Kita berada pada perang KONSEP : agriculture vs agribussiness vs food security vs food sovereignty vs family farming.
Kita negara berkembang adalah “konsumen konsep”. Apa2 saja dunia
tawarkan kita telan, sering tanpa susah-susah mbedainnya. Padahal tiap
konsep lahir dari dan mengusung satu ideologi yang saling silang,
sikut-sikutan, sering ga sejalan.
Tahun 1950-an lahir agribisnis, diikuti ketahanan pangan 1975 an, food sovereignty lahir
1996, lalu tahun 2012 an keluar family farming. Apa ini iseng, lahir
begitu saja? Apakah ini semacam aksi reaksi? Apakah saling meniadakan,
ataukah saling melengkapi?
Kita mulai dengan “agriculture vs agribussiness” (https://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/search…).
Ini jelas ga sama. Agriculture mengandung kata “culture”. Bertani
adalah jalan hidup, sebagai panggilan hidup dan amanah dari Illahi.
Mengolah alam adalah sebuah kehormatan, bukan sekedar pekerjaan. Pada
agribisnis: bertani sebagai kegiatan bisnis belaka. Mau tanam apa, mau
harga berapa, mau dijual kemana: yang penting mana yang lebih untung.
Bertani adalah profesi cari duit. Sejak petani membuka diri pada pasar,
saat itulah ia “rawan”, membuka diri untuk diserang.
Agribisnis
lahir pasca redanya PD II, tahun 1950-an, ini siasatnya negara maju
untuk menguasai sumber daya pertanian di negara berkembang, karena
kolonisasi sudah ga mungkin. Lalu, mulai 1975 an datang food security.
Padahal agribisnis dan ketahanan pangan ga segendang seirama lho. (https://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/…/agribisnis-vs-k…).
Kita lama menjadikan kedua ini seolah satu tarikan nafas saja di
Kementan. Apa kita pernah bertanya, sebenarnya “agribisnis untuk
ketahanan pangan”, ataukah “ketahanan pangan untuk agribisnis”? Yang
mana pendekatan, yang mana tujuan? Ketahanan pangan sedikit banyak lahir
karena ternyata agribisnis ga menjamin orang-orang kenyang. Rupanya
agribisnis ga menyelesaikan masalah.
Lalu keluar food sovereignty
(kita secara keliru menerjemahkan menjadi “kedaulatan pangan”, mestinya
“Kedaulatan Petani atas Pangan”. Karena ia ga bicara pangan, tapi
producers. Ya petani). Ini lahir karena orang melihat food security
hanya melihat pangan dan konsumen, kurang merhatiian petani. Pertanian
dan pangan berkembang, petani tertinggal di belakang. Orang-orang kota
makan enak, petani makan beras sisa. (https://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/…/ketahanan-panga…).
Eh, terakhir lahir lagi “family farming” (pertani keluarga). Makhluk apa lagi ini? (http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/…/…/article/view/8653).
Apakah food sovereignty ga cukup, sehingga perlu secara jelas menyebut
“family” di situ? Perang masih berlanjut kawan. Hehe, happy week end
semua.
*****
Blog ini berisi pendapat pribadi saya tentang kondisi pertanian secara umum yang sedang kita hadapi, sesuai dengan latar saya sebagai peneliti bidang Sosiologi Pertanian.
agraria
(11)
agribisnis
(6)
agriculture
(3)
agriculture innovation system
(1)
AIS
(1)
ASEAN
(1)
badan riset dan inovasi nasional
(1)
balai penyuluhan pertanian
(1)
beras
(1)
berdagang secara Islami
(1)
bertani dan berdagang secara Islami
(1)
bertani secara Islami
(1)
big data
(1)
bisnis
(1)
BPP
(1)
BRIN
(1)
buku
(2)
Buku Pertanian dunia 2020
(1)
demo
(1)
ekonomi pertanian islam
(1)
family farming
(1)
food security
(1)
food sovereignity
(1)
hak petani
(2)
hukum adat
(2)
ilmu
(1)
inovasi
(1)
Iptek
(1)
Islam untuk petani
(1)
islamic agricultural economy
(1)
islamic agricultural socioeconomic
(1)
islamic food economy
(1)
kebijakan
(19)
kecamatan
(1)
kedaulatan pangan
(6)
kedaulatan petani atas pangan
(2)
kelembagaan
(23)
ketahanan pangan
(4)
konflik agaria
(4)
koperasi
(2)
korporasi
(5)
korporasi petani
(5)
korupsi
(2)
KPK
(1)
landreform
(1)
lembaga
(18)
mahasiswa
(1)
nelayan
(2)
organisasi
(23)
organisasi petani
(4)
pangan
(2)
partisipasi
(1)
pedagang
(4)
pedesaan
(4)
pembangunan
(11)
pembangunan pertanian
(3)
pembaruan agraria
(2)
pemberdayaan
(5)
pembiayaan
(1)
pendekatan pembangunan
(14)
penelitian
(2)
pengetahuan
(1)
pengukuran kelembagaan
(2)
pengukuran organisasi
(2)
penyuluh
(7)
penyuluhan pertanian
(2)
penyuluhan pertanian swasta
(2)
perdagangan
(1)
pertanian
(1)
petani
(15)
petani bermartabat
(1)
petani kecil
(5)
pintar
(1)
PPP
(1)
Program Serasi
(1)
public-private partnership
(1)
rawa
(1)
reforma agraria
(1)
sistem
(1)
sistem inovasi
(1)
sistem inovasi pertanian
(1)
social capital
(4)
sosial ekonomi pertanian islam
(1)
sosiologi pertanian islam
(1)
syariah
(1)
teori
(17)
valorisasi
(1)
Tampilkan postingan dengan label pangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pangan. Tampilkan semua postingan
Rabu, 06 November 2019
Selasa, 20 November 2018
Kedaulatan PETANI atas pangan
Mestinya food sovereignity diterjemahkan menjadi
“Kedaulatan Petani atas Pangan”
Konsep “food
sovereignity”, yang secara
resmi diterjemahkan menjadi “kedaulatan pangan”, telah menjadi tujuan dan juga
pendekatan dalam pembangunan pangan nasional, sebagaimana tercantum dalam UU
No. 18 tahun 2012
tentang Pangan, bersama-sama dengan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Masuknya
aspek kedaulatan pangan merupakan konsekuensi bahwa Indonesia telah
meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya
melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (biasanya disingkat ECOSOC Rights).
Namun
demikian, sampai saat ini pemaknaan tentang food
sovereignity masih beragam. UU Pangan juga tidak memberikan pengertian yang
jelas apa itu kedaulatan pangan, dan apa bedanya dengan kemandirian dan
ketahanan pangan. Akibat lebih jauh, aksi untuk membangun dan mewujudkan
“kedaulatan pangan” itu sendiri menjadi kabur dan membingungkan.
Saat
ini, ada empat pemaknaan yang berkembang, yaitu: Pertama, kedaulatan
pangan adala ketika Indonesia mampu berswasembada, tidak menggantungkan pada
impor. Artinya, kedaualatan pangan adalah “ketahanan pangan total”. Fikiran ini
paling bangyak dipegang pejabat dan sebagian pengamat.
Dua, bahwa kedaulatan pangan
bertentangan dengan ketahanan pangan, utamanya karena menolak perdagangan bebas
untuk pangan. Ini awalnya digulirkan di kelompok Via Campesina.
Tiga, bahwa ketahanan pangan
merupakan jalan untuk mencapai kedaulatan pangan. Ini terbaca dalam Nawa Cita,
RPJMP dan RKP Kementan, juga pada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP)
2015-20145.
Empat,
kedaulatan
pangan adalah basis dan jalan untuk mencapai ketahanan pangan. Ketahanan pangan
adalah tujuan akhir, namun mencapainya mestilah dengan memanusiakan petani.
Petani dan keluarga petani yang bermartabat adalah prasyarat utamanya.
Pengertian
nomor empat ini lah yang semestinya diguanakan. Kedaulatan pangan melengkapi
ketahanan pangan, tidak saling menolaknya. Karena perhatian ketahanan pangan
adalah pada pangan (baik pada konsumen maupun petani ketika menjadi konsumen),
namun luput memperhatikan petani nya. Kedua konsep ini sesungguhnya saling
melengkapi.
Sehingga,
agar lebih tepat, food sovereignity
semestinya diterjemahkan menjadi “kedaulatan petani atas pangan” (KPAP) karena
konsep ini berbicara tentang petani (producers),
bukan tentang pangan.
Artinya,
KPAP tercapai ketika petani memiliki otonomi dalam keseluruhan proses produksi
pangan dari hulu sampai hilir. Petani sebagai pelaku utama pangan diberikan kebebasan
dalam menentukan dan menjalankan usahataninya sampai dengan mengkonsumsi hasil
panennya. Indikator KPAP lengkap mencakup input, proses sampai output.
Dengan
demikian, perjuangan KPAP adalah bagaimana petani memiliki hak dan akses petani
kepada seluruh sumber daya pertanian mencakup lahan, air, sarana produksi,
teknologi, pemasaran, serta terhadap konsumsi. Kondisi ini dapat diukur pada
berbagai level baik level individu, rumah tangga, komunitas, wilayah, dan juga
nasional.
*****
Langganan:
Postingan (Atom)