Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jalan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161. @ 2006.
(dimuat dalam majalah Analisis Kebijakan Pertanian Vol.04 No.02 2006)
Pendahuluan
Satu kebijakan terakhir yang cukup penting di bidang agraria dan pertanian, adalah kebijakan tentang “lahan abadi”. Hal ini disampaikan pemerintah sebagai salah bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). Namun, jika dicermati secara mendalam, ada persoalan mendasar dibalik itu yang dapat menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yang menadasar tersebut adalah tidak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan.
Hal
ini sedikit banyak sama dengan sulitnya mengendalikan konversi lahan di
Inodnesia. Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi
lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek penggunaan dan
pemanfaatan lahan kurang memiliki landasan yang kuat dalam hukum agraria
nasional.
Hal
ini akan dibahas dalma tulisan ini, yang merupakan kajian terhadap sistem hukum
dan tata hukum agraria yang cenderung kurang mendukung kepada pembangunan
pertanian.
Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, masing-masing aspek diperhatikan oleh pihak yang berbeda. Sebagian besar pihak, terutama kalangan LSM misalnya, lebih banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform. Berbagai tulisan dan diskusi, khususnya yang berskala nasional, umumnya mengangkat topik “tanah untuk siapa”, bukan “tanah untuk apa”. Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, lebih memperhatikan kepada aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.
Jadi, satu permasalahan yang mendasar dalam perjuangan pembaruan agraria di Indonesia adalah terjadinya kesenjangan perhatian, di samping kesenjangan dalam hal semangat dan juga otoritas masing-masing pihak. Pihak yang fokus kepada aspek penguasaan bertolak dari filosofi tentang hak penguasaan petani terhadap tanah, karena itulah makna yang mendasar tentang ”kemerdekaan” bagi petani. Sebaliknya, di sisi pemerintah, di luar Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang merupakan instansi teknis, adalah pada peruntukannya. Di sisi lain, ada kalangan tertentu yang cenderung berpikir secara mikro dan teknis, sebaliknya pihak lain berfikir secara makro dan konseptual.
Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan agraria telah memberikan hasil yang parsial pula. Itulah kenapa Revolusi Hijau (aspek pengusahaan) yang tidak didahului oleh program landreform (aspek penguasaan), hanya mampu mencapai peningkatan produksi dan swasembada, namun tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya.
Dari sisi wacana, tulisan yang dipublikasikan di Indonesia khususnya didominasi oleh tulisan tentang aspek ”penguasaan dan pemilikan”. Untuk mengimbanginya, maka tulisan ini berupaya memberikan pengantar permasalahan teknis yang menghadang kita. Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran makro tentang permasalahan teknis yang mesti dipertimbangkan dalam merancang reforma agraria. Bahkan, tidak atau ada pun reforma agraria dalam konteks sebagai “gerakan”, persoalan ini tetap menjadi agenda yang mesti dipikirkan. Pada prinsipnya pembaruan agraria menuju pada kesejahteraan masyarakat. Aspek penguasaan maupun pengusahaan sesungguhnya sama-sama menuju kepada tujuan tersebut.
Secara
konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek
“penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini
misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang
terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001
Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan
agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan
kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”.
Aspek “penguasaan/pemilikan”
jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama
berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang
kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan
dimanfaatkan.
UUPA
No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yang sudah sejak tahun 2003 dimasukkan
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih
penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus
(Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh
UUPA hanya berisi 58 pasal.
Selain
jumlah pasal yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek
penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang,
pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4
ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya adalah,
bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah bagian
dari aspek pertama.
Keluarnya
produk hukum seperti ini dapat dimengerti, karena UUPA lahir di saat
permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, jauh lebih penting dari
aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yang disusun
selama tujuh tahun (mulai tahun 1953 sampai 1960), adalah bagaimana “merebut”
tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial menjadi
tanah negara dan rakyat Indonesia.
Dengan
pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa
peraturan ini tidak melindungi kegiatan
pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk
mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya
dengan tanah tersebut jelas. Beberapa akibat (dan implikasi) yang terlihat
selama ini dari paradigma berpikir UUPA tersebut adalah:
(1) Pemerintah
tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Itulah
kenapa Inpres dan berbagai Perda yang dikeluarkan berkenaan dengan konversi
lahan tidak bergigi. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa, Inpres dan Perda
tersebut tidak konsisten dengan UUPA.
(2) Implikasinya,
kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang dicetuskan dalam RPPK (Revitalisasi
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15
juta ha lahan kering, sesungguhnya tidak akan dapat direalisasikan. Penyebabnya
adalah karena peraturan yang ada, terutama UUPA sebagai hukum pokok agraria, tidak cukup menjamin
kebijakan tersebut.
(3) Lemahnya
pengaturan dalam “aspek penggunaan“ tersebut, secara tidak langsung juga
berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem
secara keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat
saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, karena hak pihak yang
menguasainya dijamin dalam UUPA.
Khusus
untuk Departemen Pertanian, wewenangnya terbatas “hanya” pada aspek kedua,
yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan
dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan produksi pertanian. Hal ini
selaras dengan sub-sub organisasi dalam Deptan yang terdiri dari bagian yang mengurusi
teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, memikirkan
pemasarannya, dan lain-lain. Jadi, dengan wewenang Deptan yang hanya terbatas
pada aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat
secara hukum, terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan
bahwa memang kegiatan pertanian kurang terjamin. Menyerahkan kegiatan
pertanian, produksi pertanian, dan
ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan
pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang
digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air)
tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri,
pariwisata, dan lain-lain.
Penstrukturan
terhadap konsep ini ini sangat penting, karena Deptan misalnya hanya memiliki
otoritas pada aspek non-landreform. Ketika landreform masih tinggal menjadi
wacana, Deptan (dan jajarannya) sulit untuk dituntut melakukan pembaruan
agraria secara utuh. Artinya, Deptan menjalankan “Pembaruan Agraria tanpa
Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka
aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi
tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan
pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini penulis temukan di Sukabumi,
dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang
sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena
mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah,
ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et
al., 2002).
“Aspek
landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan
tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi
setempat misalnya ketersediaan lapangan
kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik
penguasaan/pemilikan secara vertikal dan
horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”),
ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani
sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data.
Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya
adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan
harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima,
perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban
tanah guntay (absentee).
Sementara
pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang
penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor
geografi, topografi tanah, kesuburan
tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan
demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani,
serta insentif
dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini
di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat
pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik
penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan
agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah
secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas
tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian
kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta
pengembangan keorganisasian petani.
Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya
Lahan Pertanian dalam RPPK
Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Dari sisi sumberdaya lahan terbuka peluang besar untuk pembukaan lahan pertanian melalui (1) pemanfaatan lahan terlantar, yang dewasa ini diperkirakan mencapai luas 9,7 juta ha, dan (2) pembukaan lahan baru untuk pertanian.
Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha,
terdapat sekitar 101 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian tanpa mengganggu
keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan
lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Dengan demikian masih terbuka peluang
untuk perluasan pertanian, namun memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi
dan teknis, mengingat lahan tersebut diklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik
adat, atau milik pribadi. Kebijakan pertanian 5 tahun ke depan diarahkan untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan meningkatkan produksi berbagai komoditas
unggulan, dengan memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan usaha serta
kesejahteraan petani.
Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan
melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut
harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk
pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum
bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan
terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang
dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya.
Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas petapeta Lahan Sawah Utama yang
sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok.
Konsep
Penguasaan menurut Hukum
Selain
itu, karena strategi atau politik agrarian dalam UUPA menganut politik agraria
populis (menentang strategi kapitalis yang dapat menyebabkan penghisapan
manusia atas manusia/ exploitation de l’homme par l’homme dan menentang
strategi sosialis karena dianggap menegasikan hak-hak individual atas tanah)
maka terdapat perbedaan penguasaan atas lahan dibandingkan dengan negara-negara
lain.
Beberapa perbedaan penguasaan
atas lahan tersebut adalah:
(1)
Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (pasal 1 ayat 3
UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia
masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa
Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini seperti hak ulayat pada masyarakat
adat yang memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan
ataupun badan hukum;
(2)
Hanya warga negara Indonesia
saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21 ayat 1
UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan;
(3)
Warga negara asing tidak dapat memiliki hak atas dasar hak milik (pasal 26 ayat
6 UUPA);
(4)
Asas domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti
dengan hak menguasai dari negara, yang digunakan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA). Hak menguasai ini
dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/ kota , kecamatan dan desa)
dan bahkan pada suatu komunitas adat;
(5) Tanah mengandung fungsi sosial (pasal
6 UUPA). Fauzi (1999) menuliskan bahwa prinsip tanah berfungsi sosial ini
berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok) tidak
dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai
merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi
kepentingan umum;
(6) Prinsip land reform. Prinsip ini
terdapat pada pasal 13 jo pasal 17, tentang batas minimum luas tanah yang harus
dimiliki oleh seorang petani, supaya dapat hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya. Pada undang-undang ini tercantum pula batas maksimum luas tanah
yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (pasal 17 UUPA). Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah penguasaan tanah yang luas pada tangan segelintir
orang. Selanjutnya, pada pasal 7 UUPA dinyatakan pula pelarangan pemilikan
tanah yang melampaui batas, karena bisa merugikan kepentingan umum, khususnya
rakyat petani.
Bagaimanapun,
Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya
secara mandiri. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk, dihadapkan dengan
tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Di sisi lain, tenaga kerja
pertanian kita juga cukup banyak. Pada prinsipnya, kita harus mandiri di bidang
pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari sekadar swasembada, karena
memuat pula nuansa politik dan harga diri sebagai sebuah bangsa (Husodo, 2005).
Kebutuhan terhadap Lahan Pertanian
Hampir disepakati oleh seluruh pihak, bahwa visi untuk menjadikan Indonesia
sebagai bangsa yang mandiri merupakan sesuatu yang mutlak. Salah satu komponen
kemandirian tersebut adalah kemandirian dalam hal pangan. Di luar pangan, kita
juga memiliki potensi yang besar untuk merebut pasar dunia misalnya untuk
komoditas karet, kelapa sawit, kakao, kopi, teh, lada, serta perikanan dan
kehutanan.
Dalam konteks
kemandirian pangan, pemerintah telah menjadikan 5 komoditas sebagai komoditas
pokok, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan sapi. Seluruh komoditas kecuali
peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau
disebut sebagai land based agricultural
.
Jika Indonesia
ingin berswasembada untuk keempat jenis pangan tersebut, maka untuk saat ini
saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan tersebut dapat berupa lahan
sawah maupun lahan kering, namun memenuhi untuk penanaman tanaman semusim
seperti halnya jagung dan kedelai.
Tanah yang Tersedia
untuk Pertanian
Secara
umum, data yang dipublikasikan tentang ketersediaan tanah serta yang telah
digunakan saat ini tidak akurat dan tidak konsisten. Demikian pula dengan data
tentang potensi tanah yang dapat menjadi areal untuk pertanian.
Menurut
data di Badan Pertanhan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi
eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini
sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191
juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas
daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.Dalam konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga daya dukung lahan dan prinisp sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya (Tabel 2). Sesuai dengan fungsinya dan kepatutan penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah berupa hutan, sedangkan kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan non-hutan, yaitu untuk pertanian dan non-pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain).
Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan lindung yang seharusnya berupa hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian.
Salah
satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian adalah data
spasial (peta) potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting
tentang distribusi, luasan, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan
alternatif teknologi yang dapat diterapkan. Namun, hingga saat ini, informasi
sumberdaya lahan tersebut belum tersedia secara menyeluruh pada skala yang
memadai. Sebagai contoh, informasi sumberdaya lahan yang tersedia di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) Badan
Litbang Pertanian hanya peta pada skala eksplorasi (1:1.000.000), sedangkan
data/peta pada skala tinjau (1:250.000) baru sekitar 57 persen dari total
wilayah Indonesia, dan peta pada skala semi detil hingga detil (1:50.000 atau
lebih besar) hanya sekitar 13 persen dari total wilayah. Peta pada skala
eksplorasi (1:1.000.000) hanya sesuai digunakan sebagai acuan untuk perencanaan
atau arahan pengembangan komoditas secara nasional. Sedangkan untuk tujuan
operasional pengembangan pertanian di tingkat kabupaten/kecamatan, diperlukan
peta sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 atau lebih besar.
Berbeda
dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik
lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk
pertanian bukan 123,4 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama
dengan dokuemn RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah
seluas 100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini, ditemui data yang beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha.
Total
areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, mencakup mulai dari
sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika
disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta
ha), maka masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan
wilayah pertanian.
Lebih jauh dalam dokumen RPPK
terbaca, bahwa lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi
negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi
berupa lahan terlantar. Dengan demikian,
pengembangan areal tanaman pangan hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar.
Dalam dokumen tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan
untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan
68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta
hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian
berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar.
Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui
ketersediaannya (over utilization).
Selain over utilization, lahan di
Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan
laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan
sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1 juta
hektar di antaranya terjadi di Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di Jawa
jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan kondisi infrastruktur yang juga lebih
mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan
sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian.
Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena
penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang
ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas
areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di
sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha
atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003).
Salah satu potensi yang sampat saat ini kurang
diperhatikan adalah keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di
Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yang tersebar dibanyak propinsi, namun yang
terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha),
Papua (4,2 juta ha), dan Sulawesi (1,2 juta ha). Dengan teknologi yang ada,
petani telah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Namun dengan peningkatan
teknologi, yaitu pada skala penelitian, telah mampu dihasilkan 7-8 ton gabah
per ha. Selain
untuk padi sawah, lahan rawa juga sesuai
untuk palawija yaitu jagung dan kedelai.
Dua, pengendalian konversi lahan sawah. Konversi lahan sawah ke non pertanian
yang sekarang total 110.000 ha per tahun (antara 1999-2002), diharapkan dapat
diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun mulai tahun 2009, dan secara bertahap
mendekati nol. Lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan
keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar
dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi
lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan
perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi
pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta
swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap
pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu
mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap
dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan
tersebut didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa,
Bali dan Lombok.
Tiga, perluasan areal sawah dan lahan kering terutama ke luar Jawa. Dari sisi hukum, tanah negara yang berpotensi untuk
perluasan pertanian, terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan
selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, perlu diatur sertifikasi hak
guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk
merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini
dapat diperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola
secara baik dan ramah lingkungan. Saat ini, sudah ada 4,5 juta ha lahan yang
diberikan HGU oleh pemerintah, yang setengahnya berada di Pulau Sumatera.
Salah
satu kebijakan terbaru berkenaan dengan permasalahan lahan, adalah kebijakan
“lahan abadi”. Pemerintah telah menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk
pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah
kepemilikan. Lahan ini akan dibagi
menjadi dua, yakni 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi, dan 15 juta
hektar merupakan lahan kering. Lahan tersebut tersebar di seluruh Indonesia
dengan tujuan untuk menjaga ketersediaan pangan nasional.
Kesimpulan
dan Saran Kebijakan
Penulis
tidak mengerti hukum, namun penulis berharap bagaimana istilah-istilah misalnya
“produksi pertanian”, “ketahanan pangan”, dan “skala usaha ekonomis-minimal”
dapat masuk ke dalam amandemen UUPA. Intinya adalah bagaimana “aspek
penggunaan” dibuat lebih sejajar dengan “aspek penguasaan”, karena jika kita
bicara reforma agraria keduanya harus dijalankan secara bersamaan. Revolusi
hijau yang hanya memperhatikan “aspek penggunaan tanah” terbukti tidak berhasil
optimal. Di sisi lain, betapa banyak petani yang melepaskan tanahnya ke pihak
lain, karena mereka tidak cukup menguasai modal untuk mengolah tanahnya sendiri
secara baik. Tanah yang sudah dikuasainya (aspek pertama) tidak bermakna ketika
ia tidak mampu mengolahnya sendiri (aspek kedua).
Daftar Pustaka
Anonim1. “Tahun 2025 Penduduk Indonesia 273,7
Juta: Lansia, Pengangguran, dan Penduduk Miskin Bertambah”. http://www.embassyofindonesia.org/
beritaUTama/05/Agustus/3%20-%20Penduduk%20Indonesia.htm, 2 januari
2006.
Badan Litbang Pertanian. 2005. e-Files Buku
Komoditas Pertanian dan Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. http://www.litbang.deptan.go.id/b1lahan.php,
5 januari 2006.Husodo, Sisiwono Y. 2005. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian. Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds) 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Husodo, Siswono Y. (Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). 2005. Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0305/26/ekonomi/330983.htm, 5 Januari 2006.
Kepala BPN. 2001. “Pertanahan Indonesia: Suatu Retrospeksi”. Paper: disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional dihadapan Ibu Wakil Presiden Republik Indonesia di Istana Wakil Presiden RI, tanggal 12 Februari 2001.
Kompas. 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. 9 Februari 2003. Hal 25.
Kompas. 2005 Konsumsi Masih Tinggi: Produksi Beras Tetap Menjadi Masalah Besar di Masa Depan. Kompas. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/05/ekonomi/1949849.htm
Menteri Pertanian. 2005. Produktivitas Benih Padi Tak Cukupi Kebutuhan Pangan 2025. Business & Economy. JAKARTA, investorindonesia.com. Selasa, 09 Agustus 2005, 17:34 WIB. http://www.investorindonesia.com/news.html?id=1123585496, 20 Desember 2005.
Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun. 2002. Kajian pembaruan agraria dalam mendukung pengembangan usaha dan sistem agribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor.
Tempo Interaktif. ”30 Juta Hektar Lahan Abadi Pertanian”.
Selasa, 11 Oktober 2005. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional /2005/10/11/brk,20051011-67816,id.html, 20 desember 2005.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
*****
1 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar