agraria (11) agribisnis (6) agriculture (3) agriculture innovation system (1) AIS (1) ASEAN (1) badan riset dan inovasi nasional (1) balai penyuluhan pertanian (1) beras (1) berdagang secara Islami (1) bertani dan berdagang secara Islami (1) bertani secara Islami (1) big data (1) bisnis (1) BPP (1) BRIN (1) buku (2) Buku Pertanian dunia 2020 (1) demo (1) ekonomi pertanian islam (1) family farming (1) food security (1) food sovereignity (1) hak petani (2) hukum adat (2) ilmu (1) inovasi (1) Iptek (1) Islam untuk petani (1) islamic agricultural economy (1) islamic agricultural socioeconomic (1) islamic food economy (1) kebijakan (19) kecamatan (1) kedaulatan pangan (6) kedaulatan petani atas pangan (2) kelembagaan (23) ketahanan pangan (4) konflik agaria (4) koperasi (2) korporasi (5) korporasi petani (5) korupsi (2) KPK (1) landreform (1) lembaga (18) mahasiswa (1) nelayan (2) organisasi (23) organisasi petani (4) pangan (2) partisipasi (1) pedagang (4) pedesaan (4) pembangunan (11) pembangunan pertanian (3) pembaruan agraria (2) pemberdayaan (5) pembiayaan (1) pendekatan pembangunan (14) penelitian (2) pengetahuan (1) pengukuran kelembagaan (2) pengukuran organisasi (2) penyuluh (7) penyuluhan pertanian (2) penyuluhan pertanian swasta (2) perdagangan (1) pertanian (1) petani (15) petani bermartabat (1) petani kecil (5) pintar (1) PPP (1) Program Serasi (1) public-private partnership (1) rawa (1) reforma agraria (1) sistem (1) sistem inovasi (1) sistem inovasi pertanian (1) social capital (4) sosial ekonomi pertanian islam (1) sosiologi pertanian islam (1) syariah (1) teori (17) valorisasi (1)

Selasa, 29 November 2011

Penyuluh Pertanian tidak Seharusnya Malu

Minggu terakhir bulan September 2011, berkembang berita di media massa nasional, bahwa penyuluh pertanian enggan ke sawah. Mereka malu program pembangunan pertanian tidak berjalan di daerahnya. Petani ditekan masalah pupuk yang langka dan mahal, serta benih unggul yang sulit diperoleh; namun penyuluh tidak mampu berbuat apa-apa.

Sikap penyuluh seperti ini merupakan dampak dari kesalahan pemahaman tentang posisi tenaga penyuluh. Kekeliruan ini dimiliki oleh media massa, serta bahkan pada penyuluh itu sendiri. Semestinya, penyuluh bukannya tidak harus malu, namun justeru harus semakin dekat dengan petani. PPL bersama-sama dengan petani dan stakeholders lain harus saling membantu untuk memecahkan hambatan ini. PPL jangan meninggalkan petani sendiri dengan berbagai persoalannya.

Pemahaman yang kurang tepat tentang siapa penyuluh dan bagaimana seharusnya memposisikannya, merupakan masalah yang berulang sejak zaman Bimas tahun 1960-an. Posisi penyuluh menjadi ajang tarik ulur semenjak tahun 1970-an awal sampai era reformasi sekarang. Karena itulah, tokoh-tokoh penyuluhan dengan gigih telah berusaha memperjuangkan posisi yang ideal bagi penyuluh di hadapan pemerintah. Mereka berusaha mendesakkan kebijakan yang kuat dan tegas, dengan memimpikan posisi yang terpisah dari pemerintah.

Mimpi ini mulai terwujud sebagai mana tercantum dalam UU No 16 tahun 2006. UU ini merupakan impian dari kalangan ahli penyuluhan semenjak dahulu, yaitu “membebaskan” posisi penyuluh dari perangkap sebagai petugas pemerintah. Penyuluh bukanlah semata hanya pelaksana program-program pemerintah. Peran utama penyuluh adalah sebagai pendidik petani, lebih mulia dari sekedar staf lapang belaka.

Sebagaimana jelas terbaca pada UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; penyuluh bekerja untuk peningkatan sumber daya manusia. Pada Pasal 1 disebutkan, bahwa sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Intinya, penyuluhan pertanian  adalah proses pembelajaran, bukan semata petugas lapang yang hanya memperlancar pelaksanaan program.

Dalam kondisi saat ini dimana pelayanan prasarana pertanian tidak sesuai harapan, semestinya penyuluh tetap mendampingi petani, mendiskusikan dan mencari solusi kreatif dari apa sumber daya yang ada dan mungkin dijalankan. Soal “rasa malu” tersebut tidaklah pada tempatnya. Perasaan ini timbul karena penyuluh memposisikan dirinya sebagai orang pemerintah, karena mereka PNS. Padahal, PPL adalah agen of change, bukan semata agen pembangunan. Meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya adalah tujuan utama dari pembangunan pertanian; dimana program pembangunan hanyalah salah satu alat belaka.

Penyuluh di era Bimas memang tumpang tindih dengan posisi sebagai pelaksana program. Mereka tidak sempat mempraktekkan sistem kerja yang ideal, dan terperangkap dalam metode “dipaksa, terpaksa, dan terbiasa”. Saat ini, semestinya metode ini sudah harus ditinggalkan.

Sebagai tindak lanjut dari amanat UU di atas, Kementerian Pertanian telah menluncurkan program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Program ini merupakan upaya mendudukkan, memerankan, memfungsikan, dan menata kembali penyuluhan pertanian agar terwujud satu kesatuan pengertian korps penyuluh, satu kesatuan arah dan satu kesatuan kebijakan. Salah satu tujuan dari RPP adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas penyuluhan, serta memenuhi jumlah tenaga Penyuluh Pertanian yang belum memadai.

Pemerintah mengimpikan komposisi “satu desa satu penyuluh”. Namun, dari total 74.683 desa di Indonesia, jumlah penyuluh pertanian PNS belum sampai setengahnya. Sampai tahun 2010, jumlah penyuluh PNS baru sebanyak 27.922 orang. Untuk menutupi ini diambil kebijakan untuk mengangkat Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Sampai pada tahun 2009, telah ada sebanyak 24.608 orang tenaga THL. Sayangnya, tidak sebagaimana PPL di era 1980-an, mereka tidak memperoleh pelatihan dan dukungan yang cukup. Mereka tidak cukup bekal untuk menghadapi petani. Bekal teknisnya lemah, sedangkan kemampuan manajemen dan sosiologis dasar tentang petani dan masyarakat desa juga rendah.

Persepsi yang juga keliru adalah memandang bahwa penyuluh hanya PPL yang bersatus PNS. Dalam UU yang baru ini, ada pula PPL dari kalanga swasta serta petani yang disebut dengan “PPL swadaya”. Ketiga macam PPL ini bekerja bersama memberdayakan seluruh pelaku usaha pertanian dengan meningkatkan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi. Selain itu, mereka juga bertugas melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi
pelaku utama secara berkelanjutan.

Sampai saat ini, pengembangan PPL swasta dan swadaya belum memiliki program yang jelas dan memadai. Persoalan pupuk dan benih yang langka dan mahal akan lebih mudah diurai jika PPL dari PNS dapat menjalin kerjasama untuk saling menolong dengan PNS swasta dan swadaya. (Syahyuti, Peneliti Sosiologi pada PSEKP, Bogor)

******

2 komentar:

Ori mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Amelia Siregar mengatakan...

Tak ada istilah PPL sekarang, semua disebut Penyuluh Pertanian, baik yg di lapang maupun yg di kantor. Seperti para guru, mereka punya jabatan fungsional dengan jenjang pangkat yg berbeda dan hampir punya jabatan profesi. Memang rata2 kemampuan penyuluh pertanian lebih rendah daripada petani, terutama kemampuan teknis dan manajerial namun kemampuan sosial mereka sangat baik, buktinya tak ada penyuluh pertanian yang ditolak/diusir petani. Hal ini mungkin disebabkan karena petani terus belajar melalui praktek usahataninya untuk menyambung hidup sedangkan penyuluh pertanian minat membacapun sudah menurun. Penyuluh Pertanian (PP) tidak mengikuti perkembangan teknologi terkini. Tak ada murid yg mau punya guru lebih bodoh darinya (percuma berguru!). SKKNI PP mensyaratkan PP harus punya kompetensi teknis 1 bidang ilmu, nahh.... bagaimana dg PP pusat? Apakah mereka tau ttg masalah petani kalau mereka hanya berada di kantor? siapa petani binaan mereka? apakah sudah cukup melakukan penyuluhan pertanian hanya dengan menulis di tabloid Sinar Tani? dengan menyunting hasil tulisan orang lain, apakah berguna???