Penelitian sosial ekonomi ga sama dengan penelitian ilmu eksak.
Apa yang disebut dengan temuan-temuan penelitian sosek sering agak kabur. Nah,
sambil iseng-iseng, dalam kerjaan 20 tahun lebih jadi peneliti di bidang
sosiologi pertanian di PSEKP, saya coba list apa sih “TEMUAN” yang telah saya
hasilkan. Ia dapat berupa fenomena yang saya konstruksi dengan diberi label
tertentu, namun bisa juga sebuah konsep baru.
Berikut adalah apa-apa yang saya anggap sebagai temuan saya,
karena saya lah yang menemukan dan menuliskan nya pertama kali dalam berbagai
tulisan ilmiah. Semuanya dalam bidang agaria, kelembagaan dan organisasi,
perdagangan, nelayan dan lain-lain. Agraria dan kelembagaan adalah dua objek
utama yang selama ini saya geluti lebih serius, meskipun kadang-kadang juga
terlibat dengan bidang lain.
Berikut adalah temuan dimaksud dengan paper yang memuatnya,
karena banyak juga paper yang saya tulis tidak berisi temuan penting, hanya
sekedar penyampaian fenomena biasa yang orang lain juga banyak tulis. Tulisan-tulisan
ini bisa ditemui di bolog-blog saya, silakan cari di google. Berikut adalah
yang “SESUATU” dimaksud:
Satu, “Reforma
agraria = aspek landreform + aspek non landreform”.
Begitu banyak tulisan tentang agraria. Di dalamnya
bertebaran konsep-konsep reforma agraria, landreform, pembaruan agraria, dst.
Namun, jika dicermati, banyak yang ga konsisten. Untuk itulah, saya menyusun
sebuah konsep baru, dimana reforma agraria atau pembaruan agraria terdiri atas
dua bentuk saja, yaitu lendreform dan yang bukan (= nonlandreform). Dengan
pemilahan ini menjadi clear cut. Konsep wholeness
dan exlusiveness nya terpenuhi.
Saya cek di internet, ada beberapa yang telah mensitasi
pemikiran ini. Namun sebagian ada yang mencantumkan saya sebagai sumber bacaan,
ada pula yang tidak. Tapi kawan, dapat saya jamin, pemikiran ini murni dari
pemikiran saya. Tidak mencontek siapa-siapa, dan saya yang pertama merumuskan
demikian.
Apa beda dan mengapa saya pilah demikian, silahkan didalami
dalam berbagai tulisan saya di antaranya adalah:
(1). Syahyuti.
2006. Tiga Puluh Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian Buku. CV Bina
Rena Pariwara, Jakarta. (262 halaman)
(2) Syahyuti.
2006. Perumusan konsep dan strategi pembaruan agraria untuk mengimplementasikan
revitalisasi pertanian. Dalam Buku "Membalik Arus Menuai Kemandirian
Petani". Diterbitkan Yayasan YAPADI dan IRF. Bogor. Mei 2006. (hal
333-344).
(3). Syahyuti.
2006. Pembaruan agraria dan kebutuhan lahan untuk
pembangunan pertanian: memadukan aspek landreform dengan aspek nonlandreform
dalam kebijakan pembaruan agraria. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA Bandung Vol
11 No. 1 April 2006.
Dua, “penguasaan tanah secara adat sejalan dengan Islam,
namun berbeda dengan di Barat”.
Saya mendalami masalah agraria sejak akhir tahun 1990-an
sampai tahun 2000-an. Dalam kurun ini, selain sering ikut seminar sebagai
peserta atau pemberi materi, saya juga terlibat dalam berbagai riset. Salah
satunya adalah riset pola penguasaan tanah menurut komunitas suku Dayak,
Minangkabau dan Jawa (di Yogyakarta). Dari penelitian ini, saya cukup kaget
ketika menemukan bahwa meskipun agama dan bahasannya berbeda, Dayak dan Minang,
namun pola penguasaan tanah di masyarakatnya mirip betul. Hanya berbeda bahasa.
Dan sesungguhnya di suku-suku lain juga mirip. Temuan ini lalu saya tulisa di
paper berikut.
Syahyuti.
2006. Nilai-Nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut
Hukum Adat Di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 24 No. 1 Tahun 2006.
Tiga, “Gejala delandreformisasi”.
Selama ini semua orang ramai bicara landreform. Di ruang
seminar, di bangku kuliah, juga demo di jalanan. Namun, sementara landreform ga
jalan-jalan juga, berlangsung setiap hari setiap jam proses sebaliknya.
Fenomena ini ga ada yang menyadarinya. Tentu ini bukan soal konsep, tapi pada
fenomena yang berlangsung yang semestinya penting diperhatikan. Untuk dipahami,
dipelajari, dikendalikan dan dikurangi atau dihapuskan.
Inilah yang saya labeli sebagai “gejala delandreformisasi”.
Sebelum konsep ini saya tuliskan, Saya coba cek di internet belum ada yang
menyebutnya. Dalam bahasa Inggris pun tidak ada istilah
“delandreformization”. Jadi, istilah dan
konsep “delandreformisasi” ini adalah murni dari saya. Kalau ada paper dan buku
yang menggunakannnya, maka itu datang dari saya. Hehe, narsis pisan ya? Tulisan
dimaksud adalah ini:
Syahyuti.
2011. Delandreformisasi sebagai gejala
anti Landreform di Indonesia: Karakter, Penyebab, dan Upaya untuk
Pengendaliannya. Majalah
Forum Agro Ekonomi Vol 29 No 2 Desember 2011
4. “Struktur agraria sejalan dengan struktur
sosial desa”.
Sebenarnya, selain saya, sudah ada juga yang menuliskan
demikian. Bedanya, saya menemukan fakta empirisnya, sedangkan tulisan lain “hanya
menduga” demikian. Ini saya temukan sewaktu penelitian S2-IPB di dua desa Kec
Palolo Kab Donggala, Sulteng. Kedua desa ini belum lama terbentuk, sehingga
masih bisa saya telusuri bagaimana sedari awal pembukaan desa sepetak demi
sepetak, siapa yang membuka, siapa yang memiliki, siapa yang menggarap, lalu
jika ada pengalihan penguasaan lahan (jual beli, dll) dari siapa ke siapa, dan
seterusnya?
(1). Syahyuti.
2002. Pembentukan
Struktur Agraria: studi kasus pada masyarakat pinggiran hutan di Kec. Palolo,
Kab. Donggala, Sulteng. Tesis Pasca Sarjana
Sosiologi Pedesaan di IPB Bogor. 2002.
(2). Syahyuti. 2002. Ikatan genealogis dan pembentukan struktur agraria: studi kasus pada masyarakat pinggiran hutan di Kec. Palolo, Kab. Donggala, Sulteng. Majalah Jurnal Agro Ekonomi Vol 20 No 1 Mei 2002.
(2). Syahyuti. 2002. Ikatan genealogis dan pembentukan struktur agraria: studi kasus pada masyarakat pinggiran hutan di Kec. Palolo, Kab. Donggala, Sulteng. Majalah Jurnal Agro Ekonomi Vol 20 No 1 Mei 2002.
http://sosiologipedesaan.blogspot.com/2012/03/ikatan-genealogis-dan-struktur-agraria.html
(3). Syahyuti. 2002. Pengaruh sentimen genealogis dalam pembentukan struktur agraria. Seminar Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI). Bogor, 28-29 Agustus 2002.
(3). Syahyuti. 2002. Pengaruh sentimen genealogis dalam pembentukan struktur agraria. Seminar Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI). Bogor, 28-29 Agustus 2002.
Lima,
“pertanian menjadi korban juga dari UUPA”.
Selama ini, semua orang hampir sepakat bahwa UUPA adalah
produk hukum yang ideal. Begitu bagus, komprehensif, dan penuh semangat. Namun,
saya melihat ada juga kekurangan dari UUPA ini, dimana pasal dan ayat di
dalamnya kurang berpihak pada pertanian. Pertanian tidak dijamin akan
berkembang baik jikapun UUPA ini dijalankan. Apa masalahnya, saya sampaikan di
tulisan berikut.
Syahyuti.
2005. Pertanian juga menjadi korban dari UUPA: tanggapan
terhadap UUPA (dan amandemen UUPA yang diajukan BPN). Paper tidak diterbitkan.
2005.
Enam, “Pengertian lembaga dan organisasi”.
Begitu banyak orang menulis tentang “lembaga”, “kelembagaan”,
dan “organisasi”. Namun, baik bahan berbahasa Inggris (“institution” dan “organization”) apalagi yang berbahasa Indonesia, pengertiannya
sering ga jelas, tumpang tindih, ga clear, bikin repot.
Saya telah bergelut dalam topik ini hampir sepanjang
pekerjaan saya sebagai peneliti di PSE-KP, dan akhirnya saya merumuskan
pengertian sendiri yang saya kira paling tepat. Ide yang paling banyak saya
pakai adalah dari bukunya Richard Scott (2008), meskipun juga ga persis sama.
Tulisan-tulisan saya 3 tahun terakhir sudah memuat konsep yang baru ini. Saya
bisa pastikan, pengertian yang saya pakai adalah ekslusif hasil pemikiran saya
sendiri. Ga ada skripsi, teis, disertasi, buku dan juga produk legislasi
menggunakan pengertian yang sama dengan saya.
Terakhir saya cek, sudah ada beberapa karya ilmiah yang
mensitasi pemikiran saya ini. Kawan-kawan boleh cek di internet. Beberapa
tulisan saya yang memuat ini adalah:
1.
Syahyuti. 2010. Lembaga Dan Organisasi Petani Dalam
Pengaruh Negara Dan Pasar. Majalah Forum Agro Ekonomi Vl 28 No. 1 Juli 2010.
2.
Syahyuti. 2013. Pengorganisasian DIRI
Petani dalam Menjalankan Agribisnis di
Pedesaan: Studi Lembaga Dan Organisasi Petani Dalam Pengaruh Negara Dan Pasar.
Disertasi Universitas Indonesia.
Tujuh,
“pengorganisasi secara personal”.
Selama
ini, karena menggunakan mindset organisasi (formal), maka ketika melihat sebuah
manajemen pengorganisasian yang sebenarnya unik, para mahasiwa dan peneliti
dengan mudah hanya menyebut “organisasi nya lemah”. Misalnya banyak ditemukan
pada kelompok pengelolaan irigasi kecil.
Nah,
saya tidak ikut-ikutan menyebut demikian. Saya menyebutnya dengan “pengorganisasian
secara personal”. Penjelasannya bagaimana? Cek di tulisan ini:
Syahyuti.
Pengorganisasian Secara Personal
Dan Gejala Individualisasi Organisasi Sebagai Karakter Utama Pengorganisasian
Diri Petani Di Indonesia
Majalah Forum Agro Ekonomi Vol.
30 No.2 Desember 2012
Delapan,
“individualisasi organisasi”
Banyak organisasi petani, setelah kita cermati dalam-dalam
sesungguhnya hanya dijalankan sedikit pengurus, biasanya hanya ketuanya
seorang. Kalo sepintas kaya yang bagus, padahal semua ia tangani sendiri. Baca
deh tulisan berikut:
Syahyuti.
Pengorganisasian Secara Personal
Dan Gejala Individualisasi Organisasi Sebagai Karakter Utama Pengorganisasian
Diri Petani Di Indonesia
Majalah Forum Agro Ekonomi Vol.
30 No.2 Desember 2012
Sembilan,
“lembaga cukup bagi petani untuk mengorganisasi diri” atau ”mengorganisasikan
diri tanpa organisasi”.
Dalam penelitian disertasi saya, dari beberapa temuan, saya
bisa sebut satu temuan ini. Jadi, jika dicermati baik-baik, sebenarnya petani
hanya mengandalkan “lembaga” dalam hidupnya, dan sangat sedikit yang
betul-betul menggunakan relasi-relasi organisasi. Lembaga dimaksud secara
ringkas adalah norma, regulasi dan kultural kognitif. Mau tahu lebih dalam,
silahakan baca di disertasi saya lengkap:
Syahyuti. 2013. Pengorganisasian DIRI Petani dalam Menjalankan Agribisnis di Pedesaan: Studi
Lembaga Dan Organisasi Petani Dalam Pengaruh Negara Dan Pasar. Disertasi
Universitas Indonesia.
Sepuluh, “ada tiga tahap pengembangan organisasi petani, yaitu tahap
komunalitas, penghancuran, dan tahap pembentukan baru yang lebih mandiri”. Temua
ini saya dapatkan dalam riset kepada lebih dari 60 organisasi petani di
Bengkulu dan Bali. Saya kira di tempat lain pun sama. Kawan bisa baca di buku
ini:
(1)
Syahyuti. 2012. Gampang-Gampang
Susah Mengorganisasikan Petani. IPB Press.
(2)
Syahyuti. 2003. Transformasi kelembagaan tradisional.
Laporan penelitian. Puslitbang
Sosek Pertanian, Bogor. 2003.
Sebelas,
“peta pemikiran lembaga dan organisasi”
Sebuah peta yang memaparkan perkembangan dan struktur
pemikiran antara berbagai ahli dan pandangan. Peta ini telah didownload ribuan
kali.
Peta pemikiran Lembaga (institution)
dan Organisasi (organization).
Dua belas, “kedaulatan pangan sebagai strategi
mencapai ketahanan pangan”.
Banyak orang
sudah membicarakan tentang ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan. Sebagian
melihatnya sebagai bertentang. Namun saya, meyakini keduanya ini bisa saling
berkaitan, dimana kedaulatan bisa dijadikan sebagai strateginya. Tujuan akhir
tetap berupa ketahanan pangan. Silahkan cek disini:
Syahyuti.
2011. Paradigma Kedaulatan Pangan dan Keterlibatan Swasta: Ancaman Terhadap
Pendekatan Ketahanan Pangan (?). Majalah Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9 No.
1 Maret 2011.
Tiga belas,
“keterasingan sosial yang dihadapi nelayan”.
Dulu, saat belum lama jadi peneliti, saya langsung ikut
penelitian tentang nelayan. Nah, dari baca kiri kanan, akhirnya saya berhasil
merangkai sebuah fenomena, dimana ada keterkaitan erat antara keterasingan
sosial yang dialami nelayan (kerja di laut, dst) dengan eksploitasi yang
dialaminya. Pihak di luar diri nelayan seorlah berkonspirasi melahirkan
fenomena ini. Silahkan baca disini:
Syahyuti.
Keterasingan sosial dan eksploitasi terhadap buruh
nelayan. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol 12 No 1 Tahun 1995.
Empat belas,
“relasi antara teknologi dan manajemen
kerja”.
Satu temuan kecil saya berkenaan dengan dunia nelayan,
adalah bahwa setiap teknologi yang diterapkan rupanya membutuhkan manajemen
kerja yang berbeda. Saya membandingkan pada tiga jenis alat tangkap, sewaktu
dulu penelitian di Sumut dan Jateng. Baca disini:
Syahyuti.
Pengaruh perkembangan teknologi terhadap perubahan
interaksi sosial masyarakat nelayan. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol 14 No 2
Desember 1996.
Lima belas,
“sens of economy pada pondok-pondok pesantren
lemah”.
Tahun 1990-an awal saya terlibat beberapa kali penelitian
dengan objek pondok pesantren, sebagai langkah awal sewaktu merumuskan program
LM3 yang sekarang banyak dijalankan di Kementan. Saya cukup nelongso, ketika
setelah wawancara hampir dengan 60 lebih pengurus pondok pesantren termasuk
santrinya, bahwa rupanya dalam kurikulum mereka dan suasana kehidupan pondok,
sangat sedikit berkaitan dengan masalah ekonomi. Padahal, LM3 bermaksud membentuk
dan membangkitkan hal ekonomi ini. Yang tertarik, monggo, bisa baca di paper ini:
Syahyuti.
1999. Penelusuran aspek ekonomi pada pondok pesantren dan
peluang pengembangannya. Majalah Forum
Agro Ekonomi Vol 17 No. 2 Desember 1999.
Enam belas,
“pedagang hasil pertanian pun lemah dan
perlu dukungan”.
Umumnya orang kurang berpihak kepada para pedagang hasil
pertanian, yaitu pedagang pengumpul, pedagang desa, pedagang besar anatar
wilayah, dst. Mereka selalu dipandang sebagai orang yang selalu merugikan
petani, karena memberi harga rendah dan sering tidak adil. Penggunaan istilah “tengkulak”
ikut membuat image kepada pedagang semakin buruk. Saya beda, dengan melakukan
pendekatan sosiologis, saya mengungkapkan apa yang selama ini tidak pernah mau kita
pelajari. Mereka pun sesungguhnya juga banyak mengalami permasalahan,
terabaikan, dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Silahkan dibaca di
paper berikut:
(1)
Syahyuti. Beberapa
karakteristik dan perilaku pelaku tata niaga hasil pertanian di Indonesia.
Paper seminar intern di Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. 22 Juni 1998.
(2) Syahyuti.
Dibutuhkan perubahan perspektif kebijakan untuk
mengoptimalkan peran pedagang hasil-hasil pertanian. Paper pada Seminar
nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan oleh PSEKP, 4 Desember 2007 di IPB
Cenvention centre.
(3) Syahyuti.
Peran Modal Sosial (Social Capital) dalam Perdagangan Hasil Pertanian Forum Agro Ekonomi Vol.26 No.01 2008.
******
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar