KONDISI ORGANISASI
PETANI DAN
MEMAHAMI ARAH
KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI
Oleh: Syahyuti, Sri wahyuni, Rita N. Suhaeti, Amar K. Zakaria
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian
Jl. Ahmada Yani No 70 Bogor
Abstract
Farmer
organizations gets a new situation after
the the New Order Era,
especially lately after release of the new policies,
namely the Law on the Protection and Empowerment
of Farmers. The spirit of this
policy is not easily
to realized. This paper seeks to
study the conditions and circumstances as
well as the opportunities presented by the conditions and
various important agenda that needs to be realized. Informations were gathered from various sources to
complete the survey study in 2014 in District of Agam (Sumatra), Garut
and Majalengka (West
Java), and Malang and Gresik (East
Java). Data analysis use
qualitative approach. From
the results of the recent information and policy analysis,
it was found that some of the policies related to farmers'
organizations have not been ideal yet, socialization still weak, and farmers themselves do not understand the
opportunity that has been provided.
Therefore, in the
future its need the efforts of various stakeholders to realized
the desired ideal conditions, especially with
the revision Law
P3 by the Constitutional Court at the end of 2014.
Keywords: organizations,
farmer organizations, government policy,
empowerment of farmers
Abstrak
Organisasi petani
mendapatkan situasi baru setelah era pasca Orde Baru, dan terlebih belakangan
ini dengan keluarnya berbagai kebijakan baru, yaitu Undang-Undang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani. Namun, semangat dalam kebijakan ini tidak mudah
direalisasikan. Tulisan ini berupaya mempelajari kondisi dan situasi serta
peluang yang diberikan dengan kondisi dan berbagai agenda penting yang
dibutuhkan untuk merealisasikannya. Informasi dikumpulkan dari berbagai sumber
untuk melengkapi survey studi tahun 2014 di Kabupaten Agam (Sumbar), Garut dan
Majalengka (Jabar), serta Malang dan Gresik (Jatim). Analisis data menggunakan
pendekatan kualitatif. Dari hasil penelurusan informasi terkini dan analisis
kebijakan, ditemukan bahwa beberapa kebijakan berkaitan dengan organisasi
petani belum ideal, sosialisasi masih lemah, dan petani sendiri belum memahami
kesempatan yang telah disediakan. Untuk itu, ke depan perlu upaya berbagai
pihak agar kondisi ideal yang diinginkan dapat terealisasi, terutama dengan adanya
revisi UU P3 oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2014.
Kata kunci:
organisasi, organisasi petani, kebijakan pemerintah, pemberdayaan petani
PENDAHULUAN
Pembentukan organisasi petani telah menjadi program pemerintah semenjak
awal pembangunan pertanian, yakni mulai dari Era Bimas tahun 1970-an. Sampai tahun
2014, organisasi petani terutama berupa kelompok tani dan Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) menjadi alat utama untuk mendistribusikan bantuan dan
sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi secara vertikal antara pemerintah dengan petani dan secara horizontal antar sesama petani (Badan SDMP, 2007; Balitbangtan, 2006).
Ada dua pandangan utama yang agak berseberangan tentang
untuk apa petani harus berorganisasi. Bagi pemerintah, organisasi petani semata
adalah strategi untuk melancarkan pembangunan, yakni untuk fungsi komunikasi
dan memuluskan administrasi proyek. Sebaliknya, bagi kalangan pemberdayaan, organisasi
petani lebih untuk menjalankan fungsi ekonomi dan representatif politik.
Namun, dalam perjalanannya, berbagai organisasi-organisasi petani tersebut tidak berkembang sesuai harapan. Secara
umum, hanya sedikit petani yang berada dalam organisasi formal (Bourgeois et al., 2003) dan kapasitas
keorganisasiannya pun lemah. Kondisi ini
relatif serupa di banyak belahan dunia lain (Grootaert, 2001). Saat ini, pemerintah dalam kondisi iklim
politik yang lebih terbuka, dan telah memberi kondisi dan kesempatan baru
kepada berkembangnya organisasi petani secara lebih demokratis, terutama
setelah keluarnya UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(P3) serta revisinya oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2014.
Dapat dikatakan, persoalan mendasarnya adalah karena berbagai kebijakan
tentang petani masih bersifat umum dan kurang sensitif kepada perbedaan
karakteristik petani yang beragam. Namun, kebijakan tentang petani dan pengorganisasian petani
akhir-akhir ini telah banyak berkembang terutama dengan keluarnya UU P3, UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan; UU No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro; serta
Permentan No. 82/2013
tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gapoktan. Kebijakan ini memberi
batasan sekaligus peluang untuk pengorganisasian petani ke depan.
Organisasi petani masih diharapkan
sebagai komponen pokok dalam pembangunan pertanian, namun kondisinya saat ini belum memuaskan. Ke depan, peran organisasi petani untuk komunikasi,
partisipasi, serta ekonomi dan representatif politik;
harus dapat dihidupkan sehingga keberadaaannya bisa optimal. Kegiatan pengorganisasian petani yang telah
dijalankan lebih dari enam dasawarsa belum banyak memberikan
hasil. Pemahaman kalangan pemerintah atau birokrasi
cenderung lemah. Dukungan kebijakan dan peran pemerintah sering kali tidak
sesuai dengan kebutuhan petani. Pemerintah belum mampu menciptakan kondisi yang
sesuai untuk berkembangnya organisasi petani.
Pengaturan
tentang organisasi petani dalam UU No 19 tahun 2013 tercantum pada pasal 69, 70
dan 71. Semenjak rancangan UU ini disusun sesungguhnya sudah muncul banyak
ketidaksepahaman tentang isi dalam pasal tersebut. Karena itulah, pada Desember
tahun 2014, khusus untuk Pasal 70 dan 71 tersebut telah dibatalkan dan dirubah
isinya oleh Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari kondisi
organisasi petani saat ini, lalu dihubungkan dengan berbagai kesempatan dan
dukungan dari berbagai kebijakan akhir-akhir ini, serta bagaimana
mengimplementasikan kebijakan ini ke depan.
Tulisan ini didasarkan atas penelitian tahun 2014 dengan judul “Kajian Peran Organisasi Petani Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian (Syahyuti et al., 2014). Penelitian dilakukan pada lima kabupaten
yang tersebar di tiga provinsi, yaitu: Kabupaten Majalengka
dan Garut (Jawa Barat), Kabupaten Gresik dan Malang (Jawa Timur), dan Kabupaten
Agam (Sumatera Barat). Narasumber penelitian berasal dari
instansi di tingkat pusat yang terkait dengan organisasi petani yaitu
Kementerian Pertanian serta Kementerian Koperasi dan UMKM. Di
tingkat provinsi dan kabupaten, narasumber
berasal dari instansi terkait yaitu Dinas Pertanian, Dinas
Koperasi, dan Badan Koordinasi Penyuluhan.
Penelitian ini menggali berbagai unit organisasi
petani yang sudah berkembang serta yang belum, mencakup yang di desa atau lebih luas. Selengkapnya jenis
dan jumlah narasumber penelitian dipaparkan pada Tabel 1.
Data yang digali terdiri dari data
sekunder dan data primer. Data utama penelitian
ini adalah berupa data primer kualitatif yang diperoleh secara langsung melalui
wawancara ke sumber informasi dan pelaku yang terlibat dalam organisasi petani,
baik sebagai pengurus maupun anggota. Selain
itu, dilakukan juga penggalian informasi
dan persepsi dari berbagai informan kunci di pemerintahan, pihak pemberdaya,
serta pemimpin lokal. Sumber
informasi untuk seluruh informasi di atas berasal dari berbagai kalangan. Dari
kalangan pemerintah, mencakup pimpinan dan aparat pemerintah kabupaten sampai
dengan petugas lapang, terutama kalangan penyuluh pertanian yang paling banyak
terlibat di desa sehari-hari. Narasumber utama adalah pengurus organisasi petani, tokoh
petani, serta petani individual, dan narasumber lain (swasta, pedagang sarana produksi, pedagang hasil-hasil
pertanian, serta aparat desa dan tokoh masyarakat). Penggalian informasi menggunakan pendekatan triangulasi, yakni menggunakan metode wawancara, baik wawancara
individual maupun kelompok; serta studi dokumen dan observasi visual.
Tabel 1. Jenis dan jumlah nara sumber penelitian
(orang)
Aspek
|
Nara sumber
|
Jabar
|
Jatim
|
Sumbar
|
Total
|
Pengetahuan dan
persepsi terhdap kebijakan
|
Aparat
pemerintah di Dinas Pertanian, Koperasi, Badan Penyuluhan, dan Ketahanan Pangan
|
6
|
6
|
4
|
16
|
Organisasi
petani
|
|
12
|
14
|
5
|
31
|
|
a.Kelompok tani
|
3
|
1
|
1
|
5
|
|
b.Gapoktan
|
3
|
7
|
2
|
12
|
|
c.Koperasi
|
2
|
1
|
1
|
4
|
|
d.Asosiasi komoditas pertanian
|
2
|
3
|
0
|
5
|
|
e.KTNA
|
2
|
2
|
1
|
5
|
Politik lokal
|
Tokoh petani,
tokoh pemerintah, dll
|
8
|
4
|
4
|
16
|
Pengorganisasian
buruh tani
|
Tokoh petani,
tokoh pemerintah, petugas lapang, dll
|
21
|
22
|
10
|
53
|
Sosaial ekonomi rumah
tangga buruh tani
|
Buruh tani
|
19
|
20
|
8
|
47
|
Peran penyuluh
pertanian
|
Penyuluh Pertanian
Lapangan
|
14
|
7
|
9
|
30
|
Total
|
|
80
|
73
|
40
|
193
|
Analisis
informasi menggunakan pendekatan kualitatif, dengan fokus pada bagaimana
kebijakan atau program pengorganisasian petani diimplementasikan di lapangan,
bagaimana petani memahaminya, dan bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi
individu yang berada dalam kondisi kulturalnya yang sepesifik dalam
kehidupannya sehari-hari (how it plays
out for individuals in specific cultural contexts living complex daily lives).
Selain itu juga dipelajari bagaimana petani mempersepsikan persoalan dirinya
dan menjadikan organisasi petani sebagai solusi dan alat untuk pengembangan
ekonomi usahanya.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian
kualitatif, meskipun dibantu
dukungan data kuantitatif. Justifikasi kenapa memilih pendekatan ini misalnya
dapat diperoleh dari makna penelitian etnografi menurut Creswell (2007), yaitu ” … describe how a cultural group works and
to explore the beliefs, language, behaviours, and issues such as power,
resistance, and dominance”. Analisis
kebijakan dipandang sesuai
dengan objek ini karena bersifat
retrospektif, yakni mempelajari konsep dan teori yang diterapkan, dihadapkan
dengan aplikasi dan masalah di lapangan. Dari sisi tingkatan, studi ini merupakan analisis kebijakan pada tingkat mikro, yang memperhatikan apa masalah dan solusi yang
dipilih individu sesuai persepsi mereka dalam konteks teknis-ekonomis yaitu
pada ukuran keefektifan dan keefisienan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peran Organisasi Formal bagi Petani
Penunia (2011)
menyampaikan bahwa petani mengorganisasikan dirinya dalam berbagai kebutuhan
mulai dari untuk menghadapi kelaparan dan kemiskinan, juga dalam hal politik
dan ekonomi. “Farmers’ organizations (FOs) are essential institutions for the
empowerment, poverty alleviation and advancement of farmers and the rural poor.
Politically, FOs strengthen the political power of farmers, by increasing the
likelihood that their needs and opinions are heard by policy makers and the
public. Economically,
FOs can help farmers gain skills, access inputs, form enterprises, process and
market their products more effectively to generate higher incomes”. Dengan mengorganisasikan diri,
petani juga lebih mudah memperoleh informasi, dan juga mencapai economies of scale, menekan biaya dan
memfasilitasi kegiatan pengolahan dan pemasaran. Organisasi petani yang disebut dengan “Marketing-oriented Farmer Organizations” membantu
anggotanya dalam pembelian input dan proses pemasaran.
Penelitian Liverpool-Tasie (2014) yang
mempelajari sistem distribusi pupuk berupa “fertilizer
voucher program” di Nigeria, mendapatkan bahwa keterlibatan kelompok
mempengaruhi keberhasilan program distribusi, dimana distribusi terbaik adalah
apabila pupuk sampai di level kelompok (group
level). Organisasi petani berperan dalam koordinasi yang lebih baik. Ini sejalan
dengan penelitian Bratton (1986) di Zimbabwe, yang mendapatkan bahwa “...farmer
groups improve access to household assets and agricultural services for their
members”. Selain itu, organisasi petani juga mampu memperkuat posisi perempuan tani. “In mixed organizations, while women may
be well represented as members, there are generally few women in leadership
positions – and increasingly fewer as one moves from local to provincial, to
national, or to international level” (Penunia, 2011).
Sementara, penelitian Yang et al. (2014) dengan metode Simultaneous Equations Model dari data sejumlah 2445 desa di Cina mendapatkan
bahwa “the development of farmer economic
organization is an effective way to raise the level of agricultural
specialization”. Penyebab
positifnya adalah karena partisipasi petani dalam organisasi, karakter petani,
dan kondisi lingkungan organisasi, dan kebijakan relevan yang mendukung
keberadaaan organisasi ekonomi petani.
Peran
organisasi petani terbukti penting dalam meningkatkan pendapatan petani.
Demikian pula dalam pemasaran hasil pertanian. Penelitian
Trebbin (2014) mendapatkan peran penting organisasi petani dalam meningkatkan
posisinya pada sistem rantai pasok komoditas pertanian (”...producer
companies are a promising tool to strengthen famers’ position in their
relationship with supermarket chains”). Organisasi petani sebagai
produsen (producer
companies) menjadi komponen penting dalam rantai pasok agribisnis.
Organisasi petani juga memainkan peran penting sebagai
mitra dalam penelitian dan penyuluhan. Melalui organisasi petani (rural producer organizations) maka pelaksana proyek dapat meraih petani-petani miskin
di sub-Saharan Africa. Melalui
organisasi, maka petani kecil bisa ditingkatkan komersialisasinya, dan performa
pemasaran hasilnya (Bernard dan Spielman, 2009). Satu hal yang menarik bahwa petani kecil cenderung
kurang suka berorganisasi “Based on a combination of nationally-representative
household- and cooperative-level survey data, we find that poorer farmers tend
not to participate in these organizations although they may indirectly benefit
from them”). Meskipun para petani kecil masuk dalam organsiasi namun
mereka kurang terlibat dalam pembuatan keputusan.
Selain peran ekonomi dan komunikasi ini, organisasi petani merupakan
strategi pokok bagi petani untuk mengakses kekuasaan (politik). Dalam pandangan
Pertev (1994) misalnya, organisasi merupakan komponen pokok dalam konteks politik. “Farmers’ voice cannot be obtained without
farmers’ organizations”. Petani memerlukan “…the representative organizations, the farmers’ organizations,
structured from grassroots to the international level, as their legitimate voice. This is why
farmers’ movement gives a lot of importance to farmers’ organizations,
organizations by farmers and for farmers, as an important pillar of today’s
society.” Organisasi petani merupakan sebuah pilar penting
masyarakat modern.
Ini sejalan dengan
temuan Glover (1987), bahwa meskipun keberhasilan
kemitraan (contract farming) merupakan relasi personal, namun tidak bisa lepas dari
intervensi pemerintah maupun organisasi petani. Mbeche dan Dorward (2014) juga
mendapatkan bahwa organisasi
petani sangat penting dalam meningkatkan pelayanan, mereduksi biaya transaski,
dan berkontribusi pada pembangunan negara.
Dari uraian ini
terlihat bahwa pada hakekatnya, organisasi petani dapat memainkan lima peran
sekaligus. Fungsi yang utama bagi pihak pemerintah adalah untuk memperlancar
komunikasi dan memuluskan administrasi program. Sementara bagi petani,
organisasi sangat penting untuk berbagai fungsi ekonomi kolektif, yakni
meningkatkan skala usaha. Dari sisi politik, organisasi petani merupakan wadah
untuk menjalankan partisipasi pembangunan dan juga sebagai fungsi perwakilan di
hadapan kekuasaan.
Kebijakan dan Sikap Pemerintah Dalam Mengorganisasikan Petani Era Bimas
sampai dengan Keluarnya UU P3
Sesungguhnya
semenjak era Bimas sampai dengan saat ini tidak banyak perubahan berarti dalam
penanganan organsasi petani. Meskipun di akhir tahun 2014 revisi UU
Perlindungan dan Pemberdayaan telah direvisi dan memberi nuansa yang lebih
demokratis dan terbuka, namun implementasinya belum ada.
Penelitian
Bourgeois et al. (2003) mewakili
pendekatan banyak peneliti selama ini dalam membahas organisasi petani. Hasilnya
menunjukkan bahwa kemampuan aparat pemerintah lemah dalam kegiatan
pemberdayaan. “Most
of them, derived from the traditional government induced ‘kelompok tani’ are
embodied in a socioeconomic and political environment that strongly limits
their capacity or willingness to emerge as farmer organizations”. Kondisi ini selalu berulang
sejak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang. Persoalan mendasarnya adalah
karena berbagai kebijakan tentang petani masih bersifat umum dan kurang
sensitif kepada perbedaan karakteristik petani yang beragam.
Penelitian Collier dalam Trijono (1994) menemukan bahwa basis sentimen teritorial mengendor,
serta hilangnya rasa
tanggung jawab sosial lapisan atas. Organisasi
petani cenderung memiliki aksesibilitas yang terbuka, sehingga petani begitu mudah dikontrol oleh pihak
pemerintah. Tjondronegoro
(1977) menemukan bahwa pengembangan organisasi dari atas desa selalu
menggunakan gugus kepamongan, sehingga partisipasi dari masyarakat kurang
muncul.
Dari informasi lapangan, diakui oleh berbagai pihak bahwa selama ini petani
“diwajibkan” masuk dalam organisasi. Salah satu bentuknya adalah dimana segala
bantuan dan program harus dijalankan melalui organisasi, terutama kelompok tani
dan Gapoktan. Sesungguhnya semenjak era Bimas sampai
sekarang Petani diharuskan berorganisasi secara formal, dimana nama dan
jenisnya pun sudah ditetapkan dari atas.
Secara
umum, semenjak era Bimas, pemerintah
melakukan intervensi kekuasaan yang besar terhadap petani, dimana organisasi
formal merupakan alat untuk berhubungan dengan petani. Relasi kekuasaan antara pemerintah dengan petani berada dalam iklim
modernisasi. Dengan pendekatan agribisnis (“agriculture regarded as a bussiness”) melalui
kata kuncinya untung dan
efisien, maka pertanian mesti dijalankan dengan “memperbesar
skala” usaha
yakni dengan menghimpun petani dalam organisasi. Intervensi
pemerintah yang top-down telah
menumbuhkan sikap pasif pada petani, termasuk ketika pemerintah
mengintroduksikan organisasi baru.
Kondisi,
Permasalahan, dan Potensi Pengorganisasian Petani
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, pemerintah
menjadikan organisasi formal sebagai pendekatan.
Organisasi formal menjadi syarat pelibatan petani dalam program, dan kegiatan
penyuluhan juga menggunakan organisasi formal. Di Kabupaten Gresik (Jawa Timur)
kondisi ini lebih tegas, dimana organisasi petani dan organisai pemerintahan desa
dibuat “berhimpit”.
Banyak ketua kelompok tani dijabat langsung oleh kepala dusun.
Namun,
kondisi terakhir, yakni pada era
reformasi ini, menunjukkan bahwa kebebasan petani
berorganisasi telah mulai lahir, yang telihat dengan banyaknya terbentuk
berbagai organisasi petani yang agak berada “di luar skenario” pemerintah dan
tidak ditargetkan, yaitu asosiasi. Di Kabupaten Majalengka telah berdiri Aplema
(Asosiasi Pengusaha Lele Majalengka) yang merupakan inisiatif sendiri petani
lele, demikian pula dengan aosiasi petani cabe dan domba di Kabupaten Gresik. Asosiasi petani tembakau di Garut
bahkan mampu menjembatani permasalahan bisnis yang selama ini tidak bisa
diselesaikan oleh pemerintah. Ide
pembentukan asosiasi datang dari mereka sendiri, dan juga berkembang dengan
kekuatan sendiri.
Dalam
hal mengembangkan organisasi di luar kelompok tani dan Gapoktan, penyuluh bekerja sebatas penyampai pesan pemerintah,
sesuai dengan tupoksi mereka. Sementara, pemerintah daerah belum memperlihatkan
komitmen yang menggembirakan.
Karakter kelompok tani di Jawa Timur sangat berbeda dengan di lokasi lain. Semua petani, dalam hal ini petani padi, diharuskan masuk dalam kelompok tani. Satu dusun umumnya terdiri atas satu kelompok tani, sebagian
ada yang dua, dan tidak ada anggota kelompok tani lintas
dusun. Karena itu,
banyak nama kelompok tani persis sama dengan nama dusun. Alasannya adalah untuk
memudahkan penyusunan RDKK dan penditribusian pupuk bersubsidi. Dapat dikatakan bahwa dalam hal relasi
negara dengan petani, kelompok tani dan
Gapoktan dijadikan sebagai alat atau wadah untuk
memudahkan kontrol oleh negara. Dalam
kasus ini, pendistribusian pupuk di Gresik dan Malang (Jawa
Timur) umumnya relatif lebih tertata. Power pemerintahan desa dijadikan jalan untuk memuluskan kegiatan.
Di level lapang, tokoh petani menjadi
motor penting berkembangnya organisasi petani. Mereka ini yang biasanya melakukan terobosan untuk
meningkatkan taraf kehidupan anggota komunitasya. Di
Kabupaten Majalengka, keberhasilan koperasi Mekar Mulya sangat bergantung kepada peran ketuanya yang juga merupakan seorang guru SMP.
Selain berhasil mengembangkan koperasi susu, pemeliharaan sapi perah sebanyak
240 ekor juga telah memberikan tambahan pendapatan, beserta pengolahan pupuk organik dari kotoran sapi (produksi
14-15 ton/bulan).
Keuntungan
koperasi sudah cukup memadai untuk SHU anggota dan menggaji pengurus.
Otonomi daerah yang telah berjalan secara administratif
semenjak tahun 2000 memberi suasana yang cukup menentukan terbentuk dan
berkembangnya organisasi petani. Eksistensi petani dalam percaturan politik
lokal sampai saat ini belum mengandalkan organisasi formal, namun lebih pada
tokoh. Tokoh petani, terutama dari kalangan KTNA, sudah cukup diakui oleh
pimpinan daerah, seperti di Kabupaten Agam dan Gresik.
Tabel 2. Karakteritik umum organisasi petani berdasarkan jenisnya
|
Kelompok tani
|
Gapoktan
|
Koperasi
|
Asosiasi
|
KTNA
|
Jumlah sampel
|
5 unit
|
12 unit
|
6 unit
|
5 unit
|
5 unit
|
Area kerja
|
Tingkat dusun
dan neighborhood
|
Desa
|
Komunitas,
berbasiskan wilayah desa, atau komoditas
|
Lintas desa,
bahkan lintas kabupaten
|
Desa sampai
kabupaten
|
Komoditas atau
bidang utama
|
Padi, jagung, cabe, kambing, domba
|
Padi, jagung, cabe, kambing, domba
|
Susu, tebu, simpan pinjam
|
Lele, jagung, cabe, tembakau, kambing dan domba
|
Non komoditas
|
Fungsi yang
dijalankan selama ini
|
Menyalurkan
benih dan pupuk bantuan, wadah penyuluhan, dll
|
Umumnya
menjalankan program pemerintah (PUAP, LDPM, dll)
|
Koperasi
komoditas, menyalurkan pupuk bersubsidi (KUD)
|
Masih baru,
tahap konsolidasi
|
Membantu RDKK
dan kelancaran pasokan input, advokasi petani, perencanaan dan monitoring
pembangunan
|
Inisiasi pembentukan
|
Umumnya dari luar, untuk administrasi program
|
Umumnya dari luar, untuk administrasi program
|
Ada organizational learning
|
Untuk komunikasi, dan memberi pendampingan ke petani
|
Dari pemerintah (sejak 1980 an), mulai tumbuh kesadaran internal
|
Karakter
kepemimpinan
|
Lemah, umumnya
menolak menjadi pengurus
|
Lemah,
sebagian menolak jadi pengurus,
sebagian mulai senang
|
Cukup kuat, ada
yang guru, pensiunan, dll
|
Para pedagang
pengumpul
|
Tokoh petani
yang vokal, cukup pintar, dan “bermodal”
|
Keanggotaan
|
Berbasiskan lahan dan tempat tinggal (Jatim)
|
Semua KT di desa, ada yg lintas desa (Gap Panampuang Prima – Agam)
|
Petani yang berminat
|
Belum tertata, belum ada pola
|
Semua KTNA di desa (1-2 orang)
|
Pihak pembina
|
PPL dan dinas
sesuai komoditas
|
PPL dan dinas pertanian
|
Dinas koperasi
untuk manajemen, teknis sesuai komoditas
|
Tidak ada, di
dinas komoditas baru sebatas pencatatan
|
Relatif tidak
ada, sebagian BP4K dan bupati
|
Untuk fungsi politik, KTNA mulai mendapatkan posisi politik yang
diperhitungkan di daerah. KTNA diberi fasilitas ruangan kantor
dan sedikit biaya operasional, serta juga cukup dekat dengan Bupati di
Kabupaten Garut, Gresik dan Agam. Tokoh ketua KTNA di Gresik dan Agam sangat
dekat dengan Bupati.
Para pengurus KTNA tidak hanya sering diundang rapat di
Dinas Pertanian dan Badan Koordinasi Penyuluhan, namun bahkan ke tingkat Sekda
dan Bupati. Bahkan di Gresik, ketua KTNA kabupaten baru saja terpilih menjadi
seorang anggota legislatif untuk periode 2014-2019. Demikian pula di Jawa
Barat, sudah cukup banyak KTNA yang masuk sebagai anggota legislatif, dan
sebagian juga aktif di partai politik. Ketua asosiasi Aplema di Majalengka
adalah juga pengurus cabang partai politik di wilayahnya. Dapat dikatakan,
bahwa telah mulai tumbuh fenomena kesadaran politik petani, meskipun masih
pragmatis dan belum memiliki pola dan struktur perjuangan yang jelas.
Dari informasi yang terkumpul, penumbuhan
dan pembinaan organisasi petani di lapangan mengandalkan kepada penyuluh
pertanian. Namun, menurut persepsi PPL, mereka hanya ditugasi menumbuhkan dan
mengembangkan kelompok tani dan Gapoktan. PPL merasa tidak ditugaskan membina koperasi,
asosiasi dan juga KTNA. Sementara, khusus
untuk kelompok tani, PPL tidak memiliki target untuk menjadikan seluruh
kelompok tani mencapai kelas utama. Dapat dikatakan bahwa PPL telah “terperangkap”
hanya pada target-target produksi komoditas, bukan pada manusia petaninya yang
sesungguhnya adalah tugas utama mereka.
Rekapitulasi
dari data lapangan mendapatkan bahwa rata-rata petani yang sudah masuk kelompok tani berkisar
mulai dari 48,4 sampai 55,5 persen, dimana jumlah kelompok tani yang dibina per
desa oleh PPL adalah 10 sampai 16 unit. Semua responden PPL mengakui ada target
semua petani masuk kelompok tani, namun tidak satupun dari 30 orang responden
yang menyatakan ada target semua kelompok tani harus mencapai kelas utama.
Khusus untuk koperasi, tidak ada penyuluh yang tahu berapa dari seluruh petani
di desa binannya yang telah menjadi anggota koperasi. PPL tidak memiliki target
bahwa petani harus masuk koperasi. Jumlah PPL yang ikut membina koperasi hanya
12,5 persen di Jabar, 18,7 persen di Sumbar, dan 27,2 persen di Jatim.
Secara umum, pembinaan yang berjalan untuk seluruh organisasi petani
bersifat parsial, terbatas, dan masih terbatas hanya untuk kebutuhan
administratif. Pihak Dinas Pertanian dan Badan Penyuluhan bahkan tidak merasa
“memiliki” koperasi, sehingga data koperasi pertanian pun tidak dimilikinya. Apalagi
untuk asosiasi yang sama sekali belum disentuh. KTNA sesungguhnya organisasi
petani yang sudah lama, namun pembinaannya sangat terbatas.
Memahami Arah Kebijakan Setelah Revisi UU
P3 oleh Mahkamah Konstitusi
Kelahiran UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(P3) merupakan tonggak penting dalam pengorganisasian petani. Dalam UU ini
dicantumkan garis kebijakan yang jelas dan tegas. Pada Pasal 71 tertulis “Petani
berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”.
Organisasi
dimaksud – dalam UU ini disebut dengan “lembaga” atau kadang-kadang “kelembagaan”
– terdiri atas
empat bentuk yaitu: Kelompok Tani, Gabungan Kelompok
Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian; dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional.
Selain yang
disebut dengan jelas tersebut, untuk
bentuk organisasi yang lebih bebas dikelompokkan ke dalam istilah “Kelembagaan
Ekonomi Petani” yang dimaknai sebagai “lembaga
yang melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang dibentuk oleh, dari, dan untuk
Petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum” (Pasal 1). Dalam konteks ini, maka bisa berupa koperasi, baik koperasi
primer maupun sekunder, serta juga badan usaha lainnya. Sangat dimungkinkan
pula jika petani ingin membentuk Perseroan Terbatas (PT) atau pun CV (commanditaire
vennootschap) atau sering disebut dengan Persekutuan Komanditer. Organisasi usaha yang tidak berbadan hukum pun
semestinya juga menjadi perhatian pemerintah, sesuai dengan pemaknaan
pada pasal 1 UU ini.
Untuk
penjabaran lebih jauh khusus untuk kelompok tani dan Gapoktan telah dikeluarkan
kebijakan terbaru yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor
82/Permentan/Ot.140/8/2013 Tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani Dan Gabungan Kelompoktani. Disebutkan
bahwa tujuan lahirnya pedoman ini adalah untuk: (1) Meningkatkan jumlah kelompok tani dan
Gapoktan; (2) meningkatkan kemampuan kelompok tani dan Gapoktan dalam menjalankan fungsinya;
dan (3) mendorong kelompok tani dan Gapoktan
meningkatkan kapasitasnya menjadi kelembagaan ekonomi petani.
Jadi, dalam hal berorganisasi, UU No.
19 tahun 2013 hanya mengakui lima jenis organisasi, yaitu kelompok tani,
Gapoktan, asosiasi komoditas, dewan komoditas, dan kelembagaan ekonomi petani
berupa BUMP. “Kelompok Tani” adalah “kumpulan Petani/peternak/pekebun yang
dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial,
ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan serta
mengembangkan usaha anggota”. Sedangkan, “Gabungan Kelompok Tani” adalah “kumpulan beberapa Kelompok Tani yang
bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi
usaha”.
Selanjutnya, pada level lebih tinggi
“Asosiasi Komoditas Pertanian” adalah “kumpulan
dari Petani, Kelompok Tani, dan/atau Gabungan Kelompok Tani untuk
memperjuangkan kepentingan Petani”. Artinya, asosiasi ini mengusahakan satu komoditas yang sama, namun cakupan wilayahnya lebih luas, bisa beberapa desa, satu kabupaten, bahkan propinsi.
Untuk level nasional, asosiasi ini haruslah menjadi “Dewan Komoditas Pertanian
Nasional” yang dimaknai sebagai “suatu lembaga yang beranggotakan Asosiasi
Komoditas Pertanian untuk memperjuangkan kepentingan Petani”.
Jadi,
kelompok tani dan Gapoktan adalah “organisasi sementara”. Pada akhirnya, kelompok tani dan Gapotan mestilah menjadi
“kelembagaan ekonomi petani” yakni BUMP. Selanjutnya, dalam
Permentan ini disebutkan bahwa ada tiga
fungsi kelompoktani yaitu sebagai kelas belajar, wahana kerjasama, dan sebagai
unit produksi. Sementara fungsi Gapoktan lebih banyak yaitu sebagai unit usaha penyedia sarana dan prasarana
produksi, unit usahatani atau produksi, usaha pengolahan, pemasaran,
serta keuangan mikro (simpan-pinjam).
Dari seluruh responden di level instansi yang diwawancarai dalam studi
ini, sebagian telah pernah membaca UU 19 tahun 2013 sepintas, namun seluruhnya
tidak ada yang paham bagaimana petani didefinisikan dalam UU ini. Di level
daerah, dari ke-5 Pemda, tidak ada satupun yang punya perhatian dan program
khusus untuk buruh tani. Satu
hal yang perlu dicatat adalah bahwa pemahaman aparat dan petani tentang sosok
organisasi petani ke depan ini belum banyak dipahami. Selain itu, banyak
kesiapan kelembagaan yang belum tersedia. Sebagai contoh, jika berbentuk PT
atau CV dan asosiasi siapa pembina yang akan memperhatikan dan mendukung.
Tidak
lama setelah keluarnya UU P3, timbul beberapa kritik dari kalangan masyarakat,
yang diwakili NGO. Pada pasal 69 ayat (1) sesungguhnya sudah disebutkan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya
Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani”. Pembentukan kelembagaan
(mestinya “organisasi”) tersebut
dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal
Petani.
Persoalan
lahir dari pasal 70 ayat 1 dan pasal 71 ayat 1. Namun, kebijakan yang cenderung
mengikat petani dalam UU ini telah dilonggarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 5 November 2014 dengan mengabulkan tuntutan dari beberapa NGO petani
nasional. Dalam amar putusan pemohon No. 87/PUU-XI/2013, kebebasan
berorganisasi dijamin pada tuntutan pasal-pasal selanjutnya. Aturan mengenai
organisasi tani menjadi tak mengikat hanya milik pemerintah. Petani pun tak
berkewajiban ikut organisasi milik pemerintah, sehingga bisa saja ikut
organisasi yang sudah ada, atau membentuk sendiri. Sesuai Pasal 70 ayat 1 yang
baru, tidak hanya kelompok tani dan
Gapoktan saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani
yang dibentuk dan didirikan oleh petani. Lalu pasal 71 tentang “kewajiban” juga
dianggap bertentangan. Artinya, petani tidak wajib ikut kelompok tani dan
Gapoktan.
Permohonan diajukan oleh beberapa
NGO di antaranya Human Rights Committee
for Social Justice (IHCS), WALHI, Sekretariat Bina Desa, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), FIELDS, dan sejumlah
organisasi masyarakat sipil lainnya. Pasal 70 ayat 1 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “termasuk
kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”. Dengan demikian, tidak
hanya Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) saja yang diakui oleh
negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan
oleh petani juga harus diakui. Lalu, pasal 71 tentang kata “berkewajiban” juga
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Perubahan dimaksud disampaikan pada tabel 3.
Tabel 3. Perubahan isi UU No
19 tahun 2013 oleh Mahkamah Konstitusi
Pasal
|
UU No 19 tahun 2013
|
Revisi oleh MK
|
Pasal 70 ayat 1
|
“Kelembagaan
petani sebagai dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) terdiri atas: (a) Kelompok
Tani, (b) Gabungan Kelompok Tani, (c) Asosiasi Komoditas Pertanian, dan (d)
Dewan Komoditas Pertanian Nasional”
|
(Dibatalkan)
|
Pasal 71 ayat 1
|
“Petani
berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”.
|
“Petani
bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 ayat 1”
|
Dengan
perubahan ini, maka menjadi konsisten dengan bagian lain dari UU ini yaitu Pasal
69 ayat (2): “Pembentukan kelembagaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya,
norma, nilai, dan kearifan lokal Petani”. Juga dengan Pasal 71 ayat (2): “Pembentukan Kelompok Tani memperhatikan
lembaga-lembaga adat Petani yang sudah ada dan memperhatikan keterlibatan
Petani perempuan”.
Menurut Mahkamah Konstitusi (putusan
MK) Pasal 70 ayat 1 menyebabkan
diskriminasi, sehingga bertentangan dengan pasa 28I ayat 2 UUD 1945. Alasannya
adalah: pertama, karena
praktek korporatisme negara yaitu negara memfasilitasi terbentuknya dan
menentukan bentuk lembaga petani (sentralisme). Ini dilakukan rezim Orde Baru,
yaitu pemberlakuan organisasi petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh
negara, dimana petani hanya diberikan kesempatan berorganisasi dalam wadah yang
sudah ditentukan.
Kedua, Pasal 70 lama
ini mengabaikan bentuk organisasi lain dalam pasal 69 ayat 2 yaitu Serikat
Petani, kelembagaan Subak (Bali), kelompok perempuan tani dan sebagainya. Pasal
69 ayat 2 juga sudah menyebutkan bahwa pembentukan organisasi petani (dalam UU
ini disebut dengan “kelembagaan”) harus dengan perpaduan dari budaya, norma,
nilai dan kearifan petani lokal. Artinya, dimungkinkan terbentuknya organisais
petani yang berbagai bentuk sesuai
dengan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Ketiga, pembentukan
organisasi petani secara sepihak oleh pemerintah berpotensi mengakibatkan
petani yang bergabung dengan organisasi lain tidak diperhatikan dan tidak
diberdayakan. Artinya, akan menimbulkan diskriminasi bagi petani, sehingga
bertentangan pula dengan Pasal 28I UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 70 ayat (1)
ini dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Selanjutnya, khusus untuk pasal 71 ayat
1, kata “berkewajiban” dianggap bertentangan dengan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945,
yaitu: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dalam
pertimbangan MK, berorganisasi adalah sebuah yang memberikan keleluasaan kepada
pemegang hak mempergunakan haknya atau
tidak, bukan satu kewajiban.
Maka dalam putusan MK ini disampaikan
bahwa pemerintah tidak perlu mengintervensi dan menentukan bentuk organisasi
petani, dan semestinya melindungi keanekaragaman bentuk-bentuk yang ada.
Pemerintah juga semestinya membiarkan petani atas kesadarannya untuk menentukan
jenis organisasi dan keikutsertaannya. Pemerintah hanya perlu mengakui dan
melindunginya. Penetapan bentuk dan nama organisasi petani secara sepihak dan
di luar inisiatif petani, bertentangan dengan kemerdekaan atau kebebasan untuk
berserikat (putusan MK hal 34). Kesimpulan MK adalah bahwa pasal 70 ayat (1)
dan pasal 71 UU 19 tahun 2013: (1) telah
menimbulkan pelanggaran hak asasi petani, (2) menyebabkan ketidakpastian hukum,
(3) tidak dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan (4)
merugikan hak-hak konstitusional para pemohon.
Implikasi Revisi UU P3 oleh MK terhadap
Pengorganisasian Petani
Dikabulkannya judicial review UU P3 oleh MK membawa beberapa implikasi yang cukup
besar ke depan, dalam konteks manajemen dan sistem administratif pelaksanaan
program pembangunan. Implikasi tersebut di antaranya adalah: Pertama, Nama dan bentuk organisasi
petani ke depan bisa lebih bervariasi. Selain Kelompok Tani dan Gapoktan yang sudah
dikenal luas, maka petani pun bebas membentuk organisasi lain dengan nama lain,
dan basisnya pun bisa berupa komoditas maupun wilayah. Artinya, dimungkinkan
untuk membuat misalnya kelompok berbasis komoditas misalnya dengan nama “kelompok
tani bawang”, “kelompok tani jeruk”, “kelompok peternak itik lokal”, dan
lain-lain. Bahkan, basis keanggotaannya pun bisa lintas desa atau lebih luas
lagi.
Kedua, karena nama organisasi
petani dapat berbeda-beda, maka banyak pedoman-pedoman kegiatan yang harus
direvisi, termasuk aturan tentang pemberian bantuan sosial (Bansos). Peraturan
utama yang harus direvisi adalah Permentan No 82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani Dan Gabungan
Kelompoktani. Auran ini baru memuat
tentang kelompok tani dan Gapoktan, bahkan asosiasi dan Badan Usaha Milik
Petani pun belum diatur di dalamnya; sehingga dibutuhkan Permentan baru.
Ketiga, inti dari
kebijakan ini adalah bahwa seluruh organsiasi formal dimana anggotanya adalah
petani haruslah menjadi perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian. Organisasi
formal yang cakupannya paling luas adalah “organisasi kemasyarakatan”. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, menyebutkan bahwa “Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi
yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.
Dalam konteks ini, maka Permendagri No 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial sesungguhnya sudah sejalan, karena basis
pemberian bantuan sosial adalah Ormas. Pada Pasal 6 disebutkan bahwa: “Hibah kepada
organisasi kemasyarakatan diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Khusus untuk lingkup Kementan, maka salah satu turunan dari peraturan ini
misalnya adalah Pedoman
Pelaksanaan Pengajuan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2012 Kementerian Pertanian Direktorat
Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Dalam aturan ini disebutkan bahwa kelompok sasaran yang dapat menerima hibah Bansos adalah kelompok yang telah ada dan menjalankan usaha agribisnis
dan/atau ketahanan pangan. Kriteria umum calon penerima dana
bantuan sosial antara lain adalah yang “....tergabung
dalam suatu kelompok usaha harus memiliki nama kelompok, nama ketua kelompok
dan alamat yang jelas”.
Implikasi
berikutnya, maka Program Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) misalnya tidak harus diberikan kepada
Gapoktan saja. Selama ini PUAP ekslusif hanya untuk Gapoktan yang jumlahnya
satu unit per desa. Pada halaman 22 Pedoman
Pelaksanaan PUAP terbaca bahwa “PUAP
memfasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani
miskin kepada sumber permodalan dilaksanakan melalui: (a) penyaluran BLM PUAP
kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan; .....dst”.
Keempat, pemerintah tidak
hanya memperhatikan kepada organisasi petani sebagai produsen, namun juga
pelaku agribisnis lain. Maka, berbagai asosiasi yang saat ini sudah eksis perlu
memperoleh pembinaan, misalnya asosiasi komoditas maupun bentuk asosiasi lain
yang berbasiskan wilayah dan kepentingan tertentu, misalnya berbasiskan
pertanian organik.
Kelima, pedoman kerja
penyuluhan juga akan berubah, karena belum memasukkan organisasi lain di luar
kelompok tani dan Gapoktan. Perubahan dibutuhkan setidaknya terhadap permentan Nomor:
25/Permentan/Ot.140/5/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan
Pertanian, dan Permentan Nomor
91/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian.
Tupoksi penyuluh pertanian tentu saja kemudian harus diperluas untuk berbagai
bentuk organisasi petani yang lain.
Rancangan Organisasi
Petani Ke depan
Dengan perubahan kebijakan yang cukup
mendasar ini dan dihadapkan kepada temuan-temuan lapang serta peluang yang
tersedia, maka rancangan organisasi petani ke depan lebih kurang adalah sebagai
berikut. Bentuk rancangan organisasi petani ke depan didasarkan
atas dasar bahwa organisasi petani dibangun pada hakekatnya untuk memenuhi lima kebutuhan
yaitu fungsi administrasi pembangunan misalnya
untuk kepentingan penyaluran bantuan, fungsi
komunikasi secara horizontal dan vertikal, fungsi ekonomi,
sebagai wadah partisipasi, serta fungsi
perwakilan atau representatif politis petani. Tiap fungsi
memiliki arah relasi yang berbeda. Fungsi administratif memiliki bentuk relasi dari atas ke bawah,
fungsi komunikasi juga atas ke bawah namun juga horizontal, sedangkan fungsi
ekonomi memiliki tipe relasi horizontal. Khusus untuk fungsi partisipasi
pembangunan dan representasi politik sudah memiliki bentuk relasi yang
sebaliknya yakni dari bawah ke atas.
Sampai saat ini kelompok tani dan
Gapoktan masih sebatas untuk fungsi administrasi dan komunikasi, meskipun
sesungguhnya diharapkan juga untuk fungsi ekonomi, namun kurang berhasil (Tabel
4). Sementara, koperasi yang bagi dinas Koperasi lebih untuk
fungsi administrasi dan komunikasi, bagi pihak pertanian lebih sebagai fungsi
ekonomi. Khusus untuk asosiasi, baru sebatas untuk
“asosiasi komoditas”, dan
secara umum pihak pemerintah belum memiliki sikap dan pemahaman yang jelas.
Petani membentuk asosiasi lebih untuk pemenuhan fungsi ekonomi, yakni
memudahkan berkomunikasi untuk sesama pelaku, misalnya
pada asosiasi petani cabe di Gresik. Pengurus dan anggota asosiasi belum
memiliki pandangan bahwa asosiasi akan juga menjadi jalan untuk
partisipasi politik, meskipun secara teoritis berpeluang. Ke depan,
organisasi petani semestinya bisa lebih
berperan terutama untuk kontestasi politik di level kabupaten, yakni dengan
mengoptimalkan peran KTNA, HKTI,
berbagai asosiasi, serta dengan menempatkan wakil-wakil petani di badan
legislatif bahkan dengan mendirikan “Partai Petani” sekalipun.
Tabel 4. Peran yang dijalankan organisasi petani selama ini dan rancangan
ke depan
|
Fungsi
administratif
|
Fungsi
komunikasi
|
Fungsi ekonomi
|
Fungsi
partisipasi pembangunan
|
Fungsi
representasi politik
|
Peran selama ini:
|
|||||
Kelompok tani
|
Kuat
|
Kuat
|
Lemah
|
Lemah
|
Lemah.
|
Gapoktan
|
Kuat
|
Kuat
|
Lemah
|
Lemah
|
Lemah
|
Koperasi
pertanian
|
Kuat
|
Kuat
|
Lemah
|
Lemah
|
Lemah
|
Asosiasi
|
Lemah. Karena
tidak menjadi penyalur bantuan
|
Lemah. Hanya
internal untuk sesama petani
|
Kuat. Namun
jumlah asosiasi masih sangat sedikit
|
Lemah
|
Lemah. Telah
eksis namun terbatas, misalnya asosiasi petani tembakau di Garut
|
Organsiasi KTNA
|
Lemah. Karena
tidak menjadi penyalur bantuan
|
Lemah. Hanya
internal untuk sesama anggota
|
Lemah. Bukan
untuk kepentingan ekonomi.
|
Lemah
|
Lemah. Namun mulai
berjalan
|
Peran ke depan:
|
|||||
Kelompok tani
|
Lemah. Karena
Bansos akan menurun jumlahnya
|
Lemah. Karena
sarana komunikasi berubah.
|
Lemah. Karena cakupannya
kecil
|
Kuat Asalkan bisa lebih mandiri
|
Lemah. Karena
cakupannya sempit
|
Gapoktan
|
Lemah. Karena
Bansos akan menurun jumlahnya
|
Lemah. Karena
sarana komunikasi berubah.
|
Sedang. Karena
cakupan cukup luas
|
Kuat. Asalkan
bisa lebih mandiri
|
Sedang. Karena
cakupannya satu desa
|
Koperasi
pertanian
|
Lemah. Karena
Bansos akan menurun jumlahnya
|
Lemah.
|
Kuat.
|
Kuat. Asalkan
bisa lebih mandiri
|
Lemah. Karena
lebih untuk peran ekonomi.
|
Asosiasi
|
Tidak ada
|
Kuat. Untuk
sesama anggota
|
Kuat.
|
Kuat
|
Kuat. Dapat menyuarakan
kepentingan anggota
|
Organsiasi KTNA
|
Tidak ada
|
Kuat. Untuk
sesama anggota
|
Lemah. Karena
lebih untuk peran politik.
|
Kuat
|
Kuat. Dapat
menyuarakan kepentingan anggota
|
Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru (New Institutionalism) oleh Scott (2008) dan juga Nee (2003, 2005), perilaku petani
dipersepsikan sebagai sebuah tindakan yang sadar dan rasional sesuai dengan
konteks kelembagaan yang melingkupi mereka. Apa yang dimaksud dengan format
pengorganisasian di sini adalah mencakup di luar organisasi dan di dalam
organisasi (formal). Paham kelembagaan baru menjadikan organisasi sebagai aktor
yang pokok dalam masyarakat. Dalam konteks dunia pertanian, meskipun petani
sesungguhnya bisa saja menjalankan seluruh usahanya tanpa menggunakan
organisasi formal, namun keberadaan organisasi formal sampai saat ini masih
dipandang sebagai keniscayaan dalam tatanan dunia modern. Begitu banyak peluang
yang bisa diperoleh petani andai ia menjalankan usahanya dalam organisasi
formal. Jika hanya mengandalkan relasi-relasi pasar, meskipun pilihan ini bisa
efektif untuk sementara, namun untuk pengembangan lebih jauh ini tidak memadai.
Apalagi di Indonesia, dimana petani kecil semakin banyak dan meluas, yang salah
satunya disebabkan proses delandreformisasi; kebutuhan untuk berorganisasi
merupakan hal yang sangat masuk akal.
Organisasi
petani mencakup organisasi dalam bentuk individual (individual organization), yakni bagaimana rancangan keorganisasian
pada kelompok tani misalnya; namun juga mencakup bagaimana rancangan antar
organisasi petani, yang mencakup satu area tertentu secara horizontal dan vertikal. Secara umum, ada
tiga level organisasi petani yang perlu dibangun, yakni level organisasi
individual (individual
organization), organisasi
koordinasi (inter-group organization),
dan organisasi pendukung (supporting
group). Meskipun tidak
kongruen, ini agak berhimpit juga dengan pemilahan berdasarkan level dusun,
desa dan kabupaten.
Secara detail, rancangan organisasi petani ke depan, sebagaimana
disampaikan pada Tabel 5 adalah sebagai berikut. Satu, Pilihan untuk
organisasi individual adalah kelompok tani, kelompok wanita tani, kelompok tani
berdasarkan komoditas, dan koperasi primer. Keberadaan organisasi ini tetap
dibutuhkan ke depan.
Tabel 5. Rancangan
organisasi petani ke depan berdasarkan level wilayah
Level wilayah
|
Jenis organisasi
|
Organisasi saat
ini
|
Pilihan
organisasi ke depan
|
Dusun
|
Organisasi individual
|
Kelompok tani
|
Kelompok tani, KWT, koperasi primer
|
Desa
|
Organisasi koordinator (inter-group organization)
|
Gapoktan dan koperasi
|
Koperasi dan Posluhdes sebagai simpul relasi
|
Kabupaten
|
Organization
interrelation, dan supporting organization
|
Dinas Pertanian, Badan Penyuluhan, KTNA (namun tidak
menjadi koordinator seluruh organisasi petani sekabupaten)
|
KTNA, Dinas Pertanian, Bapeluh, asosiasi Gapoktan, asosiasi PPL swadaya, asosiasi komoditas,
NGO, dll
|
Dua, organisasi koordinator (inter-group organization). Organisasi koordinator adalah
sebuah organisasi yang posisinya berada di atas individual organization, yang berperan sebagai koordinator,
menyatukan kegiatan dan sumberdaya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili
segala kebutuhan organisasi ke luar. Pilihan organisasi koordinator adalah Gapoktan atau koperasi sekunder, namun Gapoktan tidak akan
bisa memiliki badan hukum.
Dalam
format sebagai inter-group associations,
Gapoktan merupakan tahap lanjut dalam kegiatan pengorganisasian (a late development in the projects).
Gapoktan dikembangkan setelah kelompok tani berdiri dan berjalan dengan kuat. Karena itu, semestinya tidak ada
Gapoktan yang dinilai bagus, padahal seluruh kelompok tani di dalamnya pada
kondisi rendah. Hal ini ditemukan pada Gapoktan di Kabupaten Agam yang
merupakan juara nasional, padahal 8 unit kelompok tani di dalamnya seluruhnya
hanya kelas pemula.
Organisasi
koordinator harus mampu menjalankan banyak peran (managing multiple services), karena posisinya yang melayani banyak
kebutuhan internal dan sekaligus untuk urusan eksternal. Untuk membagi-bagi
tugas, maka perlu dibentuk kelompok-kelompok (task groups) atau sebuah service
committees, dengan tugas yang berbeda.
Tiga, untuk organisasi pendukung, selama ini hanya terbatas pada Dinas Pertanian
dan Badan Penyuluhan. Ke depan, sangat berpotensi untuk mengoptimalkan peran organisasi
petani di level kabupaten, yaitu KTNA, berbagai asosiasi (asosiasi individual
petani misalnya asosiasi petani organik, asosiasi Gapoktan sekabupaten, dan
asosiasi komoditas, dll). Bentuk asosiasi lebih variatif dan tergolong sebagai farmers interest groups.
Agar lebih efektif, elemen “supporting group” atau “group promoters” ini semestinya berkoordinasi. Dibutuhkan sebuah representatives of groups untuk petani
yang didalamnya mencakup stakeholders
pemerintah daerah, maupun organisasi petani, non
pemerintah dan tokoh-tokoh lokal. Untuk koperasi, dimungkinkan juga membentuk koperasi
sekunder level kabupaten, atau asosiasi koperasi sekabupaten (agriculture cooperative society).Saat ini, pola dimaksud belum ditemukan di lapang.
Lingkungan Kelembagaan Untuk
Pengembangan Organisasi Petani
Sesuai
dengan Scott (2008) ada tiga elemen lingkungan kelembagaan. Organisasi petani
hanyalah satu element, dari banyak kondisi lain. Semua harus ditata karena
organisasi petani akan berjalan bila kondisi lingkungan kelembagaannya
mendukung. Namun dalam bagian ini, elemen yang dibahas adalah berkenaan dengan perihal regulatif yang
merupakan peran negara secara lebih besar. Bagian ini merupakan yang paling
mungkin untuk dikontrol dibandingkan elemen lain.
Dibutuhkan
perubahan lingkungan kelembagaan sehingga organisasi-organisasi petani dapat
tumbuh dan berperan secara efektif. Kondisi yang dibutuhkan terutama pada
perubahan kebijakan. Satu perubahan yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penggunaan konsep. Dalam
Permentan 82 tahun 2013 ditemukan kekeliruan dalam penerapan
konsep lembaga, organisasi, dan advokasi. Dalam Permentan ini tidak disebutkan apa itu arti “lembaga”, “kelembagaan”, maupun “organisasi”; padahal objek ini merupakan hal yang
sangat mendasar dan disebutkan berulang-ulang dalam bagian batang tubuhnya.
Gapoktan
dipersepsikan sebagai sebuah “kelompok tani yang besar”, bukan sebuah interrelation organization yang bangun
keorganisasiannya berbeda. Sebagaimana struktur dalam Permentan ini, dimana melekat erat tentang
pedoman pengisian RDKK; maka jelas terlihat bahwa kelompoktani dan Gapoktan
dikembangkan sangat bernuansa untuk mulusnya pendistribusian benih dan pupuk
bersubsidi (= fungsi administrasi dan komunikasi).
Rendahnya partisipasi petani anggota
disebabkan karena kesan bahwa organisasi petani adalah agenda pemerintah. Hasil kegiatan McKone (1990) di
berbagai negara, menemukan streotipe
cara kerja orang-orang pemerintah. Mereka umumnya terlalu menyederhanakan (oversimplified) dalam melihat komunitas
di pedesaan. Petani diwajibkan untuk berorganisasi jika ingin memperoleh
bantuan. Dilaporkan bahwa: “…unless they
are organized into cooperatives or associations or groups, they will not get government
subsidies or access to credit and technical services. As a result, several FOs
were established overnight on paper” (Chamala dan Shingi, 2007).
Kedepan, perlu pendekatan baru untuk
mengorganisasikan petani dan
membangkitkan kebutuhan bekerjasama (forming
cooperatives need). Penyuluh harus mempunyai kemampuan dalam hal
mengorganisasikan komunitas (community-organizing)
dan keterampilan menajemen kelompok (group
management skills).
Segala perubahan ini diharapkan akan dapat
menghindarkan fenomena tumpang tindih organisasi petani. Ke depan juga diharapkan bahwa organisasi petani tidak lagi menjadi alat untuk memperoleh proyek. Dengan
demikian, bagi pemerintah daerah, jumlah organisasi petani yang ada di
wilayahnya tidak lagi sebagai alat untuk memperoleh kegiatan.
Untuk menciptakan organisasi petani yang kuat, dibutuhkan hal-hal berikut, yaitu: Pertama, dari sisi
teknis, dibutuhkan penyatuan berbagai organisasi-organisasi yang kecil menjadi
cukup besar hingga mencapai skala ekonomis secara manajemen dan ekonomis.
Sebagai contoh, untuk organisasi yang bergerak dalam urusan permodalan (simpan
pinjam) setidaknya saat ini ada Lembaga Keuangan Miko Agribisnis (LKMA) PUAP di
Gapoktan, Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) juga di Gapoktan, Lumbung
Pangan Masyarakat ( LPM) di kelompok tani, koperasi berbagai komoditas, dan Koperasi
Unit Desa (KUD). Masing-masing beroperasi dalam skala terbatas, sehingga tidak
mampu menghidupi diri sendiri. Agar sustainable
semuanya sebaiknya disatukan, karena sesuai dengan UU No 1 tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, harus segera memiliki badan hukum. Jika disatukan dalam
satu koperasi, maka akumulasi asset bisa mencapai Rp. 1 sampai 1,5 milyar,
sehingga potensi pendapatan setahun bisa di atas Rp. 100 juta, dan dapat
memberikan honor yang cukup untuk pengurus dan manajernya.
Dua, dari sisi
struktural, masing-masing intansi pemerintah mesti menghilangkan sifat
egosektoralnya. Jumlah kelompok tani dan koperasi yang selama ini menjadi basis
pengajuan anggaran program, mestinya sudah dihilangkan.
Tiga, dari sisi
psikologis, sikap bahwa organisasi petani adalah milik petani, memberi
kesempatan kepada mereka untuk tumbuh dan berkembang (learning organization).
Berbagai kebijakan terbaru (terutama UU LKM, UU P3, UU Pangan) telah memberikan
kesempatan petani untuk “memiliki dirinya sendiri”, bukan lagi “milik”
pemerintah.
Empat, dari sisi
legislasi, dibutuhkan pelurusan konsep, konsistensi, penjelasan lebih detail,
terutama berkenaan dengan perbedaan antara “lembaga” dan organisasi”. Jangan
hanya mendirikan organisasi, tapi harus membangun kelembagaan. Kelembagaan
mencakup aspek regulatif, aspek regulatif, aspek kultural kognitif, ditambah
aspek keorganisasian. Organisasi petani tidak bisa berkembang jika lingkungan
kelembagaannya tidak kondusif.
Untuk menjadi aktor dalam dunia modern, maka relasi
antar organisasi tidak terhindarkan. “It is proven vital to sustain
relationship between organizations particularly between consumers and suppliers” (Redza et al., 2014). Basis dari keberhasilan organisasi
adalah modal sosial di dalamnya. Dengan
modal sosial yang kuat, dalam hal ini mencakup kombinasi dari roles, rules, norms
and values; pengelolaan irigasi tetap bisa mampu
berjalan, bahkan terbukti mampu tetap memperoleh hasil produksi yang tinggi
meskipun sedang musim kemarau. Tindakan kolektif yang dituju dengan organisasi
petani dimugkinkan karena ada basis modal sosial yang kuat (Uphoff dan Wijayaratna, 2000).
Lebih
jauh, dengan perubahan kebijakan penyuluhan pertanian di Indonesia yang lebih
terbuka sesuai dengan UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan; maka bentuk dan peran organisasi petani juga harus
menyesuaikan. Yang et al. (2014)
mempelajari peran organisai petani dalam agricultural innovation system (AIS) dari tiga kasus di
Cina menyimpulkan bahwa organisasi petani memainkan peran penting dalam hal:
menciptakan pengetahuan yang lebih kontekstual dan sesuai (contextual and integrated knowledge) untuk inovasi, melekat pada relasi yang mengintermediasi inovasi, dan
memposisikan diri sebagai perwakilan (representative
position) yang legitimatif untuk petani.
Segala
perubahan ini menuntut syarat kondisi politik yang kondusif. Kondisi politik yang
dibutuhkan adalah “Attention should focus
on means of legitimising rights and building capacity to, demand
accountability” (Mbeche and, Dorward, 2014). Hal yang dibutuhkan
adalah “...reconfiguring of structures and coordinating
stakeholder capacity in understanding the changes, is necessary for successful
reform”. Pemerintah perlu
melegitimasi hak-hak petani kecil (smallholder
farmers’ rights)
dan memperkuat kapasitas mereka.
Relasi antar aktor
lintas wilayah dan level juga perlu dibenahi (Stock et al., 2014). Maka otonomi petani dengan organisasinya perlu
diberikan makna baru. Pada hakekatnya, otonomi petani merupakan kekuatan utama pada diri petani. Penelitian Stock
dan Forney (2014) di Selandia Baru dan Swiss mendapatkan bahwa “autonomy is a social tool used by farmers.
....Autonomy indicates a freedom of
lifestyle versus constraints on personal freedom. .....Autonomy as both value and tool that help us understand
farmers within a wider set of economic, environmental and interpersonal
relations”. Ini juga sejalan dengan temuan Bebbington et al. (2006), yakni tentang bagaimana memperkuat relasi politik
dan ekonomi petani melalui pemanfaatan modal sosial.
KESIMPULAN
dan IMPLIKASI KEBIJAKAN
Sesuai dengan UU NO. 19 tahun
2013, memungkinkan untuk membentuk berbagai
jenis organisasi petani, namun Dinas Pertanian dan Badan Pelaksana Penyuluhan
masih membatasi diri hanya pada kelompok tani dan Gapoktan. Oleh karenanya,
sampai saat ini tidak ditemukan ada pemerintah daerah yang telah menyusun
pedoman pendirian dan pembinaan organisasi petani untuk jenis asosiasi
komoditas, dewan komoditas nasional, koperasi pertanian, maupun BUMP lainnya.
Dalam hal peran organisasi
petani, meskipun kesempatan telah agak terbuka, namun fungsi-fungsi yang sudah
dipenuhi baru mencakup komunikasi, dan administrasi. Dengan kata lain, baru
untuk relasi atas-kebawah, yakni memenuhi kebutuhan pelaksana program. Fungsi ekonomi masih
terbatas, kecuali untuk beberapa koperasi; sedangkan fungsi advokasi politik baru
sebatas peran tokoh-tokoh personal KTNA. Untuk penguatan posisi politik petani,
terutama di tingkat kabupaten/kota, dibutuhkan organisasi representatif yang
lain selain KTNA berupa berbagai jenis dan bentuk asosiasi. Sangat berpeluang
misalnya untuk membentuk asosiasi Gapoktan, asosiasi penyuluh swadaya, asosiasi
koperasi wanita, asosiasi petani komoditas, dan lain-lain. Kesadaran bahwa
petani boleh memasuki dunia politik, setidaknya secara formal dengan memasuki
forum legislatif, telah mulai mulai tumbuh.
Secara
keseluruhan, pengembangan organisasi petani ke depan menghadapi banyak
tantangan-tantangan baru yang selama ini belum dipahami. Ada banyak revisi dan
penyesuaian peraturan yang harus segera dilakukan pasca revisi UU P3 oleh Mahkamah
Konstitusi. Menghadapi peluang dan tantangan baru ini, maka penyuluh pertanian harus
lebih mampu menjalankan fungsi pengembangan komunitas (community-organizing role). PPL harus belajar prinsip-prinsip community-organizing and group management
skills yang berkenaan dengan conflict resolution, negotiation, dan
teknik-teknik persuasive communication.
Namun, di atas ini semua, perlu dingatkan tentang aspek
waktu. Dalam pengalaman Trebbin (2014) “....it takes an average three to five years to build a producer
company that can successfully operate its marketing business while, at the same
time, managing its internal and production related issues”. Perubahan organisasi petani secara mendasar tentu
membutuhkan proses waktu yang tidak cepat, karena tidak hanya membutuhkan keberanian
petani mengekpresikan dirinya sendiri, namun juga perlu keberpihakan stkaholders lain dan kondisi yang
kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2006. Buku Panduan Umum Primatani.
Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Badan SDM Deptan. 2007. Program P4K. Pusbangluh, Deptan.
(http://www.deptan.go.id/pusbangluh/program/P4K/firstp4k.html).
Bernard, Tanguy
and David J. Spielman. 2009. Reaching The Rural Poor Through Rural Producer Organizations? A Study Of Agricultural Marketing Cooperatives In Ethiopia. Food Policy, Volume 34, Issue 1, February 2009, Pages 60-69.
Bebbington, Anthony;
Leni Dharmawan; Erwin Fahmi; and
Scott Guggenheim. 2006. Local Capacity, Village Governance, and the Political Economy of Rural
Development in Indonesia. World Development, Volume 34, Issue 11, November 2006, Pages 1958-1976
Bratton, Michael. 1986. Farmer organizations and food production in Zimbabwe. World Development, Volume 14, Issue 3, March 1986, Pages 367-384
Bourgeois, R; F. Jesus; M. Roesch, N. Soeprapto, A.
Renggana, dan A. Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers
Organization. Rural Development and Natural Resources East Asia and Pacific
Region (EASRD).
Chamala, S and Shingi, P.M. 2007.
Chapter 21 - Establishing and strengthening farmer organizations. FAO. http://www.fao.org/docrep/W5830E/w5830e0n.htm.
Creswell,
J. W. 2007. Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
traditions (2nd Ed). Thousand Oaks, CA: Sage.
Glover,
David J. 1987. Increasing
The Benefits To Smallholders From Contract Farming: Problems For Farmers'
Organizations And Policy Makers.
World
Development, Volume 15, Issue 4, April 1987, Pages 441-448
Grootaert,
Christiaan. 2001. Does Social Capital Help the Poor?: A Synthesis of Findings from the Local Level
Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia. The World Bank:
Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development
Network. Local Level Institutions Working Paper No. 10, June 2001.
Kementerian
Pertanian. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pengajuan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial
Tahun Anggaran 2012 Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan Dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Desember 2011. Jakarta.
Kementerian
Pertanian. 2010. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (Puap)
Kementerian Pertanian, Jakarta.
Lawrence,
T. B., Suddaby, R., and Leca, B. 2009. Introduction:
Theorizing and Studying Institutional Work. In T. B. Lawrence, R. Suddaby,
and B. Leca (eds.). Institutional Work:
Actors and Agency in Institutional Studies of Organizations (pp. 1-27).
Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Liverpool-Tasie, Lenis
Saweda O. 2014. Farmer Groups And Input Access: When Membership
Is Not Enough. Food Policy, Volume 46, June 2014, Pages 37-49.
Mbeche,
Robert M. and Peter Dorward. 2014. Privatisation,
Empowerment And Accountability: What Are The Policy Implications For
Establishing Effective Farmer Organisations? Land Use Policy, Volume 36, January 2014, Pages 285-295
McKone,
CE. 1990. FAO People's Participation Programme - the First 10 Years: Lessons
Learnt and Future Directions. Human Resources
Institutions and Agrarian Reform Division, Food and Agriculture
Organization of the United Nations, 1990.
Nee, Victor. 2005. ‘The New
Institutionalism in Economics and Sociology’ [Institusionalisme Baru dalam
Ekonomi dan Sosiologi]. Dalam The
Handbook of Economic Sociology. 2nd ed. Niel J. Smelser dan Richard
Swedberg (eds.) Princeton University Press.
Nee, Victor. 2003. The New Intitutionalism in Economic and
Social. CSES Working Paper Series, Paper 4.
Penunia, Esther A. 2011. The Role of
Farmers’ Organizations in Empowering and Promoting the Leadership of Rural
Women. Asian Farmers Association for
Sustainable Rural Development (AFA) Philippines. UN Women In cooperation with FAO, IFAD and
WFP. Expert Group Meeting Accra, Ghana. 20-23 September 2011
Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
25/Permentan/Ot.140/5/2009 Tentang
Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
91/Permentan/Ot.140/9/2013 Tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
82/Permentan/Ot.140/8/2013 Tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani Dan Gabungan
Kelompoktani. Kementerian Pertanian,
Jakarta.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
Pertev, Rashid.
1994. The Role of Farmers and Farmers' Organizations. Mediterranean Committee
of the International Federation of Agricultural Producers (IFAP), Paris
(France) (h ttp://om.cih eam.org/article.ph p?ID PD F=9 4400041)
Redza,
Ammar; Shahrina Md Nordin; Shamsuri Saad; and Hasnida Wahab. 2014. Inter-organization Communication
Management between Organizations in a Subsidized Fertilizer Market in
Malaysia. UMK
Procedia, Volume 1, 2014, Pages
33-41.
Scott,
Richard W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los
Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266
hal.
Stock, Paul V.;
Jérémie Forney; Steven B. Emery; and Hannah Wittman. 2014. Neoliberal Natures On The Farm: Farmer Autonomy
And Cooperation In Comparative Perspective. Journal Of Rural Studies, Volume 36, October 2014, Pages 411-422.
Stock, Paul
V. and Jérémie Forney. 2014. Farmer Autonomy
And The Farming Self. Journal of Rural Studies, Volume 36, October 2014, Pages 160-171
Syahyuti; Sri Wahyuni; Rita Nur
Suhaeti; Amar Kadar Zakaria; dan Tjetjep Nurasa. 2014. Kajian Peran
Organisasi Petani Dalam Mendukung
Pembangunan Pertanian. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Tjondronegoro,
Sediono M.P. 1990. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa (pp
3-14). Majalah Prisma No. 2 tahun 1990.
Tjondronegoro,
SMP. 1977. The Organization Phenomenon and Planned Development in Rural
Communities of Java: A Case Study of Kecamatan Cibadak, West Java and Kecamatan
Kendal, Central Java. University of Indonesia, Jakarta (Disertation).
Trebbin. 2014. .........
Trijono, Lambang. 1994. Pasca Revolusi
Hijau di Pedesaan Jawa Timur (pp. 23-31). Majalah Prisma No. 3, Maret 1994.
Uphoff, Norman and Wijayaratna.
2000......
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan
Petani. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,
Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92.
Yang, Huan; Laurens
Klerkx; and Cees Leeuwis. 2014. Functions
And Limitations Of Farmer Cooperatives As Innovation Intermediaries:
Findings From China.
Agricultural
Systems, Volume 127, May 2014, Pages 115-125
******