agraria (11) agribisnis (6) agriculture (3) agriculture innovation system (1) AIS (1) ASEAN (1) badan riset dan inovasi nasional (1) balai penyuluhan pertanian (1) beras (1) berdagang secara Islami (1) bertani dan berdagang secara Islami (1) bertani secara Islami (1) big data (1) bisnis (1) BPP (1) BRIN (1) buku (2) Buku Pertanian dunia 2020 (1) demo (1) ekonomi pertanian islam (1) family farming (1) food security (1) food sovereignity (1) hak petani (2) hukum adat (2) ilmu (1) inovasi (1) Iptek (1) Islam untuk petani (1) islamic agricultural economy (1) islamic agricultural socioeconomic (1) islamic food economy (1) kebijakan (19) kecamatan (1) kedaulatan pangan (6) kedaulatan petani atas pangan (2) kelembagaan (23) ketahanan pangan (4) konflik agaria (4) koperasi (2) korporasi (5) korporasi petani (5) korupsi (2) KPK (1) landreform (1) lembaga (18) mahasiswa (1) nelayan (2) organisasi (23) organisasi petani (4) pangan (2) partisipasi (1) pedagang (4) pedesaan (4) pembangunan (11) pembangunan pertanian (3) pembaruan agraria (2) pemberdayaan (5) pembiayaan (1) pendekatan pembangunan (14) penelitian (2) pengetahuan (1) pengukuran kelembagaan (2) pengukuran organisasi (2) penyuluh (7) penyuluhan pertanian (2) penyuluhan pertanian swasta (2) perdagangan (1) pertanian (1) petani (15) petani bermartabat (1) petani kecil (5) pintar (1) PPP (1) Program Serasi (1) public-private partnership (1) rawa (1) reforma agraria (1) sistem (1) sistem inovasi (1) sistem inovasi pertanian (1) social capital (4) sosial ekonomi pertanian islam (1) sosiologi pertanian islam (1) syariah (1) teori (17) valorisasi (1)

Jumat, 10 Agustus 2007

“Pemberdayaan” tidak sama dengan “Pembangunan”

Dari sisi lahirnya, kosep “pemberdayaan” muncul mulai tahun 1990-an, sedangkan “pembangunan” sudah lebih tua yaitu pasca PD-II (tahun 1950-an). Maka, sebenarnya “pemberdayaan” merupakan suatu antitesis dari “pendekatan isme pembangunan” (developmentalism). Sebagaimana kita tahu, semenjak diimplementasikan, konsep pembangunan yang semakin bermakna sebagai moderniasi telah banyak menuai kritik, terutama dari paradigma “ketergantungan” pada era 1970-an, ketika disadari bahwa pembangunan telah gagal dalam memerangi kemiskinan dan tidak mampu memberi kesejahteraan kepada masyarakat banyak.

Memang ada kesamannya, dimana pembangunan ataupun pemberdayaan, merupakan suatu perubahan sosial secara sengaja atau berencana. Dalam ilmu sosiologi pembangunan dikenal dua teori besar (grand theories) dalam hal bagaimana perubahan sosial berlangsung, sebagai penyebab perubahan, yaitu Max Weber yang memandang nilai-nilailah sebagai pendorong perubahan, sedangkan Karl Marx berpendapat aspek materialistiklah sebagai akar perubahan. Pada akhirnya, setiap perubahan selalu mengandung kedua aspek itu sekaligus.
Pembangunan, secara sederhana dimaknai dengan implementasi program dan proyek yang merupakan crashed program. Antara pemberdayaan dan pembangunan berbeda secara diametral, mulai dari posisi paradigmatiknya, pendekatan, strategi, sampai kepada bentuk aksi-askinya di lapangan, bahkan dalam cara mengindikasi keberhasilannya.

Pemberdayaan, yang berasal dari kata empowerment, bermakna sebagai pemberian power atau kemampuan kepada pihak yang selama ini lemah atau dilemahkan secara politis dan strukural. Setidaknya ada tiga kata kuncinya, yaitu: peran serta, partisipasi, transparansi, dan demokrasi. Pemberdayaan mensayaratkan peran serta yang setara antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan partsipasi yang penuh, dan dalam suasana yang demokratis, maka diharapkan akan terjadi alokasi-alokasi sumberdaya ekonomi, distribusi manfaat, dan akumulasi, sehingga dicapai peningkatan pendapatan dan kesejahteraan lapisan terbawah.

Cara yang paling mudah untuk memahami perbedaan “pemberdayaan” dan “pembangunan”, atau lebih khususnya antara crash program dengan empowerment program adalah dengan memperbandingakannya secara diametral sebagai berikut:

(1). Dari sisi aspek: konsep pembangunan merupakan crashed program yang bersifat jangka pendek, temporal, dan parsial; sedangkan pemberdayaan merupakan program berjangka menengah dan panjang, berkesinambungan, dan utuh.
(2). Arus ide: dalam pembangunan, ide mengalir topdown, terutama dari pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan indikator evaluasi; sedangkan pada pemberdayaan bottom-up dimana masyarakat sebagai pelaku aktif mulai dari perencanaan, dan pihak luar hanya sebagai fasilitator.
(3). Dalam pembagian dana: pada pembangunan semua dana dikuasai pelaksana dari luar; sedangkan pada pemberdayaan ada blok dana yang dapat digunakan sendiri oleh masyarakat.
(4). Struktur kekuasaan yang terbentuk: pada pembangunan struktur didominasi oleh pemerintah dan elite lokal; sedang pada pemberdayaan kekuasaan terdistribusi merata untuk seluruh lapisan, termasuk perempuan dan lapisan termiskin.
(5). Asumsi terhadap program: dalam pembangunan, program merupakan aktifitas pokok; sedang pada pemberdayaan hanya sebagai strategi antara untuk tujuan yang lebih luas dan panjang.
(6). Bentuk evaluasi: pada pembangunan berbentuk sentralitas, hanya mempelajari hambatan-hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan; sedang pada pemberdayaan dilakukan juga evaluasi normatif dan hasil untuk memahami kedalaman permasalahan yang terjadi.
(7). Pengguna hasil evaluasi: pada pembangunan hanya pelaksana yaitu pemerintah; sedang pada pemberdayaan seluruh pihak yang terlibat, terutama untuk masyarakat yang diberdayakan itu sendiri.
(8). Objek evaluasi: pada pembangunan terutama hanya hasil yang dicapai pada pemanfaat; sedangkan pada pemberdayaan objek evaluasi adalah seluruh pihak mulai dari si donor, lembaga pemerintah, pembina, pelaksana, dan pemanfaat (masyarakat). *****

1 komentar:

NelaSaraGratia mengatakan...

Hallo Pak..
Sebelumnya terimakasih atas pengetahuannya, sangat berguna.
Kalau boleh tau, ttg pemberdayaan Dan pembangunan ini menggunakan referensi dari siapa ya Pak? Sy mau Cari bukunya untuk bahan tesis sy. Terimakasih sblmnya :)