agraria (11) agribisnis (6) agriculture (3) agriculture innovation system (1) AIS (1) ASEAN (1) badan riset dan inovasi nasional (1) balai penyuluhan pertanian (1) beras (1) berdagang secara Islami (1) bertani dan berdagang secara Islami (1) bertani secara Islami (1) big data (1) bisnis (1) BPP (1) BRIN (1) buku (2) Buku Pertanian dunia 2020 (1) demo (1) ekonomi pertanian islam (1) family farming (1) food security (1) food sovereignity (1) hak petani (2) hukum adat (2) ilmu (1) inovasi (1) Iptek (1) Islam untuk petani (1) islamic agricultural economy (1) islamic agricultural socioeconomic (1) islamic food economy (1) kebijakan (19) kecamatan (1) kedaulatan pangan (6) kedaulatan petani atas pangan (2) kelembagaan (23) ketahanan pangan (4) konflik agaria (4) koperasi (2) korporasi (5) korporasi petani (5) korupsi (2) KPK (1) landreform (1) lembaga (18) mahasiswa (1) nelayan (2) organisasi (23) organisasi petani (4) pangan (2) partisipasi (1) pedagang (4) pedesaan (4) pembangunan (11) pembangunan pertanian (3) pembaruan agraria (2) pemberdayaan (5) pembiayaan (1) pendekatan pembangunan (14) penelitian (2) pengetahuan (1) pengukuran kelembagaan (2) pengukuran organisasi (2) penyuluh (7) penyuluhan pertanian (2) penyuluhan pertanian swasta (2) perdagangan (1) pertanian (1) petani (15) petani bermartabat (1) petani kecil (5) pintar (1) PPP (1) Program Serasi (1) public-private partnership (1) rawa (1) reforma agraria (1) sistem (1) sistem inovasi (1) sistem inovasi pertanian (1) social capital (4) sosial ekonomi pertanian islam (1) sosiologi pertanian islam (1) syariah (1) teori (17) valorisasi (1)

Minggu, 26 Februari 2017

Pembangunan PERTANIAN Membutuhkan PEMBARUAN AGRARIA



Kebutuhan Pembangunan Pertanian
Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di Indonesia sendiri, permasalah pangan tidak dapat kita hindari, walaupun kita sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Pertumbuhan penduduk yang diiringi dengan semakin berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam bidang pangan. Selain itu,  kualitas dan kesuburan lahan terus menurun akibat kerusakan lingkungan, dan  penurunan kapasitas kelembagaan petani.
Jika selama ini peranan sektor pertanian kerap hanya dilihat melalui sejauhmana kontribusinya dalam pembentukan PDB, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa. Peranan baru sektor pertanian saat ini dapat diletakkan dalam kerangka “3 F contribution in the economy”, yaitu: food (pangan), feed (pakan) dan fuel (bahan bakar).
NAWA CITA atau agenda prioritas Kabinet Kerja mengarahkan pembangunan pertanian ke depan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, agar Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk kemampuan bangsa dalam hal: (1) mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, (2) mengatur kebijakan pangan secara mandiri, serta (3) melindungi dan menyejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan. Dengan kata lain, kedaulatan pangan harus dimulai dari swasembada pangan yang secara bertahap diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha pertanian secara luas untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Strategi Pembangunan Pertanian Nasional
Pada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2015-2045, pembangunan sektor pertanian dalam lima tahun ke depan (2015-2019) akan mengacu pada Paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for Development) yang memposisikan sektor pertanian sebagai penggerak transformasi pembangunan yang berimbang dan menyeluruh mencakup transformasi demografi, ekonomi, intersektoral, spasial, institusional, dan tatakelola pembangunan. Paradigma tersebut memberikan arah bahwa sektor pertanian mencakup berbagai kepentingan yang tidak saja untuk memenuhi kepentingan penyediaan pangan bagi masyarakat tetapi juga kepentingan yang luas dan multifungsi. Selain sebagai sektor utama yang menjadi tumpuan ketahanan pangan, sektor pertanian memiliki fungsi strategis lainnya termasuk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan dan sosial (kemiskinan, keadilan dan lain-lain) serta fungsinya sebagai penyedia sarana wisata (agrowisata) (Kementan, 2015a).
Lahan merupakan sumber daya utama dimana kegiatan pertanian dijalankan. Hampir seluruh komoditas pertanian saat ini merupakan kegiatan yang berbasiskan lahan (land based agriculture). Lebih jauh dari ini, pada hakekatnya sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, industri, pemukiman, jalan untuk transportasi, rekreasi atau areal yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah.
Sektor pertanian merupakan sebuah kegiatan yang berbasiskan land based economy. Meskipun berbagai teknologi usahatani telah diciptakan, namun pada hakekatnya kegiatan pertanian di Indonesia sangat lah bergantung kepada lahan. Kementerian Pertanian menyadari sepenuhnya kondisi ini.
Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi.
Indonesia dengan luas daratan sekitar 188,20 juta ha memiliki sumber daya
lahan (jenis tanah, bahan induk, fisiografi dan bentuk wilayah, ketinggian tempat dan iklim) yang sangat bervariasi. Kawasan barat umumnya beriklim basah dan
sebaliknya kawasan timur beriklim lebih kering. Keragaman karakteristik sumber
daya lahan dan iklim ini merupakan potensi untuk memproduksi komoditas pertanian unggulan di masing-masing daerah sesuai dengan kondisi agroekosistemnya. Data (informasi) sumber daya lahan sangat diperlukan untuk memberikan gambaran potensi sumber daya lahan dan kesesuaiannya untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian.
Lahan pertanian merupakan modal yang sangat penting dalam menggenjot produksi pangan. Tanpa perluasan lahan yang lazim disebut ekstensifikasi, maka upaya peningkatan produksi pangan hanya bertumpu pada inovasi teknologi atau peningkatan produktivitas (intensifikasi). Bila hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas, pada titik tertentu, produksi pangan bakal tak mampu memenuhi permintaan terhadap pangan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Karena itu, meski perekonomiannya ditopang oleh sektor industri dan jasa atau bukan sektor pertanian, tak satu pun negera-negara maju di dunia ini yang mengabaikan perluasan lahan pertaniannya.
Dari luas daratan yang mencapai 188 juta hektar tersebut, sekitar 94,1 juta ha (50,05%) merupakan lahan potensial yang cocok untuk pertanian dan sisanya sekitar 93,9 juta ha (49,95%) merupakan lahan tidak potensial dan merupakan lahan konservasi (Ditjen PSP Kementan, 2012). Dari luasan lahan potensial tersebut, sekitar 15 juta ha cocok untuk dijadikan sawah. Luas sawah eksisting saat ini sekitar 8,18 juta ha, sehingga masih ada potensi untuk perluasan sawah sebanyak 7,31 juta ha. Dengan kondisi luasan eksisting lahan pertanian sekitar 8 juta hektar tersebut dan jumlah penduduknya sekitar 245 juta orang, berarti luasannya hanya 1/4 dari luas lahan yang dimiliki Negara Thailand yang mencapai 31,84 juta hektar dengan jumlah penduduknya 61 juta orang.
Dari total luasan lahan potensial, sebagian besar sudah dimanfaatkan untuk pertanian, sehingga sebagai lahan cadangan sekitar 34,7 juta hektar, yang berada di kawasan budidaya (APL) seluas 7,45 juta hektar, HPK 6,79 juta hektar dan sekitar 20,46 juta hektar di kawasan Hutan Produksi (HP). Secara umum, potensi ketersediaan lahan pertanian di Indonesia cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Masih tersedia areal pertanian dan lahan potensial belum termanfaatkan secara optimal seperti lahan kering/rawa/lebak/ pasang surut/gambut yang merupakan peluang bagi peningkatan produksi tanaman pangan. Walaupun potensi sumber daya lahan cukup besar, tetapi kepemilikan lahan garapan di tingkat keluarga tani relatif kecil, sehingga usahatani yang dikembangkan kurang memberikan pendapatan dan kesejahteraan yang memadai.
Sasaran Kerja Kementerian Pertanian
Sesuai Rencana Strategis Kementerian Pertanian bahwa dalam membangun pertanian selama lima tahun (2015-2019) Kementerian Pertanian mencanangkan  sasaran strategis, yaitu: (1) Pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai serta peningkatan produksi gula dan daging, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan komoditas bernilai tambah dan berdaya saing dalam memenuhi pasar ekspor dan substitusi impor, (4) penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, (5) peningkatan pendapatan keluarga petani, serta (6) akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik.
Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu target utama Kementerian Pertanian. Dalam konteks ini, reforma agraria merupakan sebuah keniscayaan, karena merupakan mata rantai yang menghubungkan antara peningkatan produksi dan pendapatan usahatani dengan kesejahteraan keluarga petani. Intinya adalah setiap keluarga tani membutuhkan luasan lahan yang memadai, sehingga jumlah rupiah yang bisa dibawa pulang dari setiap panen memadai untuk kebutuhan hidup yang bermartabat.
Persoalan saat ini, luasan lahan per rumah tangga sangat tidak memadai. Sehingga meskipun produktivitas usahatani tia komoditas telah meningkat berkali-kali lipat, tingkat pendapatan tetap belum memadai. Apalagi, kita semua tahu betapa banyak petani kita adalah petani penggarap yang hasil panennya harus berbagi dengan pemilik tanah. Sebagian di antara mereka hanya bruruh tani, yang tentu mengandalkan kepada tingkat upah yang berlaku di setiap wilayah.
Pada tahun 2003, jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan kurang dari 1.000 m sekitar 30% dari total jumlah penduduk, dan hanya 4% yang memiliki lahan sekitar 30.000 m2. Namun pada tahun 2013, jumlah petani yang memiliki luas lahan <1 .000="" m="" sup="">2
menurun menjadi 17% dari total rumah tangga petani (RTP). Penurunan tersebut disebabkan rumah tangga petani juga berkurang dari 31.232.184 RTP pada tahun 2003, berkurang menjadi 26.135.469 pada tahun 2013.
Permasalahan Lahan Pertanian
Berkenaan dengan lahan, permasalahan yang dihadapi adalah: konversi lahan yang tidak terkendali sehingga lahan pertanian terus menyusut, keterbatasan pencetakan lahan baru, penurunan kualitas lahan, rata-rata kepemilikan lahan yang sempit, serta ketidakpastian status kepemilikan lahan.
Konversi lahan sawah sebagian besarnya (80 %) terjadi di wilayah sentra produksi pangan nasional yaitu Pulau Jawa (Kementan, 2015b). Beragam kebijakan dikeluarkan Pemerintah untuk mendorong ketersediaan lahan pertanian berkelanjutan, termasuk memberikan insentif dan perlindungan, atau melarang konversi lahan pertanian produktif, agar lahan pertanian tidak terus menerus berkurang tanpa terkendali. Upaya pengendalian terhadap terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian tanaman pangan secara efektif dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan Peraturan Pemerintah pendukungnya. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan penetapan: (a) Kawasan pertanian pangan berkelanjutan; (b) Lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan; dan (c) Lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan pertanian pangan berkelanjutan.
Dalam rangka peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan, pemerintah dalam kurun 2015-2019 akan melaksanakan berbagai kebijakan rencana aksi sebagai berikut (Kementan, 2015a): Pertama, Audit Lahan, yaitu dengan cara membangun database baik tabular maupun spasial yang lengkap dan akurat melalui inventarisasi sumber daya lahan pertanian dengan pengembangan sistem informasi geografi (SIG) atau pemetaan tanah sistematis dan tematik yang terintegrasi dengan data identitas petani;
Kedua, Mengimplementasikan secara efektif Undang-Undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dengan Peraturan Pemerintah dan Perda.
Ketiga, Melakukan upaya-upaya perlindungan, pelestarian dan perluasan areal pertanian terutama di luar Jawa sebagai kompensasi alih fungsi lahan terutama di Jawa melalui: upaya pengendalian alih fungsi lahan melalui penyusunan dan penerapan perangkat peraturan perundangan, pencetakan sawah baru seluas 1 juta hektar diluar pulau Jawa terutama dengan memanfaatkan lahan terlantar, lahan marjinal, lahan di kawasan transmigrasi, bekas lahan pertambangan, serta memanfaatkan tumpangsari, melestarikan dan/atau mempertahankan kesuburan lahan lahan produktif dan intensif, melakukan upaya rehabilitasi dan konservasi lahan terutama pada lahan pertanian Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu, dan  melakukan upaya reklamasi dan optimasi lahan pada lahan lahan marginal dan sementara tidak diusahakan atau bernilai Indeks Pertanaman (IP) rendah.
Dari sisi regulasi, upaya pengendalian alih fungsi lahan melaluiUndang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Untuk memantapkan upaya pelaksanaan undang-undang ini  sudah diterbitkan berbagai peraturan dan ketentuan lanjutan, diantaranya PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Ahli Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Permentan Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan,Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Permentan Nomor 79/Permentan/ OT.140/8/2013 tentang Pedoman Kesesuaian Lahan pada Komoditas Tanaman Pangan, Permentan Nomor 80/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Kriteria dan Tata Cara Penilaian Petani Berprestasi Tinggi pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Permentan Nomor81/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Selanjutnya Kementerian Pertanian ikut secara aktif dalam pelaksanaan Rencana Tata Ruang dan Wilayah baik Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Empat, Mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian terlantar yang meliputi lahan pertanian yang selama ini tidak dibudidayakan (lahan tidur atau bongkor), dan kawasan hutan yang telah dilepas untuk keperluan pertanian tetapi belum dimanfaatkan, atau lahan pertanian yang masih dalam kawasan hutan (wewenang sektor kehutanan);
Lima, Membantu petani dalam sertifikasi lahan, mendorong pengelolaan dan konsolidasi lahan, advokasi petani dalam pengelolaan warisan agar tidak terbagi menjadi lahan sempit dalam upaya mengurangi segmentasi lahan, dan/atau menjadi lahan non-pertanian. Sementara itu dalam mendukung sertifikasi lahan, agar petanimendapat kepastian hukum terhadap lahan yang diusahakannya serta dapat membantunya untuk mengakses fasilitas pembiayaan seperti bank, juga diinisiasi dalam bentuk program pra dan pasca sertifikasi lahan.
Kebijakan optimasi lahan dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat petani/peternak pada lahan terlantar, dan lahan yang berpotensi untuk ditingkatkan Indeks Pertanamannya. Selama tahun 2011-2013 telah berhasil dilaksanakan upaya optimalisasi seluas 474.707 hektar dengan pencapaian target kegiatan lebih dari 90 %.
Enam, Mempertahankan kesuburan tanah dan memperbaiki kondisi lahan marjinal dengan upaya-upaya yang akan dilakukan diantarnya: Melakukan perbaikan dan pencegahan kerusakan tanah, dengan menerapkan teknologi konservasi tanah dan air, melakukan penanaman tanaman pohon (buah-buahan) dan perkebunan) di daerah kawasan aliran sungai, dan mendorong petani untuk menggunakan sistem pemupukan berimbang yang diintegrasikan dengan pupuk organik, dan menerapan praktek budidaya pertanian yang tepat guna dan ramah lingkungan.
Pembangunan pertanian sangat bergantung kepada ketersediaan lahan, dimana kebutuhan lahan ke depan masih sangat besar. Dalam rangka memenuhi mencukupi kebutuhan pangan nasional kedepan (proyeksi kebutuhan/konsumsi) maka sumberdaya produksi pertanian harus dapat terpenuhi minimal sebesar sebesar kebutuhan/konsumsi produksi pertanian itu sendiri,  yaitu: (a) untuk komoditas beras, diproyeksikan kebutuhan/konsumsi tahun 2020 mencapai 35,15 juta ton, tahun 2025 mencapai 36,51 juta ton, dan hasil proyeksi konsumsinya secara umum masih dibawah tingkat produksi yang dihasilkan (surplus); (b) untuk jagung, diproyeksikan kebutuhan/konsumsi tahun 2020 mencapai  27,63 juta ton, tahun 2025 mencapai 33,41 juta ton, dan hasil proyeksi konsumsinya secara umum masih diatas tingkat produksi yang dihasilkan (defisit); dan (c) untuk gula nasional, diproyeksikan kebutuhan/konsumsi tahun 2020 mencapai  9,66 juta ton, tahun 2025 mencapai 13,99 juta ton, dan hasil proyeksi konsumsinya secara umum masih diatas tingkat produksi yang dihasilkan (defisit).
Dalam hal percetakan sawah, selama tahun 2010-2014, Kementerian pertanian telah berhasil mencetak areal pertanian baru seluas 347.984 hektar. Sedangkan untuk kurun tahun 2015 dan 2016 telah berhasil dilakukan percetakan sawah seluas 142.394 ha, dan di tahun 2017 ditargetkan seluas 125.000 ha. Selain percetakan lahan sawah seluas 1 juta ha, Kementerian Pertanian juga menarget dalam 5 tahun ini perluasan areal horikultura total 45.000 ha, perkebunan rakyat 95.000 ha, dan areal peternakan seluas 25.000 ha.  Sehingga total perluasan areal pertanian yang ditargetkan adalah 1.165.000 ha.
Bila dilihat kecenderungan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang diperkirakan sekitar 50-100 ribu hektar setahunnya, maka pencetakan areal pertanian baru ini baru dapat mempertahankan luasan arealpertanian pangan yang ada. Sementara itu kualitas lahan yang baru dicetak umumnya produktivitasnya masih dibawah lahan yang dialihfungsikan. Upaya pencetakan areal pertanian baru banyak mengalami hambatan di lapang, terutama sulitnya mendapatkan areal yang siap untuk dicetak sebagai areal pertanian baru.
Perluasan lahan pertanian diutamakan di luar Pulau Jawa dan dikerjakan dengan pola padat karya (melibatkan petani). Agar mencapai hasil optimal, maka percetakan lahan baru harus memenuhi persyaratan calon lokasi sawah, lahan clear and clean (status jelas dan tidak sengketa), tersedia sumber air dan tenaga kerja (petani), dan harus didasarkan atas Survei, Investigasi dan Desain (SID).
Khusus untuk lahan tebu yakni untuk  memenuhi kebutuhan pabrik gula rafinasi, lahan yang dibutuhkan adalah 398.000 Ha, sedangkan lahan yang tersedia baru 242.506 Ha. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pabrik gula baru lahan yang dibutuhkan 409.000 Ha, namun lahan tersedia baru mencapai 207.818 Ha. Khusus untuk pengembangan peternakan sapi, lahan yang dibutuhkan 205.000 Ha, sementara lahan tersedia  sampai saat ini  baru 111.076 Ha.
Selain lahan, salah satu prasarana pertanian yang saat ini sangat memprihatinkan adalah jaringan irigasi. Kurangnya pembangunan waduk dan jaringan irigasi baru serta rusaknya jaringan irigasi yang ada mengakibatkan daya dukung irigasi bagi pertanian sangat menurun. Kerusakan ini terutama diakibatkan banjir dan erosi, kerusakan di daerah aliran sungai, serta kurangnya pemeliharaan irigasi hingga ke tingkat usahatani. Pengelolaan sumberdaya air dilaksanakan melalui pengembangan sumberdaya air, pengembangan jaringan irigasi, pembangunan embung dan dam parit serta pengembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
Oleh karena itu, sesuai dengan target Nawacita 2015-2019, hingga oktober 2015 telah direalisasikan pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tersier 1,56 juta ha atau 52% dari target 3,0 juta ha (Kementan, 2015b).   Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, selanjutnya pengembangan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air. Walaupun menjadi tanggung jawab para petani/P3A, namun kenyataannya tidak semua petani/P3A mampu untuk memperbaikinya. Oleh karena itu Pemerintah melalui Kementerian Pertanian membantu untuk memperbaiki jaringan irigasi yang rusak. Kementerian Pekerjaan Umum (PU)melakukan pemeliharaan jaringan irigasi seluas 2,3 juta hektar. Rehabilitasi kualitas dan kuantitas jaringan irigasi seluas 1,34 juta hektar. Selain itu, PU melakukan pembangunan daerah irigasi dan rawa seluas 500 ribu hektar.
Perbaikan saluran irigasi yang dilakukan Kementerian Pertanian selama tahun 2011-2013 seluas 1.264.053 hektar. Selain perbaikan saluran irigasi, dilakukan pengembangan embung dan dam parit yang meliputi 3.157 unit pada tahun 2011, dan 1.553 unit selama tahun 2012 dan 328 unit pada tahun 2013 dan sebanyak 9600 unit pada tahun 2014.
Redistribusi Lahan
Terkait dengan rencana pendistribusian lahan 9 juta hektar kepada petani, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN menyiapkan program Reforma Agraria, yang terdiri dari: Redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar dan berasal dari hasil legalisasi asset yang subjeknya memenuhi syarat 4,5 juta hektar. Lahan yang menjadi prioritas untuk dikonversi menjadi lahan pertanian adalah (1) hutan produksi tetap, (2) hutan produksi terbatas, dan (3) hutan lindung. Sementara, hutan produksi dapat dikonversi akan menjadi prioritas berikutnya, yaitu untuk budidaya, industri, pemukiman dan peruntukan lainnya.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian yang terbatas, Kementerian pertanian menerapkan berbagai strategi, salah satunya adalah pengembangan kawasan pertanian.  Kawasan pertanian merupakan gabungan dari sentra-sentra pertanian yang memenuhi batas minimal skala ekonomi dan manajemen pembangunan di wilayah serta terkait secara fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya dan keberadaan infrastruktur penunjang. Pengembangan kawasan pertanian dimaksudkan untuk menjamin ketahanan pangan nasional, pengembangan dan penyediaan bahan baku bioindustri, serta penyediaan bahan bakar nabati melalui peningkatan produksipertanian secara berkelanjutan, berdaya saing dan mampu mensejahterakan semua pelaku usaha yang terlibat di dalamnya secara berkeadilan.
Pengembangan kawasan pertanian dalam operasionalnya harus disesuaikan dengan potensi agroekosistem, infrastruktur, kelembagaan sosial ekonomi mandiri dan ketentuan tata ruang wilayah. Rancang bangun dan kelembagaan dibutuhkan dalam pengembangan kawasan secara berjenjang. Rancang bangun pengembangan kawasan disusun berdasarkan analisis teknokratis dan rencana kerja melalui telaah kebijakan serta analisis pemeringkatan, klasifikasi dan pemetaan kawasan, serta analisis data dan informasi tabular dan spasial untuk mengarahkan pengembangan dan pembinaan kawasan.
Pengelola Kawasan di provinsi menyusun rencana induk (Master Plan) untuk setiap jenis kawasan yang ada di provinsi sebagai upaya untuk menjabarkan arah kebijakan, strategi, tujuan, program/kegiatan pengembangan kawasan nasional. Adapun Pengelola Kawasan di Kabupaten/ Kota menyusun rencana aksi (Action Plan) yang merupakan penjabaran operasional dari Master Plan sebagai upaya untuk rencana yang lebih rinci dalam kurun waktu tahun jamak (multi years). Pengelolaan kawasan dilakukan secara berjenjang, mulai pengelola di pusat, di provinsi dan di kabupaten/kota.

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pertanian. 2015a. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2015b. Kinerja Satu Tahun Kementerian Pertanian Oktober 2014-Oktober 2015. Kementerian Pertanian. Jakarta.

*****

KOPERASI PERTANIAN untuk KEDAULATAN PANGAN



Permasalahan Pertanian


Sektor pertanian masih menghadapi sejumlah permasalahan pokok. Beberapa permasalahan di antaranya adalah: (1) Status dan luas kepemilikan lahan petani yang sempit, dimana lebih dari 9,55 juta KK petani hanya memiliki lahan kurang dari 0.5 ha, (2) Ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, air bersih, dan energi/listrik yang belum memadai, (3) Keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga perbankan, (4) Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh pertanian, (5) Kemampuan manajerial petani dalam agribisnis yang masih terbatas, (6) serta fenomena perubahan iklim global yang makin ekstrim, meningkatnya degradasi sumberdaya pertanian termasuk sumberdaya genetik dan meningkatnya kerusakan lingkungan.
Selain permasalahan-permasalahan ini, sektor pertanian juga masih dihadapkan pada persoalan terbatasnya akses pasar dan permodalan. Akses petani khususnya petani kecil, terhadap pasar  dan permodalan  sangat terbatas. Dinamika pasar dalam era global diikuti perubahan permintaan konsumen ke arah barang-barang yang lebih berkualitas dan kompetisi pasar yang makin ketat, menjadikan petani kita yang sebagian besar petani kecil semakin ketinggalan dalam menyesuaikan posisi mereka dengan  dinamika pasar global. Pada tataran pasar domestik, petani kita juga masih dihadapkan pada posisi tawar yang lemah karena kurangnya  informasi pasar,  lemahnya modal dan dukungan teknologi pasca panen, menghadapi distorsi pasar,  dan  pasar yang tidak efisien. Pemerintah terus berupaya mengatasi berbagai permasalahan tersebut melalui kebijakan dan program pembangunan yang terencana dan terarah.
Jumlah Petani Kecil Dominan
Persoalan mendasar yang dihadapi oleh sektor pertanian terutama adalah  fakta bahwa sebagian besar petani tergolong petani kecil yang sulit untuk memperoleh tingkat kesejahteraan yang layak dengan luasan lahan yang mereka miliki. Golongan  petani kecil tersebut jumlahnya sampai saat ini masih cukup besar. Sesungguhnya petani kecil merupakan gejala yang umum di berbagai belahan dunia, dan karena itu membutuhkan pemikiran dan strategi yang kreatif untuk menanganinya.
Di Asia Pasifik,  87 persen usaha pertanian tergolong pertanian kecil (435 juta orang), Di China jumlah petani dengan lahan di bawah  2 hektar berjumlah 193 juta orang, di India sebanyak 93 juta orang. Dan, sebagai informasi, sebanyak 75 persen warga miskin dunia adalah petani kecil.  Bagaimana posisi di Indonesia?
Jika batasan 2 hektar digunakan sebagai batas untuk mendelineasi  cakupan petani kecil,  maka lebih dari 90% petani Indonesia termasuk kategori ini. Namun, jika digunakan  batas 1 hektar, maka jumlah petani kecil sekitar 76 %, sedangkan jika digunakan batas 0,5 hektar, jumlah petani kecil  adalah 53%. Jika  hanya dilihat untuk Pulau Jawa saja, kondisinya akan lebih buruk lagi.  Dengan batas 1 hektar jumlah petani kecil sekitar 90%,   dan jika  menggunakan batas 0,5 ha terdapat  69%  petani kecil.
Selama tiga dekade jumlah petani kecil semakin meningkat.  Pada Sensus Pertanian (SP) 1983  jumlah petani dengan luas rata-rata penguasaan lahan   < 0,5 ha  mencapai 40,8 %, lalu meningkat menjadi 48,5 % pada SP 1993, dan membengkak lagi menjadi 56,5 % pada SP 2003. 
Perbaikan kesejahteraan petani, khususnya petani kecil, melalui program-program pembangunan pertanian dan perdesaan bukan hanya urusan aspek teknis semata, namun juga menyangkut aspek kelembagaan petani. Pengalaman telah menunjukkan kepada kita bahwa banyak inovasi teknologi baru yang telah dihasilkan, namun tidak atau kurang dapat diimplementasikan di lapang untuk meningkatkan produktivitas pertanian sesuai yang diharapkan.  Tujuan kementerian Pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani dapat ditempuh salah satunya melalui koperasi pertanian, yang sesungguhnya juga sejalan seiring dengan penerapan Kedaulatan Pangan.
Kedaulatan Pangan
Berkenaan dengan kedaulatan pangan, konsep kedaulatan pangan secara resmi telah menjadi tujuan dan juga pendekatan dalam pembangunan pangan nasional, sebagaimana tercantum dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, bersama-sama dengan “kemandirian pangan” dan “ketahanan pangan”. Kedaulatan pangan merupakan suatu strategi dasar untuk melengkapi ketahanan pangan sebagai tujuan akhir pembangunan pangan. Kedua konsep ini sesungguhnya sejalan dan saling melengkapi. Dapat dikatakan, jika ketahanan pangan adalah tujuan, kedaulatan pangan adalah prasyarat untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada intinya, kedaulatan pangan berkenaan dengan hak dan akses petani kepada seluruh sumber daya pertanian mencakup lahan, air, sarana produksi, teknologi, pemasaran serta terhadap konsumsi. Kondisi ini dapat diukur pada berbagai level baik level individu, rumah tangga, komunitas, wilayah dan juga nasional.
Undang-Undang tentang Pangan telah menetapkan bahwa pembangunan pertanian berupaya untuk mencapai tiga hal sekaligus yaitu “kedaulatan pangan”, “kemandirian pangan”, dan “katahanan pangan”. Masuknya aspek kedaulatan pangan merupakan konsekuensi bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ECOSOC Rights).
Tidak dapat dipungkiri, konsep kedaulatan pangan pada awalnya dilahirkan dan dirumuskan oleh para petani dan pendamping pemberdayaan yang kurang puas dengan sistem pertanian dunia yang berlangsung. Kedaulatan pangan berupaya mempertahankan dan mendorong model produksi pertanian agro-ekologis, perdagangan pertanian yang proteksionis dan mendorong pasar lokal, pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal,  serta mengedepankan wacana lingkungan pembangunan hijau (green development).
Saat ini, kedaulatan pangan telah menjadi agenda resmi internasional. Pada konferensi regional FAO ke-22 bulan  Maret 2012 misalnya, telah disepakati bahwa konsep kedaulatan pangan bukanlah lawan ataupun alterantif dari ketahanan pangan. Kedaulatan pangan dipahami sebagai kebijakan pangan yang sifatnya lebih mendasar, yang bersama-sama dengan konsep Pertanian Keluarga (Family Farming) adalah strategi untuk memerangi kelaparan dunia. 
Pada pasal 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan bahwa: “Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal”. Pada “Nawacita” Presiden yang memuat sembilan agenda perubahan, Kedaulatan Pangan tercantum secara jelas pada agenda nomor 7 yakni ”Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Dengan Menggerakkan Sektor-Sektor Strategis Ekonomi Domestik”. Dalam cita nomor 7 ini ada lima program, dan salah satunya adalah membangun kedaulatan pangan.
Khusus untuk membangun kedaulatan pangan disebutkan akan digunakan berbagai pendekatan di antaranya adalah stop impor pangan, penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan re-generasi petani, implementasi reforma  agraria, dan pembangunan agribisnis kerakyatan melalui pembangunan bank khusus untuk  pertanian, UMKM dan koperasi. Penanggulangan kemiskinan pertanian dan regenerasi petani, berupa empat solusi yaitu: (1) 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019, (2) peningkatan kemampuan organisasi petani dan pelibatan aktif perempuan petani sebagai tulang punggung kedaulatan pangan, (3) rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak pada 3 juta ha pertanian, dan (4) dukungan regenerasi petani muda Indonesia.
Hal ini diterjemahkan di Kementerian Pertanian, bahwa kedaulatan pangan dicapai melalui 5 usaha yaitu: (1) peningkatan produksi pangan pokok, (2) stabilisasi harga bahan pangan, (3) peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan, (4) mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan, dan (5)  perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat.
Peningkatan produksi pangan pokok dicapai melalui 15 kegiatan. Di antaranya yang berkenaan dengan kedaulatan pangan adalah: pengembangan 1000 Desa Mandiri Benih, pemulihan kualitas kesuburan lahan yang airnya tercemar, pengembangan 1000 desa pertanian organik, pencipataan sistem inovasi nasional, perluasan lahan kering 1 juta ha, pendirian unit perbankan untuk pertanian, peningkatan kemampuan petani dan organisasi petani, pelibatan perempuan petani/pekerja, pencipataan daya tarik pertanian bagi TK muda, serta rehabilitasi 3 juta ha jaringan irigasi rusak dan bendungan.
Dalam Rencana Kerja Kementerian Pertanian 2015-2019, berbagai program yang akan dijalankan pemerintah adalah perluasan 1 juta ha lahan sawah baru, perluasan pertanian lahan kering 1 juta Ha di luar Jawa, perbaikan/pembangunan irigasi untuk 3 juta ha lahan sawah, pengendalian konversi lahan, pemulihan kesuburan lahan yang airnya tercemar, 1000 desa mandiri benih, pembangunan gudang dengan fasilitas pengolahan pascapanen di tiap sentra produksi, Bank pertanian dan UMKM, peningkatan kemampuan petani, pengendalian impor pangan, reforma agraria 9 juta Ha, 1000 Desa pertanian organik, terbangunnya 100 Techno Park dan 34 Science Park, serta pemanfaatan lahan bekas pertambangan.
Kedaulatan Pangan untuk Petani Kecil
Ide dasar kedaulatan pangan adalah mengangkat kesejahteraan petani kecil yang selama ini masih terpinggirkan. Pendekatan kedaulatan pangan lebih menghargai budaya lokal, sehingga petani dapat menanam varietas sendiri yang disukainya, dengan cara sendiri, dan memasak dengan selera sendiri karena menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga mendukung spenuhnya pola-pola pertanian yang berbasis keluarga. 
Kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi sendiri. Maka, reforma agraria menjadi hal yang sangat penting. Dalam hal distribusi, kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun perdagangan diselenggarakan apabila kebutuhan pangan individu hingga negara telah terpenuhi.
Inti kedaulatan pangan adalah pada petani, dengan memberi perhatian (recognition) dan memperkuat (enforcement) hak masyarakat secara bebas memutuskan pertanian dan kebijakan pangan untuk memerangi kelaparan dan kemiskinan. Hal ini diperkuat dalam UU No 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa: “Petani sebagai pelaku pembangunan Pertanian perlu diberi Perlindungan dan Pemberdayaan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan hak dasar Setiap Orang guna mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan secara berkelanjutan”.
Dalam konteks inilah, bahwa koperasi pertanian merupakan wadah sekaligus alat perjuangan petani untuk bersama-sama bersinergi menjalankan usahanya mencapai kedaulatan pangan. Di dalam koperasi, para petani akan memperoleh collective action yang kuat, dan menjadi alat untuk untuk mendapatkan posisi ekonomi yang kompetitif di antara berbagai pelaku ekonomi lain.
Peran Koperasi Pertanian sungguh Urgen
Berkenaan dengan koperasi, sudah lama disepakati suatu Nota Kesepakatan antara Menteri Pertanian dan Kementerian Koperasi dan UKM tentang Pembinaan dan Fasilitasi Gapoktan membentuk koperasi pertanian. Melalui nota No. 01/Mentan/MOU/OT.220/I/2011 dan No. 01/NKB/M.KUM/I/2011 ini telah disetujui bahwa Kementerian Pertanian bertanggung jawab dalam pengembangan sistem pemberdayaan petani dan kelembagaan petani.  Pengembangan Gapoktan akan diarahkan untuk membentuk “koperasi pertanian”, dan Gapoktan akan memperoleh latihan dan difasilitasi untuk mendapatkan badan hukum dari jajaran Kementerian Koperasi dan UMKM.
Landasan koperasi pertanian pada hakekatnya sama dengan koperasi jenis lain, yakni Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Koperasi. Kita semua menyadari bahwa Koperasi memiliki berbagai keunggulan, dimana sebagai badan usaha dapat melakukan kegiatan usahanya sendiri, namun dan dapat juga bekerja sama dengan badan usaha lain seperti perusahaan swasta maupun perusahaan negara.
Jika dihubungkan dengan UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3), koperasi merupakan salah satu bentuk Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP). Berbagai program di Kementerian Pertanian berupaya mengarah kepada koperasi sebagai organisasi petani yang berbadan hukum. Pengembangan Porgram PUAP misalnya, dimana di dalamnya juga dikembangkan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) diarahkan untuk berbadan hukum dengan membentuk koperasi. Saat ini, per Februari 2017, telah beroperasi 1.509 unit LKMA yang sedang mengarah kepada bentuk keperasi pertanian. Selain itu, sebagian Program Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) yang dikelola oleh Badan Ketahanan Pangan juga mengarah kepada koperasi jika sudah memenuhi syarat, yang menjadi bidang usaha dari Gapoktan sebagai induk organisasinya.
Koperasi pertanian dapat mengambil beberapa bentuk berdasarkan jenis usahanya, yaitu sebagai Koperasi Produksi, Koperasi Konsumsi, Koperasi Jasa, Koperasi Simpan Pinjam, dan juga Koperasi Serba Usaha. Sebagai misal, para petani sangat membutuhkan koperasi pemasaran hasil pertanian. Ada beberapa kelebihan yang dimiliki koperasi pemasaran hasil produksi pertanian yaitu dapat meningkatkan efisiensi usaha, meningkatnya cakupan usaha, meningkatkan posisi tawar petani dalam persaingan usaha, memperkuat dan memperluas jaringan usaha, mengurangi biaya transaksi, serta mengurangi resiko ketidakpastian. Kebutuhan untuk koperasi  pertanian di bidang pemasaran tidak terhindarkan dalam kondisi masih besarnya margin harga pada tingkat konsumen dan produsen, masih terbatasnya akses pasar petani, dan harga-harga yang masih sering berfluktuasi.
Koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an, dimana koperasi pertanian diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Saat itu kita mengenal adanya koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Saat ini, koperasi yang berkembang bagus adalah koperasi peternakan sapi perah  dan koperasi tebu rakyat.
Secara total, pada tahun 2015 ada sebanyak 150.223 koperasi aktif, dengan anggota 37, 8 juta orang. Khusus untuk sektor pertanian, per Februari 2017 telah ada 6.512 unit koperasi pertanian. Di sisi lain, total usaha pertanian saat ini hampir 25 juta unit, yang merupakan lebih kurang 60 % dari keseluruhan unit usaha yang ada secara nasional.  Satu ciri khas usaha di sektor pertanian adalah sebagian besar merupakan usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn.  Oleh karena itu, dengan kondisi ini daya dukungnya sangat lemah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pekerja. Salah satu strategi untuk memperkuat kondisi ini adalah mebangun jejaring usaha dan menyatukan diri dalam koperasi

*****