Mestinya food sovereignity diterjemahkan menjadi
“Kedaulatan Petani atas Pangan”
Konsep “food
sovereignity”, yang secara
resmi diterjemahkan menjadi “kedaulatan pangan”, telah menjadi tujuan dan juga
pendekatan dalam pembangunan pangan nasional, sebagaimana tercantum dalam UU
No. 18 tahun 2012
tentang Pangan, bersama-sama dengan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Masuknya
aspek kedaulatan pangan merupakan konsekuensi bahwa Indonesia telah
meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya
melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (biasanya disingkat ECOSOC Rights).
Namun
demikian, sampai saat ini pemaknaan tentang food
sovereignity masih beragam. UU Pangan juga tidak memberikan pengertian yang
jelas apa itu kedaulatan pangan, dan apa bedanya dengan kemandirian dan
ketahanan pangan. Akibat lebih jauh, aksi untuk membangun dan mewujudkan
“kedaulatan pangan” itu sendiri menjadi kabur dan membingungkan.
Saat
ini, ada empat pemaknaan yang berkembang, yaitu: Pertama, kedaulatan
pangan adala ketika Indonesia mampu berswasembada, tidak menggantungkan pada
impor. Artinya, kedaualatan pangan adalah “ketahanan pangan total”. Fikiran ini
paling bangyak dipegang pejabat dan sebagian pengamat.
Dua, bahwa kedaulatan pangan
bertentangan dengan ketahanan pangan, utamanya karena menolak perdagangan bebas
untuk pangan. Ini awalnya digulirkan di kelompok Via Campesina.
Tiga, bahwa ketahanan pangan
merupakan jalan untuk mencapai kedaulatan pangan. Ini terbaca dalam Nawa Cita,
RPJMP dan RKP Kementan, juga pada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP)
2015-20145.
Empat,
kedaulatan
pangan adalah basis dan jalan untuk mencapai ketahanan pangan. Ketahanan pangan
adalah tujuan akhir, namun mencapainya mestilah dengan memanusiakan petani.
Petani dan keluarga petani yang bermartabat adalah prasyarat utamanya.
Pengertian
nomor empat ini lah yang semestinya diguanakan. Kedaulatan pangan melengkapi
ketahanan pangan, tidak saling menolaknya. Karena perhatian ketahanan pangan
adalah pada pangan (baik pada konsumen maupun petani ketika menjadi konsumen),
namun luput memperhatikan petani nya. Kedua konsep ini sesungguhnya saling
melengkapi.
Sehingga,
agar lebih tepat, food sovereignity
semestinya diterjemahkan menjadi “kedaulatan petani atas pangan” (KPAP) karena
konsep ini berbicara tentang petani (producers),
bukan tentang pangan.
Artinya,
KPAP tercapai ketika petani memiliki otonomi dalam keseluruhan proses produksi
pangan dari hulu sampai hilir. Petani sebagai pelaku utama pangan diberikan kebebasan
dalam menentukan dan menjalankan usahataninya sampai dengan mengkonsumsi hasil
panennya. Indikator KPAP lengkap mencakup input, proses sampai output.
Dengan
demikian, perjuangan KPAP adalah bagaimana petani memiliki hak dan akses petani
kepada seluruh sumber daya pertanian mencakup lahan, air, sarana produksi,
teknologi, pemasaran, serta terhadap konsumsi. Kondisi ini dapat diukur pada
berbagai level baik level individu, rumah tangga, komunitas, wilayah, dan juga
nasional.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar