatan FBS masih terbatas. Salah satu contoh adalah program the Participatory Market Chain Approach (PMCA) yang dijalankan
para petani kentang di Jawa Barat. Pelatih berasal dari International Potato
Center (CIP) dari Lima, Peru. Disini dilibatkan petani,
pedagang (market chain actors), dan
pedagang sarana input pertanian (agricultural
service providers). Mereka berhasil membentuk manajemen
baru dalam produksi dan sekaligus peluang pasar yang baru. ACIAR juga telah
mengembangkan FBS yang dijalankan di kawasan Asia (termasuk Indonesia) untuk
membangun relasi yang kuat antara petani, pedagang, dan konsumen di
negara-negara berkembang.
Sebelum
pendekatan dari petani ke
petani (farmer to farmer extension
approach), para ahli ramai membicarakan program yang dipimpin petani (farmer-led extension
programmes). Disini, berbagai
kegiatan penyuluhan telah menggunakan petani sebagai pembantu utama dalam
kegiatan pemberdayaan. Para petani maju berperan sebagai pendorong (promoters) dan pelatih, selain memanfaatkan jaringan sosial yang mereka sudah
punyai. Sementara, di Amerika dikenal
“The
Cooperative Extension System”
yang menggantikan model “technology
transfer”. Penekanannya bukan pada adopsi teknologi belaka, tapi pada
pendidikan dan pemberdayaan. Strategi ini dipilih untuk menghadapi perkembangan
baru sosok petani Amerika yang berlabel sebagai petani
organik, biodinamis,
holistik, peetanian alternatif, petani sadar lingkungan (ecological farmer), inovatif,
atau pertanian keluarga
(family farmers).
Semua ini dijalankan dalam semangat pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pelaksana
penyuluhan semakin beralih dari perguruan tinggi ke masyarakat. “Extension was established as a compliment
to Land Grant Universities and Agricultural Experiment Stations that had been
established earlier, in the late 1800s. Extension was to “take the university
to the people.” (Ikerd, 2008).
Pada era
1990-an pula, berbagai pihak di dunia ramai membicarakan
perubahan konsep dan paradigma penyuluhan. Hal ini dikompilasi misalnya dalam
buku FAO berjudul “Strategic Vision and Guiding Principles (2000) for
promoting Agricultural Knowledge and
Information Systems for Rural Development (AKIS/RD) (Rivera et al., 2001). Model AKIS/RD ini
memiliki visi pada perubahan reformasi kelembagaan penyuluhan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek pluralisme, efektivitas biaya dan manfaat (cost recovery), derasnya pelaku swasta (privatization), desentralisasi dan
subsidiarity, serta penekanan kepada pendekatan yang partisipatif (participatory approaches). Paradigma
baru ini disusun dengan menyadari perubahan lingkungan dunia yaitu isu globalisai,
perubahan yang semakin cepat (rapidity), transportasi dan komunikasi, dan
kecenderungan terbentuknya apa yang disebut dengan pembangunan korporasi (corporate development). Ada perubahan
kekuatan dari dominansi pemerintah menjadi sektor swasta (private sector hegemony). Karena itu,
paradigma baru penyuluhan menurut Rivera et
al. (2001) bertolak atas kekuatan pasar (market-driven reforms) dengan orientasi agribisnis. Selain itu,
juga penyuluhan harus mampu menjawab beragam kebutuhan sehingga mesti lebih purpose-specific,
target-specific, and need-specific.
Sebelum diformalkan
menjadi penyuluh
swadaya, petani telah cukup lama dilibatkan dalam penyuluhan pertanian. Pada
era Bimas sampai Supra Insus, kita mengenal “Kontak Tani”, yakni petani-petani
maju dan komunikatif yang dipilih sebagai penghubung antara penyuluh dengan
petani. Karena sulitnya menjangkau seluruh petani sekaligus, maka dibutuhkan
bantuan petani-petani sebagai komunikator. Secara harfiah arti “Kontak Tani”
adalah petani yang “dikontak” atau dihubungi penyuluh jika ingin menyampaikan
sesuatu ke masyarakat desa.
Selain sebagai pembantu penyuluh, petani juga menjadi pelaku aktif dalam
konsep metode belajar dari petani ke petani (farmer to farmer learning). Secara konseptual pendekatan ini
diyakini bisa lebih efektif. Komunikasi antar petani diharapkan akan lebih
efektif, karena sesama mereka memiliki kesamaan bahasa, persepsi terhadap
persoalan, dan metode pemecahan masalah. Empati, sebagai salah satu syarat
komunikasi, akan lebih terjamin. Hal ini diwadahi dengan pendirian berbagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S),
dimana petani belajar dari petani secara langsung. Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan
Swadaya (P4S) merupakan wadah pelatihan pertanian dan pedesaan yang
didirikan, dimiliki, dikelola oleh petani secara swadaya baik perorangan
maupun berkelompok.
Bentuk
lainnya adalah pengangkatan Penyuluh Swakarsa yang
muncul mulai tahun 2004. Penyuluh
pertanian swakarsa adalah para kontaktani, petani pemandu, dan petani teladan;
yakni petani yang berhasil dalam usahataninya yang dengan kesadarannya sendiri
mau dan mampu menjadi penyuluh pertanian. Para petani maju yang terpilih ini memiliki perhatian
tinggi terhadap pertanian dan juga mempunyai kemampuan dan motivasi yang besar untuk
memajukan pertanian. Peran aktif petani sebagai pemandu lapang dalan pendekatan
Sekolah Lapang juga perlu dicatat secara khusus, dimana petani selain sebagai
pemberi materi juga mengorganisasikan kegiatan.
Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian
Dalam pengertian yang umum, penyuluhan pertanian (agricultural extension) diartikan
sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya
dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki
kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Pada pendekatan penyuluhan klasik, tujuan penyuluhan pertanian adalah
mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan
intelektual yang semakin meningkat, perbendaharaan informasi yang memadai dan
mampu memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya (Padmanegara, 1980). Seluruh aktifitas penyuluhan
berpedoman pada azas pokoknya yaitu “menolong
petani agar ia mampu menolong dirinya sendiri” (Sumintareja, 1987).
Namun, dalam pelaksanaannya berbagai kritik telah timbul
dari pendekatan penyuluhan klasik. Singh (2009) misalnya menyebutkan bahwa
penyuluhan pertanian selama ini menggunakan pendekatan yang “provider
mentality” dimana hanya fokus pada apa yang harus
disebarkan, juga terlalu luas informasi yang disampaikan (broadcasting),
informasi yang disampaikan kadang-kadang tidak riel dan tidak sesuai kebutuhan
nyata setempat, serta belum bertolak atas kebutuhan petani (demand driven).
Sementara, Swanson and Rajalahti (2010) mengkritik
bahwa penyuluhan klasik masih menggunakan model
transfer teknologi (Technology
Transfer Extension Models) yang cenderung searah dan sempit, namun belum menggunakan
pendekatan yang partisipatif (Participatory
Extension Approaches). Penyebabnya adalah karena kegiatan penyuluhan yang
didominasi pemerintah menerapkan sistem yang kurang inovatif, dan sangat bergantung kepada
kemampuan dan pola fikir pemerintah yang sedang berkuasa semata.
Secara teoritis, ada tiga objek yang mau dirubah
dalam kegiatan penyuluhan, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek
afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Perubahan perilaku adalah
tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan, yaitu bertambahnya perbendaharaan
informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi
yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki (Yustina dan Sudrajat, 2003). Fungsi utama penyuluh pertanian
adalah sebagai mata rantai (change agent
linkage) antar pemerintah sebagai change
agency dengan masyarakat petani sebagai client
system-nya.
Banyak ahli telah menyumbangkan pemikirannya, bagaimana
seharusnya penyuluhan pertanian ke depan. Paradigma baru ini umumnya disusun
untuk konteks penyuluhan pembangunan pedesaan secara luas. Menurut Kerka (1998),
pendekatan baru penyuluhan dibutuhkan karena kita menghadapi karakter masyarakat
yang juga baru (new people and new institutions) yang lahir akibat berbagai issu-issu internasional.
Kerka melihat bahwa keragaman merupakan
nilai utama (core values) pada
pertanian masa depan, sehingga kita harus siap dengan beragam audien pula. Kerka menyampaikan metode baru yang ia sebut dengan “New Delivery Methods” dimana penyuluh memegang peran kunci dalam memfasilitasi
akses komunitas. Metode ini menggunakan konsep baru tentang bekerja dan belajar
(new ways of working and learning).
Penyuluhan
mestilah mampu mengekplorasi kegiatan penyuluhan sebagai sebuah “participatory learning organization” dan mampu melahirkan pemimpin dari masyarakat
bersangkutan (Earnest et al., 1995).
Pendekatan penyuluhan telah berubah dari
model sosok guru ke pembelajar
(teacher to learner centered) dan dari kelembagaan ke kebutuhan komunitas (focus
on institutional to community needs) (White and Burnham, 1995). Sejalan dengan ini, Patterson
(1998) menambahkan bahwa
penyuluhan baru harus memperhatikan sistem (managing
systems), bukan sekedar
orang per orang (people), dan membantu tercapainya visi komunitas.
Menurut Marsh and Pannell (2002), tantangan penyuluhan masa
depan adalah bagaimana
mengintegrasikan penyuluhan pemerintah (public sector) dengan penyuluh swasta (private
sector). Untuk mengintegrasikannya dibutuhkan: (1) pengembangan pendidikan, pelatihan dan keprofesionalan untuk
sektor publik, (2) menyusun kelembagaan yang efisien dan berkelanjutan
untuk meminimumkan biaya transaksi, dan (3) membangun
struktur kelembagaan yang menjamin keefektifan keterkaitan antara sektor publik
dengan swasta.
Selain itu, juga perlu merubah metodologi penyuluhan dan transfer
teknologi, yang sebelumnya “linear model ”, top
down, dan searah dari
peneliti ke petani. Pada paradigma baru, petani memiliki kontrol yang lebih
untuk menentukan informasi apa yang
mereka butuhkan. Jadi penyuluhan lebih merupakan “demand-pull ” dibandingkan “science-push”. Peningkatan penggunaan
kelompok-kelompok tani harus menjadi perubahan pokok yang berkaitan dengan
paradigma baru ini. Artinya, penyuluh lebih sebagai fasilitator dibandingkan
sebagai seorang ahli (experts) dalam
ilmu dan teknologi.
Dibutuhkan
pula perubahan struktur kelembagaan, yaitu lingkungan yang mampu mendorong
kerjasama dan koordinasi, melalui pengembangan struktur kelembagaan. Agen-agen
penyuluhan mesti aktif membangun relasi yang formal antara lembaga penelitian
dan konsultasi dengan sektor
swasta.
Penyuluhan
perlu pula memberi perhatian lebih khusus untuk kalangan
buruh tani (landless agricultural
labourers), karena merekalah yang bekerja seharian di sawah
dan di ladang. Demikian pula dengan wanita tani, sehingga penyuluhan mesti juga menggunakan pendekatan
yang lebih memperhatikan perbedaan gender. Kelompok lain adalah kalangan petani muda (rural youth), yang karena faktor usia,
kematangan emosi, dan pengalaman;
membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Objek
pengetahuan baru yang mesti diberi
perhatian lebih berkenaan
dengan pasar. Penyuluh harus mulai memberikan pemahaman tentang perihal
komersialisasi (some degree of
commercialization) kepada petani, juga tentang biaya usaha (cost of production), dan bagaimana
membaca pasar (mismatch between demand
and supply). Sehingga, penyuluh pemerintah memiliki tugas
khusus, yakni untuk meningkatkan efisiensi sistem secara keseluruhan melalui
penguatan sinergi antara tiga segmen yaitu penelitian, penyuluhan dan petani (Punjabi,
2001).
Di sisi lain,
penyuluhan pertanian ke depan sangat mungkin merupakan jasa yang bersifat
komersial. Sebuah penelitian di India mendapatkan bahwa cukup banyak petani
yang siap membayar jasa penyuluhan. Hasil penelitian Punjabi (2001) mendapatkan
bahwa sebagian besar petani bersedia membayar jasa penyuluhan. Artinya,
kehadiran penyuluh telah dianggap sebagai hal yang esensial untuk pengembangan
usaha mereka, dimana petani luas berani membayar lebih tinggi. Secara umum, pada Tabel 1 disampaikan perbedaan antara
penyuluhan berparadigma lama dengan yang baru.
Tabel 1. Perbandingan penyuluhan berparadigma lama dengan yang baru
|
Penyuluhan
lama
|
Penyuluhan
baru
|
|
|
|
Penanggung
jawab penyuluhan
|
Semata-mata
adalah tanggung jawab pemerintah nasional, sebagai pelayanan untuk warga
|
Melihat
penyuluhan sebagai seperangkat fungsi yang dapat dijalankan oleh beragam
pihak, pada berbagai level, tidak mesti pemerintah
|
|
|
|
Fungsi
penyuluhan
|
Untuk
mentranfer teknologi, agar produksi komoditas meningkat
|
Tugas
penyuluhan lebih luas, karena mencakup pula upaya untuk memobilisasi,
mengorganisasikan, dan sekaligus mendidik petani.
|
|
|
|
Posisi
penyuluhan
|
Terpisah
dengan instansi lain. Penyuluh berada dalam kantornya sendiri.
|
Koheren.
Penyuluhan sebagai sistem pengetahuan yang komprehensif, tidak terpisah
antara penemuan teknologi dengan transfernya. Penyuluh digabung dengan peneliti dan staf pendukung
lain.
|
|
|
|
Model
transfer teknologi
|
Linear,
sekuensial, dan satu arah
|
Lebih
realistik, siklis, dan dinamis (antara petani, peneliti, penyuluh dan guru)
|
|
|
|
Desain
proyek
|
Menurut
perspektif pengajar, anggaran disediakan untuk kegiatan pengajaran
|
Memungkinkan
untuk mengembangkan learning model,
melibatkan para stakeholders utama
|
|
|
|
Pendekatan
|
Lip sevice, dimana
menyuluh adalah menyampaikan teknologi.
|
Lebih
pada pemecahan
masalah, penyuluh melibatkan teknologi
informasi eksperimental, mengaitkan penelitian, manajer penyuluhan, dan
organisasi petani.
|
|
|
|
Jenis
penyuluh
|
Penyuluh
hanya staf pegawai pemerintah
|
Sesuai
dengan UU No 16 tahun 2006 ada 3 jenis penyuluh yaitu penyuluh pemerintah,
penyuluh swadaya (dari petani) dan penyuluh swasta.
|
|
|
|
Posisi
petani
|
Petani
adalah objek penyuluhan
|
Sebagai
objek serta juga subjek penyuluhan
|
|
|
|
Namun,
seorang ahli penyuluhan yakni Cees Leeuwis (Leeuwis, 2006) merasa istilah “penyuluhan” itu sendiri sudah
tidak mampu lagi menampung konsepnya yang baru. Ia menggunakan istilah dengan “komunikasi
untuk inovasi”. Cees Leeuwis
seorang dosen di Wageningen
University (Belanda ) melontarkan konsep baru dalam bukunya “Communication for Rural Innovation: Rethinking
Agricultural Extension”. Ia mentranformasi pemikiran “from diffusion to systems of agricultural innovation”, dan menghindari istilah “penyuluhan”
karena berbagai alasan, dan menggunakan istilah baru “komunikasi
untuk inovasi” (Leeuwis, 2006). Beberapa alasan yang melatarbelakanginya adalah karena inovasi teknologi bisa datang dari banyak sumber, adanya
perubahan paradigma dari sustainable
agriculture and progress menuju ecological knowledge system,
berkembangnya interdependence model
dan innovation system framework,
dimana yang terlibat tak hanya peneliti dan penyuluh tetapi juga pengguna
teknologinya, perusahaan swasta, NGO, dan juga supportive structures (pasar dan kredit). Selain itu, ia melihat
pentingnya proses belajar (learning
processes). Proses belajar adalah
“….a way of evolving new arrangements
specific to local contexts”.
Cees Leeuwis mengkritik Teori Difusi Inovasi yang
cukup lama mempesonakan banyak ahli dulu. Teori ini berupaya mempelajari
bagaimana, mengapa dan apa yang menyebabkan kecepatan ide dan teknologi
menyebar di masyarakat. Asalnya adalah Buku Everett M. Rogers “Diffusion of Innovations “ tahun 1962
yang disusun dari studi pada lebih dari 508 kasus.
Konsep difusi dipelajari awalnya oleh sosiologi Perancis Gabriel Tarde (1890), serta antropolog Jerman dan Austria Friedrich Ratzel dan
Leo Frobenius. Lalu, tahun 1971, EM Rogers mempublikasikan
“Communication of
Innovations; A Cross-Cultural Approach”, dari
teori proses difusi dan evaluasi sistem sosial. Teori Adopsi Inovasi lalu mendapatkan kritik
karena faktanya sumber teori berasal
dari riset kegiatan pertanian dan praktek medis, teknologi juga bukan
lah sesuatu yang statis, adanya pro-innovation bias, individual-blame
bias, recall problem, dan lain-lain.
Cees Leeuwis melontarkan konsep baru karena ia menyadari bahwa saat ini
berbagai perubahan lingkungan sedang berlangsung yang era sebelumnya belum ada. Di antaranya adalah kebijakan sumber pendanaan yangg baru
yang tidak hanya dari pemerintah, perkembangan teori penyuluhan, adanya
teknologi komunikasi baru (internet), perhatian pada isu keberlanjutan
ekosistem dan manajemen sumberdaya alam baru, globalisasi dan liberalisasi
pasar, pertanian multi fungsi, reformasi agraria baru, serta intensitas pengetahuan, “masyarakat pengetahuan”, dan
komoditasi pengetahuan. Selain itu, juga timbul praktek profesional penyuluhan
yang baru dan berbeda dengan misi, dasar pemikiran, cara beroperasi, manajemen,
pengorganisasian, dan isu-isu kolektif yang berbeda pula.
Tabel 2. Perbedaan penyuluhan dengan komunikasi
untuk inovasi
Penyuluhan
|
Komunikasi
untuk inovasi
|
|
|
Inovasi
adalah proses keputusan individual
|
Inovasi
memiliki dimensi kolektif yang terpengaruh oleh resolusi konflik, pembangunan organisasi, pembelajaran, dan juga negosiasi
sosial
|
|
|
Peran
penyuluh adalah menyebarkan inovasi (cetak biru), sehingga bisa tidak konstektual dengan kondisi dan
permasalahan lokal.
|
Penyuluh
mendesain bersama petani.
Berlangsung proses desain dan
adaptasi inovasi dan inovasi-inovasi kolektif yang bersifat kontekstual.
|
|
|
Inovasi
diciptakan dari kegiatan penelitian
|
Inovasi
lebih pragmatis, ada sisi teknis dan
sosial, perlu menciptakan jaringan pendukung. Petani dan penyuluh bisa juga
menciptakan inovasi.
|
|
|
Sesuai
teori Everett M. Rogers, semua petani bergerak ke arah
yang sama
|
Strategi
dan aspirasi petani menyangkut lingkungan sosial dan alam mereka. Petani
kecil berbeda kebutuhan dan cara berfikir dengan petani besar.
|
|
|
Ada
petani yang lamban, mundur, dan stagnan (mono perspektif)
|
Penelitian
di Irlandia (Leeuwis, 1989) mendapatkan bahwa
petani lamban sesungguhnya juga mengadopsi sejumlah inovasi yg sama
banyaknya. Mereka hanya memiliki “dinamisme yg berbeda” (multi perspektif).
|
|
|
Perubahan dan inovasi dapat dan harus direncanakan
|
Mengelola
kekomplekan, konflik, dan hal-hal yg tak terduga (misal penemuan tak sengaja,
pengaruh jaringan informal, kreatifitas, antusiasme, dan hubungan personal)
|
|
|
Organisasi
penyuluhan sesuatu yang stabil. Pelaksana penyuluhan terstruktur secara ketat
dari pusat sampai ke daerah.
|
Organisasi
penyuluhan berbentuk “learning organization”. Anggota
saling berbagi pengalaman positif dan negatif. Ada penyesuaian misi, pelayanan, produk,
kultur, dan prosedur organisasi.
|
|
|
Sumber: disarikan
dari Leeuwis (2006).
Pada pendekatan klasik, penyuluh adalah semata sosok
penyampai teknologi kepada petani. Pandangan ini telah banyak berubah. Ada banyak peran-peran baru yang harus dijalankan
seorang penyuluh. Menurut Chamala and Shingi (2007), ada empat peran penyuluh yang penting. Pertama adalah peran pemberdayaan (empowerment role). Ini
merupakan peran baru penyuluhan, dimana penyuluh membantu petani dan komunitas pedesaan untuk
mengorganisasikan dirinya sendiri dan memberdayakannya untuk tumbuh dan
berkembang. Penyuluh memberi pemahaman dan memberdayakan petani
untuk membuat komitmen dan bergerak (action).
Kedua,
peran mengorganisasikan komunitas (community-organizing role). Disini penyuluh mesti belajar prinsip-prinsip
pengorganisasian komunitas dan keterampilan dalam menangani organisasi petani
(group
management skills) (Chamala and Mortiss, 1990). Untuk itu, penyuluh mesti paham struktur sosial masyarakat yang
dihadapi, hukum (by-laws), aturan (rules), dan berperan
langsung dengan membantu pemimpin petani dalam merencanakan, melaksanakan, dan
memonitor program. Penyuluh juga mesti memiliki keterampilan dalam resolusi
konflik,
negosiasi, dan
mampu melakukan komunikasi yang persuasif.
Ketiga, peran dalam pengembangan
sumberdaya manusia. Disini, penyuluh membedayakan petani dan
memberikan kesadaran baru tentang peran baru yang dapat mereka mainkan.
Keterampilan yang dibutuhkan adalah kemampuan teknis (technical capabilities) ya ng dipadukan dengan kapabilitas manajemen
(management capability). Ini
merupakan kegiatan mendasar untuk peningkatan kapasita masyarakat, yaitu
mendorong komunitas desa untuk memahami kemampuan mereka sendiri sesuai dengan
kekhasannya dalam merencanakan, menjalankan dan memonitoring.
Keempat,
peran dalam pemecahan masalah dan pendidikan (problem-solving and education role). Peran ini
merupakan peran penyuluh yang sangat penting. Fokus tentang ini pun sudah
bergeser dari semula pada kemampuan memberikan pemecahan teknis (technical solutions) kepada
memberdayakan organisasi petani untuk memecahkan persoalannya sendiri. Jadi,
selain memperhatikan petani secara individual, penyuluh harus memperhatikan
lebih kepada organisasi-organisasi petani. Penyuluh harus bisa membantu mereka
mengidentifikasi masalah mereka sendiri, dan mencari solusinya dengan
mengkombinasikan dari pengetahuan sendiri (indigenous
knowledge) dan dari pengetahuan luar (improved
knowledge). Perubahan ini merupakan perubahan dari “”the education role from lectures, seminars, and training to learning
by doing and encouraging farmers and FOs to conduct experiments and undertake
action-learning projects” (Chamala dan Singi, 2007).
Perlu dibedakan antara peran dalam mengorganisasikan komunitas (Community Organizing/CO) dan pembangunan komunitas (Community Development/CD). Pengorganisasian komunitas merupakan elemen kerja yang penting dalam
pengembangan masayarakat. Keberhasilan CD sangat bergantung kepada keberhasilan
CO, karena inti dalam CD tentu saja masyarakat itu sendiri, baik individu-individunya
maupun kelompok-kelompok yang eksis. Keberhasilan mengorganisasikan orang-orang
akan memudahkan keberhasilan kerja CD secara keseluruhan.
Pengorganisasian
komunitas bertujuan untuk pengembangan komunitas. Community Organizing dapat dipahami sebagai aktivitas para profesional yang bekerja bersama membantu langsung komunitas
menciptakan pembangunan komunitas (community
building). Point ini penting karena sedikit
banyak akan menghadapi konflik di lapangan, sehingga dibutuhkan perjuangan sosial
(social struggle) untuk mewujudkan komunitas yang siap untuk menerima
perubahan dan menjalankan kemajuan. Sementara, CD berupaya memberdayakan
individu dan kelompok-kelompok dengan memberi mereka keterampilan yang
bermanfaat untuk mempengaruhi dan merubah komunitas mereka. Para pekerja CD
bekerja dalam dua level sekaligus, yaitu memahami dan lalu mempengaruhi
individu demi individu, dan juga bekerja pada level komunitasnya. Jika pada
level individu aspek-aspek modal manusia (human capital)
lebih banyak diperhatikan, sedangkan pada level komunitas lebih pada
aspek-aspek modal sosial (social
capital).
Lingkup kerja Community
Organizing
lebih sempit. Community Organizing adalah proses dimana masyarakat yang tinggal
berdekatan, satu sama lain masuk untuk membentuk sebuah organisasi dan
bertindak bersama sesuai dengan keinginan yang sama (shared self-interest), serta juga mengidentifikasi dan menggerakkan
berbagai modal yang ada dalam komunitas, yaitu human capital, financial capital, physical capital, dan lain-lain. Sementara, Community
Development bermakna lebih luas yaitu sebagai suatu strategi dan proses yang bergerak menuju
kepada kualitas hidup yang lebih baik ((quality
of life in a community) dalam segala sisinya baik menyangkut pekerjaan, perumahan,
lingkungan fisik, bisnis, pendidikan, kesehatan, keamanan, modal sosial, dan
lain-lain.
Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian dalam UU No 16 tahun 2006
Berbagai pihak di Indonesia telah lama mencari dan
merumuskan paradigma
baru penyuluhan pertanian untuk Indonesia, setelah penyuluh dikontrol secara ketat di era
Bimas. Dalam publikasi yang bertajuk
"Paradigma Penyuluhan Pertanian pada abad ke-21 (1999)", Pusat
Pengembangan Penyuluhan Pertanian (Departemen Pertanian) telah melihat perlunya penyuluhan pertanian sebagai sesuatu
yang lebih berfokus pada pemberdayaan masyarakat desa dari pada sekadar penyampaian teknologi. Penyuluhan pertanian diharapkan tidak hanya membuat petani
mampu berproduksi, tetapi harus berproduksi secara mandiri, dan sekaligus mampu
mencapai kesejahteraan keluarganya.
Jadi, penyuluh tidak hanya sebagai sistem penyampaian (delivery system)
bagi informasi dan teknologi pertanian
untuk peningkatan produksi, tapi harus
menjadi sistem yang berfungsi menciptakan pertanian sebagai suatu usaha yang
menguntungkan bagi petani. Intinya, penyuluh mesti lebih berorientasi
agribisnis, karena
agribisnis telah dipilih sebagai strategi pokok dalam pembangunan pertanian.
Upaya
ini sejalan dengan berbagai pendekatan yang juga mulai dikembangkan untuk memperbaiki penyuluhan di level dunia. Misalnya
berupa Gerakan Campesino-a-campesino di Amerika Tengah, sekolah lapang (farmer field school) di Asia Tenggara,
pendekatan “Problem Census” di Asia
Selatan, dan program fasilitasi informasi di Afrika (Scarborough et al., 1997).
Semua ide ini mempromosikan petani dan masyarakat desa lain sebagai aktor utama perubahan (principal
agents of change) di komunitasnya. Petani tak hanya menjadi kunci untuk akses bagi jasa
yang diberikan penyuluh profesional maupun petani (petani maju atau Kontak
Tani), namun mereka membuat keputusan-keputusan manajemen dan melakukan berbagai
kegiatan penyuluhan sendiri. Penyuluhan pada prinsipnya tidak hanya dapat
dilakukan oleh petugas pemerintah. Kalangan agamawan, perusahaan komersial, dan
organisasi petani juga dapat menjadi penyuluh.
Undang-Undang No 16 tahun 2006 telah memuat berbagai pemikiran dan
relatif sejalan dengan paradigma baru penyuluhan pertanian. Penyuluh
pertanian dalam UU ini dimaknai sebagai “perorangan warga negara Indonesia yang melakukan
kegiatan penyuluhan”, mencakup penyuluh pemerintah, swasta, maupun swadaya. Penyuluh swadaya
adalah “pelaku utama yang berhasil dalam
usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan
mampu menjadi penyuluh” (Pasal 1). Beberapa indikator penerapan
paradigma baru, setidaknya terlihat dari hal-hal berikut ini, yaitu:
Pertama, pada Bab
Asas, Tujuan, Dan Fungsi, yakni Pasal 2 disebutkan bahwa “Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan,
keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan,
berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Dapat
dikatakan, hampir seluruh ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini,
utamanya pada asas demokrasi dan partisipasi.
Kedua, penyuluhan
tidak lagi pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya.
Pasal 3 menyebut bahwa tujuan penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya
manusia dan peningkatan modal sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa
penyuluh pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar
individu petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga organisasi petani
dan berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat. Tujuan mulia
ini dicapai dengan memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui
penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan
potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta
fasilitasi (point b).
Ketiga, menerapkan manajemen
yang terintegratif, tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca
bahwa penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan. Lalu pada Pasal 7 disebutkan “Dalam menyusun strategi penyuluhan, pemerintah dan
pemerintah daerah memperhatikan kebijakan penyuluhan dengan melibatkan pemangku
kepentingan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan”.
Keempat, pelibatan
masyarakat petani, dan menjadikan petani sebagai subjek
penyuluhan. Pada point b pasal 6 disebutkan: “penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama
dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah
daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan
secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi
pemerintahan”. Semangat ini dikuatkan
oleh Pasal 29, dimana pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan
mendorong peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan
penyuluhan.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh
pemerintah, dengan diakuinya keberadaan penyuluh swadaya
yang berasal dari petani dan penyuluh
swasta. Dengan UU ini dilahirkan pula Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi
independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri
atas para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam
bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan. Selain ini, juga dibentuk wadah
koordinasi penyuluhan nasional yang bersifat nonstruktural.
Posisi Penyuluh Swadaya dalam Paradigma
Baru Penyuluhan
Salah satu sisi paradigma baru penyuluhan adalah
“penyuluhan partisipatif”, bukan penyuluh yang searah. Penyuluh harus bisa
hidup di antara petani, hadir di dalam
semangat petani serta terlibat secara partisipatif dalam kegiatan petani. Jadi,
penyuluh tidak hanya memberikan teori budidaya
serta masalah hama dan penyakit tanaman, namun harus
bisa membukakan dan menguatkan petani untuk berkarya.
Dulu posisi
penyuluh terdapat pada tubuh birokrasi. Sekarang dibutuhkan tenaga penyuluh
yang berkemampuan mengembangkan komunikasi partisipatif dengan petani dan mampu
membangun jaringan berbasis komunitas. Petani
tidak membutuhkan sekadar penyuluh, namun seorang pendamping yang setia, ikhlas
memberikan pengetahuannya, dan mau terlibat serta hidup bersama di tengah masyarakat
petani. Target akhirnya, adalah membangun dan memelihara
hubungan interaktif antara pemerintah, swasta, dan komunitas petani.
Dalam konteks inilah posisi penyuluh swadaya sangat
sesuai. Sebagai anggota komunitasnya sendiri yang telah lama dikenal, penyuluh
swadaya lebih mampu mendorong partisipasi. Partisipasi adalah proses tumbuhnya
kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara
kelompok-kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan
lembaga-lembaga jasa lain. Penyuluh
swadaya menjadi aktor dalam pembangunan yang partisipatif (participatory development). Dalam
partisipasi, penyuluh swadaya dapat memainkan peranan secara aktif,
memiliki kontrol terhadap kehidupan
komunitasnya
sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam
pembangunan.
Dari tujuh
karakteristik tipologi partisipasi (Pretty, 1995), keberadaan tokoh lokal akan lebih mampu menghasilkan partisipasi
interaktif, dimana masyarakat berperan dalam proses analisis
untuk perencanaan kegiatan dan penguatan kelembagaan, dan masyarakat memiliki peran untuk
mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil, sehingga memiliki
andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Hal ini sejalan dengan partisipasi
mandiri (self mobilization) dimana
masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas tanpa dipengaruhi
oleh pihak luar. Hal ini merupakan bentuk aksi kolektif masyarakat lokal yang
menyusun dan mengimplementasikan rencana mereka sendiri dan absesnnya inisiasi
dan fasilitator dari luar (collective action) .
Untuk
memperkuat partisipasi, perlu penumbuhan kesadaran dan pengorganisisasian
masyarakat. Untuk itu, komunitas harus didorong untuk memperkuat proses
pengorganisasian mereka sendiri dan mendukung berbagai inisiatif yang timbul.
Bersamaan dengan itu, pemerintah harus mendorong penciptaan kebijakan yang
mendukung aksi mandiri masyarakat tersebut. Kehadiran tokoh lokal yang kuat
dapat menghindarkan dari partisipasi manipulatif, menuju
partisipasi mandiri-demokratis (Arnstein (1969). Dalam konteks ini,
penyuluh swadaya dapat menjadi tokoh tersebut. Inilah posisi unik penyuluh
swadaya, karena ia adalah bagian dari komunitas petani itu sendiri.
Sejalan dengan partisipasi, konsep “pemberdayaan” (empowerment)
sangat kental bernuansa politik, karena berkaitan dengan kekuasaan. Penyuluh swadaya sebagai bagian dari komunitas
semestinya juga mampu membangun akses dan modal politik. Selain modal
partisipatif dan politis, penyuluh
swadaya juga punya nilai lebih pada kepemilikan modal sosial. Posisi penyuluh
swadaya sebagai bagian dari komunitas merupakan sumber daya yang sangat
penting. Karena itu, adalah keliru jika pemerintah hanya menempatkan penyuluh
swadaya sebagai elemen SDM dalam pembangunan, dan hanya “membantu” penyuluh
pemerintah. Memandang penyuluh swadaya hanya sebagai sumberdaya manusia (human capital), merupakan pandangan yang
sempit. Ada kapasitas penyuluh swadaya yang sesungguhnya jauh lebih pokok yakni
sebagai elemen yang mampu menumbuhkan dan menjaga modal sosial dalam
komunitasnya.
Jika masyarakat bisa divisualisasikan dengan seperangkat
titik-titik dan garis-garis, dimana titik adalah simbol manusia dan garis
simbol relasi antar manusia; maka human
capital hanya bicara “titik” sedangkan social
capital bicara “garis”. Konsep
social capital dapat diterapkan untuk
upaya pemberdayaan masyarakat karena social capital menjadi semacam perekat yang mengikat
semua orang dalam masyarakat ((World Bank, 2005). Dalam sosiologi,
social capital adalah “...the expected collective or economic benefits derived from
the preferential treatment and cooperation between individuals and groups” (Putnam,
2000). Penyuluh swadaya dalah agen penting yang menjadi simpul pembentukan modal sosial di komunitasnya.
Penggunaan
konsep “sumberdaya manusia” akan membatasi strategi hanya pada peningkatan kapasitas individual manusia, misalnya
peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Jika menggunakan pendekatan modal sosial strategi yang diterapkan lebih luas
mencakup proses belajar secara sosial (social
learning, group learning, dan lain-lain). Jika indikator pengukuran kemampuan SDM
adalah tingkat pendidikan, jumlah pelatihan, umur,
keahlian yang dimiliki individu-individu, serta produktivitas kerja; indikator pengukuran modal sosial lebih
luas mencakup norma, kepercayaan, jaringan sosial, dan resiprositas yang
terbentuk dalam komunitas, serta juga kekompakan sosial (social
cohesion).
Dengan
konsep human capital, maka penyuluh
swadaya hanya dilihat sebagai komponen organisasi, sedangkan dengan konsep social capital ia dipandang sebagai
penggerak komunitas. Penyuluh swadaya lebih sebagai “pihak masyarakat”
dibanding sebagai “pembantu pemerintah”.
Jika kita memandang penyuluh swadaya dalam konteks human capital maka yang diberikan adalah peningkatan pengetahuan
dan keterampilan. Sebaliknya, jika menggunakan pendekatan social capital, penyuluh swadaya diposisikan untuk memperkuat
relasi apa yang berlangsung ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Dengan
kata lain, penyuluh swadaya tidak semata “employment”,
namun sebagai makhluk sosial (social
beings) sebagai energi di komunitasnya yang dicirikan oleh daya
kreatifitasnya yang tak dapat dikalahkan oleh makhluk lain di bumi ini. Ia
memiliki intellectual capital.
Chamala dan Shingi (2007) dalam tulisannya “Establishing and Strengthening
Farmer Organizations”, menyampaikan bahwa pada organisasi yang
berbentuk commodity-based organizations,
penyuluh dapat membantu mengintegrasikan berbagai aspek untuk memaksimalkan pendapatan
petani. Penyuluh memperhatikan organisasi sekaligus sisi teknologi di sawah dan
ladang. Beberapa point penting yang perlu dipertimbangkan untuk peningkatan peran
penyuluhan, adalah apa kebutuhan spesifik yang perlu disuluhkan, bagaimana
penyuluhan diorganisasikan (organizing)
sehingga bisa berkelanjutan, dan bagaimana relasi dengan sumber teknologi bisa
dijalin. Satu objek yang kurang disentuh selama ini adalah penyuluhan berkenaan
dengan pasar dan pemasaran ("extension
markets"). Ini juga menjadi nilai lebih seorang penyuluh swadaya,
karena umumnya mereka selain bertani adalah juga pelaku usaha agribisnis, mulai dari menyediakan sarana produksi, pengolahan, dan
pemasaran hasil pertanian.
Dulu hanya dikenal satu jenis penyuluh pertanian, yaitu Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang diangkat oleh pemerintah. Namun,
semenjak keluarnya Undang-Undang No. 16 tahun 2006 telah dikenal tiga jenis penyuluh,
yaitu penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya (petani). Khusus untuk tipe penyuluh yang baru ini, telah
dikeluarkan pula Permentan No. 61 tahun 2008 Tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta. Ketiga penyuluh
ini memiliki persamaan dan perbedaan yang jika dikombinasikan akan mampu
menghasilkan sistem penyuluhan pertanian yang kuat.
Tabel 3. Perbedaan karakteristik penyuluh pemerintah, swasta dan swadaya
Penyuluh PNS
|
Penyuluh swasta
|
Penyuluh swadaya
|
|
|
|
Pelakunya PNS
yang digaji bulanan oleh pemerintah, atau penyuluh honorer (PPL-THL)
|
Pegawai
perusahaan swasta yang digaji untuk memperkenalkan dan memasarkan sarana
produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida, mesin, dll)
|
Petani, yakni
bisa berupa Kontak Tani, petani maju, dan pengurus organisasi petani.
|
|
|
|
Basis kerjanya
melayani. Penyuluh PNS tidak boleh mencari keuntungan dari petani
|
Mencari
keuntungan. Ia menyampaikan teknologi baru agar dagangannya laku.
|
Membantu petani
secara sosial. Namun dalam prakteknya ia juga memperoleh keuntungan sosial
dan finansial dari kegiatan ini.
|
|
|
|
Hanya bisa
sebagai motivator dan komunikator, namun dibebani program pemerintah
|
Sebagai
komunikator dan motivator yang berorientasi keuntungan
|
Sosoknya lebih
lengkap, sebagai pembaharu, motivator, organisator komunitas, dan pemimpin
langsung di lapangan.
|
|
|
|
Kekuatannya
adalah pada pengetahuan teoritis yang kuat, terampil mengkomunikasikan, dan
jaringan sumber informasi lebih luas. Namun, sering diledek sebagai “Jarkoni” (Ngajar namun ora ngalakoni)
|
Pengetahuan
teknis kuat, didukung fasilitas perusahaan yang kuat, jaringan kerja luas
(sampai internasional), namun ilmunya cenderung sempit. Sebatas barang
dagangannya saja.
|
Kekuatannya
adalah kesamaan bahasa dan persepsi terhadap persoalan dengan petani, dan
memiliki pengalaman karena telah melakukan sendiri sebelum disuluhkan.
|
|
|
|
Masalahnya
terlalu banyak dibebani administrasi, rapat-rapat, bekerja karena tugas,
insentif finansial lemah.
|
Tidak terdata,
tidak terkontrol, tidak berkoordinasi dengan pemerintah
|
Jumlahnya masih
terbatas, kemampuan lebih spesifik.
|
|
|
|
Tanggung jawab
kerja per wilayah, sehingga harus polivalent, namun sebagian bisa monovalent
|
Monovalent,
bahkan cenderung sangat sempit bidang yang dikuasainya
|
Basis
keahliannya sempit sehingga monovalent agar lebih fokus, dan wilayah kerjanya
sebaiknya tidak dibatasi.
|
|
|
|
Penyuluh PNS dan swasta dapat
disebut kontradiktif dalam segala sisinya. Ini karena sifat birokrasi
pemerintah yang sentralistis, dengan pegawai banyak, dan ukuran penilaian
pegawainya adalah loyalitas. Sedangkan organisasi swata desentralistis,
pegawainya ramping dan efisien, dan indikator kinerja pegawainya adalah
pencapaian hasil.
Penyuluh swadaya dapat disebut sebagai
sosok yang lengkap. Jenis penyuluh ini melakukan kegiatan penyuluhan dengan motivasi sosial, pelayanan, namun sekaligus bisnis. Banyak penyuluh swadaya yang memiliki
bisnis berupa penyedia sarana produksi, serta menampung dan memasarkan hasil
pertanian. Sehingga, penyuluh swadaya sesungguhnya menyuluhkan teknologi baru
kepada mitra bisnisnya sendiri. Jadi, dalam prakteknya, sosok penyuluh PNS dan swasta saling konvergen dalam diri penyuluh swadaya.
Status, Kinerja dan Tantangan
Pengembangan Penyuluhan Swadaya
Bagaimana kondisi penyuluh swadaya saat ini, secara lebih kurang terbaca
dalam Permentan No.
61/Permentan/Ot.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian
Swadaya dan Penuyuh Pertanian Swasta. Dalam Permentan ini disebutkan bahwa pembinaan terhadap
pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian khususnya bagi penyuluh pertanian
swadaya dan penyuluh pertanian swasta selama ini dirasakan belum memiliki arah
yang jelas, juga belum didayagunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan
pelaku utama dan pelaku usaha. Permasalahan lain adalah masih lemahnya fungsi dan peran penyuluh swadaya dalam
penyelenggaraan penyuluhan, masih rendahnya motivasi kerja, belum terciptanya
mekanisme kerja antara ketiga jenis penyuluh, dan belum terciptanya kinerja dan
profesionalisme penyuluh swadaya.
Dukungan dan keberadaan penyuluh swadaya saat ini cukup
besar. Sebagai contoh, dari sisi jumlah, jumlah penyuluh per Juli 2011 sebanyak
52.428 orang, terdiri dari penyuluh PNS 27.961 orang, penyuluh honorer 1.251
orang, THL-TB 23.216 orang, Penyuluh
Swadaya sebanyak 8.107 orang (Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDMPertanian,
2013).
Penelitian Indraningsih et al.
(2013) di tiga propinsi, mendapatkan informasi bahwa kemampuan penyuluh swadaya relatif beragam, namun
penguasaan dari aspek teknis sudah memadai. Sebagian memperolehnya karena
mengikuti pelatihan dari pemerintah, dan sebagian lagi karena belajar secara mandiri dari pengalaman yang
sudah puluhan tahun di sawah dan ladang. Ditemukan pula bahwa belum ada kejelasan tentang
bagaimana tupoksi penyuluh swadaya, dalam hal pembagian peran dan tanggung jawab. Umumnya peran penyuluh swadaya masih terbatas
pada petani di dalam kelompok tani dan paling jauh pada petani se-desa. Namun,
beberapa penyuluh swadaya sudah ada yang memberikan penyuluhan sampai ke luar
desa dan luar kecamatan. Tugas mereka belum dijalankan optimal, karena
ketiadaan pembagian pekerjaan yang jelas dengan penyuluh pemerintah. Sementara, penyuluh swasta sama sekali
belum diperhatikan, bahkan juga belum pernah dikumpulkan datanya. Saat
ini, penyuluh swasta setiap hari
berinteraksi dengan petani, membuat demplot, serta menyampaikan dan menjual input usahatani ke petani tanpa pengawasan sama sekali.
Penyuluh swadaya adalah pelaku utama pertanian sesuai dengan bidangnya.
Selain bertani, sebagian juga menjadi pelaku usaha di bidang pemasaran hasil
pertanian, maupun pengadaan sarana produksi. Penyuluh swadaya umumnya aktif
pada beberapa organisasi petani, baik pada kelompok tani, Gapoktan, maupun koperasi dan Badan Usaha Milik Petani
(BUMP). Mereka adalah tokoh petani setempat yang bergerak langsung di lahan
namun juga memiliki bisnis yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini menjadi
faktor yang saling menguatkan, sehingga dalam diri seorang penyuluh swadaya
melekat sekaligus sosok sebagai “pelayan” dan “pebisnis”. Kombinasi seperti ini
menjadikannya lebih kuat dibandingkan penyuluh PNS yang misalnya hanya memiliki
sosok sebagai “pelayan”. Sebaliknya, seorang penyuluh swasta hanya memiliki
sosok sebagai “pebisnis” belaka.
Dari data dan informasi yang dikumpulkan, terutama informasi kualitatif,
maka dari 32 orang responden penyuluh swadaya, tipologinya dapat dibedakan atas
empat tipe peran yang dijalankannya (Indraningsih et
al., 2013), yaitu: (1) penyuluh sebagai pendamping teknis, (2) sebagai penggerak komunitas khususnya dalam pengembangan organisasi petani,
(3) penyuluh swadaya sebagai
pembaharu dengan memperkenalkan berbagai
komoditas dan bidang usaha yang baru ke petani sekitarnya, dan (4) penyuluh swadaya sebagai
pelaku bisnis. Pada diri penyuluh swadaya sesungguhnya melekat sekaligus sosok
sebagai penyuluh yang bersifat melayani dengan sosok sebagai pelaku bisnis.
Dalam konteks ini, mereka menggunakan dua motivasi sekaligus yaitu sebagai
“penyuluh dan pelaku bisnis”. Tipe penyuluh swadaya seperti ini diyakini akan
lebih bertahan, karena memiliki motivasi ganda yang saling menguatkan.
Beberapa sisi keunggulan penyuluh swadaya dibanding dengan penyuluh
pemerintah dan penyuluh swasta adalah: pertama,
lebih mampu menciptakan penyuluhan yang partisipatif. Ini karena penyuluh
swadaya hidup di antara petani, mengalami secara langsung perasaan dan
masalah petani, menjadi bagian dari semangat petani, serta terlibat secara
partisipatif dalam kegiatan pertanian di komunitasnya. Ia adalah “orang dalam”
yang tidak perlu lagi belajar psikologi petani dan sosiologi masyarakat desa.
Sebagai anggota komunitasnya sendiri, penyuluh swadaya lebih mampu
memainkan peranan secara aktif, memiliki kontrol terhadap kehidupan
komunitasnya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih
terlibat dalam proses pembangunan sehari-hari. Secara teoritis, keberadaan
tokoh lokal akan lebih mampu menghasilkan partisipasi interaktif. Keberadaan
penyuluh swadaya akan mampu menciptakan partisipasi mandiri (self mobilization) dimana masyarakat
mengambil inisiatif sendiri secara lebih bebas untuk menghasilkan collective
action.
Kedua, penyuluh swadaya
lebih mampu mengorganisasikan masyarakat, karena umumnya mereka terlibat
langsung sebagai pengurus dalam banyak organisasi petani, baik kelompok tani,
Gapoktan, koperasi, maupun P3A dan UPJA. Ia menjadi simpul pengorganisasian
komunitasnya sendiri. Penyuluh swadaya tidak hanya mendorong untuk memperkuat
proses pengorganisasian mereka sendiri, namun menjadi aktor aktif yang
memperkuat organisasi petani. Menurut Chamala and Shingi (2007), ada empat peran penyuluh yang penting, yaitu peran sebagai tenaga
pemberdayaan (Empowerment Role),
peran mengorganisasikan komunitas (Community-Organizing
Role), peran dalam pengembangan sumberdaya manusia (Human Resource Development Role), dan peran dalam pemecahan masalah
dan pendidikan (Problem-Solving and
Education Role).
Ketiga, menjadi penghubung (change agent) yang lebih kuat. Keberadaan sosok “Kontak Tani” yang efektif di era Bimas, menjadi
lebih kuat pada diri penyuluh swadaya saat ini. Relasi yang intim dan akrab
dengan staf pemerintah (penyuluh PNS) merupakan modal sosialnya yang kuat.
Penyuluh swadaya berdiri di dua kaki, di pemerintahan dan sekaligus di petani.
Ia menjadi tokoh penghubung yang kokoh.
Keempat, agen bisnis yang potensial.
Sebagian besar penyuluh swadaya saat ini memiliki usaha yang aktif. Jadi,
selain sebagai pelaku utama, ia juga pelaku usaha pertanian. Selain mengajarkan
petani bagaimana berusahatani lebih baik, ia menampung hasil panen petani untuk
dipasarkan.
Kelima, mampu mengajarkan teknologi
dan ketrampilan bertani lebih tepat karena ia memiliki pengetahuan teknis dari
pengalaman langsung sebagai petani di lapangan. Dan, keenam, penyuluh swadaya juga punya nilai lebih pada kepemilikan
modal sosial. Posisi penyuluh swadaya sebagai bagian dari komunitasnya
merupakan posisi yang sangat penting. Karena itu, adalah keliru jika penyuluh
swadaya hanya ditempatkan sebagai elemen SDM dalam pembangunan, dan hanya
“membantu” penyuluh pemerintah. Memandang penyuluh swadaya hanya sebagai
sumberdaya manusia (human capital),
merupakan pandangan yang sempit. Ada kapasitas penyuluh swadaya yang
sesungguhnya jauh lebih esensial yakni sebagai elemen yang mampu menumbuhkan
dan menjaga modal sosial dalam komunitasnya.
PENUTUP
Uraian dalam tulisan ini
menunjukkan bahwa keluarnya UU No 16 tahun 2006 dan pengangkatan secara formal
penyuluh swadaya baru merupakan awal dari penerapan paradigma baru penyuluhan
pertanian di Indonesia. Masih banyak pendalaman yang perlu dilakukan dan bagaimana
dukungan yang sesuai untuk mencapai tujuan ini, serta khususnya bagaimana
mengoptimalkan peran penyuluh swadaya.
Tulisan ini sudah menunjukkan betapa penyuluh swadaya memiliki berbagai
sisi keunggulan dibandingkan penyuluh
pemerintah dan swasta, dan ke depan ia
memiliki peran yang lebih strategis. Kebijakan pemerintah yang masih memaknai
dan membedakan penyuluh secara diamteral (antara penyuluh pemerintah, swasta
dan swadaya), dalam prakteknya ketiga jenis penyuluh ini saling konvergen satu
sama lain dalam diri “penyuluh swadaya”. Ia memiliki karakter yang lebih
lengkap dan posisi sosial yang kuat di tengah komunitasnya, karena selain
memahami teknologi pertanian dengan baik, ia adalah penggerak komunitas dan
pelaku bisnis secara aktif.
Namun demikian, keberadaan ketiga jenis penyuluh ini mesti dapat
disinergikan di lapangan dengan baik. Namun demikian, secara keseluruhan,
sampai saat ini kesiapan daerah dalam menjalankan kegiatan penyuluhan belum
memuaskan. Perhatian pemerintah daerah yang belum memadai menjadi penyebab
terhambatnya transformasi kelembagaan penyuluhan pertanian terutama dari sisi
adopsi nilai-nilai paradigma baru penyuluhan, manajemen yang terbuka dan lebih
partisipastif, serta mekanisme pelibatan penyuluh swadaya dan swasta secara
lebih berdayaguna. Pendirian instansi Badan Koordinasi Penyuluhan di level
propinsi dan kabupaten baru sebatas trasnformasi keorganisasian, namun belum
pada transformasi kelembagaan yang sejatinya membutuhkan pemikiran dan upaya
yang lebih dalam dan substansial.
Daftar Pustaka
Bartlett, Andrew. 2005. Farmer Field Schools to Promote Integrated Pest Management in Asia: the
FAO Experience. Workshop on
Scaling Up Case Studies in Agriculture. IRRI.
Chamala,
Shankariah and P. M. Shingi. 2007. Chapter 21 - Establishing And Str engthening
Farmer Organizations. Dalam:
Burton E. Swanson, Robert P. Bentz and Andrew J. Sofranko (eds.), Improving
agricultural extension: a reference manual. Food and Agriculture Organization
of the United Nations, Rome, Italy. 220 pages. P. 195-201.
(http://www.fao.org/docrep/w5830e/w5830e0n.htm)
Dilts, Russ. 2001. From Farmers Field Schools To Community IPM:
Scaling Up The IPM Movement. LEISA Magazine. Vo.17 No. 3.
Earnest, G. W.;
Ellsworth, D.; Nieto, R. D.; McCaslin, N. L.; and Lackman, L. Developing
Community Leaders: An Impact Assessment of Ohio’s Community Leadership
Programs. Columbus: Cooperative Extension Service, Ohio State
University, 1995.(ED 338 808)
Indraningsih, Kurnia Suci; Syahyuti; Sunarsih; Ahmad Makky
Ar-Rozi; Sri Suharyono; dan Sugiarto. 2013. Peran
Penyuluh Swadaya Dalam Implementasi Undang–Undang Sistem Penyuluhan Pertanian.
Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
Leeuwis,
Cees. 2006. Communication for Rural Innovation: Rethinking Agricultural Extension”. Blackwell Publishing.
Peraturan
Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/Ot.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan
Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta
Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and
Revival of American Community. New York: Simon
& Schuster.
Rivera, William M.; M. Kalim Qamar; and L. Van
Crowder. 2001. Agricultural and Rural Extension Worldwide Options for
Institutional Reform in the Developing Countries. Food And Agriculture
Organization Of The United Nations. Rome,
November 2001. (http://www.fao.org/docrep/004/y2709e/y2709e00.htm#Contents)
Padmanagera, Salmon. 1980. Dalam Gunardi (ed). 1980. Kumpulan Bahan Bacaan Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Scarborough, Vanessa; Scott Killough; Debra A Johnson;
and John Farrington (eds). 1997. Farmer-led
Extension: Concepts and Practices. 214 pp. Published by Intermediate Technology Publications, London. ISBN 1 85339 417 3.
(http://www.mamud.com/farmer-led_extension.htm, 11 Mei 2005)
Singh, Baldeo. 2009. Partnership in
Agricultural Extension: Needed Paradigm Shift. Indian Research Journal of
Extension and Education Vol. 9 No 3, September 2009. New Delhi.
Sutjipta, Nyoman. 1982. Hubungan Pelaksanaan Sistem
LAKU dan Keberhasilan PPL Melaksanakan Tugasnya di Bali. Fakultas Pasca
Sarjana, IPB, Bogor.
Swanson, Burton E. and Riikka Rajalahti. 2010.Strengthening
Agricultural
Extension and Advisory Systems: Procedures for
Assessing, Transforming, and Evaluating Extension Systems.
Agriculture and Rural Development Discussion Paper 44. The International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank, Washington.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan.
White, B. A.,
and Burnham, B. “The Cooperative Extension System: A Facilitator of Access for
Community-Based Education.” In Public Libraries and Community-Based Education:
Making the Connection for Lifelong Learning. Vol. 2: Commissioned Papers.
Washington, DC: National Institute on Postsecondary Education, Libraries, and
Lifelong Learning, Office of Educational Research and Improvement, U.S.
Department of Education, 1995. (ED 385 260)
******