agraria (11) agribisnis (6) agriculture (3) agriculture innovation system (1) AIS (1) ASEAN (1) badan riset dan inovasi nasional (1) balai penyuluhan pertanian (1) beras (1) berdagang secara Islami (1) bertani dan berdagang secara Islami (1) bertani secara Islami (1) big data (1) bisnis (1) BPP (1) BRIN (1) buku (2) Buku Pertanian dunia 2020 (1) demo (1) ekonomi pertanian islam (1) family farming (1) food security (1) food sovereignity (1) hak petani (2) hukum adat (2) ilmu (1) inovasi (1) Iptek (1) Islam untuk petani (1) islamic agricultural economy (1) islamic agricultural socioeconomic (1) islamic food economy (1) kebijakan (19) kecamatan (1) kedaulatan pangan (6) kedaulatan petani atas pangan (2) kelembagaan (23) ketahanan pangan (4) konflik agaria (4) koperasi (2) korporasi (5) korporasi petani (5) korupsi (2) KPK (1) landreform (1) lembaga (18) mahasiswa (1) nelayan (2) organisasi (23) organisasi petani (4) pangan (2) partisipasi (1) pedagang (4) pedesaan (4) pembangunan (11) pembangunan pertanian (3) pembaruan agraria (2) pemberdayaan (5) pembiayaan (1) pendekatan pembangunan (14) penelitian (2) pengetahuan (1) pengukuran kelembagaan (2) pengukuran organisasi (2) penyuluh (7) penyuluhan pertanian (2) penyuluhan pertanian swasta (2) perdagangan (1) pertanian (1) petani (15) petani bermartabat (1) petani kecil (5) pintar (1) PPP (1) Program Serasi (1) public-private partnership (1) rawa (1) reforma agraria (1) sistem (1) sistem inovasi (1) sistem inovasi pertanian (1) social capital (4) sosial ekonomi pertanian islam (1) sosiologi pertanian islam (1) syariah (1) teori (17) valorisasi (1)

Sabtu, 31 Agustus 2019

Apa sih KORPORASI PETANI ?


Semenjak dua setengah tahun terakhir ini, jagad pertanian ramai dengan perbincangan tentang “korporasi petani”. Sebelumnya, sudah lebih dari lima dekade, kita hanya mengenal konsep “kelembagaan petani” yakni kelompok tani dan Gapoktan.
Ok sebelum mulai, sedikit catatan: semua social group yang ada pengurusnya, jelas anggotanya, dibentuk dengan sengaja, dll = adalah ORGANIZATION. Mestinya diterjemahkan jadi “organisasi petani”, bukannya kelembagaan petani. Makanya di google ga akan nemu “farmer institution”, kalau “farmer organization” banyak. Gampang nya, “kelembagaan .......” mestinya diikuti kata kerja, sedangkan “organisasi .......” diikuti kata benda. Deal ya, sip.
Dari mana urusan korporasi ini berawal?
Istilah “korporasi” menjadi isu ketika pada pertengahan tahun 2017, Presiden Joko Widodo tiba-tiba memperkenalkan konsep "korporasi petani" sebagai sebuah bentuk manajemen baru dalam pengelolaan agribisnis terutama padi. Hal ini semakin menguat ketika dibahas dalam Rapat Terbatas (Ratas) yang khusus membahas bagaimana "Mengkorporasikan Petani" yang diikuti oleh antara lain Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas. Selain itu hadir pula sejumlah Menteri Kabinet Kerja lainnya ditambah beberapa gubernur serta pimpinan PT Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) Pangan Terhubung Sukabumi.
Presiden Joko Widodo menjadikan konsep koperasi petani secara modern yang dimotori oleh PT Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) Pangan Terhubung di Sukabumi sebagai percontohan. Presiden mengapresiasi pendirian koperasi itu karena konsep korporasi petani dilakukan secara menyeluruh dari mulai pengolahan sampai penjualannya, termasuk pengemasan yang modern dan menarik, sehingga bisa masuk langsung ke industri retail.
Bahkan pada level on farm nya, usahatani padi dilakukan secara modern dengan melibatkan teknologi modern untuk mengetahui lokasi lahan, kondisi lahan, termasuk sistem pemasarannya yang dilakukan secara daring (cikal bakal 4.0 tea meureun ya). PT. BUMR Pangan Terhubung merupakan koperasi yang melakukan proses pengolahan beras dari hulu ke hilir dengan menggandeng para petani sekitar. Selain itu, koperasi itu juga memberikan pendampingan selama masa tanam termasuk menyediakan pinjaman modal. Panen dan pengemasannya pun kemudian diolah dengan menggunakan teknologi modern, termasuk penjualannya yang didistribusi secara langsung ke toko retail maupun menggunakan media sosial.
Apa sih “korporasi” ?
Sebelumnya, regulasi di seputaran Kementan ga kenal istilah ini. Pada UU No 19 tahun 2013 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani; UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; serta Permentan No. 82/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gapoktan misalnya; hanya mengenal istilah “kelembagaan petani”, “kelembagaan ekonomi petani” (KEP), dan “Badan Usaha Milik Petani” (BUMP). Baru lah pada Permentan No. 18/Permentan/RC.040/4/2018  tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani;  termaktub kata “korporasi”.
Nah, sesungguhnya apa yang disebut dengan “korporasi petani” tadi, lebih kurang ya itulah KEP atau BUMP tadi. Dalam Permentan No 18 tahun 2018,  disebutkan bahwa Korporasi Petani adalah “Kelembagaan Ekonomi Petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani”. Jadi, koprorasi petani ya KEP atau BUMP tadi, badan hukumnya bisa koperasi atau perusahaan.
Dalam referensi “korporasi” (corporation) adalah “.... a company, a group of people or an organization authorized to act as a single entity (legally a person) and recognized as such in law. Beberapa kata kunci untuk menjelaskan nya adalah: business, company, firm, enterprise, organization, establishment, corporate body. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI) “korporasi” adalah badan usaha yang sah; badan hukum; perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar. Kata corporate biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah perusahaan besar atau induk perusahaan. Artinya, perusahaan tersebut merupakan perusahaan inti yang memiliki bermacam-macam anak perusahaan di bawahnya. Korporasi biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah perusahaan yang besar, memiliki banyak anak perusahaan, sudah berdiri lama, terbukti tangguh, dan telah memberikan keuntungan yang besar.
Korporasi petani juga dimaksudkan untuk melindungi petani sebagai produsen utama bahan pangan dan meningkatkan keuntungan petani. Menteri Pertanian mengungkapkan, dengan besarnya jumlah petani saat ini sangat diperlukan kelembagaan petani yang profesional. Menurut Mentan: "Korporasi petani jadi di sebenarnya kelompok petani besar, dari kelompok tani nanti dikorporasikan. Jika korporasi petani berjalan bisa buat benih sendiri, bisa olah tanah sendiri, lalu biaya pengolahan bisa turun 40 persen karena menggunakan mekanisasi yang dikelola oleh manager profesional.
Apa ada paradigma baru dari pendekatan korporasi ini?
Ya, ada. Saya kira bisa disebut “korrporasi” membawa paradigma baru. Jika benar korporasi ini mau dijalankan, maka setidaknya beberapa perubahan akan terjadi dengan sendirinya, suka ga suka, yaitu:
1.                   Pemberdayaan tidak lagi berbasis charity, tapi BISNIS. Sebutlah ini suatu Empowerment bussiness based. Semua orang yang diajak ke kegiatan ini dimulai dengan DUIT. Bunyi ajakannya: “jika bapak ikut di sini, maka pendapatan bapak akan naik dua kali lipat, kapan? ......... tahun depan. Hehe”. Maka, ga ada lagi istilah petani “kurang sadar”. Yang ada adalah misalnya: “petani ga mau terlibat karena melihat keuntungan yang dijanjikan masih kecil”.
2.                   ERA BANTUAN demi bantuan akan berkurang dan BERAKHIR. Eranya diganti dengan pinjaman, saham, kerjasama, mitra, dst. Ini lah maksudnya prinsip subsidiary tersebut, jika masyarakat bisa menjalankan urusannya sendiri, ngapain negara ikut-ikut bantu. Menuju masyarakat madani, civil society. Kita sudah merdeka cukup lama, sudah saat nya kita coba paradigma baru.
3.                   Relasi yang dibangun RELASI BISNIS. Semua pihak, secara horizontal (sesama petani, sesama kelompok tani), maupun vertikal (antara petani dan pedagang, antara kelompok tani dengan perusahaan) merupakan relasi bisnis. Saling cari untung. Saling dapat untung. Kalau kira-kira merugikan ya ga usah ikut.
4.                   Organisasi petani tidak lagi hanya sebatas desa, tapi lebih besar dan lebih tinggi. Setidaknya satu korporasi bekerja pada LEVEL KECAMATAN. Sebelumnya kita hanya mengenal kelompok tani di level dusun, dan Gapoktan di level desa. Keatas nya? Belum kefikiran. Bagaimana satu Gapoktan berhubungan dengan satu Gapoktan ga pernah dibicarakan. Kenapa? Ya, karena pada hakekatnya KT dan Gapoktan kita bikin lebih untuk menyalurkan bantuan. Masih sebatas fungsi administratif. Ada cap kelompok, semua legal. Model begini lambat laun akan berakhir.
5.                   Korporasi tidak bisa lagi menjadi “milik” satu kementerian. Ia akan menjadi milik semua pihak. Ga milik si A atau si B. Tapi milik petani. KOPRORASI nya PETANI. Semua kementerian harus antri di belakangnya. Mau kasih ide apa, dukungan apa, silahkan. Tapi yang punya korporasi adalah PETANI. Milik PETANI. Makanya disebut “korporasi petani”. Makanya, saat ini setidaknya sudah ready PT MBN (Mitra Bumdes Nasional) untuk mendukung dalam permodalan, dengan berbagai skemanya.
Apakah Serasi menerapkan PPP?
Ada sedikit pertanyaan, apakah korporasi ini sejalan dengan ideologinya pemberdayaan global saat ini, yakni “public-private partenership” (PPP)? Saya kira, ya. Sejalan-sejalan saja, ga usah kuatir. Sesuai penjelasan di atas, korporasi  dikembangkan dengan basis bisnis, bukan “basis prorgam”. Sesuai teori, untuk bisnis yang paling efisien ya relasi pasar, ya oleh pelaku pasar. Itulah perusahaan-perusahaan swasta (private).
Apa PPP? “Public-private partenership is a long-term contract between a private party and a government entity, for providing a public asset or service, in which the private party bears significant risk and management responsibility, and remuneration is linked to performance". Simpelnya: PPP adalah kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan pemerintah. Artinya, semua pelaku bisnis yang ada di lapangan diajak kerjasama, tidak disingkirkan.  
PPP ini menjadi andalan lembaga-lembaga pemberdayaan dunia dalam pemberdayaan masyarakat, misalnya Fao dan Worldbank.  Serasi mestinya tidak meng-exluded pelaku-pelaku lain yang sudah eksis. Jika untuk menjalankan mesin huller canggih gunakan pengusaha-pengusaha yang sudah ada. Mereka sudah faham betul masalah mesin, sudah puluhan tahun. Mereka ini juga “petani. Dalam UU 16 tahun 2006 mereka disebut dengan “pelaku usaha”. Mereka juga aset bangsa. Tidak disingkirkan, tapi diajak kerjasama.
Selain Kementan, Kemendes dan grup BUMN sesungguhnya juga sudah menginisiasi perusahaan-perusahaan petani dengan bentuk dan tujuan yang sama dengan apa yang disebut dengan “korporasi Petani” dalam Permentan No 18 tahun 2018. Mereka menyebut kegiatan tersebut dengan “Pembinaan dan Digitalisasi Sistem Pertanian”  atau “Layanan Kewirausahaan Petani Melalui Digitalisasi Dan Korporasi Pertanian”. Kedua konsep ini memiliki banyak kesamaan, yaitu sama-sama membentuk organisasi usaha ekonomi formal berupa perusahaan berada di level kecamatan. Namun demikian, strategi  pengembangannya berbeda. Terbalik dengan Kementan yang menggunakan strategi dari bawah, yakni menumbuhkan korporasi-korporasi petani dengan mengembangkan dari Gapoktan-Gapoktan di desa; Kemendes dan BUMN memulai dari atas dengan menyediakan sumber permodalannya di tingkat nasional.
Pada 4 April 2017 telah dilakukan Penandatanganan Akta Notaris Pendirian PT Mitra BUMDes Nusantara. PT Mitra BUMDes Nusantara dibentuk sebagai holding untuk mengkoordinir BUMDes-BUMDes dengan kepemilikan saham 51% PT Mitra BUMDes Nusantara dan 49% BUMDes. Kesepakatan ini dilakukan berbagai pihak di antaranya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT),  BULOG, dan BUMN lain. Tujuan pokoknya adalah agar seluruh BUMDes di seluruh desa memiliki pendampingan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.
Apa Bentuk persisnya nanti korporasi?
Saat ini beredar berbagai istilah yang membingungkan khalayak, misalnya “koperasi yang dikorporasikan”, “mengkorporasikan petani”, “korporasi pangan”, dan lain-lain.
Ya, karena ini kata serapan, maka kita perlu mengok asbabun nuzulnya. Aslinya dari sana ada istilah “corporate” dan “corporation” yang kata benda; dan “corporative” yang kata sifat. Maka untuk kita di Indonesia, sebagai kata benda mestinya diterjemahkan menjadi “korporasi” dan untuk kata sifat bisa diterjemahkan menjadi “korporatif”.
Jika korporasi ya itu lah dia berbentuk koperasi atau perusahaan. Jika berbentuk koperasi, maka ia berupa “koperasi pusat”. Ini adalah sebuah bentuk secondary level organization, yakni organisasi yang anggotanya adalah beberapa organisasi primer (primary organization). Kalo primary organization anggotanya orang atau individu.  
Sesuai Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang koperasi, ada empat tingkatan koperasi yakni koperasi primer paling rendah, lalu Pusat di atas nya, lalu Gabungan, dan paling tinggi Induk. Maka, korporasi yang ada di level kecamatan tentunya merupakan sebuah “koperasi induk”. Menurut UU ini Koperasi Pusat merupakan gabungan dari paling sedikit 5 koperasi primer yang berbadan hukum dan biasanya berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.
Nah, jika nanti korporasi berbentuk perusahaan, maka ia gabungan perusahaan. Korporasi membawahi beberapa perusahaan kecil-kecil, misalnya perusahaan yang memproduksi benih ungl berlabel, perusahaan perdagangan pupuk, perusahaan penggilingan, dll.

Apakah sama korporasi dengan Corporate Farming ?

Maaf, saya beberapa kali ditanya tentang ini, baik langsung atapun melalui WA.
Jawabannya: BEDA. Beda banget. Corporate farming bermain di onfarm, korporasi bermain di off farm.
Korporasi tidak mengganggu gugat urusan petani di lahan (setidaknya untuk sementara). Petani silakan semai benih, mencangkul, membajak, menama, menyemprot, panen, jual; silahkan. Itu urusan petani. Korporasi MELAYANI PETANI. Korporasi adalah wujud dari mimpi petani selama ini. Mimpi yang rutin saban malam mendatangi petani adalah bagaimana caranya beli benih yang bagus tepat waktu, bagaimana bisa dapat pupuk murah dan bagus, dan bagaimana dapat air teratur, dan bagaimana pas nanti panen harga jual tinggi ga dipermainkan tengkulak.
Jadi, jika agribisnis kita bagi tiga (input, proses, dan output), maka korporasi bermain di input dan output, petani di proses. Yaitu menyediakan input yang bagus dan murah, dan membeli hasil petani dengan harga bagus. Lihat betapa indahnya niat korporasi. Tentu ga akan ada petani yang menolak.
Korporasi tidak hendak mengulang kegagalan program corporate farming yang lalu. Corporate farming pernah diujicobakan di beberapa lokasi di Indonesia untuk komoditas padi tahun 2000, lebih kental pada nuansa konsolidasi lahan yang dibalut dengan  penyatuan manajemen usahatani. Pernah digulirkan rencana rice estate dengan target 100.000 ha. Landasan ilmiah nya adalah karena tidak ekonomisnya pengusahaan karena penguasaan lahan petani padi yang sudah sangat sempit terutama di Jawa yakni di bawah 0,3 ha per rumah tangga. Dengan penyatuan lahan-lahan yang sempit ini kepada satu manajemen, maka akan dicapai efisiensi teknis dan ekonomis.
Dalam pola ini para petani yang memiliki lahan sempit dapat menyerahkan pengelolaan lahannya kepada suatu organisasi agribisnis melalui perjanjian kerja sama ekonomi. Jadi petani selaku pemegang saham sesuai luas kepemilikannya. Melalui corporate farming akan mampu ditingkatkan produktivitas lahan karena menggunakan teknologi paling unggul, dimana beberapa teknologi menuntut skala minimal agar lebih ekonomis misalnya operasional traktor pengolah tanah.
Ini tentu ide yang bagus. Namun hambatannya lebih pada sosiologis-psikologis. Petani yang lahannya segitu-gitunya rasa ga percaya, apalagi jika pematangnya dihancurkan demi efisiensi kerja mesin.
Kira-kira demikian lah, gambaran ringkas apa itu KORPORASI PETANI. Mungkin benar mungkin ga. Ini saya rumuskan dari berbagai referensi ditambah keterlibatan di Demfarm Korporasi Petani di Kab Karawang dan Program SERASI. Semoga mangfaat, thanks.

Rabu, 21 Agustus 2019

TORA untuk Pertanian


HARAPAN DARI TANAH OBJEK REFORMA AGRARIA (TORA) UNTUK PERLUASAN LAHAN PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI

Oleh: Syahyuti

(Tulisan dalam buku Bunga Rampai “Ragam Pemikiran Menjawab Isu Aktual Pertanian” PSEKP,  2018)

Pemerintah telah memprogramkan untuk melakukan reforma agraria seluas 9 juta ha lahan untuk dibagikan ke petani dalam kurun waktu lima tahun yakni dari tahun 2015 sampai 2019. Program landreform ini terbagi atas dua skema yaitu berupa legalisasi aset seluas 4,5 juta ha ditambah redistribusi lahan seluas 4,5 juta ha. Berbagai persiapan telah dijalankan mulai dari penyusunan basis hukumnya, penyiapan kelembagaan pelaksana, identifikasi lahan, serta sosialisasi sampai ke daerah.
Kementerian Pertanian sesungguhnya sangat berkepentingan dengan program ini, karena akan dapat menyediakan lahan pertanian yang cukup yang selama ini menjadi pembatas utama pencapaian swasembada pangan. Pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani belum bisa berjalan karena pembangunan pertanian dijalankan tanpa landreform. 
Hal ini merupakan terobosan yang sangat signifikan, di tengah sulitnya redistribusi lahan kepada petani. Jika ini bisa direalisasikan, maka selain secara makro mampu menyediakan luasan lahan nasional yang memadai, juga akan meningkatkan struktur penguasaan lahan di tingkat petani. Penguasaan lahan yang sempit dan bukan milik merupakan penyebab utama rendahnya pendapatan keluarga petani selama ini.
Tulisan ini memaparkan bagaimana perkembangan Program TORA, potensi perluasan lahan pertanian yang akan tersedia, serta bagaimana kesiapan jajaran Kementan untuk mengoptimalkan manfaat dari program ini. Bahan penulisan berasal dari berbagai sumber terbaru yang berupa laporan, dokumen kebijakan, serta berita resmi laman website institusi yang berperan langsung dalam Program TORA. Hal ini dilakukan karena topik tulisan ini menyampaikan suatu kondisi terbaru yang berkembang, tentu saja belum tersedia dalam bentuk laporan resmi yang terstruktur. 

Reforma Agraria dan Urgensi Redistribusi Lahan 
Redistribusi lahan merupakan inti dari reforma agraria, karena menjadi pendongkrak penting perubahan struktur penguasaan dan pada akhirnya akan menentukan kepada keberhasilan pembangunan pertanian secara nasional, serta memperbaiki struktur agraria di tingkat mikro. Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Sisi pertama berkenaan dengan hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. 
Sisi pertama disebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek nonlandreform”. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring dalam pembaruan agraria. Program TORA memfokuskan pada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform. Oleh karena itu, peran untuk pemenuhan aspek nonlandreformnya berasal dari Kementerian teknis yang terkait. 
Penstrukturan terhadap konsep ini sangat penting, karena Kementerian Pertanian misalnya lebih memiliki otoritas pada aspek nonlandreform. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini sudah sering terjadi dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar,  malah lalu menjualnya kembali karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al. 2002). 
Pentingnya distribusi lahan kepada petani juga disebutkan dalam UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Akses petani pada lahan dimungkinkan pada level yang maksimal, sehingga “hak sewa” dihilangkan. Secara umum, dalam UU ini tidak ada istilah “landreform.  Pasal 55-65 dari UU ini hanya mencantumkan istilah:  konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian. Pemerintah menyediakan kemudahan dengan pemberian paling luas dua hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani, yang telah digarap paling sedikit 5 tahun berturut-turut. Lalu pada Pasal 59 terbaca:  hak penggarapan hanya diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Artinya, pasal ini meniadakan peluang hak pemilikan untuk petani. Selanjutnya pada tanggal 5 November 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review atas UU No 19 tahun 2013. Keputusannya adalah bahwa “hak sewa” pada Pasal 59 bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 27 dan 28D ayat 1) dan merupakan praktik feodal Hindia Belanda, sehingga seluruh isi Pasal 59 tersebut dinyatakan tidak lagi memiliki hukum mengikat atau dibatalkan.

Kebutuhan Lahan untuk Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian membutuhkan lahan yang cukup untuk ekstensifikasi, terutama untuk tanaman pangan pokok. Agar dapat mencapai swasembada, maka untuk komoditas padi dibutuhkan lahan sawah seluas 14,98 juta ha, untuk jagung 6,21 juta ha, kedelai 2,27 juta ha, dan tebu 12,28 juta ha. Ketersediaan lahan baru sangat urgen, karena selama ini terpaksa hanya mengandalkan lahan sawah pada MT II dan MT III yang harus bersaing dengan berbagai tanaman lain. Karena itulah, misalnya Kementan mentargetkan untuk dapat mencetak sawah baru seluas 1 juta ha dalam 5 tahun ini (2015-2019), atau rata-rata 200.000 ha per tahun. 
Sudaryanto et al.   (2010) menganalisis kebutuhan pangan untuk beras, jagung, kedelai, ubi kayu dan gula pada tahun 2045, dimana masing-masing berturut-turut sebesar 46,8 juta ton, 23,6 juta ton, 3 juta ton, 12,6 juta ton dan 3,7 juta ton. Berdasarkan kebutuhan pangan tersebut, perlu perluasan lahan sawah sekitar 5,3 juta ha menjelang tahun 2045 dan lahan kering sekitar 10,3 juta ha (Sukarman dan Suharta 2010; Mulyani dan Agus 2017). Artinya, ada kekurangan 2,0 juta ha untuk sawah, serta 10,3 juta ha untuk lahan kering. Kebutuhan lahan ini dihitung dengan asumsi bahwa jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar ditanam sebagai tanaman musim kemarau di lahan sawah, sedangkan tebu ditanam terus-menerus dalam setahun, dan kebutuhan beras adalah jumlah kebutuhan konsumsi beras.
Untuk mencapai swasembada dan memposisikan Indonesia sebagai eksportir pangan, diperlukan sekitar 10,1 juta ha lahan sawah baku menjelang tahun 2045 (Ditjen Tanaman Pangan, 2016). Artinya, perlu ada penambahan 2 juta ha dari luas lahan sawah sekarang sekitar 8,1 juta ha, dengan asumsi  konversi lahan sawah bisa dikendalikan. Padahal, pencetakan sawah hanya mampu sekitar 20.000-30.000 ha/tahun (Ditjen PSP 2013). Hasil audit Kementan tahun 2012, luas sawah yang ada hanya 8,1 juta ha, dimana 4,4 juta ha merupakan sawah beririgasi, sedangkan sisanya 3,7 juta ha bukan irigasi (Irianto 2013). Potensi sawah baru terutama ada di Provinsi Papua, Sumatera Selatan, Riau, serta  Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Ketersediaan Lahan di Indonesia 
Pada intinya, perluasan lahan pertanian memungkinkan dilakukan karena lahan yang tersedia di Indonesia sangat cukup. Indonesia memiliki luas lahan 516.757.300 ha, dimana 191.009.000 ha di antaranya merupakan daratan. Dari luasan daratan tersebut, sesungguhnya 95.810.000 ha atau lebih kurang setengahnya dapat dijadikan lahan pertanian dalam artian secara geofisik (bentuk wilayah, lereng dan iklim). Dalam buku Irianto (2013), luas lahan yang dapat dijadikan pertanian lebih luas yakni 100,7 juta ha, dimana 24,5 juta ha berpotensi dijadikan sawah. Artinya, masih ada potensi sawah seluas 16,3 juta ha.
Saat ini sebagian besar lahan tersebut merupakan kawasan hutan. Sesuai dengan peta tutupan lahan, dari seluruh lahan di Indonesia, sebagian besar (66,2 persen) merupakan hutan. Urutan kedua lahan terluas berupa lahan perkebunan 10,3 persen, sedangkan sisanya di bawah 10 persen untuk semak dan rumput, kosong dan perkampungan, tegalan, sawah, dan perairan.
Masih tersedia 34,7 juta ha lahan hutan yang berpotensi menjadi lahan pertanian, yang terbagi atas Area Penggunaan Lain (APL) seluas 7,5 juta ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 6,8 juta ha, dan sisanya ada di kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 20,5 juta ha.
Untuk sawah misalnya, saat ini luas lahan baku sawah existing hanya 8,1 juta ha, namun ada potensi pengembangan setidaknya 8,3 juta ha sawah lagi. Potensi lahan sawah tersebut terdiri dari lahan rawa 2,98 juta ha ditambah non-rawa 5,3 juta ha. Untuk lahan kering, ada potensi pula seluas 22,4 juta ha, yang terbagi atas lahan kering untuk pertanian tanaman semusim (7,1 juta ha) dan lahan kering yang sesuai untuk pertanian tanaman tahunan (15,3 juta ha). Demikian pula masih tersedia lahan gambut seluas 21,5 juta ha serta lahan rawa 33,5 juta ha.
Jika disilangkan antara struktur penguasaan dengan penggunaan, maka sebagian besar lahan dikuasai oleh negara dalam bentuk kawasan hutan. Dari total lahan di Indonesia, penguasaan oleh negara 70%, lalu diikuti oleh penguasaan perseorangan 16%, badan hukum privat 10%, dan hanya  4% saja yang dikuasai oleh para petani gurem (BPN 2016). Terkait bentuk hak penguasaan, Tabel 1 memaparkan bahwa sebagian besar hak penguasaan berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Milik (HM).

Tabel 1. Luas dan jumlah bidang tanah bersertifikat  per jenis hak di Indonesia, 2016

Jenis Hak Penguasaan Tanah
Luas (M2)
Jumlah Bidang Tanah (Unit)
1.                Hak milik
361.320.562.301
22.838.590
2.                Hak guna usaha
336.896.121.067
10.368
3.                Hak guna bangunan
26.837.692.789
3.227.570
4.                Hak pakai
3.690.708.486
250.411
5.                Hak pengelolaan
761.398.580
3.504
6.                Hak wakaf
35.418.112
36.345

Sumber: BPN (2016)

Dari potensi lahan yang ada, masih tersedia lahan gambut yang juga berpotensi untuk dijadikan sawah dengan total luas 21,5 juta ha. Saat ini lahan tersebut berada di luar kawasan hutan seluas 9,4 juta ha dan di kawasan hutan seluas 12,1 juta ha. Dari lahan tersebut, yang bisa diolah untuk lahan pertanian sepertiganya (6 juta ha). Total luas lahan gambut dan lahan mineral yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan pertanian serta berada di areal penggunaan lain (APL) sekitar 8,0 juta ha, sisanya 7,8 juta ha berada di kawasan hutan, yaitu berada di hutan produksi konversi (HPK), kawasan hutan produksi (HP) dan kawasan hutan lainnya (hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan lainnya) (Mulyani et al. 2016). 
Untuk lahan rawa, sesungguhnya tersedia berupa lahan pasang surut 20,2 juta ha, dimana yang potensial untuk sawah lebih kurang setengahnya (9,5 juta ha). Rawa lebak juga tersedia 13,3 juta ha, dan masih sangat sedikit yang sudah diusahakan (0,7 juta ha).
Lahan cadangan Indonesia yang saat ini terindikasi tersedia hanya 15,8 juta ha atau 18,7 juta ha jika moratorium tidak diberlakukan lagi. Dari 15,8 juta ha lahan telantar yang potensial tersedia, hampir 7 juta ha sudah memiliki ijin, terluas terdapat di APL seluas 3,4 juta ha dan di HP seluas 2,6 juta ha (Mulyani et al. 2016). Lahan yang sudah berijin ini pada umumnya akan digunakan untuk perkebunan. Artinya, peluang pengembangan pertanian di lahan telantar yang berada di APL sudah sangat terbatas (hanya tersisa 4,6 juta ha), terluas berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Seluruh lahan di APL yang belum memiliki ijin, kemungkinan besar telah dimiliki oleh perseorangan. Lahan ini biasanya sempit dan terpencar di seluruh Indonesia dan setiap pemilik lahan mempunyai rencana sendiri untuk penggunaan lahannya.
Menjelang tahun 2045 kompetisi penggunaan lahan untuk berbagai sektor akan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Peluang terbesar untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dari aspek legalitas adalah lahan negara yang belum berijin yang berada di areal HPK seluas 1,7 juta ha dan di areal HP seluas 1,6 juta ha. 
Khusus untuk lahan terlantar, menurut perhitungan Mulyani dan Agus (2017), dari total 29,8 juta ha yang terlantar saat ini, ada 7,9 juta ha yang dapat dijadikan lahan pertanian; setelah disisihkan lahan yang berada dalam kebijakan moratorium, kawasan hutan, serta lahan yang sudah memiliki izin usaha. Namun demikian, lahan yang potensial ini ada di kawasan APL 4,6 juta ha, hutan produksi 1,6 juta ha dan di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi  seluas 1,7 juta ha. Point nya adalah bahwa ada harapan besar untuk memanfaatkan lahan terlantar ini untuk pertanian.

Program Reformasi Agraria dengan berbasis Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 
Program reforma agraria dengan membagikan TORA seluas 9 juta ha berpijak pada Nawacita Presiden Jokowi (berjudul Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian). Dari sembilan agenda, reforma agraria tertulis pada agenda ke-5 di bawah subjudul “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia”. Janji ini lalu tertuang dalam RPJMN 2015-2019 yakni “Reforma Agraria melalui redistribusi tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat”. Dengan dasar ini, maka lahirlah kesepakatan tiga menteri yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementrian Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ketiga Menteri sepakat membentuk “Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP)”.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden terus mengingatkan akan pentingnya persoalan ini. Dalam sidang kabinet terbatas yang membahas reforma agraria pada tanggal 24 Agustus 2016 misalnya, Presiden Jokowi memberi amanat yang intinya adalah bahwa reforma agraria harus dipercepat pelaksanaannya. “Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Reforma agraria juga harus bisa menjadi cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antar masyarakat dengan perusahaan, antar masyarakat dengan pemerintah” (Kantor Staf Presiden RI  2017). 
Dalam bentuk yang lebih operasional, Kantor Staf Presiden juga telah mengeluarkan buku  “Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017” (Kantor Staf Presiden RI  2017). Buku ini disusun atas Perpres No. 45 tahun 2016 tentang RKP Tahun 2017 yang memuat lima Program Prioritas Reforma Agraria. Disebutkan pula bahwa pelaksanaan Reforma Agraria ini secara khusus akan dikendalikan Kantor Staf Presiden (KSP), sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden.
Buku ini menjadi arahan bagi penyusunan Prioritas Nasional Reforma Agraria sebagaimana tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Kegiatan reforma agraria mencakup lima komponen utama, yakni:

1.      Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, ditujukan untuk menyediakan basis regulasi yang memadai bagi pelaksanaan agenda-agenda reforma agraria dan menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam konflik-konflik agraria.
2.      Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk mengidentifikasi subyek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan penguasaan dan kepemilikannya.
3.      Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan ekonomi dengan meredistribusikan lahan menjadi milik rakyat.
4.      Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan, dan Produksi atas Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru.
5.      Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah, untuk memastikan tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.

Program reforma agraria seluas 9 juta ha terbagi atas dua bentuk kegiatan yakni legalisasi aset dan redistribusi lahan (Tabel 2). Untuk program redistibusi, lahannya berasal dari bekas HGU, tanah terlantar, tanah negara, pelepasan kawasan hutan, hutan produksi untuk konversi. Lahan ini diperuntukkan bagi buruh tani, petani gurem, masyarakat adat, nelayan, pemuda,  dan perempuan. Pelepasan kawasan hutan (4,1 juta ha) merupakan  alokasi 20% perusahaan perkebunan dari pelepasan kawasan hutan, dan seluas 2,1 juta Ha dari HPK di kawasan hutan yang tidak produktif.

Tabel 2. Kegiatan dan target luas lahan dalam program reforma agraria tahun 2015-2019

Bentuk program
luas (juta ha)

Legalisasi aset:

4,5
a.                Tanah transmigrasi yang belum bersertifikat
0,6
b.                Sertifikasi tanah (PRONA, lintas sektor, dll)
3,9
Redistibusi tanah:
4,5
a.                HGU habis dan tanah terlantar
0,4
b.                Pelepasan kawasan hutan
4,1

Total

9,0

Sumber: KLHK (2018).

Menurut informasi dari Kementerian LHK, sesungguhnya jumlah lahan hutan yang berpotensi didistribusikan sedikit lebih luas, yakni 4,8 juta ha (Tabel 3). Lahan tersebut terbagi atas tujuh kriteria, dimana yang paling luas merupakan bagian dari 20 persen kawasan hutan untuk perkebunan. Lahan-lahan ini tersebar di 26 propinsi, dan yang paling luas adalah di Pulau Kalimantan (Tabel 4).

Tabel 3. Alokasi TORA sesuai dengan SK Menteri LHK No.180 tahun 2017

Kriteria
Luas (Ha)
1.                Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan
437.937
2.                Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) berhutan tidak produktif
2.169.960
3.                Program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru
65.363
4.                Permukiman Transmigrasi beserta fasos-fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip
514.909
5.                Permukiman, fasos dan fasum
439.116
6.                Lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat
379.227
7.                Pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat
847.038
 Jumlah
4.853.549

Sumber: KLHK (2018).

Tabel 4. Tabel potensi lahan TORA per provinsi

Provinsi

Luas (ha)
1.                NAD
44.736
2.                Sumatera Utara
272.343
3.                Sumatera Barat
122.446
4.                Riau
387.452
5.                Kepulauan Riau
151.345
6.                Jambi
13.389
7.                Sumatera Selatan
221.018
8.                Kep. Bangka Belitung
14.776
9.                Bengkulu
17.482
10.             Kalimantan Barat
113.172
11.             Kalimantan Tengah
990.996
12.             Kalimantan Utara
121.660
13.             Kalimantan Timur
230.246
14.             Kalimantan Selatan
182.212
15.             Sulawesi Tenggara
118.300
16.             Sulawesi Utara
14.389
17.             Sulawesi Tengah
99.180
18.             Sulawesi Barat
66.789
19.             Sulawesi Selatan
87.260
20.             Gorontalo
41.037
21.             NTB
6.075
22.             NTT
88.243
23.             Maluku
369.591
24.             Maluku Utara
263.790
25.             Papua
642.152
26.             Papua Barat
173.470
TOTAL
4.853.549

Sumber: KLHK (2018).

Dalam Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015-2019 (Permen LHK No. P.39/MenLHK-Setjen/2015), pemanfaatan ruang di Indonesia senantiasa menampilkan dua sisi yang saling berlainan yakni pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh, namun indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH), selama 3 tahun terakhir justru menunjukkan penurunan, yakni  tahun 2011 sebesar 65,5, lalu turun menjadi 64,2, dan  tahun 2013 turun lagi menjadi 63,1. 
Pembangunan Kementerian LHK 2015-2019 di bawah payung pembangunan berkelanjutan memposisikan  keberadaan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan Indonesia. Berkenaan dengan TORA, dalam Renstra KLHK ini terbaca bahwa tahun 2015 ditargetkan sebagai persiapan peningkatan akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan seluas 12,7 juta ha (Program Perhutanan Sosial), serta persiapan dan pelaksanaan reformasi agraria dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi berupa legalisasi aset seluas 0,6 juta ha dan redistribusi tanah seluas 3,5 juta ha.  Dengan kata lain, luas kawasan hutan untuk pengembangan pertanian hasil reforma agraria seluas 4,1 juta ha.
Program TORA ini disambut pula di Kantor Kementerian ATR/BPN. Dalam Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 25 tahun 2015 tentang Renstra tahun 2015-2019, di bawah agenda ke lima yakni “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia” terdapat sub agenda “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Marginal melalui Pelaksanaan Program Indonesia Kerja”, dimana sasaran penyediaan adalah Sumber Tanah Objek Reforma Agraria. BPN telah menargetkan perannya berupa “Pemberian hak milik atas tanah (melalui redistribusi dan legalisasi aset)”. Redistribusi tanah melalui dua strategi yaitu: (1) koordinasi lokasi redistribusi tanah, dan (2) menjamin pelaksanaan distribusi hak atas tanah bagi petani, buruh lahan dan nelayan. Sedangkan legalisasi aset disertai dengan program pemberdayaan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, Kementerian ATR/BPN menyiapkan program TORA yang diawali dengan IP4T yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Bersama (ATR/BPN, Dalam Negeri, Kehutanan, PU‐Pera). Adapun obyek IP4T ini diprioritaskan pada Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung, sedangkan yang berada di Hutan Produksi yang dapat dikonversi menjadi prioritas berikutnya. Untuk redistribusi tanah, BPN menyiapkan program penataan hubungan hukum keagrariaan, dengan terwujudnya kepastian hukum hak atas tanah serta terwujudnya pemberdayaan masyarakat penerima redistribusi dan legalisasi aset.

Instrumen Pelepasan Kawasan Hutan untuk TORA 
Kementerian LHK telah menyiapkan perangkat hukum untuk pelaksanaan TORA yakni untuk Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan dengan menggunakan Perpres No 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Sedangkan untuk Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak produktif dan program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru (2,8 juta ha) menggunakan PP.104/2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Khusus untuk Permukiman Transmigrasi beserta fasos-fasumnya; Permukiman, fasos dan fasum; lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; serta pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat  berdasarkan kepada PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Perpres No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Untuk dua kementerian LHK dan ATR/BPN, juga telah dihasilkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.  361/Kpts-Vii/90 dan 18 – XI – 1990 tentang Petunjuk Teknis Penataan Batas dan Pengukuran Kadastral dalam Rangka Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian.

Program Perhutanan Sosial 
Di luar program TORA, sesungguhnya ada mekanisme lain yang juga memberi peluang besar untuk perluasan lahan pertanian, yakni program Perhutanan Sosial. Ada potensi seluas 12,7 juta ha, dimana sampai 2019 ditargetkan bisa terealisasi seluas 4,3 juta ha. Hutan dimaksud terdiri dari hutan desa 491.963 ha, hutan kemasyarakatan 244.404 ha, hutan tanaman rakyat 232.050 ha, kemitraan kehutanan 71.608 ha, hutan adat 8.746 ha, dan izin di areal Perhutani 4.675 ha. Peruntukan lahan tersebut diutamakan untuk dikelola oleh koperasi, kelompok tani, dan Gapoktan.
Program ini telah berjalan lama sebagaimana kita kenal dengan program social forestry. Program ini menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari, dimana saat ini misalnya terdapat 25.683 desa yang berada dalam kawasan hutan. Khusus untuk periode November 2014 sampai Agustus 2017, telah dilakukan perhutanan sosial seluas 604.373 ha untuk 239.341 KK. Pada bulan November 2017, Presiden menyerahkan SK perhutanan sosial di Kabupaten Bekasi untuk 2.144 ha dan di Jatim 2.827 ha. Pada 4 November 2017, pemberian SK perhutanan sosial dilanjutkan di Kabupaten Boyolali seluas 1.890 ha untuk 1.687 KK.

Perkembangan Kelembagaan Pelaksanaan TORA 
Dari kesepakatan tiga menteri tentang reforma agraria antara Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada akhir Desember 2015 Mentan telah menemui Menteri LHK membahas kebutuhan lahan 2 juta ha untuk investasi komoditas jagung, sapi, dan tebu. Penanaman jagung direncanakan dengan Perhutani di Jatim dan Jateng, tebu di Lampung dan Sultra, sedangkan sapi di Sultra, Kaltim, dan Kalteng. Pada saat itu disetujui akan dibentuk tim teknis yang beranggotakan tiga kementerian berupa “Tim Percepatan Pengadaan Lahan Pertanian”, selanjutnya diwacanakan dirubah menjadi “Tim Percepatan Pencadangan Lahan Investasi Industri Gula dan Sapi”. Pengadaan lahan seluas 2 juta ha tersebut adalah untuk pengembangan lahan tebu seluas 1 juta ha sedangkan sisanya untuk jagung (600.000 ha) dan pembibitan sapi (400.000 ha). Lahan yang direncanakan adalah lahan HGU yang tidak sesuai peruntukan.
Pada 24 Januari 2017 diumumkan telah terbentuk Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP). Sesuai dengan Peraturan Menteri LHK P.81/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016tentang Kerja Sama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan,  pasal 5 ayat (2): “...pengembangan tanaman pangan dan ternak di wilayah tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan di Areal Kerja Perum Perhutani dapat dilakukan dengan skema kerja sama antara KPH atau Perum Perhutani dengan mitra kerja sama“. Lalu pada Pasal 6 ayat (1):  mitra kerja sama meliputi BUMN, BUMD, BUMS, atau koperasi. Direncanakan untuk PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) di Sampit; sedangkan untuk PTPN X, XI, dan PT Wahyu Daya Mandiri di Jawa Timur.
Pada 24 Februari 2017, Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP) memberi waktu kepada 11 perusahaan untuk mengajukan permohonan izin pemanfaatan lahan Perhutani guna kegiatan investasi pertanian kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hingga April 2017. Perusahaan harus melengkapi persyaratan seperti kepastian lahan, proposal, peta, nota kesepahaman, jaminan 20% (bank garansi), dan kelayakan usaha. Sesuai Permen LHK Nomor P.81/2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan, telah dicapai kemajuan untuk penanaman tebu oleh 9 perusahaan dan  pengusahaan sapi oleh 2 perusahaan, sedangkan untuk jagung belum ada lahan yang sesuai. Perhutani menyiapkan lahan seluas 67.000 ha yang terbagi di Jawa Barat dan Banten seluas 22.001 ha,  Jawa Tengah seluas 19.492 ha, dan Jawa Timur seluas 21.207 ha.
Saat ini sudah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja), yaitu: (1) Pokja I:  pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial, diketuai KLHK; (2) Pokja II: redistribusi dan legalisasi TORA, diketuai Kementrian ATR/BPN, dan (3) Pokja III: pemberdayaan ekonomi masyarakat, diketuai oleh Kementrian Desa PDTT. Tahun 2018 aksi reforma agraria ini ini sudah memfokuskan diri di level propinsi dan kabupaten.  Dengan demikian, Kementerian Pertanian dengan jajarannya di daerah perlu menjadi stakeholders yang berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan ini, terutama untuk menjamin bahwa lahan yang dibagikan sesuai untuk usaha pertanian.
Selama dua tahun terakhir hingga Desember 2017, khusus untuk skema redistribusi lahan telah berhasil direalisasikan lebih dari 1.457  ribu ha (Tabel 5). Namun, dari 7 kriteria lahan yang akan dibagikan, baru berhasil untuk 3 kriteria saja yakni dari 20% kawasan hutan untuk perkebunan, pemukiman transmigrasi dan pemukiman beserta Fasos dan Fasum nya.

Tabel 5. Perkembangan dan rencana penyelesaian TORA

Kriteria
Luas Indikatif (Ha)
Luas Target (Ha)
Luas Realisasi S/D Desember 2016
Luas Realisasi S/D Des 2017
Rencana
2018
2019
Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan
437.937 (*)
437.937
341.731
375.123

62.814
Hutan Produksi yang dapat DiKonversi (HPK) berhutan tidak produktif
2.169.960
1.801.021


702.843
1.098.178
Program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru
65.363
65.363


30.517
34.846
Permukiman transmigrasi beserta fasos-fasum
514.909
514.909
41.367
50.708
80.157
384.044
Permukiman, fasos dan fasum
439.116
419.352
324.292
324.292
816.904
174.340
Lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat
379.227
296.184




Pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat
847.038
600.000




 Jumlah
4.853.549
4.134.766
707.390
750.123
1.630.421
1.754.222

Sumber: KLHK (2018)


Sementara, untuk skema legalisasi aset, dari target sertifikasi 3,9 juta ha, realisasi sampai Agustus 2017 telah berhasil dibagikan sebanyak 2.888.993 sertifikat mencakup 245.097 bidang, dari target sertifikasi sebanyak 5 juta sertifikat. Berikutnya target 2018 ditingkatkan menjadi 7 juta sertifikat dan target tahun 2019 naik lagi menjadi 9 juta sertifikat.

Penutup: Kementerian Teknis Harus Lebih Proaktif 
Ada banyak pihak yang berkepentingan dengan keberhasilan Program TORA ini, terutama Kementerian Pertanian yang sangat membutuhkan perluasan lahan pertanian. Namun, dengan waktu yang berjalan, dapat dikatakan bahwa realisasi TORA belum berjalan mulus, padahal masa kerja Presiden Jokowi-JK tinggal dua tahun lagi. Program TORA (legalisasi dan redistribusi) juga baru sebatas aspek landreform (pembagian lahan), sedangkan aspek non-landreform (akses reform) nya belum terlihat. Optimalisasi lahan TORA membutuhkan kedua aspek ini sekaligus, dimana Kementerian Pertanian sebagai kementerian teknis mendukung berupa penyediaan prasarana dan sarana usaha agribisnis mulai dari penyediaan air irigasi, input usahatani, teknologi, permodalan, dan pasar.
Redistribusi lahan kehutanan untuk pertanian jelas merupakan terobosan besar dalam mengatasi kemandekan perluasan lahan pertanian selama ini, yang bahkan setiap tahun dihantui oleh konversi yang sulit dikendalikan. Keberhasilan Program TORA dalam bentuk redistribusi lahan memberikan pengaruh makro yang sangat positif, karena menyediakan lahan baru yang sangat signifikan dan sangat membantu pencapaian target-target swasembada pangan nasional.  Sementara, legalisasi aset (pemberian sertifikat tanah) memberi pengaruh mikro yang baik bagi keluarga petani, karena akan mampu menjadi modal yang besar untuk petani dalam berusahatani dan mengembangkan agribisnis.
Di luar Program TORA, masih tersimpan ribuan konflik agraria yang juga membutuhkan perhatian, yang sebagian bisa diselesaikan dari program ini. Agar lebih berhasil maka reforma agraria yang genuine perlu dilakukan secara partisipatif sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga monev dan dampak. Kementerian Pertanian tentu harus lebih proaktif mulai dari Pusat sampai Daerah, sehingga program ini bisa efektif dan memberikan dampak secara optimal bagi tujuan-tujuan pembangunan pertanian.
Program TORA dapat diposisikan sebagai Reforma Agraria Abad ke 21. Reforma agraria pada era ini memiliki kondisi yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Bagaimana bentuk pelaksanaan reforma agraria yang ideal, misalnya ide tentang landreform oleh pasar mendapatkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pentingnya peran pasar dalam reforma agraria (market­ assisted land reform) misalnya didukung oleh de Janvry et al. (2001). Ia menyatakan betapa pentingnya akses atas tanah berupa kebijakan landreform dan aksi‐aksi kolektif untuk memerangi kemiskinan di pedesaan.
Namun, pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (2001) yang melihat pentingnya usaha pertanian skala kecil dan redistribusi tanah secara massal untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Sementara Bernstein (2002) mengkritik pendekatan pasar maupun neo‐populis. Artikel Griffin et al. (2002) juga melihat pentingnya landreform sebagai strategi memerangi kebijakan yang bias perkotaan (urban bias policies).
Lebih jauh, Cousins (2007) menyatakan bahwa landreform pada era sebelumnya sering hanya memperhatikan isu lahan untuk pertanian dan pertumbuhan ekonomi nasional, pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan; padahal semestinya juga berkaitan dengan keadilan sosial (social justice). Untuk saat ini, basis landreform kepada ekonomi membutuhkan reformulasi baru di tengah perubahan dunia yang cepat saat ini. Hak atas tanah bukan hak universal dalam HAM, namun berhubungan dengan hak untuk mempunyai milik, hak atas rasa aman dan tenteram, hak bebas atas ancaman ketakutan, hak tidak dirampas miliknya secara sewenang-wenang, hak hidup, hak mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup, dan hak berperan serta dalam pengambilan keputusan.

Daftar Pustaka

[BPN] Badan Pertanahan Nasional. 2012. Peta penggunaan lahan skala 1:250.000. Jakarta (ID): Badan Pertanahan Nasional.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Basis data statistik pertanian [internet]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. [diunduh .....thn, bulan, tgl]; Tersedia dari https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/ newkom.asp
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2013. Peta status kawasan hutan di Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Peta Spasial Tutupan lahan Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Kebijakan Penyediaan Lahan Pertanian Melalui Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Bahan Presentasi. Bogor, 30 Januari 2018. Jakarta (ID): Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Ben Cousins. 2007.  Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments? [Internet] (cited 2017 Oct 23] Avalilable from: http://mokoro.co.uk/land-rights-article/land-and-agrarian-reform-in-the-21st-century-changing-realities-changing-arguments/ 
Bernstein. 2002. “Land Reform: taking a long(er) view”. Journal of Agrarian Change 2(4): 433-463.  https://doi.org/10.1111/1471-0366.00042 
de Janvry A, Sadoulet E.  2001.  Access to land and land policy reforms. The UN World Institute for Development Economics Research (UNU/WIDER). [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: http://mokoro.co.uk/land-rights-article/land-and-agrarian-reform-in-the-21st-century- https://www.staff.ncl.ac.uk/david.harvey/AEF806/AccessToLand.pdf
Griffin K, Khan AR, Ickowitz A. 2001. Poverty and distribution of  land. Department of Economics, University of California, Riverside. October 2001. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: https://pdfs.semanticscholar.org/5b73/35062a9ccf51f1eaf65cb51b97337fbd2cde.pdf 
[IFAD] International Fund for Agricultural Development. 2001. Rural poverty  report 2001: the challenge of ending rural poverty.  Oxford University Press. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: https://www.ifad.org/documents/10180/4cc4c554-d652-4cf7-993a-a2ba5513237a 
Irianto G. 2013. Kedaulatan lahan dan pangan: mimpi atau nyata. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Irianto G. 2014. Modernisasi pertanian Indonesia: solusi atasi problem utama pertanian.  Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. 
Jokowi, Kala J. 2014. Jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. visi, misi, dan program aksi Jokowi-Jusuf Kala, 2014. Jakarta. 
Kantor staf Presiden Republik Indonesia.  2017. Pelaksanaan reforma agraria.  Arahan kantor staf presiden: prioritas nasional reforma agraria dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017. Jakarta. 
Deininger K. 2003. Land policies for growth and poverty reduction (English). A World Bank policy research report. Washington, DC. World Bank Group. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: http://documents.worldbank.org/curated/en/485171468309336484/Land-policies-for-growth-and-poverty-reduction 
Mulyani A, Agus F. 2017. Kebutuhan dan ketersediaan lahan cadangan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai penyedia pangan dunia tahun 2045. Analisis Kebijakan Pertanian 15(1): 1-17. 
Mulyani A, Kuncoro D, Nursyamsi D, Agus F. 2016. Analisis konversi lahan sawah: penggunaan data spasial resolusi tinggi memperlihatkan laju konversi yang mengkhawatirkan. J Tanah dan Iklim. 40(2):43-55. 
[Permen LHK] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.39/MenLHK-Setjen/2015 tentang rencana strategis kementerian lingkungan hidup dan kehutanan tahun 2015-2019.
Sudaryanto T, Kustiari R, Saliem HP. 2010. Perkiraan kebutuhan pangan tahun 2010-2050. Hal. 1-24 dalam Buku analisis kecukupan sumber daya lahan mendukung ketahanan pangan nasional hingga tahun 2050. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Sukarman, Suharta N. 2010. Kebutuhan lahan kering untuk kecukupan produksi bahan pangan periode 2010-2050: Analisis sumberdaya lahan menuju ketahanan pangan berkelanjutan.  Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

*****