Abstrak
Pertanian skala kecil semakin menjadi
perhatian dunia terutama semenjak PBB mengakui keberadaan dan peran pentingnya dalam
mengatasi krisis pangan dunia dalam artikel Hal ini juga dikuatkan dalam pidato Direktur
Jenderal FAO pada acara The World Food Day pada tanggal 16 Oktober 2012 dalam
topik “Small-Scale Farmers As A Key To Feeding The World”. Di Indonesia, setelah
menunggu lama, akhirnya pada tanggal 9 Juli 2013, RUU Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani disyahkan menjadi Undang-Undang. Lahirnya UU ini
disemangati kesadaran bahwa selama ini petani belum memperoleh perlindungan
yang semestinya. Data statistika menunjukkan semakin kecilnya penguasaan lahan
pertanian per rumah tangga di Asia, termasuk di berbagai negara Asia Tenggara. Tulisan
ini merupakan review dari berbagai laporan dan hasil penelitian di kawasan Asia
Tenggara. Topik ini penting karena keberadaan petani kecil merupakan komponen
pokok dalam permasalahan pangan yang harus dihadapi oleh Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) - 2015. Informasi menunjukkan belum memadainya pemahaman, rendahnya pemihakan, dan masih
berlangsung perlakuan yang kurang adil kepada petani kecil (“anti-small farm
policies”). Sikap seperti ini akan melemahkan ketahanan pangan di wilayah Asia
Tenggara, meskipun pemerintah dan NGO telah menjadikan petani kecil sebagai
agenda penting, misalnya organisasi petani Asia (Asian Farmer Association) yang
memberi perhatian pada family farming. Di Malaysia telah terbentuk National
Association of SmallHolders (NASH), dan di Indonesia beberapa organisasi petani
kecil telah eksis misalnya Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani
Indonesia (SPI), Asosiasi
Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Di pihak lain, Asean Foundation telah pula berupaya
membantu menghubungkan petani kecil ke jaringan pasar. Hal ini penting, karena
–sesuai batasan Asian Farmers Association (AFA) yakni maksimal 3 ha untuk lowland
dan 10 ha untuk upland - bahwa di
wilayah Asia Pasifik, 87 persen usaha pertanian tergolong pertaian kecil.
Pertanian kecil dicirikan oleh penggunaan input yang rendah dan ramah
lingkungan, namun tinggi dalam indeks pertanaman (index of cropping), lebih intensif
dan diverisifikasi. Mereka dikenal dengan petani gurem (peasant), petani kecil
(small farmer), dan buruh tani tanpa tanah (landless laborers) dengan ciri penguasaan
lahan kecil, berproduksi secara terbatas, namun lebih mandiri. Untuk mengikis
kemiskinan, kelaparan, dan degradasi lingkungan, perlu diperkuat keberadaan pertanian
skala kecil dan meningkatkan investasi pertanian agroekologis, memberi
perhatian pada kearifan lokal, membalik akses dan kontrol sumber daya (air,
tanah, dan modal) dari korporasi ke komunitas lokal, dan memperkuat organisasi
tani. Dengan memperhatikan pertanian skala kecil, tidak hanya memberi pangan
dunia, tetapi juga menyelesaikan kemiskinan dan kelaparan. Pertanian skala
kecil lebih mampu beradaptasi dan pejal, sekaligus lebih berkelanjutan, ramah lingkungan,
menghargai kearifan lokal, menjamin keragaman hayati, dan lebih mampu menghadapi
perubahan iklim. Sebagaimana diyakini oleh ilmuwan dan badan-badan
internasional, petani kecil akan selalu eksis saat ini dan ke depan. Dengan
menerima dan menyadari kehadiran mereka dengan karakter sosiokultural yang
khas, akan menjamin pemenuhan pangan bagi mereka yang sekaligus akan membantu MEA
mencapai ketahanan pangan.
Kata kunci: pertanian skala kecil,
petani kecil, kesejahteraan petani, ketahanan pangan, masyarakat ekonomi ASEAN.
Batasan dan Populasi Petani Kecil di
Asean
Keberadaan petani kecil telah mendapat
perhatian besar akhir-akhir ini, terutama dengan pengakuan PBB sebagaimana
pidato Direktur Jenderal FAO pada acara The World Food Day pada tanggal 16
Oktober 2012 dalam topik “Small-Scale Farmers As A Key To Feeding The World”.
Selain itu, PBB juga telah mengeluarkan paper dengan judul “Small Farmer Feed
The World”.
Di Indonesia, setelah sekian lama,
akhirnya pada tanggal 9 Juli 2013, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
disyahkan menjadi Undang-Undang. Lahirnya UU ini disemangati kesadaran bahwa
selama ini petani belum memperoleh perlindungan yang semestinya. Meskipun
disambut gembira, kelahiran UU ini masih mendapat banyak catatan, misalnya
belum menegaskan posisi tentang “petani kecil” di dalamnya. Sejak Orde Baru,
petani hanya menjadi obyek berbagai UU, kebijakan, dan program yang hampir tak
melibatkan petani dalam perumusannya. Hampir semua UU terkait pertanian dan
turunannya tak berpihak kepada petani (Santosa, 2011).
Belum lama ini PBB sedang menyusun Deklarasi
PBB tentang Hak Asasi Petani dalam “Human
Rights Of Peasent And Other People Working In Rural Areas”. Naskah ini telah
menjalani proses semenjak tahun 2009, sebagai upaya perjuangan konstruktif
menjawab persoalan krisis pangan, kemiskinan dan marjinalisasi pedesaan. Dewan
Hak Asasi Manusia PBB mengangkat studi ini menjadi upaya bentuk hukum dan
kebijakan internasional dan telah menghasilkan sebuah resolusi PBB
A/HCR/21/19. Selain pemerintah (Intergovernmental Working Group), penyusunannya
juga melibatkan partisipan lain yaitu
petani (peasant), masyarakat adat,
perempuan pedesaan, nelayan (fisherfolk), kelompok berburu-meramu (hunter and gatherer),
kelompok penggembala (pastoralists) dan kelompok lain yang hidup di pedesaan. Keberadaan
deklarasi ini nantinya akan merubah berbagai regulasi tentang petani.
Saat ini, 75 persen warga miskin dunia
adalah petani kecil, dan di Asia bahkan mencapai 87 persen. Karena itu, dengan
memperhatikan pertanian skala kecil, tidak hanya memberi pangan dunia, tetapi
juga menyelesaikan kemiskinan dan kelaparan. Hasil riset-riset menunjukkan
pertanian kecil jauh lebih produktif dari pertanian industrial karena
mengonsumsi sedikit input terutama bahan bakan minyak (Rosset, 1999). Pertanian
skala kecil lebih mampu beradaptasi dan pejal, sekaligus model keberlanjutan
yang ramah kearifan lokal dan keragaman hayati, termasuk untuk menghadapi
perubahan iklim (Altieri, 2008).
Untuk negara-negara di Asean, batasan
petani kecil tidak sama. Di Filipina berdasarkan the Agriculture and Fisheries
Modernization Act (AFMA) atau RA 8435 of 1997 dan the Magna Carta of Small
Farmers (RA 7607) of 1993, smallholder adalah “as natural persons dependent on
small-scale subsistence farming as their primary source of income”. Sementara, menurut Land Bank of the
Philippines, petani kecil adalah mereka yang menguasai lahan tidak lebih dari 5
ha.
Sebuah laporan yang berjudul “Empowering
Smallholder Farmers In Markets (ESFIM) Philippines Country Paper”, petani kecil
adalah dengan penguasaan 2 ha, serta dikelola oleh keluarga, yang posisinya
berada antara pertanian subsisten dengan produksi komersial. Penguasaan petani
terhadap lahan relatif sempit, dimana dua pertiga dari seluruh petani menguasai
rata-rata tidak lebih dari 3 ha. Selanjutnya dala Pasal 4 Republic Act No. 7607, "Small
farmer" adalah = “…natural persons dependent on small-scale subsistence
farming as their primary source of income and whose sale, barter or exchange of
agricultural products do not exceed a gross value of One hundred eighty
thousand pesos (P180,000) per annum based on 1992 constant prices”.
Sementara, dalam buku Thapa (2009)
berjudul “Smallholder Farming in Transforming Economies of Asia and the Pacific:
Challenges and Opportunities”, petani kecil dibatasi pada petani yang menguasai
lahan di bawah 2 ha. Ciri lain adalah menggantungkan kepada tenaga kerja dalam
keluarga, berorrientasi subsisten, dimana hasil diutmakan untuk kebutuhan
sendiri (Hazell et al., 2007). Mereka umumnya terbatas pula dalam kapital,
keterampilan dan tenaga kerja. Batasan ini sama dengan yang digunakan oleh World
Bank (2003).
Di kawasan Asia Pasifik diperkirakan
sekitar 87 persen dari 500 juta petani adalah petani kecil (IFPRI, 2007). Tiga
negara Asia dengan jumpah petani kecil terbanyak adalah Indonesia, Bangladesh,
dan Vietnam. Kecenderungan lain adalah menurunnya rata-rata penguasaan lahan. Di Filipina misalnya, rata-rata penguasaan
turun dari 3.6 ha tahun 1971 menjadi 2,0 ha tahun 1991.
Pada hakekatnya, kondisi sosial ekonomi
pertanian di negara-negara Asean relatif sama. Kondisi yang berbeda hanyalah
Singapura yang secara sosio kultural memiliki karakter lain. Di tingkat desa
misalnya, kemiskinan dan kelaparan masih menjadi masalah yang sama. Kemiskinan
dan kelaparan yang terjadi sebagian besar berada di pedesaan, yang sesungguhnya
adalah rumah tangga para petani. Mereka yang menanam dan bertani namun mereka
juga yang didera kelaparan.
Bangsa Asean pada dasarnya merupakan
bangsa agraris, namun kebijakan negara anggota Asean secara umum kurang
melindungi petani[1]. Liberalisasi sektor pertanian melalui berbagai perjanjian
perdagangan antar negara misalnya WTO dan FTA, dan perjanjian multilateral
maupun bilateral lain, banyak merugikan kehidupan petani. Dampak nyata
liberalisasi pertanian khususnya di bidang pangan adalah berkuasanya
perusahaan-perusahaan multi nasional yang bergerak di bidang benih, pestisida,
hingga teknologi pasca panen. Banjir produk pertanian impor dari luar
merupakan gejala umum di negara-negara Asean. Di sebagian wilayah, berkembang
model corporate farming dan food estate yang menyingkirkan eksistensi petani
kecil.
Sesungguhnya, Asean telah merumsukan
mekanisme cadangan pangan Asean yang telah disepakati tahun 1979, namun belum
berjalan secara efektif. Terbukti dengan krisis pangan yang dialami anggota
Asean belakangan ini. Lebih dari 100 juta petani miskin di Asean mengalami
penurunan produksi sebagai akibat rusaknya tanah akibat bahan-bahan kimia, hama
penyakit dan perubahan iklim.
Banyak kondisi yang menyebabkan
lahirnya kondisi ini. Belum kuatnya organisasi petani dalam mempengaruhi
kebijakan pemerintah anggota Asean, juga menyebabkan munculnya
kebijakan-kebijakan yang tidak pro petani. Berbagai undang-undang yang
dihasilkan seringkali hanya menguntungkan pelaku skala besar. Sebagai
contoh di Indonesia, hal ini bisa ditelusuri dari Undang-Undang Sistem Budidaya
Tanaman, UU Perlindungan Varietas Tanaman, UU SDA, UU Kehutanan, serta UU
Perkebunan.
Di Indonesia tidak dikenal istilah
“petani kecil” secara resmi. Kealpaan kita kepada “petani kecil” adalah
indikasi ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Dalam berbagai literatur ilmiah
mereka disebut dengan petani gurem, petani tuna kisma, dan buruh tani; namun
keberadaan mereka belum diadopsi dalam berbagai kebijakan. Dengan hanya
menggunakan kata “petani”, maka keberadaan “petani kecil” belum terjamin.
Saat ini, setidaknya ada dua tema besar
yang menjadi isu pertanian di Asean yaitu persoalan kedaulatan pangan dan
reforma agraria. Asia adalah rumah bagi 87 petani petani kecil dunia (435
juta petani). Di China jumlah petani dengan lahan di bawah 2 hektar mencapai
193 juta, sedangkan di India jumlahnya mencapai 93 juta.
Karakter Dan Permasalahan Yang Dihadapi
Petani Kecil
Keberadaan petani kecil berada dalam
berbagai segi dunia pertanian. Berikut diperlihatkan kondisi yang dihadapi
petani kecil dalam konteks keagrariaan, kondisi di dalam pasar, serta dalam
berorganisasi dan teknologi.
Akses dan Penguasaan Petani Kecil
terhadap Lahan masih Lemah
Masih sangat banyak petani di Asean
yang memiliki lahan sempit sehingga sangat sulit untuk hidup layak. Sama
seperti di Indonesia, hampir semua program landreform tidak jalan di Asean.
Kondisi yang lebih baik, mungkin hanya di Vietnam. Penguasaan lahan di
masing-masing negara masih menunjukkan bias struktur penjajahan yang telah
berlangsung ratusan tahun di Asean.
Sebuah laporan dari Asian Forum For
Human Rights And Development tentang petani Asean tak bertanah [2],
menyatakan bahwa petani Asean terancam kelaparan, karena memproduksi tanaman
untuk ekspor, namun ketahanan pangan mereka rendah. Laporan ini mengemuka pada
workshop “Agriculture Workshop on ASEAN Civil Society Conference / ASEAN
People’s Forum (ACSC / APF) tanggal 4 Mei 2011 di Jakarta.
Karena krisis penguasaan lahan makan “Food
security of farmers is becoming worse mainly because they themselves are also
being squeezed off by land crisis that is now happening in Southeast Asia.
Increasing population and expansion of the company often makes the farmers lose
land and forced to work as contract laborers” [3].
Pelaksanaan reforma agraria kurang
berhasil. Perjuangan reforma agraria di Filipina misalnya juga sulit, dimana 10
persen populasi menguasai 90 persen lahan[4]. Meskipun telah dua dekade dilakukan upaya reforma agararia
namun hasilnya sangat sedikit. Bahkan ketika lahan sudah dikuasai, petani masih
sulit membuat lahnanya produktif. Pembagian lahan sebanyak 1,5 ha per rumah
tangga terbukti belum memadai untuk kesejahteraan mereka.
Sebuah laporan dari Thailand [5],
menyebutkan bahwa “As a result of the rapid economic changes in Thailand,
small-scale farmers find themselves in a difficult situation. Strict forest conservation has restricted the
supply of potential farmland, while land prices are rising as a result of
non-agricultural demand”. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya meningkatkan
luas lahan. Pilihannya adalah dengan meningkatkan manajemen usahatani. Pertumbuhan
ekonomi telah menyebabkan naiknya harga lahan yang dikombinasikan dengan
tingginya tekanan penduduk, terbatasnya lahan yang bisa diusahakan (arable land)
dan kebijakan konservasi yang ketat, membuta petani hampir tak mungkin
memperluas lahannya. Solusi yang mungkin adalah dengan meningkatkan manajemen
usaha, kerjasama antara pihka swasta dan publik serta dengan pemerintah.
Kondisi di Vietnam relatif sama. Dapat
dikatakan bahwa “Vietnam is a nation of small farmers, with average holdings of
paddy land under 0.5 ha per household” [6]. Lahan pertanian dikuasai oleh pemerintah, dan petani hanya
dapat mengelola dengan hak pakai selama 20 tahun. Permasalahan lahan lain
adalah keterbatasan penguasaan, lalu akumulasi lahan dan framgmentasi dan juga
pasar lahan yang bebahaya. “……..an unfettered land market could have negative
consequences for the poor, leading to rising landlessness and inequality”.
Sebuah workshop berjudul “Small-Scale
Farmers Land Rights in Burma/Myanmar” dijalankan oleh Democratic Party for a
New Society (DPNS) didukung oleh Burma Relief Center (BRC), pada Maret 2013. Mereka
mendiskusikan hak lahan untuk petani, okupasi tanah ilegal (land grabbing), hukum
tentang tanah, pendaftaran lahan (land registration) dan right abuses. Workshop
ditutup dengan rencana agenda untuk mengorganisasikan gerakan petani secara
nasional dalam memperbaiki posisi politiknya (policy advocacy) [7].
Rendahnya penguasaan lahan menyebabkan
petani banyak terlibat dalam kegiatan lain. Faktor penentunya adalah “….that
influence the farmer’s decision to participate in off-farm employment are age,
gender, household size, dependency ratio, remittance, land size, types of
agricultural activities, working hours allocated to the farm, the ratio of
income from agricultural sources in total income of the farmer. Furthermore,
this study uncovers that the economic characteristic of the area where the
farmer reside is important determinant of the farmer’s decision to participate
in off-farm job”. Dari kondisi ini, maka kebijakan yang dibutuhkan adalah yang
seimbang dalam elokasi sumber daya antar sektor (Abdul-Hakim Dan Che-Mat, 2011).
Di Indonesia, selama ini pembangunan
pertanian masih berorientasi pada peningkatan produksi namun belum diikuti
dengan pendekatan peningkatan kesejateraan petani. Padahal, meskipun produksi
terpenuhi (=swasembada) tidak menjamin petani memiliki pendapatan cukup. Mata
rantai yang putus adalah penguasaan lahan. Jika penguasaan lahan sempit dan
sangat sempit, tidak akan cukup untuk petani menghidupi keluarganya, meskipun
total produksi dari jutaan persil lahan tersebut mencapai target swasembada.
Implementasi UUPA No 5 tahun 1960 sangat rendah, dan akhir-akhir ini cenderung
semakin dilupakan.
Kesulitan Mengakses Pasar
Akses petani kecil terhadap pasar
sangat memprihatinkan. Kuatnya peran para spekulan dan pedagang besar dalam
menentukan harga produk pertanian, menjadikan petani sering merugi. Harga
produk pertanian menjadi bagian dari kebijakan harga internasional yang tentu
para pemainnya adalah para spekulan.
Kondisi di Vietnam juga demikian. Dilaporkan bahwa “Farmers have
very minimal knowledge of and experiences in production and doing business in
the market economy” (Cabungcal-Cabiles dan Penunia. 2004). Dengan segala
perubahan pada pasar dan produk pertanian, kompetisi juga semakin ketat,
sehingga sangat menyulitkan bagi petani untuk memenuhi kebutuhan pasar yang
semakin berkembang.
Pada
bulan November 2012 diterbitkan sebuah laporan berjudul “Small-scale farmers’
decisions in globalised markets: Changes in India, Indonesia and China”, yang
disusun oleh International Institute for Environment and Development (IIED),
HIVOS dan Mainumby Ñakurutú. Dalam laporan ini dinyatakan bahwa peran dan
potensi petani kecil di Asia dalam memasok pangan sangat besar. Sebanyak 56%
hasil pertanian dunia berasal dari Asia. Kontributor utama dari hasil pertanian
ini adalah para petani kecil (pemilikan lahan kurang dari 2 hektar).
Namun jumlah petani kecil di Asia tidak
mencerminkan posisi mereka di pasar global. Petani kecil kesulitan untuk masuk
dan memasok produk segar ke pasar modern. Pada saat yang sama, jaringan pasar
modern, juga kesulitan mendapatkan pasokan sayuran dan buah-buahan segar dari
produsen-produsen kecil domestik. Untuk kasus Indonesia, khususnya untuk sayur
dan buah, sebanyak 40–45 persen dari kebutuhan pasar diisi dari produk impor
dan sisanya dipasok oleh petani dan pedagang besar. Hanya sebagian kecil yang
dipasok oleh petani kecil dan pasar.
Para petani kecil bersaing dengan para
pemasok besar baik pemasok lokal maupun asing. Jika tidak ada upaya untuk
membantu petani meningkatkan daya saing produk mereka, terutama produk segar
lokal, para peritel dan pasar modern akan dengan mudah mendatangkan kebutuhan
mereka dari negara-negara yang lebih maju dibandingkan membangun jaringan
pasokan domestik. Petani kecil sangat memerlukan bantuan intermediasi ketika
berhadapan dengan peritel-peritel besar. Jumlah petani yang memiliki hubungan
dengan jaringan ritel modern, yang menurut Learning Network, masih di bawah
15%.
Sebuah laporan berjudul “Empowering
Smallholder Farmers In Markets (Esfim) Philippines Country Paper”. Petani kecil
dikuasai pelaku perdagangan besar karena petani kekuarangan informasi tentang
pasar, lemahnya modal, dan dukungan pasca panen. Permasalahan lain adalah
distorsi dan pasar yang tidak efisien, yang disebabkan karena lemahnya
informasi pasar, transportasi yang belum memadai, rendahnya dukungan pasca
panen, kebijakan yang bias.
Karena inilah, berbagai organisasi NGO
berusaha memperkuat petani menghadapi pasar. AsiaDHRRA bersama dengan the
Cambodian Center for Study and Development of Agriculture (CEDAC) melaksanakan
training dengan topik “Complying with Market Requirements on Food Safety and
Product Quality” dibawah organisasi Linking Small Farmers Project (LSFM) dan
didukung oleh the ASEAN Foundation and the World Rural Forum pada January 2009
di Kamboja[8].
Training ini untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan para
petani kecil sebagai peserta dari 10 negara Asia, serta pentingnya ketahanan
pangan dan kualitas produk.
The ASEAN Foundation juga telah
berupaya mendukung petani kecil melalui proyek peningkatan kapasitas petani
kecil (project Strengthening
capacity of small holder ASEAN) khususnya untuk petani pembudidaya ikan. Kegiatan
dijalankan oleh NACA pada lima negara Asean dari tahun 2008 sampai 2010 di
Kamboja, Indonesia, Filipina, Thailand and Vietnam [9]. Mereka dibantu dalam manajemen usaha dan upaya mengakses
pasar.
Sebanyak 65 orang petani menghadiri
Third Regional Training Workshop on “The importance of commodity-based associations
of small producers in addressing competitiveness and for successful market
engagements” di Filipina 28 Juni l 2 Juli 2009. Training ini dalam konteks
proyek “Linking Small Farmers to the Market” yang dilaksanakan oleh Asian
Partnership for the Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA)
yang didanai dari ASEAN Foundation melalui Japan-ASEAN Solidarity Fund (JASF).
Peserta sepakat bahwa “…..small farmers and farmholders can compete in the
market if they were organized as commodity-based associations of small
producers” [10].
Organisasi Petani Masih Terbatas
Jangkauan dan Kapasitasnya
Untuk Indonesia, sepintas sepertinya
pemerintah sangat mendorong petani untuk berorganisasi, dan bahkan begitu
terbuka dan demokratis. Namun, jika dicermati lebih jauh, pendekatan organisasi
yang dijalankan merupakan bentuk alat kekuasaan pemerintah kepada rakyatnya.
Pengaruh pemerintah sangat besar dalam pembentukan dan berjalannya organisasi
petani, sehingga keberadaan organisasi petani Indonesia saat ini merupakan
akibat langsung dari pengaruh intervensi pemerintah yang kuat semenjak Era
Bimas. Hal ini dinyatakan Bourgeois (2003) secara tegas: “During the Soeharto
Era, there was no room for the development of organizations that were not under
the control of the government. The government considered all organizations at
the village level (in particular kelompok Tani, and KUD cooperatives) as
instruments in policy implementation” (Bourgeois, 2003: 210). Setiap organisasi
di desa tunduk pada kekuasaan atas-desa (power compliance) (Tjondronegoro,
1990).
Organisasi petani merupakan elemen
dalam program Revolusi Hijau selain introduksi teknologi, birokrasi, dan pasar.
Namun, revolusi hijau telah menyebabkan rusaknya struktur pengorganisasian
petani yang lama dan timbulnya pelapisan sosial (Franke dalam Tjondronegoro,
1990). Basis sentimen teritorial mengendor, serta hilangnya rasa tanggung jawab sosial lapisan atas (Collier dalam
Trijono, 1994). Pranata distributif dan hubungan patron klien juga melemah
(Wahono, 1994; Tjondronegoro, 1990; Amaluddin, 1987).
Meskipun telah raturan ribu organisasi
petani diintorduksi, berupa kelompok tani, Gapoktan dan koperasi; namun sedikit
yang berjalan beiak. Penyebabnya adalah pendekatan yang top-down planning sehingga
tidak tumbuh partisipasi petani (Uphoff, 1986), atau karena kurang
memperhitungkan konteks sosial yang ada (Portes, 2006).
Sebuah studi menarik dilakukan oleh ASIADHRRA
and AGRITERRA pada January 2002 tentang “Profiles of People’s Organizations In
Rural Asia”. Studi dilaksanakan di Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia,
Thailand, Vietnam and Filipina dengan meneliti 19 organisasi petani (farmers’
organizations). Ditemukan bahwa sebagian organisasi lemah dalam pengetahuan dan
keterampilan ada pengurus dan anggotanya dalam menjalankan program. Akibatnya
mereka juga lemah secara politik di level nasional dan lokal. “…Committed and
democratic as their leaders and wide as their memberships are, they could not
effect positive change in local and national development as much as they could
because of the lack of capability of their leaders and members”.
Sisi positifnya, masing-masing
organisasi telah mampu mengembangkan kemampuannya yang khas disesuaikan dengan
kondisi yang dihadapi di tiap negara. Secara umum kondisinya masih lemah, “
…most of the organizations expressed their lack of human and material resources
to effectively deliver services to their constituents”. Meskipun organisasi
memilik jaringan secara nasional, namun masih lemah dalam manajemen dan sistem
yang terbangun. Maka, mereka membutuhkan
pengembangan kapasitas baik untuk pengurus maupun anggotanya, transfer
teknologi, dan jaringan dengan organisasi pendukungnya untuk dukungan teknis
(technical assistance) maupun pelatihan keterampilan (skills training).
Di Filipina, pada Bab II pasal 5 “Magna
Carta of Small Farmers” disebutkan bahwa petani memiliki hak untuk
berorganisasi untuk berbagai kebutuhan mereka, dan pemerintah mesti mendukung
agar organisasi ini kuat. Satu hal yang
menarik, dalam konteks politik, pada pasal 6 “Farmer's Representation in
Government”, petani memiliki organisasi di dalam struktur pemerintahan. Petani
diberikan hak untuk memilih wakil-wakilnya untuk duduk di pemerintahan yakni
dengan membentuk the Philippine Coconut Authority, the National Food Authority,
the Philippine Crop Insurance Corporation, dan the National Irrigation
Administration and others.
Kondisi di Malaysia relatif sama dengan
di Indonesia. Di Malaysia ada organisasi NASH yang beranggotakan petani mencakup
petani karet, sawit dan kakao. Mereka menghadapi kondisi yang serupa, dimana dibutuhkan
investasi untuk usaha petani kecil. NASH melihat pentingnya petani kecil di
masa depan Malaysia. NASH menyadari pentingnya petani kecil “Just as in Europe
and the U.S.A., where small farmers produce vital food stuffs and play
important roles in society and the management of the natural environment, the
same is true in Malaysia” [11]. NASH berupaya membantu petani kecil untuk mendapatkan
informasi dan teknologi serta berbagai kebutuhan usaha mereka.
Di Filipina juga demikian, “…many
farmers in the country are unorganized and this limits their ability to market
their produce more effectively.
Unorganized agricultural producers are left to the mercy of traders who
can dictate farmgate prices”. Mereka juga lemah dalam jaringan usaha dan juga
manajemen usaha[12].
LaporanPote (2010) mendapatkan gejala kemiskinan
dan rendahnya ketahanan pangan di lokasi studi di Thailand. Salah satu
rekomendasinya adalah berkenaan dengan manajemen penggunaan dan alokasi
anggaran dan bantuan yang diterima komunitas untuk dijalankan secara terpadu.
Untuk ini maka petani harus berorganisasi. “…individual farmers should be
encouraged via group process to have their delegates/representatives working closely
with personnel concerned for policy- making at all levels from the grass root
to national level”.
Salah satu organisasi lintas negara
adalah AFA (Asian Farmers’ Association) yang berdiri tahun 2002
yang berdiri dengan inisiasi dari sebuah NGO yakni AsiaDHRRA (Asian Partnership
for the Development of Human Resources in Rural Asia) [13].
AFA mengundang berbagai organisasi petani sebagai anggota yang bersama NGO
memfasilitasi berdiri dan beroperasinya organisasi petani nasional dan
memperkuat kapasitasnya secara terus menerus. Visinya adalah untuk komunitas
pertanian pedesaan berupa: (1) membangun kemandirian, pendidikan, kesehatan dan
membebaskan dari kelaparan dan kemiskinan, (2) membantu akses kepada lahan,
sumberdaya ekonomi dan jasa, (3) akses kepada pasar yang adil, (4) teknologi
yang ramah lingkungan, serta (5) membantu petani berpartisipasi dalam proses
pembangunan melalui kondisi yang memberi dukungan plitik kuat, respon secara
sosial, sensitif secara kultural dan menguntungkan secara ekonomi.
Asian Farmers’ Association (AFA) yang merupakan
aliasi dari sembilan organisasi petani di delapan negara Asia. Mereka
menyuarakan laporan betapa pertanian merupakan sektor yang semkain penting di
Asean. Kemiskinan yang melanda disebabkan oleh: “…..mainly caused not by poor
or weak trading, but by unequal distribution of resources, small subsistence
farmers’ lack of access to economic opportunities and our poor participation in
decision-making processes”.
Dalam konteks politik dibutuhkan
mekanisme untuk berpartisipasi bagi petani kecil dalam keputusan Asean yakni
dalam ASEAN Farmers’ Council [14] . Di Kamboja, organisasi Farmer and Nature Net (FNN)
bersama Cambodian Center for Study and Development in Agriculture (CEDAC)
membantu petani dalam pemsaran produk organik. Organisasi ini memberi pelatihan
dan membantu pemasaran untuk petani (AFA, 2013).
Penguasaan Teknologi Petani Kecil masih
Terbatas
Meskipun telah berjalan puluhan tahun
semenjak era Revolusi Hijau, pelayanan penyuluhan belum terkena untuk semua
petani. Hasil kegiatan McKone (1990) di berbagai negara, menemukan bahwa hanya elit petani yang dapat
menikmati pelayanan penyuluhan, sementara kalangan miskin dan perempuan hanya
memperoleh sedikit. Pemerintah bekerja dengan kegiatan yang didesain dari atas
dan berharap dampak akan menyebar otomatis (“trickle down").
Kedaulatan petani atas pengetahuan dan
teknologi belum terjamin. Posisi pertani dalam hal ini sejalan dengan struktur
petani yang berada dalam subordinat negara. Jika “pengetahuan adalah
kekuasaan”, maka petani tidak berkuasa atas pengetahuan, bahkan pengetahuan
yang dimilikinya sendiri. Meskipun indegenous knowledge sering dibicarakan,
namun pada hakektanya semua pengetahuan dan teknologi saat ini berasal dari
luar petani. Perlindungan bagi pengetahuan yang dimiliki petani belum memadai.
Secara langsung atau tidak, petani
dipersepsikan sebagai orang yang tidak berpengatahuan. Pendidikan petani yang
rendah diposisikan sebagai permasalahan dalam rencana kerja Badan SDM Kementan.
Petani kecil disebutkan memiliki pola pemikiran yang lemah, sehingga pemerintah merasa perlu memajukan pola pikir
petani yang rendah tersebut (Badan SDM Pertanian, 2011). Dari segi pendidikan,
untuk tahun 2010, dari total 39.035.692 orang petani, 39 persen hanya tamat SD,
27 persen tidak/belum tamat SD, dan bahkan sebanyak 9,7 persen tidak atau belum
pernah sekolah. Lalu disebutkan secara jelas bahwa “Kondisi ini menunjukkan bahwa dari segi
pendidikan, kualitas pelaku utama pembangunan pertanian masih rendah .....” (p.
8). Dalam banyak literatur di Kementerian Pertanian, tingkat pendidikan petani
yang rendah selalu diposisikan sebagai “masalah”.
Skala usaha yang kecil menjadi kendala
dalam penerapan teknologi. Laporan Cabungcal-Cabiles dan Penunia (2004)
menyampaikan situasi di Vietnam, dimana “….Agriculture production in Vietnam
are mainly small-scale; thus,investments do not yield good returns”. Ini juga
menyulitkan dalam mengaplikasikan teknologi yang menurunkan biaya dan
meningkatkan kualitas produk. Skala usaha yang kecil menyulitkan untuk
mencapaui produksi yang stabil untuk menyuplai pasar.
Pertanian di Vietnam adalah petani
kecil dengan produksi yang rendah. Permasalahan lain adalah “…. the
agricultural sector still has several limitations, such as dispersed
production; its complex and mountainous topography, which has set up permanent
barriers among communities, difficulties in detailed planning and weak linkage
between the processing industry and the market”. Petani masih tradisional,
dengan menanam padi, karet, the dan tebu. Karena skala yang kecil maka produksi
tidak stabil, ekspor kecil dengan kualitas rendah, lebih mahal dan tidak
dikemas secara baik, sehingga secara umum daya kompetisinya terbatas (Cabungcal-Cabiles
dan Penunia, 2004).
Laporan IFPRI and ODI (2005) Berjudul
“The Future of Small Farms” menyebutkan bahwa “….small farmers have a future
but will need a variety of technological and nontechnological interventions to
overcome the challenges they face”. Justeru, karena skala usaha semakin sulit ditingkatkan, dibutuhkan kreativitas
menciptakan teknologi yang sesuai dengan kondisi mereka. Ini membutuhkan
tantangan untuk menciptakan teknologi dan juga kelembagaan. “…. Thus,
demand-driven research, accompanied by provision of water and seeds, and
creation of appropriate institutions will be necessary”.
Upaya Perlindungan Dan Berbagai Program
Pemberdayaan Untuk Petani Kecil Di Kawasan Asean
Secara umum, perlindungan hukum kepada
petani di Asean belum memuaskan. Filipina misalnya telah mengeluarkan Republic
Act No. 7607 tahun 1992 yang disebut dengan “Magna Carta of Small Farmers”. Ini merupakan pernyataan politis yang sangat
penting agar pemerintah memperhatikan petani kecil. Dinyatakan pa bab 1, bahwa “It
is the declared policy of the State to give the highest priority to the
development of agriculture such that equitable distribution of benefits and
opportunities is realized through the empowerment of small farmers”. Negara
bertanggung jawab mengembangkan keterampilan mereka, dan menyediakan berbagai
prasaranan dan sarana produksi, serta melindungi petani kecil.
Petani kecil dan buruh tani juga
diberikan hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan, organisasi, manajemen dan
pelaksanaan program pembangunan pertanian melalui apa yang disebutnya dengan “bayanihan
spirit”. Mereka berhak mendapatkan kebijakan yang tepat, penelitian, teknologi,
pelatihan dan finansial yang cukup, pemasaran serta berbagai jasa pendukung
untuk meningkatkan produksi mereka. Juha sistem insentif dan reward untuk
meningkatkan produktivitas mereka dan mempromosikan potensi pertaniannya.
Dalam pernyataan ini, petani memiliki
11 hak, di antaranya adalah untuk menjalankan usahanya dalam iklim yang
mendukung, berpartisipasi dalam pasar yang adil, memperoleh perlindungan sosial
(social security), memperoleh kredit, disediakan input dan jasa pendukung,
memiliki perwakilan di pemerintahan. Selain itu juga memperoleh pelayanan
informasi tentang harga dan lain-lain, memperoleh keuntungan dari sumber daya
alam yang ada, memperoleh pendidikan dan pelatihan yang sesuai. Dalam hal upah,
mereka juga berhak memperoleh upah minimum yang layak (pasal 26):
Berbagai program telah dilakukan untuk
memperkuat posisi petani. The ASEAN Foundation melaksanakan proyek untuk petani
ikan[15]. Proyek dijalankan mulai Mei 2008
sampai 2010 di Kamboja, Indonesia, Filipina, Thailand and Vietnam. Proyek ini
membantu petani meningkatkan pendapatan mereka dengan mendukung akses ke pasar
dan meningkatkan manajemen usaha.
Dalam konteks politik, organisasi AFA (Asian
Farmers’ Association) melakukan upaya kelembagaan untuk melekatkan petani kecil
dalam organisasi Asean, terutama dalam konteks ketahanan dan kedaulaan pangan,
perdagangan pertanian, perubahan iklim, dan lain-lain dengan membentuk “ASEAN
Small-scale Farmers’/ Producers’ Council” [16].
Organisasi ini dibentuk dalam rangkaian acara forum “ the 2nd ASEAN Ministers
of Agriculture and Forestry (AMAF)-Private-Public Dialogue (PPD)” yang
dilaksanakan oleh the ASEAN-USAID MARKET
project pada bulan September 2012 di Bangkok. Forum ini dihadiri berbagai
stakeholders baik organisasi petani dan nelayan, NGO, dan pelaku agribisnis
dengan membicarakan tiga hal utama yaitu produktivitas pertanian, kredit dan
peran perempuand dalam pertanian.
Gerakan petani internasional, La Via
Campesina, melakukan pelatihan di Thailand pada November 2012 dengan tema “Small
farmers can feed the world and cool down the planet!”. Pelatihan ini
mengupayakan pertanian yang berkelanjutan berdasarkan agroekologi. Agroekologi
merupakan ilmu sekaligus gerakan, yang berkaitan dengan metode bertani yang
didasarkan kepada pengetahuan petani, input lokal dari alam [17].
Sementara organisasi NGO Oxfarm juga
telah bekerja di Myanmar untuk mendukung petani kecil. “…The Oxfam report urges
the government and private sector in Myanmar to support, rather than replace,
small-scale farmers and in particular take steps to help them produce higher
yields”. Usaha ini meliputi peningkatan finansial dan sumberdya manusia, kredit
dan infstruktur pertanian (Kean, 2013).
Sebuah laporan yang agak pesimis,
mengangkat kekhawatiran tentang masa depan pertanian Thailand [18].
“Thailand is seeing a stark decline the amount of small farmers, and a sharp
increase in the average age of farmers—a sure sign of a changing world”. Statistik
melaporkan berkurangnya jumlah petani dalam 50 tahun ini dari lebih 80 persen
menjadi kurang dari 40 persen, serta semakin tuanya umur rata-rata petani,
yakni dari 45 ke 51 tahun. Sementara, anak-anak petani banyak yang kurang
tertarik di pertanian. Penyebabnya adalah industrialisasi dan “…the lack of
structural support has aggravated the farmers' problems as the absence of
genuine land reform, redistribution programmes and farmers' cooperatives are
some of the key factors behind this decline. Low investment is also seen as
another major reason.”
Ini sejalan dengan laporan Haynes
(2010), bahwa: “…..I get anxious just thinking about the next generation of
farmers in Thailand - from the many conversations I’ve had with young
people here, “no one” wants or expects to become a farmer”. Meskipun dikenal sebagai eksportir, namun ketahanan pangan di
level lokal juga bermasalah. “Thailand is a food surplus country at the macro
level but food accessibility at the household level remains a problem,
particularly in remote rural areas”. Penyebabnya adalah kenaikan harga dan
biaya produksi yang mana dalam jangka panjang “…..in the longer-run, it is
suggested that small-scale farmer capacity building and empowerment based on
the sufficiency economy concept is necessary” (Isvilanonda, Somporn and Isriya
Bunyasiri, 2009).
Kesimpulan dan Implikasi
Dari penjabaran di atas tampak bahwa
ada sekelompok petani, yakni “petani kecil” (small farmer), yang agak tersingkirkan dari kebijakan
pembangunan pemerintah selama ini. Mereka tersingkir secara tidak sengaja,
karena regulasi yang disusun tidak memberikan perhatian dan mengakomodasinya
secara khusus. Untuk seluruh aspek yang penting berkenaan dengan usaha dan
kehidupannya, mereka memperoleh perlakuan yang tidak adil. Dengan regulasi yang
ada sekarang, belum menjamin keberadaan petani kecil akan terlindungi. Kalangan
ilmuwan agribisnis yang pro kepada usaha besar komersial menginginkan mereka
hilang, sedangkan dari konstelasi politik mereka lebih dianggap sebagai beban.
Kemandirian mereka mulai dari kebutuhan input, memproduksi dan mengkonsumsi
sendiri bukan dianggap sebagai kemandirian yang dihargai, namun dianggap
sebagai aib kultural karena mereka petani-petani gurem tradisional. Mereka
tidak modern, dan sesuatu yang tidak modern tidak layak lagi hidup di era ini.
Ke depan, agar dapat memberikan
perlakuan yang adil dan memberdayakan petani kecil secara lebih baik, maka
konsep “petani kecil” mesti masuk secara tegas dalam kebijakan dan menjadi
agenda penting setiap negara di Asean. Penerimaan konsep “petani kecil” dalam
kebijakan berarti kita menerima pertanian dengan teknologi sederhana,
mandiri, dan ramah lingkungan yang
dijalankan mereka.
Sebagaimana diyakini oleh ilmuwan dan
badan-badan internasional, petani kecil akan selalu eksis saat ini dan ke depan.
Dengan menerima dan menyadari kehadiran mereka dengan karakter sosiokultural
yang khas, maka ini akan menjamin pemenuhan pangan bagi mereka yang sekaligus
bermakna membantu Indonesia mencapai ketahanan pangan. Keberada mereka sejajar
dengan kesadaran yang muncul saat krisis ekonomi tahun 1933, dimana Franklin D.
Roosevelt (Presiden AS) memandang bahwa solusi ekonomi AS hanya dapat
diselesaikan oleh "The Forgotten Men", yaitu petani dan buruh, bukan kalangan
Wall Street (Pakpahan, 2013). Petani kecil sebagaimana telah diyakini PBB telah
meyelamatkan banyak masyarakat dari kelaparan, dan mereka bertani tanpa banyak
bergantung kepada pihak lain dan juga ramah lingkungan.
Membantu petani kecil dapat membantu untuk pertumbuhan
ekonomi dan ketahanan pangan. Hal ini dijumpai di Vietanm, dimana “… Viet Nam has gone from being a food-deficit country to
a major food exporter, and it is now the second largest rice exporter in the
world. It achieved this largely through development of its smallholder farming
sector” [19]. Tahun 2007 tingkat kemiskinan di bawah 15 persen,
padahal tahun 1979 sebesar 58 persen. Sebanyak 73 persen penduduk Vietnam
tinggal di desa dimana pertanian merupakan sumber pendapatan mereka.
Daftar pustaka:
Abdul-Hakim, Roslan Dan Siti Hadijah
Che-Mat. 2011. Determinants of Farmer’s Participation in Off-Farm Employment: A
Case Study in Kedah Darul Aman, Malaysia. Asian Journal of Agriculture and
Rural Development, Vol.1, No.2, pp.27-37.
AFA.
2013. Small-Scale Farmers’ Engagement with Private Enterprises: Towards
Farmer-Owned or Farmer-Led Sustainable and Inclusive Arrangements.
AFA Issue Paper, Vol. 5, No. 1, June 2013. (http://asianfarmers.org/?p=2753).
Altieri, Miguel A. 1995. Agroecology:
The Science of Sustainable Agriculture. Boulder: Westview Press.
Cabungcal-Cabiles, Minerva and Ma.
Estrella A. Penunia (eds). 2004. Shaping
the Asian Peasant Agenda: Solidarity Building Towards Sustainable Rural
Development in Asian Rural Communities. Asian Partnership for the Development
of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA) in partnership with Asian Farmers’
Association for Sustainable Rural Development (AFA). Februari 2004. Quezon
City, Philippines
Chumsri, Pote. 2010. Significance Of
Family Farming In The Asian Region Small Farmers’ Poverty Alleviation In
Thailand: Successful Stories Of Competent Small Farmers And Farmer
Organizations In Doing Farming. Asia Continental Meeting. New Delhi 23-25
March, 2010 SorKorPor 5.
Haynes, Bennett. 2010. Farming in
Thailand: An Uncertain Future. 25 April 2010. (http://organiconthegreen.wordpress.com/2010/04/25/farming-in-thailand-an-uncertain-future/)
IFPRI and ODI. 2005. The Future of
Small Farms. Proceedings of a Research Workshop Wye, UK. June 26-29, 2005.
International Food Policy Research Institute (IFPRI) / 2020 Vision Initiative
Overseas Development Institute (ODI). Imperial College, London.
Isvilanonda, Somporn and Isriya
Bunyasiri. 2009. Food Security in Thailand: Status, Rural Poor Vulnerability,
and Some Policy Options. Department of Agricultural and Resource Economics,
Faculty of Economics, Kasetsart University, Thailand. (http://ideas.repec.org/p/kau/wpaper/200901.html)
Kean, Thomas. 2013. Small-scale farmers
need support: Oxfam. 10 June 2013. (http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/7070-small-scale-farmers-need-government-support-says-oxfam.html)
Pakpahan, Agus. 2013. Perubahan Sikap
Mental terhadap Petani dan Pertanian. Opini Koran Tempo, Jum at, 16 Agustus
2013
Republic Act No. 7607. Magna Carta of
Small Farmers. http://www.chanrobles.com/republicactno7607.htm#.UjuvPJU-YqI
Rosset, Peter M. The Multiple Functions
and Benefits of Small Farm Agriculture In the Context of Global Trade
Negotiations. By Ph.D. September 1999. Food First/The Institute for Food and
Development Policy
Oakland, CA USA. http://www.foodfirst.org/node/246.
Oakland, CA USA. http://www.foodfirst.org/node/246.
Thapa, G. 2009. Smallholder Farming in Transforming Economies of Asia
and the Pacific: Challenges and Opportunities. Discussion Paper prepared for
the side event organized during the Thirtythird session of IFAD’s Governing
Council, 18 February 2009
[1]
Potret Buram Pertanian di ASEAN. 7 Maret 2011. (http://politik.kompasiana.com/2011/03/07/potret-buram-pertanian-di-asean-346840.html)
[2] “Landless ASEAN Peasants Threatened by
Starvation”. 03 May 2011. (http://www.forum-asia.org/?p=6933)
[3] “Landless ASEAN Peasants Threatened by Starvation”. 03 May 2011. (http://www.forum-asia.org/?p=6933)
[4] Small-scale farming improving living
standards in the Philippines. January
20, 2012. (http://www.devp.org/en/articles/small-scale-farming-improving-living-standards-philippines)
[5] Sarun Wattanutchariya dan Thanwa Jitsanguan Increasing
The Scale Of Small-Farm Operations In Thailand. Department of Agricultural and
Resource Economics Faculty of Economics and Business Administration, Kasetsart
University. Thailand.
[6] Land Accumulation: Opportunity or
Threat for Small Farmers in Vietnam? 17 April 2009. http://vietnamsri.wordpress.com/2009/04/17/land-accumulation-opportunity-or-threat-for-small-farmers-in-vietnam/
[7] Workshop on Small-Scale Farmers Land Rights in
Burma/Myanmar. (http://www.dpns.org/party-activities/workshop-on-small-scale-farmers-land-rights-in-burma-myanmar/)
[8] 2nd
LSFM Workshop to be held in Cambodia. 16 January 2009. (http://www.smallfarmerstomarket.net/2009/01/16/2nd-lsfm-workshop-to-be-held-in-cambodia/)
[9]
Capacity of small holder ASEAN aquaculture farmers for competitive and
sustainable aquaculture strengthened. 14 Desember 2010. (http://www.enaca.org/modules/news/article.php?article_id=1888).
[10] ASEAN
Foundation helps link small farmers to market. 21 Juli 2009. http://thephilsouthangle.com/?p=4160.
[11] Dato' Haji Aliasak Haji Ambia. President of the National Association of Small Holders
(NASH). http://www.facesofpalmoil.org/farmer/2/dato_haji_aliasak_haji_ambia.
[12] Sebuah
laporan berjudul “Empowering
Smallholder Farmers In Markets (Esfim) Philippines Country Paper”.
[13] Asian Farmers’ Association For Sustainable Rural Development:
Empowering small scale women and men
farmers in Asia. (http://asianfarmers.org/?page_id=53)
[14] Muhammad
Nuruddin (Executive Committee Member Asian Farmers’ Association)
3 November 2007. ACSC+, Peninsula Excelsior,
Singapore Reclaiming Spaces: Small Men and Women Farmers Defining the Challenge
for ASEAN. (http://asianfarmers.org/?p=373
Reclaiming
Spaces: Small Men and Women Farmers Defining the Challenge for ASEAN)
[15] Capacity of small holder ASEAN
aquaculture farmers for competitive and sustainable aquaculture strengthened. 14 desember 2010. http://www.enaca.org/modules/news/article.php?article_id=1888)
[17] Sustainable Peasant's Agriculture: The
Worlds Small farmers Will Meet in Thailand to Promote Agroecology. 05 November 2012 (http://viacampesina.org/...)
[19] Food prices: smallholder farmers can be
part of the solution. (http://www.ifad.org/operations/food/farmer.htm)
1 komentar:
https://marketpetani.blogspot.com/2021/03/harga-produk-benih-bintang-asia-yang.html
Posting Komentar