Kelemahan Konsep dan Pendekatan dalam Pengembangan Organisasi Petani: Analisis Kritis terhadap Permentan No. 273 tahun 2007
Oleh: Syahyuti (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)
Diterbitkan dalam majalah Analisis Kebijakan Pertanian Vol .10 No.2 tahun 2012.
Abstrak
Permentan No. 273 tahun 2007 merupakan
kebijakan yang menjadi pedoman pokok tenaga lapang dalam mengorganisasikan
petani dalam pembangunan. Kondisi organisasi yang saat ini kurang berkembang
sesuai harapan, meskipun secara kuantitas terus meningkat, disebabkan oleh
berbagai kelemahan dan kekeliruan dalam penggunaan konsep dan pendekatan yang
tercantum dalam Permentan tersebut. Para pelaksana mulai dari pusat sampai ke
daerah dan lapangan tidak menyadari kelemahan ini, sehingga hasil usaha mereka
kurang efektif. Kelemahan yang ditemukan adalah kekeliruan dalam penerapan
konsep lembaga, organisasi, advokasi, dan PRA. Pedoman yang dipaparkan
berkenaan dengan penumbuhan dan pengembangan kelompok tani dan Gapoktan
cenderung dangkal, kurang detail dan longgar, serta tidak bertolak atas
pengetahuan yang sudah ada berkenaan dengan pengorganisasian dan pemberdayaan
petani. Setelah berjalan 5 tahun lebih, tampaknya dibutuhkan penyempurnaan
terhadap Permentan ini dengan menerapkan pengetahuan yang lebih sesuai yakni
menggunakan basis ilmu sosiologi kelembagaan, dimana organisasi merupakan salah
satu perhatian pokoknya.
Kata kunci:
Permentan, lembaga, organisasi, petani
Pendahuluan
Peraturan
Menteri Pertanian No. 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan
Pengembangan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani atau sering dipendekkan
menjadi “Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani” dikeluarkan dan ditandatangani
oleh Menteri Pertanian tanggal 13 April 2007. Permentan ini merupakan produk
hukum yang menjadi pedoman pokok dalam kegiatan mengorganisasikan petani di
Indonesia. Secara keseluruhan, rumusan Permentan terdiri atas 7 bagian,
berturut-turut dari romawi I sampai VII adalah: latar belakang; pengertian;
karakteristik kelompok tani; penumbuhan kelompok tani; pengembangan kelompok
tani; Gapoktan; serta monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Permentaan ini
dikeluarkan untuk menggantikan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997
tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan; sejalan dengan Pemisahan
Departemen Pertanian dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) saat itu,
dimana pembinaan terhadap nelayan juga telah dialihkan ke DKP.
Setelah
lima tahun semenjak dikeluarkan, kondisi organisasi petani di Indonesia masih
banyak menghadapi masalah. Meskipun jumlah organisasi petani secara
administratif meningkat, namun kelompok-kelompok
tersebut tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung
pencapaian tujuan program. Satu penelitian yang cukup luas cakupannya yang
dilakukan di Indonesia, menemukan bahwa petani yang berada dalam
organisasi formal sangat
sedikit. “More
advanced rural producers’ organizations can be found, though in very limited
number” (Bourgeois et al.
, 2003). Jika pun ada, kapasitas keorganisasian mereka lemah. Hal ini bahkan
telah menjadi faktor utama yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan program
secara keseluruhan (PSEKP, 2006). Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah
membangun organisasi petani (Hellin et
al., 2007: 5), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak
berorgansiasi (Stockbridge et al.,
2003).
Akar penyebabnya
adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal atau proses yang tidak
tendesentralisasi (Taylor dan Mckenzie,
1992), pendekatan yang seragam (blue
print approach) (Uphof, 1986), serta kurang mengedepankan partisipasi dan
dialog (Amien, 2005). Partisipasi yang berlangsung masih bersifat searah atau baru sebatas mobilisasi. Kemampuan aparat pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masih
lemah (Bourgeois et al., 2003). Pengorganisasian petani baik sebagai pembudidaya,
pengolah, maupun pelaku pemasaran; membutuhkan pemahaman secara sosiologis yang
mendalam yaitu keorganisasian seperti
apa yang sesungguhnya sesuai bagi mereka. Menghadapi situasi ini, keterlibatan
aparat pemerintah tampaknya harus dilakukan secara bijak dan menggunakan basis keilmuan
yang cukup (Hellin et al.,
2007: 24).
Tujuan
penulisan paper ini adalah untuk menunjukkan bahwa ada beberapa kekeliruan
mendasar dalam rumusan kebijakan Permentan No 273 tahun 2007. Kekeliruan ini
selain menyebabkan tidak efektifnya hasil yang diperoleh, juga berdampak kepada
berbagai permasalahan lain yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh para
penyusun kebijakan ini. Analisis teks ini hanya dibatasi pada aspek
keilmiahannya, karena pada hakekatnya dalam setiap pemikiran dapat ditelusuri
paradigma, konsep, serta teori yang digunakan; namun bukan pada aspek struktur
dan konsistensi hukumnya.
KELEMAHAN DAN INKOSISTENSI PENGGUNAAN KONSEP
Ketidakjelasan Konsep “Lembaga” dan “Organisasi”
Ketidakkonsistenan
penggunaan istilah “lembaga” dan “organisasi” sesungguhnya terjadi pada semua
produk legislasi pemerintah. Hal ini diakibatkan karena belum adanya referensi
yang kuat untuk dijadikan pedoman selama ini.
Dari penelusuran puluhan referensi, baik dalam literatur berbahasa Inggris maupun Indonesia,
ditemui berbagai ketidaksepakatan dan ketidakkonsistenan penggunaan istilah.
Ketidakkonsistenan dalam literatur berbahasa Indonesia terjadi antara istilah
”lembaga”, ”kelembagaan” dan ”organisasi”. Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam
literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan terjemahan langsung atau
dapat disamakan dengan konsep ”institutional”
dalam literatur berbahasa Inggris. Kekeliruan yang paling sering adalah
menerjemahkan ”institution” menjadi
”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”. Menghadapi berbagai kekeliruan
dan ketidaksepakatan ini, perlu disusun perumusan
rekonseptualisasi sebagai berikut (bahasan lebih dalam dapat dibaca pada tulisan Syahyuti,
2010).
Tabel 1. Pemahaman
terminologi, batasan, dan substansi konsep “lembaga” dan “organisasi”
Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris
|
Penerjemahan selama ini
|
Penerjemahan semestinya
|
Batasan dan materinya
|
1.
institution
|
Kelembagaan, institusi
|
Lembaga
|
Berisi norma, nilai,
regulasi, pengetahuan, dll. Menjadi
pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi)
|
2.
institutional
|
Kelembagaan, institusi
|
Kelembagaan
|
Hal-hal berkenaan dengan
lembaga.
|
3.
organization
|
Organisasi, lembaga
|
Organisasi
|
Adalah social group,
aktor sosial, yg sengaja dibentuk, punya anggota, untuk mencapai tujuan
tertentu, dimana aturan dinyatakan tegas. Misal: koperasi, kelompok tani,
kantor pemerintah.
|
4.
organizational
|
Keorganisasian, kelembagaan
|
Keorganisasian
|
Hal-hal berkenaan dengan
organisasi. Misal: kepemimpinan, keanggotaan, manajemen, keuangan organisasi, kapasitas organisasi,
relasi dgn organisasi lain.
|
Sumber: Syahyuti (2010).
Dengan demikian, ”lembaga” adalah terjemahan langsung
dari ”institution”, dan organisasi
adalah terjemahan langsung dari ”organization”.
Keduanya merupakan kata benda. Sementara ”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”, yang bermakna sebagai
berbagai hal yang berhubungan dengan lembaga. Demikian pula dengan ”keorganisasian”
(dari terjemahan ”organizational”)
yang bermakna sebagai berbagai hal yang berhubungan dengan organisasi.
Dalam Permentan
No. 273 tahun 2007 ini, pada bagian II (Pengertian) tidak disebutkan apa itu arti “lembaga”, “kelembagaan”, maupun “organisasi”; padahal objek ini merupakan hal yang sangat mendasar dan disebutkan
berulang-ulang dalam bagian batang tubuhnya. Sebagaimana pada judulnya
Permentaan ini berkenaan dengan pengembangan kelembagaan, tapi apa makna
kelembagaan tidak dijelaskan sama sekali.
Pada
bagian Pengembangan Kelompok Tani (bagian V) tertulis: “Menumbuhkembangkan
kemampuan manajerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan kelembagaan tani serta pelaku agribisnis lainnya”. Lalu,
tertulis pula: “Memfasilitasi penumbuhan dan pengembangan
kelembagaan tani baik non formal maupun formal serta terlaksananya
berbagai forum kegiatan”, dan “Menginventarisasi
kelompoktani, GAPOKTAN dan kelembagaan tani lainnya yang berada di
wilayah kabupaten /kota”. Dalam ketiga kalimat ini digunakan istilah “kelembagaan
tani” sebagai istilah untuk menyebut kepada organisasi-organisasi milik petani,
yaitu kelompok tani dan Gapoktan.
Sementara,
pada kalimat ”Merencanakan dan
melaksanakan pertemuan-pertemuan berkala baik di dalam Gapoktan, antar Gapoktan
atau dengan instansi/lembaga terkait”, kata
“lembaga” disini bermakna sebagai organisasi milik pemerintah. Dalam
ilmu sosiologi, ini tergolong organisasi.
Kekacauan
penggunaan istilah ini berlangsung pula pada berbagai produk legislasi lain.
Secara umum, dalam berbagai produk hukum yang dikeluarkan pemerintah, istilah
yang dipakai adalah “kelembagaan” dan “organisasi”. Kadang-kadang juga
digunakan istilah “lembaga” sebagai kata lain untuk organisasi. Berikut
ditunjukkan beberapa contoh rumusan kebijakan, yang paling banyak digunakan
sebagai pedoman dalam pembangunan pertanian.
Pertama, dokumen Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(RPPK) tahun 2005. Dalam doukumen ini dibedakan antara ”kebijakan
pengembangan kelembagaan” dengan ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi
petani”. Masing-masing pada sub bab berbeda. Dalam dokumen ini, ”kelembagaan”
dan ”organisasi” adalah hal berbeda, dimana kelembagaan adalah sesuatu yang berada di ”atas petani”,
sedangkan organisasi berada di level
petani. Sesuai dengan rekonseptualisasi dalam penelitian ini, maka kedua hal
ini merupakan “organisasi”.
Dalam
Sub Bab Kebijakan Pengembangan Kelembagaan, objek yang diatur adalah lembaga
keuangan perdesaan, sistem perbankan di daerah, lembaga keuangan lokal, dan
lembaga pengawas mutu produk-produk. Kata “lembaga” disini jelas adalah
organisasi menurut konsep sosiologi. Sementara, pada bagian Kebijakan
Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani, mencakup kelembagaan ketahanan pangan
di perdesaan, dan kelembagaan ekonomi
petani di perdesaan. Kata “kelembagaan” di kalimat terakhir ini bermakna
sebagai kesalinghubungan berbagai organisasi dalam menjalankan satu urusan,
misalnya bagaimana relasi antara Pemerintah Daerah dengan kelompok tani dalam
mencapai ketahanan pangan.
Kedua, Pedoman Umum Program Nasional
Pemberdayaan Masyaraat (PNPM) Mandiri tahun 2008. Pada bagian tujuan point b
tertulis “Meningkatnya kapasitas
kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif, dan akuntabel”. Lalu,
pada kalimat “PNPM Mandiri diarahkan menggunakan
dan mengembangkan secara optimal kelembagaan masyarakat yang telah ada”.
Kata “kelembagaan masyarakat” disini bisa dimaknai sebagai organisasi. Namun
pada kalimat “Dimensi kelembagaan masyarakat meliputi proses pengambilan keputusan
dan tindakan kolektif, organisasi, serta aturan main”, maknanya sudah
mencakup aspek-aspek lembaga.
Pada
bagian lain tertulis: “Harmonisasi
kelembagaan dilakukan melalui pengembangan dan penguatan kapasitas kelembagaan
yang telah ada dengan cara meningkatkan kapasitas pengelola, memperbaiki
kinerja dan etika lembaga, dan meningkatkan tingkat keterwakilan berbagai
lembaga yang ada”. Dari kalimat ini, kata “harmonisasi kelembagaan” lebih
tepat disebuti sebagai manajemen
kegiatan, sedangkan “kelembagaan yang telah ada” adalah organisasi.
Sementara
pada kalimat “Konsolidasi organisasi
pelaksana program sektor yang bersifat adhoc dan koordinasi berbagai kelompok
masyarakat yang ada oleh lembaga keswadayaan masyarakat di desa/ kelurahan”
dan ”Kelembagaan PNPM Mandiri di desa/kelurahan
adalah lembaga keswadayaan masyarakat yang dibentuk, ditetapkan oleh masyarakat,
...”; istilah Lembaga keswadayaan masyarakat (LKM) yang dimaksud disini hanya
sebutan (= nama organik) untuk sebuah organisasi kecil beranggotakan biasanya 5
orang. Mereka mengajukan dana pinjaman ke pengelola PNPM yang disebut dengan
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), dimana mereka menjalankan kegiatan ekonomi
misalnya 5 orang ibu-ibu yang semuanya menjalankan usaha jahit menjahit.
Ketiga, Undang-Undang No. 16 tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 1
point 17 tertulis: ”Kelembagaan petani,
pekebun, peternak nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di
dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari,
oleh, dan untuk pelaku utama”. Kata “kelembagaan” dan “lembaga” disini
mestinya diganti dengan organisasi. Demikian pula pada point 25: ”Kelembagaan
penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan/ atau masyarakat yang mempunyai tugas
dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan”; juga Pasal 8 “Kelembagaan penyuluhan terdiri atas: kelembagaan penyuluhan
pemerintah; kelembagaan penyuluhan swasta; dan kelembagaan penyuluhan swadaya”;
dan Pasal 9 “Badan penyuluhan pada
tingkat pusat mempunyai tugas ....”. Dalam UU ini tidak ditemukan
penggunaan kata “organisasi” sama sekali.
Dari
keempat produk legislasi di atas terlihat bahwa
organisasi (organization)
menggunakan beberapa kata yang berbeda-beda, yaitu lembaga, kelembagaan,
kelembagaan tani, kelembagaan masyarakat, dan organisasi. Sementara untuk
lembaga (institution) sama sekali
tidak disebut secara jelas.
Kekeliruan Memaknai Konsep “Advokasi”
Pada
bagian 4.2. tentang Penumbuhan Kelompok Tani tertulis: “Sedangkan advokasi (saran dan pendapat) kepada para petani khususnya
tokoh-tokoh petani setempat serta informasi dan penjelasan mengenai: pengertian
tentang kelompoktani, proses atau langkah-langkah dalam menumbuhkan
kelompoktani, penjelasan tentang kewajiban dan hak anggota serta pengurus, dan
penyusunan rencana kerja serta cara kerja kelompok”. Lalu, pada bagian 5.2.
dengan sub judul Peningkatan Kemampuan Anggota Kelompok Tani disebutkan, agar
kelompok tani “Mendorong dan mengadvokasi
agar para petani mau dan mampu melaksanakan kegiatan simpan-pinjam guna
memfasilitasi pengembangan modal usaha”. Jadi, ada dua bentuk kegiatan apa
yang disebut dengan advokasi dalam aturan ini, yaitu antara penyuluh dengan
kelompok tani, dan selanjutnya antara pengurus kelompok tani dengan anggotanya
sendiri.
Penggunaan istilah advokasi tidak
sesuai dalam konteks ini, karena apa yang dimaksud sesungguhnya lebih tepat
disebut dengan kegiatan sosialisasi atau mobilisasi. Apalagi untuk relasi
antara pengurus kelompok tani dengan anggotanya yang sesungguhnya adalah
kegiatan internal organisasi belaka.
Secara teoritis, advokasi adalah “…..a strategy that is used around the world by
non-governmental organizations (NGOs), activists, and even policy makers
themselves, to influence policies”. Pada prinsipnya, advokasi adalah suatu
proses yang bersifat strategis dan mengarahkan berbagai kegiatan yang dirancang
dengan cermat kepada berbagai kelompok kepentingan (stakeholders) dan pembuat kebijakan. Perjuangan advokasi diarahkan
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan kebijakan baik berupa undang-undang,
peraturan, program, ataupun sistem anggaran yang merupakan wewenang di tingkat
tertinggi berbagai institusi pemerintah, publik, maupun swasta. Pemerintah
merupakan institusi yang paling sering dituju dalam suatu advokasi, karena ia
merupakan lembaga tertinggi dan sekaligus memiliki kekuasaan terkuat secara
ekonomi dan politik.
Makna paling pokok dari advokasi
adalah “pembelaan”. Jika kita telusuri melalui kamus, akan ditemukan bahwa “advocacy”
adalah sebuah kata benda yang identik dengan “support” (=dukungan atau pembelaan). Makan secara lengkapnya adalah
suatu bentuk pendukungan yang aktif;
terutama berupa tindakan membela atau membantah terhadap sesuatu hal (biasanya
kebijakan pemerintah), seperti suatu
penyebab masalah, gagasan, atau kebijakan.
Dalam kamus, kata “advocacy” sinonim dengan advancement, aid, assistance, backing, campaigning for, championing,
defense, encouragement, justification, promotion, promulgation, propagation,
proposal, recommendation, upholding, dan urging.
Advokasi berupaya mempengaruhi
pengambil kebijakan, yang membuat hukum dan peraturan, mendistribusikan sumber
daya, dan berbagai keputusan lain yang mempengaruhi hidup masyarakat. Tujuan
utama advokasi adalah untuk menghasilkan kebijakan, mereformasi kebijakan, dan
menjamin suatu kebijakan diimplementasikan.
Advokasi berbeda dengan penyuluhan. Dalam
penyuluhan objeknya adalah rumah-rumah tangga, yang diupayakan untuk dirubah
perilakunya dalam bertani. Penyuluhan didesain
untuk mempengaruhi keputusan di level individual dan rumah tangga, bukan
keputusan di level pengambil kebijakan (policy makers) yang mempengaruhi rumah tangga tadi.
Jadi, advokasi memiliki sasaran ke atas; sedangkan apa yang dsebut dengan
“advokasi” dalam Permentan ini memiliki sasaran ke bawah.
Kekeliruan Memahami Konsep dan Praktek PRA
Pada
bagian 5.3. disebutkan bahwa salah satu peran penyuluh adalah memfasilitasi kelompoktani dalam
melakukan PRA (Participatory Rural
Appraisal). Tampaknya penyusun kebijakan ini keliru memahami apa sesungguhnya
PRA dan bagaimana menjalankannya. Meskipun petani sebagai pemilik pengetahuan
merupakan pihak yang dihargai dalam penerapan metode PRA, namun bukan berarti
petani secara mandiri dapat melakukannya. Kehadiran pihak luar yang ahli, yang
terdiri dari sekelompok expert,
sangat dibutuhkan sebagai fasilitator. Seorang penyuluh saja tidak dapat
melakukan fasilitasi ini.
PRA
adalah istilah yang diberikan kepada pendekatan penelitian yang menggunakan
metode partisipastif dengan menekankan kepada pengetahuan lokal dan kemampuan
masyarakat untuk membuat penilaian sendiri, menganalisis sendiri, dan
merencanakan sendiri apa yang mereka butuhkan. Namun PRA tidak dapat dijalankan
oleh petani sendiri. PRA merupakan collaborative
decision making, yaitu suatu pendekatan untuk belajar bersama (shared learning) di antara masyarakat lokal dan pihak luar. Dalam PRA, koleksi dan analisis data dilakukan oleh
masyarakat lokal, sedangkan pihak luar berperan sebagai fasilitator. Setidaknya ada
lima kunci utama dalam mengimplementasikan PRA yaitu: participation, teamwork, fleksibility, optimal ignorance, dan traingulation.
Dalam konteks teamwork, validitas data yang dihasilkan dari PRA tergantung dari interaksi
informal dan brainstorming di antara
mereka yang terlibat. Data terbaik akan diperoleh bila dikerjakan oleh satu tim
yang melibatkan masyarakat lokal dengan perspektif dan pengetahuan tentang
kondisi wilayahnya, tradisi, serta struktur sosial setempat; sedangkan pihak
luar (expatriates) melengkapinya
dengan mencampurkan berbagai disiplin dan pengalaman. Suatu tim yang seimbang
akan mampu merepresentasikan keragaman sosial ekonomi, kultural, gender, dan
generasi.
Peran pihak luar, yang sering disebut dengan “pihak
profesional” atau dalam literatur lain sering pula disebut “outsider”, dapat berupa seorang guru, pihak
pendamping lapang NGO, pekerja sosial dan peneliti (Bahandari, 2003). Tidak disebutkan
bahwa seorang penyuluh dapat menjalankannya. Peran pihak profesional yang biasanya terdiri atas sekelompok ahli untuk
berbagai bidang sangat penting, karena ia mengajarkan metodologi, memonitor,
mensistematiskan informasi, dan membantu penulisan laporan. Mereka haruslah memliki
kapasitas expert, karena mereka harus
melakukan beberapa metoda yaitu wawancara semi
terstruktur, diskusi grup secara terfokus (focus
group discussions), menyusun rangking penilaian (preference ranking), pembuatan peta dan model (mapping and modeling), dan diagram musim dan histrorik (seasonal and historical diagramming).
PEMAHAMAN TENTANG BENTUK KEORGANISASIAN KELOMPOK TANI
Kelompok
tani adalah organisasi yang anggotanya para petani. Dalam berbagai literatur,
organisasi seperti ini disebut dengan “individual organization” atau “single group” (FAO, 2001), yang
anggotanya adalah orang. Sebenarnya selain kelompok tani, organisasi yang
sejenis adalah Kelompok Wanita Tani (KWT). Namun, dalam Permentan ini, tidak
disebutkan sama sekali tentang KWT. Tampaknya sebutan “kelompok tani” mencakup
kelompok tani sebagai nama organik yang anggotanya biasanya petani laki-laki
dewasa, serta KWT yang anggotanya adalah para petani wanita.
Wujud dan Fungsi Kelompok Tani
Dalam
Permentan 273/2007, disebutkan bahwa kelompoktani
adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun
yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan
(sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan
mengembangkan usaha anggota”. Sementara menurut Kepmentan No 93/1997 “kelompok tani-nelayan adalah kumpulan
petani-nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, serta kesamaan
kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian untuk bekerjasama
meningkatkan produktivitas usaha tani nelayan dan kesejahteraan anggotanya”.
Antara kedua batasan terdapat perbedaan tekanan, meskipun secara umum bermakna
sama.
Disebutkan
bahwa kelompok tani pada dasarnya adalah organisasi non formal di perdesaan
yang ditumbuhkan “dari, oleh dan untuk petani”. Kelompok tani memiliki
karakteristik sebagai berikut: (a). saling mengenal, akrab dan saling percaya
diantara sesama anggota, (b). Mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama
dalam berusaha tani, (c) Memiliki kesamaan dalam tradisi dan atau pemukiman,
hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan
dan ekologi. (d) Ada pembagian tugas dan tanggung jawab sesama anggota
berdasarkan kesepakatan bersama. Unsur pengikat kelompoktani adalah adanya
kepentingan yang sama diantara para anggotanya, adanya kawasan usaha tani, adanya
kader tani, adanya kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya, adanya dorongan
dari tokoh masyarakat setempat.
Ada
tiga fungsi utama kelompok tani, yaitu sebagai kelas belajar (farmer to farmer learning), wahana
kerjasama, dan unit produksi . Usahatani yang dilaksanakan oleh masing-masing
anggota kelompoktani, setelah mencapai perkembangan yang cukup, secara
keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha untuk mencapai skala
ekonomi. Artinya disini ingin dihasilkan sebuah manajemen usaha yang terintegratif
dan bersatu sehingga mendekati apa yang misalnya dikenal dengan corporate farming, meskipun penguasaan
usaha tiap anggota tidak dihilangkan.
Bentuk-bentuk
kelompoktani disebutkan dapat berupa petani dalam satu wilayah, satu desa atau
lebih, serta berdasarkan domisili ataupun hamparan. Batasan yang agak longgar ini
mengakibatkan satu orang petani bisa menjadi anggota dalam beberapa kelompok
tani sekaligus. Batasan seperti ini juga menyebabkan adanya perbedaan pandangan
dari berbagai dinas terkait di daerah. Kantor penyuluhan misalnya lebih
menginginkan kelompok tani berisi berbagai jenis usaha (polivalent), karena akan lebih mudah dalam mengunjunginya. Sementara
dinas-dinas teknis menginginkan anggota kelompok tani berisi petani yang
kegiatannya sejenis (monovalent). Sehingga
saat ini dikenal ada kelompok tani ternak, kelompok tani pembudidaya ikan, dan
kelompok tani hutan atau Wana Tani; serta juga kelompok tani yang berisi
berbagai bidang usaha sekaligus.
Jenis
kegiatan yang dapat dijalankan kelompok tani relatif menyeluruh yakni: “…..tergantung kepada kesempatan anggotanya.
Dapat berdasarkan jenis usaha, unsur-unsur subsistem agribisnis (pengadaan
sarana produksi, pemasaran, pengolahan hasil pasca panen)” . Selanjutnya,
pada bagian 5.1. disebutkan bahwa kelompok tani sebagai “….. wahana kerja sama dan unit produksi, unit penyedia sarana dan
prasarana produksi, unit pengolahan dan pemasaran dan unit jasa penunjang
sehingga menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri.”
Indikator Keorganisasian Kelompok Tani
Secara
umum, pemahaman tentang aspek-aspek keorganisasian yang dimuat dalam Permentan
273/2007 banyak mengandung kelemahan. Disebutkan bahwa kelompoktani diharapkan menjadi
organisasi petani yang kuat dan mandiri yang dicirikan oleh 9 indikator yaitu: (1)
adanya pertemuan/rapat anggota/rapat pengurus yang diselenggarakan secara
berkala dan berkesinambungan; (2) Disusunannya rencana kerja kelompok secara
bersama dan dilaksanakan oleh para pelaksana sesuai dengan kesepakatan bersama
dan setiap akhir pelaksanaan dilakukan evaluasi secara partisipasi; (3) Memiliki
aturan/norma yang disepakati dan ditaati bersama; (4) Memiliki
pencatatan/pengadministrasian organisaso yang rapih; (5) Memfasilitasi
kegiatan-kegiatan usaha bersama di sektor hulu dan hilir; (6) Memfasilitasi
usaha tani secara komersial dan berorientasi pasar; (7) Sebagai sumber serta layanan informasi dan
teknologi untuk usaha para petani umumnya dan anggota kelompoktani khususnya; (8)
Adanya jalinan kerja sama antara kelompoktani dengan pihak lain; (9) Adanya
pemupukan modal usaha baik iuran dari anggota atau penyisihan hasil
usaha/kegiatan kelompok.
Indikator-indikator
ini kurang sejalan dengan indikator untuk penilaian kelas kelompok tani yang
sudah digunakan sejak era Bimas. Ada 5 kemampuan yang dinilai yaitu: kemampuan merencanakan kegiatan,
kemampuan melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain, kemampuan
pemupukan modal dan pemanfaatan pendapatan secara rasional, kemampuan
meningkatkan hubungan yang melembaga antar kelompok tani dengan KUD, serta
kemampuan menerapkan teknologi dan pemanfaatan informasi serta kerjasama
kelompok. Penilaian menggunakan angka, utamanya berupa persen, dan
lalu diberi bobot. Nilai total yang diperoleh
merupakan nilai akhir bagi organisasi bersangkutan, yang lalu dikelompokkan
atas selang secara numerik, sehingga lalu diperoleh 4 kelas yaitu kelas pemula,
lanjut, madya atau utama.
Dalam Permentan 273/2007
tidak disebut-sebut sama sekali tentang koperasi ataupun KUD, namun justeru yang
didorong adalah kerjasama kelompok tani dengan Gapoktan. Dengan kata lain,
antara indikator pada Permentan dengan indikator yang digunakan untuk menilai
kelompok tani tidak konsisten.
Namun secara
metodologis, kuesioner penilaian kelas kelompok tani juga banyak mengandung
kelemahan. Meskipun penilaian dilakukan
setiap tahun, namun tidak disebutkan cakupan waktu untuk tiap kegiatan yang
dinilai, apakah hanya untuk setahun terakhir atau merupakan kumulatif.
Kelemahan lain adalah, relasi dengan koperasi yang menjadi indikator penting,
sementara kebijakan Kemtan lebih mendorong seluruh kelompok tani berada dalam
Gapoktan. Indikator-indikator yang digunakan tidak secara tegas menyebutkan apa
pembuktiannya secara lebih nyata. Misalnya adalah indikator ” mampu
mengidentifikasi perjanjian atau mengenal infrastruktur”.
Dalam pedoman
pengisian juga tidak disebutkan siapa responden untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut: apakah cukup seorang pengurus, semua pengurus,
atau apakah juga diperlukan pula beberapa anggota. Selanjutnya, dalam hal
persen, tidak jelas apakah nilai tersebut untuk kuantitas anggota yang terlibat
atau yang mampu, ataukah persen dari sisi waktu. Indikator-indikator yang
digunakan umumnya berupa informasi kualitatif, sehingga rendah tingkat
validitasnya. Jadi, perangkat penilaian ini memiliki masalah reliabilitas,
yakni masalah kekeliruan pemilihan indikator, serta masalah validitas yaitu
kekuranghandalan masing-masing indikator.
Selanjutnya, jika
diperbandingkan dengan berbagai pedoman yang berlaku lebih luas, indikator
dalam Permentan terlihat lebih sederhana dan dangkal. Sebagai contoh,
Universalia (2002) menggunakan empat indikator pokok untuk melakukan penilaian sebuah
organisasi, yaitu:
(1) Kinerja organisasi (organizational performance) yang diukur
dari pencapaian utama (major
achievements), tingkat produktifitas organisasi, efisiensi dalam mencapai misinya, perbandingan
antara biaya dengan produksi, produktifitas anggota, efisiensi administrasi,
ketersediaan dan dukungan keuangan, dan kemampuan memperoleh keuntungan
sepanjang waktu.
(2) Kemampuan organisasi tumbuh
di lingkungannya (the enabling
environment and organizational performance) yang mencakup lingkungan teknologi dan ekologi, geografi,
clients organisasi, donor organisasi, penerima manfaat organisasi (beneficiaries), kebijakan, tata peraturan (legislation), pengaturan (regulations), serta tata hukum.
clients organisasi, donor organisasi, penerima manfaat organisasi (beneficiaries), kebijakan, tata peraturan (legislation), pengaturan (regulations), serta tata hukum.
(3) Motivasi organisasi (organizational motivation) dengan menganalisa secara mendalam sejarah organisasi, misi organisasi, kultur organisasi (the organization’s culture), serta sistem insentif dan penghargaan (incentive and reward system).
(4) Kapasitas organisasi (organizational capacity) yakni kekuatan dan kelemahan strategi kepemimpinan (strategic leadership) dalam organisasi,
manajemen keuangan, struktur
keorganisasian,sarana dan prasarana yang dimiliki organisasi, sistem perekrutan
(following systems) serta proses atau
dimensi sumberdaya manusia, program dan manajemen pelayanan, manajemen
proses, dan hubungan antar organisasi (inter-organizational linkages).
Pada bagian 5.2. terbaca dimana Kelompoktani
mendorong anggotanya agar mau dan mampu melaksanakan kegiatan simpan-pinjam
guna memfasilitasi pengembangan modal usaha. Permentan ini, sebagaimana banyak
kebijakan pemerintah yang lain, berfikiran bahwa meminjam modal dari luar
adalah sesuatu yang positif dan sangat disarankan untuk dipilih oleh petani.
Pemikiran ini, selain masih merupakan sesuatu yang dapat diperdebatkan, juga
kurang konsisten dengan upaya memandirikan petani sebagaimana jiwa yang diusung
oleh Permentan ini.
Pendekatan Pembentukan, Penumbuhan, dan
Pengembangan Kelompok Tani
Disebutkan
dalam bagian 4.1. bahwa penumbuhan kelompoktani dapat dimulai dari kelompok-kelompok
atau organisasi sosial yang sudah ada di masyarakat, dengan memperhatikan
kondisi-kondisi kesamaan kepentingan, sumber daya alam, sosial ekonomi, keakraban,
saling mempercayai, dan keserasian hubungan antar petani. Sementara, prinsip-prinsip
penumbuhan kelompoktani dapat dikatakan sudah ideal yaitu menggunakan prinsip
kebebasan, keterbukaan, partisipatif, keswadayaan, kesetaraan, dan kemitraan.
Satu kelemahan
tampak dalam proses penumbuhan. Hanya ada dua langkah dalam proses penumbuhan
yaitu pengumpulan data dan informasi, serta dilanjutkan dengan “ ….advokasi (saran dan pendapat) kepada
para petani khususunya tokoh-tokoh petani “ (bagian 4.2.). Pada langkah
kedua disampaikan empat hal yaitu memberikan pengertian tentang kelompoktani,
menjelaskan proses atau langkah-langkah
dalam menumbuhkan dan membentuk kelompoktani, kewajiban dan hak setiap anggota,
serta penyusunan rencana kerja kelompok.
Pendekatan
yang hanya mengandalkan kepada dua langkah ini terkesan terlalu menggampang
proses, dimana tidak menghargai sama sekali proses yang berlangsung dalam diri
petani sendiri, serta tidak berjalannya apa yang dikenal dengan “organizational learning”. Organizational
learning adalah sikap yang memberikan kesempatan kepada organisasi
yang baru terbentuk untuk belajar (learns)
dan beradaptasi (adapts) terhadap
persoalannya sendiri. Sebagai pedoman, maka ini kurang memberi arahan yang
cukup.
Materi dalam Permentan
juga tidak memberikan kesempatan berkembangnya adaptive organization, yakni “….an organization that is able to sense changes in signals from its
environment (both internal and external) and adapt accordingly”. Dalam
proses ini berlangsung pendekatan proses belajar (learning-process approach) dalam
kerangka belajar aktif (action-learning) (Korten, 1980). Panduan yang
disampaikan dalam Permentan ini lebih sesuai jika disebut dengan proses
pembentukan, bukan proses penumbuhan.
Selanjutnya
pada bagian 4.2. dipaparkan bahwa “Penumbuhan/pembentukan kelompoktani
dilakukan dalam pertemuan atau musyawarah petani yang dihadiri oleh tokoh
masyarakat, pamong desa, penyuluh pertanian sebagai mitra kerja petani dan
instansi terkait. Selanjutnya kesepakatan membentuk kelompoktani dituangkan
dalam berita acara pembentukan kelompoktani”. Disini terbaca bahwa
pembentukan organisasi petani lebih sebagai agenda pemerintah. Dengan kata
lain, bagian ini bertentangan dengan prinsip yang dipaparkan di bagian Romawi
III bahwa kelompok tani adalah dari, oleh dan untuk petani.
Penumbuhan organisasi petani semestinya merupakan hal yang serius karena
akan menentukan kapasitas dan kontinyuitasnya. Ini merupakan proses yang
melibatkan faktor-faktor sosiologis dan psikologis pada diri petani dan
komunitas. Sebagai perbandingan, pengalaman pengorganisasian petani di beberapa
negara mendapatkan perlunya dilakukan 10 langkah untuk membangun organisasi
petani (establishing farmer organizations),
sebagaimana dirumuskan oleh Chamala dan Shingi (2007). Kesepuluh
langkah tersebut berturut-turut adalah: (1) memahami komunitas (understanding the village community), (2) mengidentifikasi pempimpin-pemimpin yang
potensial dalam komunitas salah satunya melalui metode sosiometri, (3) mendekati
calon pempimpin (identified leaders) dan
mendapatkan kerjasama dari pihak-pihak lain, (4) membantu pemimpin lokal
utnuk melakukan pertemuan (community meetings), (5) menyusun daftar nominasi untuk
mendapatkan pemimpin utama (core group
leaders) yang terdiri atas beberapa
orang, (6) mengembangkan struktur organisasi, (7) mengembangkan manajemen
organisasi petani melalui pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan Education and Action Learning, (8) mulai
menggerakkan untuk tindakan (gearing up
for action), (9) melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang terpilih, (10) serta monitorng dan evaluasi perkembangan
organisasi. Salah satu metode untuk mengembangkan
manajemen organisasi melalui pendekatan Education
and Action Learning adalah metode yang berturut-turut terdiri atas
langkah-langkah educating, leading, mentoring and supporting, providing,
structuring, dan actualizing (Vogt
and Murrell, 1990).
Selanjutnya,
bagaimana untuk pengembangan organisasi petani, materi yang ada dalam Permentan
dapat dikatakan kurang memadai. Hal ini tercantum pada bagian V (Pengembangan
Kelompoktani). Materinya berisi apa ciri-ciri organisasi yang kuat dan mandiri,
lalu arahan kepada petugas lapang mulai dari tingkat desa sampai propinsi.
Sebagai contoh, pada Bagian 5.3. disampaikan pedoman yang cenderung umum, yaitu
”Dalam
pengembangan kelompoktani, Pemerintah dan pemerintah daerah pada dasarnya
berperan menciptakan iklim untuk berkembangngnya prakarsa dan inisiatif para
petani, memberikan bantuan kemudahan/fasilitas dan pelayanan informasi serta
pemberian perlindungan hukum”. Tidak ditemukan pedoman yang taktis sehingga dapat
diikuti langkah-langkah apa yang mesti dijalankan secara kronologis.
Wujud Gapoktan yang Diinginkan
Permentan
Definisi
Gabungan Kelompoktani (GAPOKTAN) dalam Permentan ini adalah “… kumpulan beberapa kelompok tani yang
bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha”.
Batasan ini sedikit lebih pendek dibandingkan dalam Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 93 tahun 1997, dimana Gapoktan
adalah “ … gabungan dari beberapa
kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan
kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi
anggotanya dan petani lainnya”. Disebutkan
pula pada Kepementan 93/1997, bahwa Gapoktan
merupakan Wadah Kerjasama, yang disebut dengan Wadah Kerjasama Antar Kelompok
tani-nelayan (WKAK). Dalam aturan ini dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi
Petani-Nelayan. Sementara dalam Permentan 273 tidak dikenal adanya organisasi
petani yang berbentuk asosiasi.
Tentang
badan hukum Gapoktan, hanya disebutkan bahwa
apabila sudah memiliki tingkat kemampuan yang tinggi dan telah mampu
mengelola usaha tani secara komersial, serta memerlukan bentuk badan hukum
untuk mengembangkan usahanya; maka dapat ditingkatkan menjadi bentuk organisasi
yang formal dan berbadan hukum. Penjelasan yang agak kabur ini membingungkan pelaksana
di lapangan. Pertanyaan yang paling sering adalah apakah Gapoktan harus menjadi
koperasi, karena hanya koperasi yang diakui bisa berbadan hukum (di samping
perusahaan dan yayasan).
Gapoktan
yang kuat dan mandiri dicirikan oleh 9 indikator, yang dapat dibagi atas
indikator dokumen dan indikator aksi. Indikator dokumen adalah: tersusunnya
rencana kerja, adanya aturan yang tertulis, dan memiliki pengadministrasian
yang rapih. Sementara indikator aksi atau aktvitas adalah adanya pertemuan pengurus
secara berkala, memfasilitasi kegiatan-kegiatan usaha bersama, memfasilitas
usaha tani secara komersial, menjadi sumber
serta pelayanan informasi dan teknologi, adanya kerjasama dengan pihak lain, serta adanya
pemupukan modal usaha. Pada indikator nomor 3 yaitu: “Memiliki aturan/norma tertulis yang disepakati dan ditaati bersama”,
perlu dibuat sedikit catatan, dimana “norma” semestinya tidak dimasukkan,
karena norma tidak pernah dituliskan. Pengertian yang paling umum tentang norma
adalah aturan yang tidak tertulis yang menjadi pedoman bagai anggota masyarakat
dalam bertindak.
Peran
yang dapat dijalankan Gapoktan mencakup aktivitas berkaitan dengan usaha
pertanian. Pada bagian 6.1. disebutkan
bahwa Gapoktan dapat berfungsi sebagai unit
usahatani, unit usaha pengolahan, unit usaha sarana dan prasarana produksi,
unit usaha pemasaran dan unit usaha keuangan mikro serta unit jasa penunjang
lainnya sehingga menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri. Lebih jelas disebutkan bahwa GAPOKTAN
melakukan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Merupakan satu kesatuan unit
produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas dan
harga); ( 2) Penyediaan saprotan (pupuk bersubsidi, kualitas, kontinuitas dan
lainnya) serta menyalurkan kepada para petani melalui kelompoknya; (3)
Penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/pinjaman kepada para
petani yang memerlukan; (4) Melakukan proses pengolahan produk para anggota
(penggilingan, grading, pengepakan dan lainnya) yang dapat meningkatkan nilai
tambah; (5) Menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/menjual produk petani
kepada pedagang/industri hilir.
Dengan
kata lain, peran yang dapat dimainkan Deptan persis sama dengan koperasi. Dalam
Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 43 berkenaan
dengan Lapangan Usaha ayat 3: “Koperasi
menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan
ekonomi rakyat”.
Pengembangan
Gapoktan sebagai Intergroup Associaton
Jika
dihubungkan dengan berbagari literatur textbook
berkenaan dengan organisasi petani, Gapoktan merupakan jenis organisasi yang
dapat digolongkan sebagai “intergroup
association”. Beberapa istilah yang sering pula digunakan misalnya adalah “Small Farmer Group Associaton (SFGA)”, “representatives of groups”, atau secondary
level organization. Dalam FAO (2001), SFGA didefinsikan sebagai: “ … is a local-level, informal, voluntary and
self-governing association of small farmer groups (SFGs). It is created and
financed by the individual members of its affiliated groups to provide them
with services and benefits that help improve their economic and social
conditions. This means that an SFGA is a "secondary level"
organization of small farmer groups.”
Ketiga istilah ini adalah sebutan untuk
sebuah organisasi yang posisinya berada di atas individual organization, yang berperan sebagai koordinator,
menyatukan kegiatan dan sumberdaya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili
segala kebutuhan organisasi ke luar. Gapoktan merupakan intergroup associaton untuk kelompok tani dan KWT di satu desa.
Jika kelompok tani anggota adalah petani sebagai individu, sedangkan anggota
Gapoktan semestinya adalah kelompok-kelompok tani tersebut. Hal ini sejajar
dengan perbedaan antara Koperasi Primer dengan Koperasi Sekunder (lihat UU No.
25 tahun 1992).
Menurut pengalaman FAO (2002), jumlah individual organization yang diwadahi
hanya efektif dengan jumlah 5 sampai 10 unit. Sementara, dalam Permentan
273/2007 tidak disebutkan berapa batas minimal maupun maksimalnya, juga tidak
disebutkan batas wilayah kerjanya. Di Indonesia, Gapoktan sesungguhnya sudah
mulai dibentuk semenjak era Supra Insus di akhir 1980-an, namun menjadi lebih
ramai semenjak awal 2000-an, terutama ketika diluncurkan program PUAP, dimana
penerima program harus organisasi Gapoktan. Di
Indonesia, data pada Oktober
2009 menunjukkan bahwa total kelompok tani 270.817 unit,
sedangkan total Gapoktan adalah
28.304 unit. Maka, rata-rata ada 9,6 kelompok tani pada tiap Gapoktan.
Dibandingkan dengan jumlah desa 69 ribu unit, maka Gapoktan baru ada di lebih
kurang 40 persen dari total desa.
Saat ini, tentu persentase ini semakin meningkat. Dalam administrasi kita tidak
ada organisasi yang pernah berdiri lalu dibubarkan, sehingga datanya masih
tetap tercatat meskipun kondisi keorganisasiannya sudah layak dianggap hilang.
Dalam
format sebagai the inter-group associations,
Gapoktan merupakan tahap lanjut dalam kegiatan pengorganisasian (a late development in the projects).
Gapoktan dikembangkan setelah kelompok tani berdiri dan berjalan dengan kuat.
Dalam prakteknya, hal ini tidak diikuti secara ketat.
Keberadaan intergroup associations sangat berguna karena memungkinkan untuk
saling berbagi informasi antar kelompok tani, melakukan pelatihan, dan
mengumpulkan sumber-sumber daya di masing-masing kelompok. Dengan bersatu dalam
Gapoktan, maka dapat mencapai skala ekonomi lebih besar, dapat dapat membeli
input bersama-sama, memasarkan produk bareng-bareng, dan menjadi lebih murah
karena misalnya dapat menyewa truk secara bersama-sama.
Di
Sri Langka, mereka sudah bisa mengerjakan kegiatan di luar pertanian, misalnya
membangun infrastruktur desa, dan mengorganisasikan pertemuan warga sedesa (community meeting). Sementara, di Swaziland, mereka mampu
mendatangkan pemimpin daerah setempat dalam pertemuan mereka, dan berhasil
menegosiasikan kebutuhan mereka terhadap lahan olahan.
Langkah-langkah
dan siklus perkembangan inter-group
association
Pada buku FAO
(2001) berjudul “The Inter-group Resource
Book: A Guide to Building Small farmer Group Associations nad Network”,
secara alamiah ada pola siklus pertumbuhan sebuah inter-gorup association, yakni:
(1)
Adanya tahap belajar (the learning stage). Tahap ini
ditandai oleh tingginya antusias anggota, adanya proses trial and error dalam
manajemen, dan pernah menghadapi output yang rendah.
(2)
Tahap tumbuh (growth). Kesuksesan dalam melayani
anggota (kelompok-keleompok tani dengan
anggota-anggotanya) ditunjukkan dengan memberikan pelayanan yang dibutuhkan,
serta tingginya peningkatan hasil (tidak semata-mata produktivitas ushatani).
Keanggotaan tumbuh dimana ada kelompok tani baru yang bergabung, dan loyalitas
anggota begitu tinggi.
(3)
Tahap krisis. Sikap over-confidence dalam
menjalankan kegiatan menimbulkan namun belum didukung kapasitas, menimbulkan
mismanagement dan kekurangefisienan, sehingga output dan keuntungan lalu
anjlok.
(4)
Tahap pemulihan (Recovery and sustained growth).
Jika Gapoktan berhasil melewati krisis ini, maka ia akan kembali berjalan baik dan bisa
bertahan dalam jangka yang lama.
Dalam
Permentan 273/2007 hal ini tidak dicakup. Ada banyak hal yang harus diperhatikan
dalam pengembangan Gapoktan. Gapoktan harus mampu menjalankan banyak peran (managing multiple services), karena
posisinya yang melayani banyak kebutuhan internal dan sekaligus untuk urusan
eksternal kelompok-kelompok tani satu desa. Untuk membagi-bagi tugas, maka
perlu dibentuk kelompok-kelompok (task
groups) atau sebuah service
committees, dengan tugas yang berbeda. Ini sejajar dengan sebuah “seksi “.
Akan lebih ideal bika posisi diisi oleh perwakilan tiap-tiap kelompok tani.
Dalam
Permentan ini belum dimasukkan secara khusus bagaimana kerjasama antar sesama
Gapoktan. Kerjasama dengan sesama Gapoktan merupakan langkah yang sangat
esensial dan dapat berperan banyak dalam konteks sosial, ekonomi dan juga
politik. Hubungan antar organisasi (inter-organizational linkages) akan
menemui perihal bagaimana jaringan yang terbangun, dalam hal
tipe, sifat, ketepatan keanggotaan (appropriate
membership), utilitas (utility),
koordinasi, dan keuntungan yang diperoleh. Pengembangan kemitraan (partnerships), akan bervariasi atas
beragam tipe, sifat, dan potensi keberlanjutannya.
Kesuksesan
organisasi seperti Gapoktan akan sangat bergantung pula pada kapasitas
kepemimpinan. Karena itu dewan pimpinan (ketua, sekretaris, sampai dengan
kepala seksi) sebaiknya dipilih dengan hati-hati. Ia harus bisa melepaskan diri
dari konflik kepentingan nya sebagai anggota dalam satu kelompok tani (interests of their own group).
Dalam
memilih pemimpin atau pengurus di Gapoktan, maka capailah melalui musayawarah
(consensus), dimana tiap kelompok tani memiliki suara yang sama dengan prinsip “one group, one vote" principle.
Agar lebih adil dan tumbuh rasa memiliki, tiap kelompok tani diwajibkan
membayar tabungan dalam Gapoktan. Untuk menghindari conflict of interest, maka pengurus di Gapoktan sebaiknya bukan
pengurus di kelompok tani. Di Indonesia, pengurus Gapoktan hampir selalu
menjadi pengurus di kelompok tani juga. Kepemimpinan dalam Gapoktan tidak
disebutkan secara tegas, sehingga saat ini banyak pengurus Gapoktan yang adalah
juga menjadi pengurus di kelompok tani. Dalam buku panduan yang disusun FAO,
semestinya hal ini dihindari, agar tidak terjadi konflik vested interest. Terjadinya tumpang tindih kepengurusan karena hal
ini tidak dibatasi dalam Permentan 273/2007.
Kesiapan Kelompok tani untuk Bergabung
dalam Gapoktan
Permentan
ini cenderung agak menggampangkan tentang proses penggabungan kelompok-kelompok
tani ke dalam Gapoktan. Pada bagian VI tertulis: “Kelompoktani yang berkembang bergabung ke dalam gabungan kelompoktani
“. Lalu, pada bagian 6.2.: “Penggabungan kelompoktani ke dalam GAPOKTAN
dilakukan agar kelompoktani dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, …..
Proses penggabungan begitu sederhana dan lebih bersifat ritual-formalitas,
yaitu: “ Pembentukan GAPOKTAN dilakukan
dalam suatu musyawarah yang dihadiri minimal oleh para kontak tani/ketua
kelompoktani yang akan bergabung, setelah sebelumnya di masing-masing kelompok
telah disepakati bersama para anggota kelompok untuk bergabung ke dalam
GAPOKTAN. …. Ketua GAPOKTAN dipilih secara musyawarah dan demokrasi oleh para
anggotanya, dan selanjutnya ketua memilih kepengurusan GAPOKTAN lainnya, Untuk
mendapatkan legitimasi, kepengurusan GAPOKTAN dikukuhkan oleh pejabat wilayah
setempat”. Narasi ini jelas terlau
ringkas, kurang jelas, dangkal, dan berkesan formal. Tidak jelas disini siapa
yang disebut anggota, dan juga pemilihan langsung yang terbatas hanya untuk
memilih ketua Gapoktan saja.
Bandingkan dengan berbagai buku panduan
yang cenderung hati-hati dan dengan penuh perhitungan. Menurut McKone (1998)
misalnya, kematangan kelompok tani
adalah satu prasyarat penting untuk
dapat diterima bergabung dalam Gapoktan. Kematangan ini terlihat dari dua hal,
yakni keinginan dan kemampuan (willing
and able to do so). Kelompok-kelompok yang bisa membentuk SFGA (= Gapoktan)
(McKone, 1998) mestilah: (1) Memiliki kepemimpinan yang baik, dan partisipasi
aktif anggota dalam pertemuan-pertemuan dan aktivitas, (2) Tingginya
solidaritas antar anggota, (3) Kejelasan aktivitas untuk sumber pendapatan (well-defined group income-generating
activities) dan kemandirian finansial yang tidak lagi tergantung dari luar,
(4) Kapasitas organisasi untuk memberikan keuntungan (valued benefits) dan pelayanan untuk anggotanya, (5) Kemampuan untuk
menata keuangan kelompok dengan efektif dan membayar hutang dengan cepat, (6)
Kecukupan kas kelompok (group savings)
untuk menutupi kebutuhan sendiri dalam segala bentuk resiko dan biaya yang
mesti ditanggung jika bergabung dalam SFGA, (7) Menunjukkan minat untuk bekerja
dalam inter-group cooperation, (8) Keyakinan
diri bahwa inter-group cooperation
akan memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang konkret bagi mereka.
Hanya kelompok
yang mampu menunjukkan kematangan dengan indikator di atas yang siap untuk
membentuk atau bergabung dengan SFGA. Untuk menuju kematangan tersebut,
langkah-langkah secara kronologis disederhanakan seperti gambar berikut. Tahap
pertama adalah dicapainya keanggotaan yang aktif (active membership), lalu dilanjutkan dengan berjalannya tabungan
kelompok (good savings), adanya
aktivitas yang memnguntungkan (provitable
activity), kepemimpinan yang cakap (good
leadership), maka terakhir akan dicapai kelompok yang matang (group maturity).
Masalah keanggotaan dalam Gapoktan
Penyebutan
“anggota Gapoktan” diulang beberapa kali dalam dokumen ini, namun tidak bisa
dijelaskan apakah anggota dimaksud orang secara individual ataukah organisasi
(misalnya kelompok tani atau kelompok wanita tani).
Pada
bagian 6.1. tertulis: “Menumbuhkembangkan kreativitas dan prakarsa anggota
Gapoktan untuk memanfaatkan setiap informasi dan akses permodalan yang
tersedia”. Lalu, bagian 7.3.: “Balai penyuluhan pertanian perlu menyusun
catatan rekapitulasi … jumlah anggota kelompoktani dan GAPOKTAN”, dan dalam pelaporan disebutkan bahwa harus
mencakup “Jumlah anggota kelompoktani dan
GAPOKTAN” (point no. 2). Siapa yang disebut dengan anggota Gapoktan dalam
kalimat ini tidak jelas. Hal ini menyebabkan kebingungan mulai dari pemilihan
pengurus Gapoktan, yakni siapa yang memiliki hak untuk memilih, apakah
orang-orang ataukah kelompok tani.
Bertolak
dari konsep bahwa Gapoktan adalah sebuah bentuk secondary level organization, yang berada di atas kelompok tani,
maka anggotanya adalah kelompok tani, bukan orang-orang. Posisinya sama halnya
dengan Koperasi Sekunder yang berada di atas Koperasi Primer (lihat UU No. 25
tahun 1992).
Pada bagian 4.1.1. terbaca bahwa jumlah
annggota kelompok tani adalah 20 sampai 25 orang, namun berapa unit kelompok
tani boleh masuk dalam satu Gapoktan tidak disebutkan. Menurut satu panduan,
jumlah anggota smal farmer group yang
efektif cukup hanya 5 sampai 15 orang, sedangkan jumlah organisasi dalam satu seperti
halnya Gapoktan semestinya 5-10 organisasi (FAO, 2001).
Kelemahan dalam memahami teori serta pendekatan kebijakan
yang juga cenderung memaksakan satu pendekatan tunggal, telah menghasilkan
berbagai dampak yang perlu diperhatikan, dan dilakukan koreksi di masa yang
akan datang. Berbagai dampak tersebut misalnya adalah:
Satu, kelemahan dalam menerapkan
indikator dalam penilaian organisasi. Karena keliru dalam
mempersepsikan organisasi petani, maka keliru pula dalam menilai kapasitasnya. Sebagai
contoh, anggota yang belum menyadari pentingnya menghadiri
pertemuan kelompok dipandang sebagai masalah sosial. Indikator-indikator ini terlihat hanya mengedepankan
aspek keorganisasian, tanpa melihat apa kerugian bagi petani jika menggunakan
cara-cara yang sekarang. Selain itu, juga tampak kesan bahwa ada ”pemaksaan”
untuk berorganisasi. Banyaknya petani yang tidak berorganisasi merupakan
masalah sosial. Dapat dikatakan bahwa indikator-indikator tersebut
menggiring kepada kekeliruan dalam memahami
kondisi sesungguhnya. Kuesioner untuk menilai kelas
kelompok tani yang terdiri atas lima indikator pokok, yang lalu terpecah lagi
menjadi puluhan variabel, juga merupakan hal yang perlu diperbaiki.
Dua, tumpang tindih organisasi petani.Tumpang tindih organisasi terjadi
karena organisai yang didirikan lebih sebagai kebutuhan pihak atas. Tumpang
tindih yang utama adalah antara Gapoktan dan koperasi. Dalam Permentan 273/2007
disebutkan bahwa “Jika dibutuhkan dapat
ditingkatkan menjadi bentuk organisasi yang formal dan berbadan hukum, sesuai
dengan kesepakatan para petani anggotanya”. Pernyataan ini menimbulkan
pertanyaan, seperti apa badan hukum dimaksud. Sampai saat ini pemerintah hanya
mengakui badan hukum untuk 3 bentuk yaitu perusahaan, yayasan dan koperasi.
Tidak bisa dijelaskan apakah jika kondisinya siap Gapoktan berubah menjadi
koperasi, ataukah hanya bagian tertentu yang masuk ke dalam koperasi.
Tiga, rendahnya partisipasi petani karena kesan
bahwa ini agenda pemerintah.
Pada bagian VII (Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan), kegiatan dilakukan
sepenuhnya oleh aparat pemerintah dan beberapa pihak lain, utamanya petugas
penyuluhan. Dalam kegiatan evaluasi juga tidak disebutkan peran petani dalam
kegiatan ini.
Hasil kegiatan
McKone (1990) di berbagai negara,
menemukan streotipe cara kerja orang-orang pemerintah. Mereka umumnya
terlalu menyederhanakan (oversimplified)
dalam melihat komunitas di pedesaan. Petani diwajibkan untuk berorganisasi jika
ingin memperoleh bantuan. Dilaporkan bahwa: “…unless they are organized into cooperatives or associations or groups,
they will not get government subsidies or access to credit and technical
services. As a result, several FOs were established overnight on paper”
(Chamala dan Shingi, 2007). Akibatnya
sudah bisa diperkirakan, dimana berbagai organisasi petani hanya aktif selama
ada kegiatan pemerintah. Tidak berhasil diciptakan kerjasama (cooperatives) atau kemitraan (partnerships) dan mobilisasi sumberdaya setempat untuk pembangunan pertanian.
Umumnya hanya
kalangan elit petani yang dapat menikmati pelayanan penyuluhan, sementara
kalangan miskin dan perempuan hanya memperoleh sedikit. Khususnya untuk
pengembangan organisasi petani: “Very few
attempts were made to develop the management capacities of FO leaders, their
members, …..”. Penyebabnya adalah karena aspek teori organisasi khususnya community organization tidak dimasukkan
dalam program pelatihan petugas lapang. Kedepan,
perlu pendekatan baru untuk mengorganisasikan petani dan membangkitkan kebutuhan bekerjasama (forming cooperatives need). Penyuluh
harus mempunyai kemampuan dalam hal mengorganisasikan komunitas (community-organizing) dan keterampilan
menajemen kelompok (group management
skills). Rendahnya partisipasi justeru karena kesalahan pihk pemerintah itu
sendiri (“…. authority and that inequity
in development was caused as much by governments as by any other cause).
Pemerintah bekerja dengan kegiatan yang didesain dari atas dan berharap dampak
akan menyebar otomatis (“….. most development projects which
have been designed from above and handed down to the participants on the
assumption that the benefits would
trickle down").
Empat,
mitos tentang formalitas organisasi. Meskipun pada bagian III disebutkan bahwa
kelompok tani adalah organisasi non formal, namun karena pendiriannya
melibatkan banyak aparat pemerintah dan adanya Surat Pengukuhan yang
ditandatangani oleh Kepala Desa penyuluh, bagi petani proses ini adalah sebuah
bentuk keformalan. Dengan bekal surat tersebut, kemudian satu kelompok tani
bisa memperoleh bantuan dari pemerintah.
Tanpa
sadar, kita menganut satu mitos tentang keformalan organisasi. Memformalkan
organisasi-organisasi petani merupakan kebiasanaan kita sehari-hari, baik
kalangan pemerintah maupun NGO. Seluruh organisasi yang dilabeli ”tradisional” harus diganti
dengan yang formal. Formalitas yang dianggap akan menyelesaikan masalah dengan
sendirinya adalah sebuah mitos. Faktanya, relasi-relasi formal belum tentu
nyaman bagi sebagian besar petani. Bentuk-bentuk kepercayaan yang sebelumnya
berbasiskan kepada etika dan norma lokal, dirasakan asing bagi mereka ketika
diandalkan kepada selembar kertas perjanjian misalnya.
Menurut Meyer dan Rowan (2005):”... formal organizational structures arise in
highly institutional contexts”. Jadi, organisasi
formal hanya dapat hidup jika memang masyarakat tersebut telah berada dalam
etika dan cara hidup yang mengamalkan formalitas sebagai aturan yang mengatur
relasi antar warganya. Jika belum, maka oranisasi formal tidak akan dapat
bertahan.
Lima, organisasi
petani merupakan alat untuk memperoleh proyek. Organisasi formal
menjadi wadah untuk berbagai pelaksanaan program dari pemerintah. Hampir tidak
ada bantuan pemerintah yang disalurkan langsung kepada individu. Dampaknya
adalah, misalnya bagi pemerintah daerah, maka semakin banyak organisasi yang
ada di wilayahnya, maka peluangnya memperoleh bantuan juga akna semakin besar.
Bersamaan dengan itu, pada diri petani juga tumbuh sikap
bahwa organisasi hanya alat untuk mendapatkan bantuan. Secara
sederhana apa yang disebut dengan program pembangunan saat ini adalah pemberian
bantuan, baik berupa uang maupun material. Hal ini menyebabkan kegiatan
pendampingan yang hanya membawa pengetahuan kurang diminati petani. Masuk dalam organisasi pun bagi
petani akhirnya hanya bermakna satu hal, yaitu agar mendapat bantuan.
Ke depan, agar Permentan ini yang sesungguhnya adalah sebuah
dokumen pedoman penumbuhan dan pengembangan organisasi petani, maka beberapa
penyempurnaan sangat dibutuhkan. Beberapa point pokok yang harus diperhatikan
adalah: Satu, dokumen ini semestinya
dapat menjadi pedoman yang penggunaannya bisa lebih luas. Selain mampu memberi
pedoman untuk petugas pemerintah, secara tidak langsung juga dapat digunakan
oleh pihak lain, misalnya dari kalangan NGO dan bahkan dari kalangan petani
sendiri. Pengurus Gapoktan misalnya memiliki kewajiban dalam penumbuhan dan
pengembangan organisasi petani, meskipun bukan sebagai tugas utama.
Dua, berbagai
kekeliruan penggunaan konsep mestilah diperbaiki, yakni dengan merujuk kepada
literatur-literatur yang teruji keilmiahannya. Ilmu sosial mestilah menjadi
basis kerangka pemikirannya.
Tiga, perlu
disusun ulang keseluruhan bagiannya, sehingga materi yang disampaikan dapat
lebih dalam, lebih detail, dan harus memberi kesan bahwa proses ini adalah
sesuatu yang serius. Sebagai dokumen pedoman, ia harus mampu memberi kejelasan
bertindak (direction) dan dapat pula
memberi pengetahuan kepada petugas jika ada kekeliruan dalam prosesnya (evaluation), sehingga segera
diperbaiki.
Empat, untuk memperoleh pemahaman yang benar dan utuh, maka
penyempurnaan dokumen ini membutuhkan dukungan dan bantuan berbagai pihak
secara langsung. Pembahasan penyempurnaannya perlu melibatkan kalangan
akdemisi, peneliti, dan juga praktisi serta pengguna secara terintegratif.
PENUTUP
1.
Permentaan 273 tahun 2007 masih
terbatas kepada dokumen sebagai pedoman untuk petugas, namun belum dapat
menjadi pedoman untuk kalangan petani sendiri. Secara umum, pedoman yang
dicantumkan dalam Permentan ini cenderung dangkal, tidak detail, memberikan
kesan longgar, dan adanya beberapa kekeliruan. Penggunaan istilah dalam
legislasi ini cenderung membingungkan dan tidak mengikuti pengistilahan dalam
literatur yang terbaru. Hal ini berakibat pada ketidakefektifan dalam
pelaksanaan.
2.
Gapoktan dipersepsikan sebagai sebuah “kelompok
tani yang besar”, bukan sebuah interrelation
organization yang bangun keorganisasiannya sangat berbeda. Penjelasan
tentang Gapoktan cenderung kurang jelas, sehingga banyak terjadi masalah
terutama tentang keanggotaan. Indikator yang digunakan untuk menilai kapasitas
kelompok tani terlalu sederhana termasuk persyaratan kelompok tani untuk masuk
ke Gapoktan.
3.
Organisasi petani lebih merupakan
kepentingan atas dibandingkan kebutuhan nyata dari petani. Pemerintah sangat
berkepentingan dengan keberadaan organisasi, dimana organisasi formal menjadi
satu-satunya cara untuk menjalankan program pembangunan. Organisasi merupakan
salah satu wadah untuk menjalankan tindakan kolektif. Namun, Permentaan ini cenderung
“memaksakan” organisasi sebagai satu-satunya wadah, meskipun terbukti tidak efektif.
Keberadaan organisasi petani di desa belum didasarkan analisis kebutuhan, namun
representatif dari kepentingan departemen di level nasional. Hal ini terlihat
pada rivalitas antara Gapoktan dengan koperasi, dua organisasi yang
sesungguhnya menjalankan peran yang sama di level yang sama. Intervensi pihak
atas yang besar ini menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi petani.
4.
Dibutuhkan sikap kehati-hatian,
analisis yang cukup, diagnosa yang tepat dalam pengembangan organisasi untuk
petani. Apa bentuk dan struktur organisasi yang sesuai, serta apa
langkah-langkah untuk membangunnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang
semestinya dijawab secara keilmuan.
5.
Berkenaan dengan penetapan indikator kemampuan
kelompok tani, indikator yang digunakan belum mengahasilkan gambaran yang valid
tentang kapasitas organisasi. Untuk ini, dibutuhkan penelitian yang mendalam
tentang apa indikator-indikator yang lebih mudah diisi oleh petugas, namun
cukup handal menggambarkan kapasitas organisasi petani. Form penilaian memiliki
masalah dalam hal reliabilitas dan validitas. Apa
dan bagaimana mengorganisasikan petani sangat erat dengan bidang ilmu sosial.
Karena itu, ke depan, untuk setiap pembuatan kebijakan yang terkait dengan ini,
semestinya melibatkan ahli-ahli ilmu sosial secara intensif.
Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(RPPK) tahun 2005.
Bhandari, Bhisnu B. 2003.
Participaotory Ruaral Appraisal. Module 4. IGES (Institute for Global
Environemental Strategies. Hayama Kanagawa, Jepang. 20 hal.
Bourgeois, Robin; Franck Jesus; Marc Roesch; Nena
Soeprapto; Andi Renggana; and Anne Gouyon. 2003.
INDONESIA: Empowering Rural Producers Organization.Rural Development and
Natural Resources East Asia and Pacific Region (EASRD)
Chamala, S and Shingi, P.M. 2007. Chapter 21 - Establishing and
strengthening farmer organizations. FAO.
http://www.fao.org/docrep/W5830E/w5830e0n.htm.
Departemen
Pertanian. 2008. Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyaraat (PNPM) Mandiri
tahun 2008. Jakarta.
FAO. 2001. The Inter-group Resource
Book: A Guide to Building Small farmer Group Associations and Network. Food And
Agriculture Organization Of The United Nations, Rome.
Hellin, Jon; Mark
Lundy; and Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market
Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007. Research
Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5,
2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI),
Washington.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor
93/Kpts/OT.210/3/1997 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan.
Korten, D. C. 1980. Community
organization and rural development: A learning process approach. Public
Administration Review, 40, 480-510
McKone, CE. 1990. FAO People's
Participation Programme - the First 10 Years: Lessons Learnt and Future
Directions. Human Resources Institutions
and Agrarian Reform Division, Food and Agriculture Organization of the United
Nations, 1990.
Meyer, Jhon and Brian Rowan. 2006.
Institutionalized Organizations: Formal Structure as Myth and Ceremony. Chapter
2 from « The New Institutionalism ». http://ssr1.uchicago.edu/PRELIMS/Orgs/orgs2.html
Peraturan Menteri Pertanian No.
273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompoktani
dan Gabungan Kelompoktani.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian (PSEKP). 2006. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian. Laporan
Penelitian. Biro Perencanaan Deptan dan PSEKP, Jakarta.
Roget's New Millennium™ Thesaurus,
First Edition (v 1.1.1) Copyright © 2005 by Lexico Publishing Group, LLC. All
rights reserved.
Stockbridge, M., A. Dorward, and J. Kydd. 2003. Farmer
organizations for market access: A briefing paper. Wye Campus, Kent, England:
Imperial College, London.
Syahyuti. 2010. Lembaga dan Organisasi Petani dalam Pengaruh
Negara dan Pasar. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 28 No.1 tahun 2010.
Taylor, D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London
Routledge. Chapter 1 dan 10.
The American Heritage® Dictionary of
the English Language, Fourth Edition Copyright © 2000 by Houghton Mifflin
Company. Published by Houghton Mifflin Company. All rights reserved.
Universalia. 2002. Short Guide for Organizational Assessment. http://www.universalia.com/files/samples/QABrochure.pdf, 18 Januari 2006.
Undang-Undang
No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Undang-Undang
No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Vogt, Judth. F. and Kenneth L. Murrel.
1990. Empowerment in organizations: How
to spark exceptional performance. University Associates (San Diego, Calif.)
******
1 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar