Pengorganisasian DIRI Petani dalam Menjalankan Agribisnis di Pedesaan:
Studi Lembaga dan Organisasi
Petani dalam Pengaruh Negara dan Pasar
Ringkasan Disertasi
Oleh: S y a h y u t i
NPM: 0806 402 881
Kata Pengantar
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, penyusunan disertasi dan
proses sekolah ini sudah sampai kepada tahap Promosi. Suatu perjuangan yang panjang
bagi saya untuk mengikuti proses pendidikan ini semenjak mulai masuk kuliah
pada 1 September 2008. Saya ingat persis itu adalah juga hari pertama puasa
Ramadhan di tahun itu. Pagi-pagi selesai makan sahur, saya sandang ransel,
siapkan motor, dan berangkat ke stasiun Bogor untuk mengejar kereta pagi jam
6.15 WIB. Pilihan kereta saat itu sangat terbatas, dan tidak ada kereta yang
layak yang brehenti di satsiun UI sebelum jam 8 pagi.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah memungkinkan
proses ini sampai disini. Bantuan utama saya peroleh dari dosen-dosen Promotor
Prof. DR Robert Lawang dan Co-promotor DR. Meuthia Ganie Rochman. Demikian pula
kesediaan dosen pengujui Bapa Prof SMP Tjondronegoro, Ibu DR. Linda D Ibrahim,
dan Bapa DR. Paulus Wirutomo; serta bantuan dari pihak manajemen Fakultas yakni
Ibu DR. SS Ery Saeda, Ibu DR Lugina Setyawati, Ibu Lidya, Bapa Santoso, Mba
Rini dan Mas Agus. Demikian pula untuk para nara sumber dan informan saya
saat mengumpulkan data di lapangan khususnya
di Desa Citapen dan Desa Cileungsi Kecamatan Ciawi, serta seluruh pimpinan dan
staf Pemda Kabupaten Cibinong yakni Dinas Pertanian dan Kehutanan dan UPTD
Ciawi, serta pimpinan dan staf penyuluhan pertanian pada Kantor BP4K Bogor dan
BP3K Ciawi.
Dengan segala kerendahan hari, disertasi ini saya persembahkan
kepada petani Indonesia dan pengembangan ilmu tentang lembaga dan organisasi
khususnya di Indonesia, yang selama ini penuh dengan kekaburan dan
ketidakkonsistenan. Hasil penelitian ini hanya akan berguna saat diterapkan
baik di lapangan untuk memberdayakan dan mensejahterakan petani, serta termasuk
dalam penyusunan kebijakan di level pemerintahan dan tenaga pendamping
pemberdayaan lain.
Depok, Desember 2012
(Syahyuti)
Bab I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Mengorganisasikan petani secara formal selama ini
merupakan strategi utama bagi pelaku pemberdayaan di pedesaan, dimana peserta
program disyaratkan untuk berkelompok. Namun, kelompok-kelompok tersebut tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak
mampu mendukung pencapaian tujuan program. Meskipun
banyak yang gagal, berbagai kebijakan
baru, misal undang-undang dan peraturan menteri, masih tetap menjadikan
organisasi formal sebagai keharusan. Sangat jarang petani berada dalam organisasi formal
(Bourgeois et al., 2003). Jika pun
ada, kapasitas keorganisasian mereka lemah. Banyak studi membuktikan bahwa
tidak mudah membangun organisasi petani (Hellin et al., 2007: 5), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak
berorgansiasi (Stockbridge et al.,
2003).
Sampai saat ini, apa penyebab kegagalan tersebut
belum banyak disadari dan dipahami sepenuhnya. Namun, pada hakekatnya akar
penyebabnya terletak pada tiga faktor utama yaitu pada pihak pelaku
pengembangan, dalam diri masyarakat desa itu sendiri, dan karena kendala
perangkat keilmuan yang digunakan dalam kegiatan tersebut.
1.2. Permasalahan Penelitian
Penelitian ini bertolak dari tiga pokok
permasalahan yaitu: (1) pemahaman kalangan pemerintah atau birokrasi
cenderung lemah dan keliru berkenaan dengan pengetahuan dan sikap petani dalam mengorganisasikan diri petani; (2) cara berfikir
dan bertindak yang dimiliki petani dalam mengorganisasikan diri terbukti belum
efektif, sehingga daya tawarnya menjadi rendah di hadapan pelaku agribisnis
lain; dan (3) pada sisi keilmuan, konsep dan teori berkenaan dengan objek “lembaga” dan
“organisasi” belum memiliki kesepahaman dan konsistensi antar
kalangan ilmuwan maupun praktisi.
1.3.
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pokok penelitian ini adalah bagaimana petani mengorganisasikan
dirinya dalam menjalankan usaha pertaniannnya? Pertanyaan lebih detail adalah:
(1). Bagaimana petani mengorganisasikan dirinya dalam
menjalankan usaha pertaniannya di pedesaan?
(2).
Bagaimana lingkungan kelembagaan yang ada, utamanya dalam tiga aspek
(regulatif, normatif, dan kultural-kognitif), mempengaruhi sikap dan perilaku
aktor yang terlibat dalam pertanian, baik sebagai individu maupun organisasi?
(3) Dalam kegiatan apa petani lebih memilih tindakan individual atau kolektif, serta bagaimana tindakan
kolektif dijalankan dan bagaimana kapasitas yang ada untuk menjalankannya?
(4). Bagaimana realitas organisasi
dimaknai dan digunakan dalam masyarakat petani, serta bagaimana organisasi
(formal) dikontestasikan dengan aspek-aspek kelembagaan untuk mendukung
kebutuhan hidup dan usaha petani?
(5). Apa faktor-faktor yang menjadi pertimbangan petani
dalam memilih relasi dari berbagai relasi
yang tersedia dalam menjalankan usahanya?
(6). Bagaimana pengaruh negara yang megintervensi
petani dengan pola pengorganisasian formal yang diusungnya, serta bagaimana
pula pengaruh dari sifat kultur pasar?
1.4.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memahami perilaku petani dalam menjalankan usaha
pertaniannya. Untuk memperoleh tujuan ini, tujuan lebih detailnya adalah:
1. Mempelajari bentuk dan karakter
pengorganisasian (dalam arti luas) diri petani yang terbangun yang menjadi
wadah bagi petani dalam menjalankan usahanya.
2. Mempelajari lingkungan kelembagaan (institutional setting) yang menjadi
latar berkembangnya pengorganisasian diri petani, baik organisasi formal maupun
bukan, dalam menjalankan agribisnis, utamanya lingkungan regulatif dari negara
dan tekanan kultur pasar; serta berbagai kekuatan eksternal lain.
3. Mempelajari proses pembentukan
pengorganisasian yang terbangun, karakter organisasi petani, serta penjelasan
berkenaan dengan aspek-aspek kelembagaan yang mendasari pembentukannya.
4. Merumuskan bentuk dan pendekatan
pengorganisasian petani yang lebih sesuai dan berkelanjutan sesuai dengan
karakter usaha petanian yang dijalankan, desentralisasi pemerintahan, serta
tekanan khas kultur pasar yang semakin terbuka dan kompetitif. Sebagai policy study, penelitian ini berupaya
melakukan rekonseptualisasi konsep,
khususnya tentang lembaga dan organisasi untuk pemberdayaan petani yang lebih efektif di masa mendatang.
******
Bab II. TINJAIAUAN PUSTAKA
2.1. Rekonseptulasisasi Konsep Sosiologi Lembaga Dan
Organisasi
Objek
pengorganisasian petani dalam menjalankan usaha pertanian didekati dengan
konsep dan teori “lembaga” dan “organisasi”. Penggunaan istilah ”institution”
pada literatur berbahasa Inggris, ataupun istilah ”lembaga” dan ”kelembagaan”
dalam literatur berbahasa Indonesia cenderung tidak konsisten dan tidak
memperoleh pengertian yang sama antar ahli, demikian
pula dengan konsep ”organization”. Kekeliruan yang paling
sering adalah menerjemahkan ”institution”
menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai
”organisasi”. “Lembaga koperasi” misalnya menunjuk pada
koperasi sebagai sebuah organisasi, berkaitan misalnya dengan aspek
kepemimpinan dalam koperasi dimaksud, keanggotaannya, dan kapasitas
keorganisasiannya.
Kedua objek tersebut pada awalnya berbaur lalu
kemudian menjadi terpisah. Ini karena penulis bersangkutan hanya mengenal satu
kata saja dalam menerangkan fenomena sosial: institution saja, atau organization
saja.
Interaksi antara
Teori Kelembagaan (Institutional Theory)
dan Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (New
Institutionalisme Theory). Menurut Scott (2008) studi lembaga dan
organisasi mulai berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu dengan tumbuhnya perhatian pada
pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational
forms) dan ranah organisasi (organization
fields). Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber
dengan teori birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap
organisasi, Herbert Simmon yang berkerjasama dengan James G. March yang
mempelajari sifat atau ciri rasionalitas pada organisasi, Selznick yang
mempelajari teori kelembagaan terhadap organisasi (Scott, 2008), serta Victor Nee dalam konteks analisa
kelembagaan (institutional analysis) yang
mempelajari hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan
kelembagaan (institutional settings).
Menghadapi berbagai kekeliruan dan
ketidaksepakatan selama ini, dilakukan perumusan rekonseptualisasi sebagaimana matriks berikut.
Tabel 1. Rekonseptulasisasi “lembaga” dan “organisasi”
Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris
|
Sering diterjemahkan dalam literatur berbahasa
Indonesia selama ini menjadi
|
Terminologi semestinya
|
Batasan dan materinya
|
1. institution
|
Kelembagaan, institusi
|
Lembaga
|
Berisi norma, nilai, regulasi, pengetahuan,
dll. Menjadi pedoman dalam berperilaku
aktor (individu dan organisasi)
|
2. institutional
|
Kelembagaan, institusi
|
Kelembagaan
|
Hal-hal berkenaan dengan lembaga.
|
3. organization
|
Organisasi, lembaga
|
Organisasi
|
Adalah social group, aktor sosial, yg
sengaja dibentuk, punya anggota, untuk mencapai tujuan tertentu, dimana
aturan dinyatakan tegas. Misal: koperasi, kelompok tani, kantor pemerintah.
|
4. organizational
|
Keorganisasian, kelembagaan
|
Keorganisasian
|
Hal-hal berkenaan dengan organisasi. Misal:
kepemimpinan, keanggotaan, manajemen,
keuangan organisasi, kapasitas organisasi, relasi dgn organisasi lain.
|
Berdasarkan penelusuran referensi yang berkembang,
semenjak era sosiologi klasik sampai dengan munculnya paham kelembagaan baru (new institionalism), maka ada tiga
bagian pokok yang ada dalam lembaga, yakni aspek normatif, regulatif,
fan kultural kognitif. Sementara,
dari pendekatan sosiologi ekonomi, Victor Nee (Nee, 2003, 2005: dan Nee
dan Swedber, 2005) menyusun Teori Kelembagaan Baru pada Sosiologi Ekonomi (The New Institutional Economic Sociology), dimana dipahami bahwa individu sangat memperhatikan
hubungan dengan individu lain dalam tindakannya.
Dalam
teorinya Nee (2005) menjelaskan
bagaimana lembaga (institution) berinteraksi dengan jaringan sosial (social
network) dan norma-norma sosial dalam mengarahkan tindakan-tindakan
ekonomi. Ia menyatakan bahwa aktor ekonomi bukanlah layaknya atom yang
lepas dari konteks
masyarakat, bukan pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial. Tingkah laku aktor
melekat pada realitas relasi sosial. Norma-norma yang ada akan berinteraksi dengan aturan formal (formal rules) dalam merealisasikan kepentingan individu. Menurut Nee (2005:
55) lembaga adalah sistem dominan dari elemen-elemen yang bersifat formal dan
informal seperti; kebiasaan, kesepakatan-kesepakatan, normanorma, dan
kepercayaan yang dibagi bersama (shared beliefs), dimana para aktor
mendasarkan tindakannya ketika memenuhi kepentingan-kepentingannya. Lembaga
adalah struktur-struktur sosial yang menyediakan pedoman untuk tindakan
bersama, dengan cara mengatur kepentingan masing-masing orang dan memperkuat
hubungan antar mereka.
Selanjutnya, dalam hal konsep ”organisasi”, organisasi merupakan elemen dari
lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan (North dan
Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott, 1995; 2008). Menurut Scott (2008: 36), dalam Teori
Kelembagaan Baru digunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari sosiologi
organisasi. Proses
kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi dan perilaku. Teori
Kelembagaan Baru, tidak sebagaimana ”old
institutionalism”, menyediakan jalan untuk melihat organisasi pada
masyarakat kontemporer.
2.2. Pengorganisasian Diri Petani di Indonesia
Sebelum dikenal organisasi formal, petani telah mengorganisasikan
dirinya (self organizing) sedemikian
rupa dengan basis
pada relasi patron-klien, sentimen
kekerabatan, basis sentimen teritoral, ataupun pengorganisasian berbasis
personal.
Khusus untuk pengorganisasian secara personal, pada banyak wilayah
di pedesaan, ditemukan tipe pengorganisasian dimana alih-alih membentuk satu
organisasi yang terstruktur dan dikelola beberapa orang pengurus, masyarakat
desa cenderung menunjuk satu orang untuk menangani satu urusan yang berkaitan
dengan kebutuhan sekelompok warga. Sekelompok orang memberikan penugasan kepada
satu orang dan melengkapinya dengan otoritas yang penuh. Bukan sebagaimana
organisasi formal dalam literatur, dimana ada sekelompok orang dengan kekuasaan
yang terbagi dan terstruktur secara berjenjang; pelaksanaan tugas hanya
dijalankan oleh seorang belaka (= “pengorganisasian personal”). Pola ini
ditemukan dalam pengelolaan air irigasi skala kecil
sebagaimana subak di Bali yang dijalankan seorang “pekaseh”atau “Klian Subak”, yang lebih kurang juga sama dengan sosok seorang “Ulu-Ulu” di
wilayah Jawa Barat, dan “Kapalo Banda” di wilayah Sumatera Barat. Saat ini,
meskipun desa-desa di Indonesia telah lama berada dalam intervensi modernisasi,
namun ketiga bentuk basis relasi serta pola pengorganisasian seperti di atas
masih eksis walau terbatas.
*****
Bab III. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan
pendekatan etnografi, dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data
secara sekaligus, baik wawancara, observasi visual, maupun studi dokumen dan
artefak. Peneliti melakukan observasi
langsung di lapangan (first hand
observastion) untuk mengamati kehidupan sehari-hari (daily behaviour).
Penelitian mengambil
lokasi di satu unit administrasi penyuluhan yaitu di BP3K (Balai Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) Ciawi yang melingkupi Kecamatan Ciawi,
Megamendung dan Cisarua (Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Penggalian
informasi yang paling intensif mencakup dua desa yaitu Desa Citapen dan Desa
Cileungsi. Kedua desa berlokasi berdampingan yang berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Ciawi.
Pengumpulan data dan informasi berlangsung mulai dari awal tahun 2011
sampai tahun 2012. Sumber informasi untuk seluruh informasi di atas berasal
dari berbagai kalangan. Dari kalangan pemerintah, mencakup pimpinan dan aparat
pemerintah kabupaten sampai dengan petugas lapang, terutama kalangan penyuluh
pertanian yang paling banyak terlibat di desa sehari-hari. Nara sumber utama
adalah petani baik sebagai individu maupun pengurus organisasi, tokoh petani,
Kontak Tani, petani berlahan luas, petani berlahan sempit, buruh tani, dan
wanita tani. Selain itu, juga dilakukan wawancara terhadap kalangan swasta,
pedagang sarana produksi, pedagang hasil-hasil pertanian, serta aparat desa dan tokoh
masyarakat.
Definisi
operasional
Lembaga (institution)
= merupakan hal-hal yang menjadi penentu dalam perilaku manusia dalam
masyarakat yakni berupa norma, nilai-nilai, aturan formal dan nonformal, dan pengetahuan kultural. Keseluruhan ini
menjadi
pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi), memberi peluang
(empower) namun sekaligus membatasi (constraint)
aktor.
Kelembagaan (institutional)
= segala hal yang
berkenaan
dengan lembaga.
Organisasi (organization)
= adalah
kelompok
sosial yg sengaja dibentuk oleh sekelompok orang, memiliki anggota yang jelas, dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu, dan memiliki aturan yang dinyatakan tegas (biasanya tertulis). Organisasi adalah aktor
sosial dalam masyarakat sebagaimana individu. Contoh organisasi petani adalah koperasi,
kelompok tani, Gabungan kelompok tani, dan kelompok wanita tani.
Keorganisasian (organizational)
= hal-hal berkenaan dengan organisasi misalnya perihal kepemimpinan dalam organisasi, keanggotaan,
manajemen, keuangan organisasi,
kapasitas organisasi, serta relasi dengan organisasi lain.
Pengorganisasian diri = merupakan upaya individu
(petani) untuk menjalankan usaha dan hidupnya dengan membangun dan menjaga relasi
(social relation) secara relatif
tetap dan berpola dengan berbagai pihak di seputar dirinya, yaitu dengan para
pedagang penyedia benih dan pupuk, dengan buruh tani, dengan penyedia jasa alat
dan mesin pertanian, dengan pedagang pengumpul hasil pertanian, dan lain-lain
termasuk dengan aparat pemerintah. Petani mengorganisasikan dirinya baik dengan
terlibat dalam organisasi maupun tidak. Petani memiliki kuasa dan mampu
memutuskan dengan siapa ia menjalin interaksi untuk menjalankan usaha
pertaniannya.
******
BAB IV. KERANGKA
KELEMBAGAAN (INSTITUTIONAL FRAMEWORK)
Dalam menjalankan usaha pertaniannya petani menghadapi kerangka kelembagaan (institutional framework) yang memberi
batasan sekaligus pedoman baik dalam posisinya sebagai individu maupun dalam
bentuk organisasi. Kerangka utama yang dihadapi petani tersebut adalah regulasi pemerintah dan
norma ekonomi dari pasar.
4.1. Intervensi Pemerintah Dalam Kegiatan Pembangunan Pertanian Dan
Pedesaan
Pemerintah Indonesia melakukan intervensi kekuasaan yang besar
terhadap petani, dimana organisasi formal merupakan alat untuk berhubungan
dengan petani. Pemerintah menggunakan relasi antar organisasi dalam manajemen
pembangunan. Dalam bayangan pemerintah, masyarakat yang pelaku-pelakunya adalah
organisasi-organisasi formal merupakan sebuah tipe masyarakat ideal. Relasi
antar organisasi yang berjalan dalam suasana formal diyakini akan lebih
efektif, karena lebih terkontrol dan dapat diduga (predictable).
Kondisi yang berlangsung merupakan hasil dari format politik
pertanian Indonesia yang mensubordinasi petani. Relasi kekuasaan antara pemerintah dengan
petani berada dalam iklim modernisasi. Modernisasi pada hakekatnya adalah upaya
merasionalisasi seluruh tindakan dan sikap. Salah satu bentuk modernisasi dalam
kegiatan pertanian adalah dengan menginvansi konsep “agribisnis”. Dengan pendekatan agribisnis (“agriculture
regarded as a bussiness”) melalui kata kuncinya untung dan efisien, maka pertanian mesti
dijalankan dengan skala besar. Untuk itu, dengan menghimpun petani dalam organisasi, maka skala
ekonomi minimal diharapkan bisa tercapai. Semenjak Orde Baru,
petani menghadapi kekuatan yang sulit dihadangnya. Intervensi pemerintah yang top-down telah menumbuhkan sikap pasif
pada petani, termasuk ketika pemerintah mengintroduksikan organisasi baru.
4.1.1. Keharusan Petani
masuk kedalam Organisasi Formal
Organisasi menjadi strategi dalam
pembangunan (development strategy),
sehingga organisasi petani lebih sebagai sutau quasi-government agencies dibandingkan sebuah upaya pemberdayaan
petani yang sejati. Organisasi hidup setempat (communal organization) yang sebelumnya hidup menjadi lemah karena
masyarakat dipecah (dan dipisah-pisahkan ) ke dalam banyak
organisasi-organisasi kecil. Tanpa sadar berlangsung proses penghancuran
komunitas karena introduksi relasi-relasi formal ini (Saptana et al., 2005).
Saat ini, pada
setiap desa di Indonesia kita akan dapat menemukan seperangkat organisasi
formal, atau setidaknya pernah dibangun. Organisasi-organisasi introduksi
tersebut adalah pemerintahan desa, BPMD, beberapa kelompok tani, kelompok
ternak, kelompok wanita tani, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), koperasi dan PKK. Semenjak awal, mulai tahun1970-an,
pemerintah inginnya semua petani masuk dalam organisasi formal. Pengembangan
organisasi petani di
era
Bimas didukung secara
sistematis dan terstruktur melalui political will dan birokrasi yang
kuat, sentralistis, penyediaan subsidi, delivery system yang baik,
anggaran yang cukup besar, organisasi penyuluhan, serta prasarana dan sarana
yang memadai.
4.1.2. Tekanan
Formalitas dari Organisasi
Dalam
menjalankan usaha pertaniannya sehari-hari, petani menghadapi relasi-relasi
dengan organisasi (inter-organisational transactions) dengan berbagai
pihak luar. Mereka menghadapai organisasi formal, bukan relasi-relasi dengan
individu yang bebas. Relasi yang terjalin berlangsung dalam tata krama yang
formal. Dengan demikian, petani menghadapi tekanan formalitas (formalitas
pressure).
Lingkungan
formalitas yang dihadapi petani berasal dari kelompok pendamping (supporting organisations)
seperti dari tenaga lapang pemerintah dan NGO, dari lingkungan politik (political environment) yang mengenalkan
kerangka kerja legal, serta juga dari kepentingan
komunikasi. Secara keseluruhan, ini mempengaruhi bagaimana petani bersikap dan
berperilaku, memahami dan memilih tindakan, serta juga menentukan batas pilihan
yang tersedia untuk petani sebagai indivdiual.
Bagi petani, lingkungan formal tidak selalu merupakan kondisi yang
kondusif. Dalam posisi dimana sebagian besar petani tidak berorganisasi secara
formal, atau hanya organisasi yang belum kuat; maka lingkungan formal lebih terasa sebagai
mengucilkan mereka.
4.2. Tekanan Norma Ekonomi Pasar
Kehadiran pasar terasa nyata dalam hidup
sehari-hari petani. Bahkan petani adalah
juga salah satu pelaku pasar. Berbagai relasi
yang dimiliki dan dijalankan petani berada dalam sistem pasar.
Sebagian besar input usaha disediakan oleh pasar, demikian pula untuk pemasaran
hasil panen. Kondisi ini berlangsung karena pemerintah
menyediakan berbagai kebutuhan petani melalui mekanisme pasar selain melalui distribusi langsung terutama untuk benih, pupuk dan permodalan.
4.2.1. Mekanisme Pasar dalam pemenuhan Input Pertanian
Di Indonesia,
dalam kondisi politik yang cenderung liberal, pelaku swasta cenderung diberi
kesempatan yang luas, termasuk dalam dunia pertanian. Pemerintah dan swasta
atau pelaku pasar memiliki relasi yang jauh lebih kuat, dibandingkan terhadap
kelompok masyarakat lain. Berbagai kekuatan di
“atas” petani ini menyebabkan terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber daya
pertanian, posisi yang lemah dalam pemasaran, serta terbatasnya kekuatan petani
dalam politik nasional dan daerah.
Dampak struktur
relasi antara pemerintah-swasta-petani sedemikian di Indonesia, telah
menimbulkan berbagai kondisi yang kurang kondusif pada kegiatan pertanian. Kondisi kelembagaan yang dihadapi petani di lokasi penelitian yang
dipilah atas berbagai kebutuhan petani mencakup: (1) Kebijakan pemerintah dan pelaku pasar yang membatasi akses petani kepada lahan terutama kasus “Peternakan Tapos”, (2) Sumber
permodalan formal
sulit diakses petani karena mendasarkan kepada
mekanisme pasar dalam pemberian kredit, (3) Kebijakan produksi dan distribusi bibit dan benih yang membatasi kemandirian petani,
(4) Sistem distribusi
pupuk menggunakan jalur pemerintah
dan swasta, serta (5) Produsen teknologi yang juga
didominasi oleh pelaku pasar.
4.2.2. Kuasa Pelaku Pasar dalam Pemasaran Hasil Pertanian
Penjualan
hasil panen petani seluruhnya menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sebagaimana
pada “pasar input”, pedagang diberi kesempatan luas kepada mekanisme dan pelaku
pasar untuk membeli dan menjualkan hasil panen petani. Pasar dan swasta secara konstitusional diberi posisi dan kesempatan yang besar
dalam pembangunan pertanian Indonesia, sebagaimana terbaca dalam UU No 7 tahun 1996
tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan.
Di lokasi penelitian, penerima seluruh hasil produksi petani mulai dari
padi, sayuran, buah-buahan, hasil ternak, ikan, serta hasil pengolahan berupa
keripik pisang dan abon ikan lele misalnya adalah para pedagang. Mereka adalah
pelaku pasar yang berinteraksi dengan petani dengan berbasiskan norma pasar
yakni mencari keuntungan. Meskipun sebagian adalah tetangga dan penduduk desa
yang sama, namun sosok sebagai pelaku pasar merupakan basis perilaku mereka.
Pelaku pasar bekerja dengan mekanisme dan norma
pasar. Dalam berhadapan dengan pedagang pengumpul hasil-hasil
pertanian ini, petani menghadapi kondisi yang kurang seimbang. Kekuasaan pedagang dalam penetapan
harga dan metode pembayaran begitu besar, dan petani tidak memiliki daya tawar (bargain
position) yang cukup di hadapan pedagang. Pengetahuan petani terhadap
harga sangat terbatas, dan mereka juga kurang mampu
menilai kualitas barang yang dijualnya. Sebaliknya, pedagang merasa paling paham dengan kedua hal ini. Apa yang dialami petani lebih kurang sama dengan yang ditemukan Bourgeuis et al. (2003), dimana pelaku pasar (pedagang) cenderung
oportunistis dan akan selalu berupaya mengambil keuntungan dengan kelemahan yang
dimiliki petani.
Dengan demikian, petani berinteraksi langsung
dengan dua entitas yang masing-masing memiliki karakter norma dan sistem yang
berbeda, yaitu pemerintah dan pasar. Kedua kekuatan ini menyediakan kondisi kerangka
kelembagaan kepada petani yang harus dimaknai dan direspon petani sebagai aktor
yang rasional dan aktif.
*****
BAB V. KONDISI PERTANIAN DAN KINERJA ORGANISASI
MILIK PETANI
5.1. Kondisi Geografis dan
Pertanian di Wilayah Studi
Wilayah kedua desa, yakni Desa Citapen dan Cileungsi
(Kecamatan Ciawi), didominasi topografi berbukit, yang diselingi wilayah yang
rata berupa sawah maupun ladang dan pemukiman. Areal pertanian berada di
lereng-lereng bukit serta di wilayah datar di beberapa wilayah antar bukit
tersebut. Tingkat kemiringan lahan umumnya sampai 40
persen. Sawah berada di antara bukit, tersebar di beberapa bagian dengan luasan
masing-masing sampai belasan hektar.
Tanah dan alamnya tergolong subur, yang berada di kaki tiga gunung, yaitu gunung Pangrango, Gunung Gede dan
Gunung Salak. Kegiatan
pertanian dapat dijalankan sepanjang tahun, baik pertanian lahan basah maupun
kering, dimana sumber mata air cukup banyak meskipun kecil-kecil. Keberadaan
lahan pertanian cukup sempit jika dibandingkan dengan total wilayahnya. Sawah di wilayah ini hanya terdiri atas sawah irigasi setengah
teknis atau irigasi sederhana dan tadah hujan.
Wilayah ini tergolong padat, dimana kepadatan
penduduk di Desa Citapen misalnya adalah 338 orang per km2. Dari sisi
kesejahteraan, jumlah keluarga prasejahtera sebanyak 45,1 persen, atau hampir
setengah dari total rumah tangga yang ada. Dari sisi pekerjaan, bertani
merupakan andalan utama masyarakat, meskipun statusnya hanyalah buruh tani. Total
penduduk yang menjadi petani dan buruh tani di Desa Citapen adalah 84,8 persen,
sedangkan di Desa Cileungsi adalah 62,7 persen.
Khusus di Desa Cileungsi, jumlah keluarga yang memiliki lahan
pertanian sendiri hanya 616 keluarga, sedangkan yang tidak memiliki jauh labih
banyak yakni 980 keluarga. Dari total 616 keluarga petani pemilik lahan, 400
keluarga di antaranya memiliki di bawah 1 ha, 1-5 ha sebanyak 10 keluarga, 5-10
ha sebanyak 3 keluarga, dan lebih dari 10 ha juga 3 keluarga. Khusus untuk perkebunan,
162 keluarga memiliki lahan sendiri, dan 1600 tidak memiliki. Bagi yang
memiliki, semuanya kurang dari 1 ha..
5.2. Struktur dan Permasalahan Agraria dan Pertanian
Secara Umum
Usaha pertanian yang djalankan beragam mulai dari
padi di sawah, sayuran, tanaman buah-bauah di pekarangan dan tegalan, serta
usaha perikanan dan ternak. Dapat dikatakan, tidak ada keluarga petani yang
hanya menanam satu jenis tanaman. Umumnya mereka memiliki usaha pertanian sawah
yang dikombinasikan dengan pertanian tegalan, dan bahkan dengan usaha ternak.
Untuk padi sawah, pola pertanaman yang dominan adalah
padi 2-3 kali setahun. Tanaman
sayuran yang diusahakan beragama yaitu jagung, kacang tanah, kacang panjang,
kacang merah, ubi kayu, ubi jalar, cabe, tomat, sawi, mentimun, buncis, terong,
talas, wortel. Untuk buah-buahan adalah pisang, alpokat, mangga, durian,
rambutan, nangka, dan lain-lain.
Di desa Citapen sebagai contoh, ada sebanyak 1054
unit usaha perikanan, berupa kolam-kolam ikan yang sebagian menggunakan terpal
dan tembok yang dibangun di atas permukaan tanah. Usaha perikanan dipandang
sebagai solusi yang disenangi, karena menggunakan lahan yang sempit dengan
hasil yang cukup lumayan.
Diversifikasi usaha pada rumah tangga disebabkan
karena penguasaan lahan yang sudah sempit. Bahkan ada petani yang meskipun
punya lahan sendiri, masih berupaya menambah pendapatan rumah tangga dengan
menjadi buruh tani di lahan petani lain.
Saat ini banyak petani yang berstatus murni sebagai buruh tani,
akibat “jual-jual tanah sama orang Jepang”. Mereka menjual tanah untuk dibelikan motor (buatan
Jepang), dan lalu dijadikan sebagai modal untuk usaha ojek. Pola yang umum terjadi pada konteks
keagrariaan di wilayah ini adalah: tanah warisan misalnya terdiri atas 5 petak
dijual untuk naik haji (sering dibahasakan dengan sebutan ”ziarah”), yang
kadang-kadang untuk biaya keberangkatan sekeluarga. Sisanya digunakan untuk
modal usaha, misalnya untuk membeli motor yang lalu dijadikan untuk ojek.
Setelah tidak punya tanah mereka menjadi ”kuli” yang digaji secara harian
dengan bekerja di atas tanah tadi, atau menggarap tanah tersebut secara gratis.
Saat ini banyak petani yang merupakan “petani
buruh” yang bekerja di lahan-lahan guntay. Mereka tidak menjadi anggota
kelompok tani, karena status lahan yang dikuasainya tidak lagi dianggap sebagai
lahan pertanian.
5.3. Keberadaan dan Kinerja Organisasi Formal Milik
Petani
Ada 10 organisasi petani yang didalami dalam penelitian ini yakni:
(1) Gabungan Kelompok Tani Bina
Sejahtera di Desa Cileungsi, (2) Kelompok Tani Ternak Kelinci Bina Mandiri Desa Cileungsi, (3) Kelompok Wanita Tani Ummul Hasanah Desa Cileungsi, (4) Gapoktan Rukun Tani Desa Citapen, (5) Kelompok Wanita Tani Kelompok Wanita Tani Silih Asuh Desa Citapen,
(6) Kelompok Tani Ternak Sukamaju, Desa Citapen, (7) Kelompok Tani Silih Asuh,
Desa Citapen, (8) KUD Sugih Tani Kecamatan Ciawi, (9) Koperasi dan Gapoktan Cipta Mitra
Sejahtera Desa Sukamaju Kecamatan Megamendung, dan (10) Kelompok Wanita Tani Asri (Desa Sukamaju,
Kecamatan Megamendung).
5.4. Karakter Organisasi milik Petani
Dari beberapa contoh organisasi formal, beberapa pola karakteristik
keorganisasian milik petani adalah: (1) sangat sedikit petani yang masuk dan
mengandalkan organisasi formal, (2) organisasi petani menerapkan manajemen yang
terbatas, (3) data organisasi lemah dan kurang valid, (4) organisasi dibangun
lebih untuk kepentingan atas dan karena kebutuhan administratif, (5) organisasi
identik dengan ketua (gejala individualisasi organisasi), (6) sentralisasi pengurus, dimana satu orang
menjadi pengurus di banyak organisasi, serta
(7) tumpang tindih organisasi untuk peran yang sama.
5.5. Relasi-Relasi yang Dibangun Petani untuk
Menjalankan Usaha
Untuk dapat menjalankan usahanya, petani berhubungan dengan berbagai
pihak. Petani menjalin relasi dengan petani lain, pedagang, petugas pemerintah,
dan lain-lain termasuk dengan organisasi; mulai dari hulu sampai hilir kegiatan
usahanya. Tersedia beberapa
jenis dan level organisasi formal, yaitu yang berupa individual organization (misalnya kelompok tani), maupun berupa inter-group organization yaitu Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) dan koperasi. Sebagaimana tabel matrik berikut terlihat
bahwa sebagian besar kebutuhan dipenuhi melalui kemampuan sendiri, baik
menggunakan kemampuan sendiri (misalnya kebutuhan modal usaha) dan menggunakan
relasi-relasi individual.
Tabel 2 . Berbagai relasi yang dijalankan petani
sehari-hari untuk menjalankan usaha pertaniannya di wilayah penelitian
Aktivitas
yang dibutuhkan
|
Dipenuhi
secara mandiri
|
Menggunakan
relasi individual
|
Menggunakan
relasi kolektif
|
1.
Pemenuhan benih padi, sayur, serta bibit ternak
|
Menggunakan
benih sendiri sisa panen sebelumnya untuk padi
|
Membeli
dari kios, dan membeli dari peternak lain (misal pada kasus kelinci)
|
Bantuan
dari pemerintah melalui kelompok tani
|
2.
Pemenuhan pupuk dan obat-obatan
|
Sebagian
kecil memproduksi pupuk organik sendiri
|
Umumnya
membeli dari kios secara tunai atau mengutang, dan sebagian membeli dari kios
koperasi
|
Mendapatkan
bantuan pemerintah secara gratis, jika kelompok menjadi peserta program
|
3.
Pemenuhan modal
|
Umumnya
menggunakan modal sendiri
|
Meminjam
saudara, pelepas uang ileal, dan sedikit sekali yang meminjam uang bank
|
Meminjam
dari Gapoktan (dana PUAP dan program CFSKR)
|
4.
Penyediaan lahan
|
Lahan
milik sendiri
|
Menyewa,
menyakap, membeli gadaian, dan menggarap tanah terlantar
|
Menggarap
lahan yang disewakan Gapoktan dalam program CFSKR.
|
5.
Pengolahan lahan
|
Menggunakan
TK dari keluarga sendiri
|
Menyewa
buruh tani, tenaga hewan, atau jasa traktor milik Gapoktan
|
---
|
6.
Penyediaan air irigasi
|
“menggiring”
air sendiri dari sumbernya
|
Mengupahkan
orang lain untuk “menggiring” air ke lahannya
|
---
|
7.
Pemenuhan tenaga kerja dalam budidaya
|
Menggunakan
tenaga dalam keluarga sendiri
|
Menggunakan
TK tetangga dan saudara sebagai buruh
dengan upah harian
|
---
|
8.
Pengolahan hasil
|
Mengolah
sendiri, misalnya membuat kripik pisang
|
Menggunakan
jasa huller untuk pengolahan gabah
|
---
|
9.
Pemasaran hasil
|
---
|
Menjual
ke pedagang di desa, dan pedagang di pasar
|
Menjual
melalui Gapoktan,
|
10.Pemenuhan
teknologi
|
Mencari
sendiri di media massa dan bacaan lain
|
Bertanya
ke tetangga, saudara, petugas penyuluh, dan ketua kelompok
|
Mengikuti
pertemuan penyuluhan di kelompok tani atau di Gapoktan
|
******
Bab VI. RESPON
TERHADAP LINGKUNGAN KELEMBAGAAN PADA PENGORGANISASIAN DIRI PETANI
Menghadapi lingkungan kelembagaan yang melingkupinya dan pemaknaan
aktif aktor terhadap lingkungan, melahirkan berbagai bentuk respon. Ada
tiga bagian respon dalam hal ini yaitu
respon individu yang berada di luar organisasi, individu dalam organisasi, dan
respon organisasi.
6.1. Proses dan Stuktur Oganisasi Petani yang
Terbentuk
Keberadaan organisasi petani
sangat tergantung pada lingkungan kelembagaannya. Bagaimana karakter organisasi dalam kondisi seperti ini sudah lama
dipelajari kalangan sosiolog (lihat Meyer
and Rowan,
1977;
Colignon,
2009; Nee, 2005), dimana lingkungan
kelembagaan dikristaliasi dalam organisasi. Dengan
mengetahui bagaimana lingkungan kelembagaan yang ada, maka bagaimana karakter
aktor dan organisasi di dalamnya bisa dipahami.
Khusus untuk organisasi petani, respon keorganisasian yang terlihat
di lapangan berupa proses dan karakter organisasi yang terbangun adalah sebagai
beirkut, yakni: (1) batas organisasi (organization
bordering) kabur karena peran sebagai agen pemerintah yang tersubordinasi,
(2) terbuka dan terpengaruh
oleh kultur lingkungan, (3) ranah
organisasi (organization field)
sempit, (4) berkembang kultur pragmatis
dalam organisasi, dan (5) organisasi menerapkan manajemen non formal.
6.2. Jenis dan Basis Dari Relasi Yang Digunakan
Petani
Kegiatan
bertani dapat dilihat sebagai sebuah bangunan yang terdiri atas relasi-relasi
yang dibangun dan dijalankan oleh para aktor. Secara keseluruhan, ada beberapa
bentuk relasi dengan basis yang berbeda-beda yang menjadi latarnya.
Pertama, relasi-relasi yang berbasis sentimen primordial. Hubungan
kekeluargaan menjadi dasar dalam melakukan relasi ekonomi. Ada beberapa
kebutuhan yang dipenuhi melalui tipe relasi ini, terutama untuk pemenuhan lahan,
mendapatkan buruh pertanian, dan bantuan permodalan (meminjam uang dari
keluarga).
Kedua, relasi berbasis norma ekonomi pasar. Ini merupakan basis relasi yang paling banyak dijalankan dan dipilih
petani. Disini, relasi terjadi karena adanya saling membutuhkan antara kedua
pihak, yakni antara penjual dan pembeli. Pilihan relasi lebih berdasarkan
alasan kemudahan dan kemurahan, namun relasi yang berlangsung cenderung berpola
atau tidaklah acak.
Ketiga, relasi berbasis keorganisasian. Relasi yang dijalankan petani dengan basis organisasi paling jarang
ditemukan. Selain hanya melibatkan sebagian petani, jumlah kebutuhan relasi
petani yang mengandalkan kepada basis keorganisasian ini juga terbatas. Dari
seluruh urusan agribisnis dari hulu sampai hilir, aktivitas yang menyandarkan
kepada relasi organisasi hanya untuk pemasaran sayuran dan pengadaan sarana
produksi, namun juga hanya untuk sebagian kecil petani. Relasi dengan pola ini
tergolong sebagai tindakan kolektif (ditemukan pada Gapoktan Rukun Tani Desa
Citapen).
6.3. Relasi Individual Sebagai Inti Pengorganisasian Diri Petani
Hampir seluruh kegiatan bertani pada kenyataannya dijalankan melalui
relasi-relasi individual. Petani membuat keputusan untuk berinteraksi dengan
sejumlah aktor lain secara pribadi, tanpa melibatkan kelompoknya. Selanjutnya,
petani juga melakukan transaksi dan menjaga relasi yang dibangun tadi juga
dalam konteks keputusan individual. Relasi-relasi individual tidak mengandalkan
kepada organisasi atau orang lain. Aktor tidak mewakilkan relasinya kepada
pihak lain.
Ada banyak alasan pokok mengapa petani lebih memilih tindakan
individual atau relasi individual dalam menjalankan usahanya dibandingkan
tindakan kolektif melalui kelompok tani misalnya. Alasan yang kuat adalah karena ketersediaan relasi dimana
pelayanan untuk berusahatani sudah cukup memadai. Saat ini petani dengan mudah
dapat membeli benih, pupuk dan berbagai kebutuhan lain dari kios-kios yang
menjualnya di desa maupun di pasar terdekat. Petani dapat membayar tunai
ataupun berhutang (pola “yarnen”
kependekan dari “dibayar setelah panen”) terhadap barang yang dibelinya.
Demikian pula untuk kebutuhan lain, misalnya memperoleh air irigasi,
mendapatkan buruh tani dan menjualkan hasil panennya.
Tindakan individual
petani diawali oleh sebuah proses keputusan dari berbagai kekuatan pada kondisi
kerangka kelembagaan yang melingkupinya. Sesuai dengan teori kelembagaan baru,
baik Scott (2008) dalam bidang sosiologi, maupun Nee (2005) dalam sosiologi
ekonomi; aktor diyakini memiliki peran yang penting dalam masyarakat, dimana
tindakan individual dari aktor merupakan suatu elemen penting dalam berjalannya
masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa temuan di lapangan, dimana
petani mengandalkan pada relasi-relasi individual seperti ini, relatif sejalan
dengan teori kelembagaan baru.
*****
Bab VII. ANALISIS
KELEMBAGAAN TERHADAP PERILAKU PETANI DALAM MENJALANKAN USAHA PERTANIAN
Dalam teori kelembagaan baru,
organisasi adalah aktor yang pokok (Scott, 2008; Nee, 2005). Dengan demikian, istilah “analisis
kelembagaan” sudah mencakup organisasi di dalamnya, karena kehidupan aktor
dalam organisasi hanya menjadi salah satu bentuk dalam menjalankan hidup
sehari-hari.
7.1. Regulasi
dari Negara sebagai Pedoman Perilaku petani
Masyarakat dipenuhi oleh berbagai
aturan, dan manusia berperilaku dengan melihat pada aturan-aturan
tersebut. Manusia akan berusaha
memaksimalkan keuntungan untuk dirinya, dengan menggunakan atau berkelit dari
aturan-aturan yang ada tadi. Objek perhatian pada bagian ini adalah aturan (rule) yang ada, dan “keuntungan apa” yg
akan diperoleh pelaku dalam bertindak. Perspektif keilmuan yang banyak dipakai
adalah bidang sosiologi ekonomi, khususnya perspektif rational
choice. Karena itu, ini disebut juga dengan regulative institution atau
rational choice institutionalism. Dalam perspektif ini, manusia
dipandang sebagai makhluk yang rasional. Menurut teori, menghadapi kompleks aturan ini, maka aktor berupaya
memaksimalkan keuntungan. Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa
aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari
konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada
aturan sosial yang hidup.
Dari penelusuran informasi di
lapangan, mulai dari atas sampai dengan di bawah di level petani, petani
memahami berbagai peraturan berkenaan dengan pembangunan pertanian secara umum.
Bahkan kesan yang diperoleh adalah petani merasa begitu banyak peraturan, yang
sulit dipahami. Sebagian bahkan tidak mau terlibat, agar tidak “terjerat”
peraturan. Hal ini diindikasikan oleh sikap sebagian besar petani untuk tidak
mau terlibat sebagai pengurus organisasi petani.
Dalam hal aturan berkenaan dengan
organisasi petani, petani yang diwawancarai paham bahwa organisasi petani,
meskipun dalam UU No. 16 tahun 2006 disebutkan sebagai “organisasi non formal”,
namun dipandang sebagai sesuatu yang formal. Makna “formal” bagi petani adalah
sesuatu yang berkenaan dengan pemerintahan.
Demikian pula, petani pun paham
bahwa masuk dalam organisasi formal merupakan syarat untuk terlibat dan
memperoleh pendampingan dan pelayanan dari pemerintah. Petani pun mengetahui
bahwa pemerintah pada hakekatnya menginginkan agar semua petani masuk menjadi
anggota dalam organisasi, minimal anggota kelompok tani (untuk laki-laki) dan
kelompok wanita tani (untuk perempuan).
7.2. Kompleks Norma-Norma
Kesundaan sebagai Basis dalam membangun Relasi
Beberapa norma berhasil diidentifikasi yang menjadi pedoman bagi
petani di lokasi penelitian. Norma-norma ini cukup bagi petani untuk
menjalankan usahanya tanpa membutuhkan organsisasi formal.
Satu, berkenaan dengan norma-norma kekerabatan dalam sentimen
primordial. Suku yang paling banyak ditemui di
lokasi penelitian adalah suku Sunda. Dalam keluarga Sunda, merupakan suatu
kewajiban bagi orang tua untuk menjaga kehidupan anak-anaknya, sampai mampu
mandiri. Hal ini terlihat terutama dalam perolahan lahan garapan, yang
merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting. Norma jaminan sosial
melekat dalam sentimen primordial keluarga. Bagi orang Sunda,
keluarga batih merupakan kelompok sosial yang terpenting. Di atas keluarga
batih adalah kelompok yang disebut dengan “golongan”,
yakni sekelompok kerabat di sekitaran keluarga batih tersebut. Di atasnya
adalah “bondoroyot”, yaitu
sebuah kelompok kerabat yang masih mencakup sekitar keluarga batih tapi berkaitan dengan nenek
moyangnya yang jauh dari zaman lampau.
Dua, berkenaan dengan norma-norma hidup dalam komunitas. Masyarakat yang berbasiskan kultur Sunda selalu berupaya menjaga
keharmonisan dan kerjasama antar sesama. Hubungan antara sesama dalam
masyarakat Sunda pada dasarnya dilandasi oleh nilai yang sudah sangat terkenal
yatu “silih asih, silih asah, dan silih
asuh”. Ada beberapa nilai yang juga
sejalan dengan ini misalnya “kawas gula
jeung peueut” (seperti gula dengan nira yang matang), “ulah kawas seuneu jeung injuk” (jangan sepert api dengan ijuk), dan
“ulah nyieun pucuk ti girang” (jangan
merusak tunas dari hulu). Sikap hidup masyarakat cenderung menjaga keharmonisan
dan solidaritas. Masyarakat di desa Citapen dan Cileungsi terutama, terbuka
terhadap pendatang dan kehidupan berjalan harmonis selama ini.
Tiga, norma-norma berkenaan dengan relasi dengan orang luar terutama
dengan pemerintah. Dalam konteks ini, Suku
Sunda dikenal dengan norma-norma kepatuhan dan sikap yang kooperatif. Dalam hal
hubungan antara manusia dengan negara atau pemerintahan, menurut pandangan
hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjungjung tinggi hukum,
membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Hal ini terpancar dalam ungkapan “kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara,
mupakat ka balarea” (harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki negara,
bermupakat kepada orang banyak). Masyarakat juga mementingkan sikap kerja sama
dalam semangat kekeluargaan dalam menghadapi negara sebagaimana ungkapan “bengkung ngariung bongkok ngaronyok”
(melingkar dalam berkumpul, bungkuk dalam berhimpun). Warga dituntut agar taat
dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama
atau pemerintah.
Empat, norma-norma berkenaan dengan
relasi pasar. Selain norma-norma yang berkaitan dengan kehidupan dalam kesatuan
komunitas, petani juga menghadapi norma-norma pasar. Pasar menerapkan norma yang
sangat berbeda dengan norma-norma dalam kehidupan berkomunitas. Pasar
memiliki tujuan dan cara kerja yang jelas,
dimana tujuan
pokoknya adalah mencari laba. Karena itu, seluruh bagiannya harus melakukan
efisiensi secara maksimum. Pasar mewujud
dalam prinsip-prinsip pertukaran melalui interaksi mutual dalam bentuk
transaksi. Pasar mengutamakan hubungan personal pada pola ekonomi
partikularistik. Jika dalam komunitas lebih melihat manusia dengan hubungan
sosialnya daripada barang, jasa, atau uangnya; relasi dalam pasar dicirikan
oleh hubungannya bercorak universalistik. Dalil-dalil ekonomi diterapkan tanpa
membeda-bedakan orang yang berhubungan (unpersonalized).
Orientasi utama pasar kepada keuntungan (profit
oriented), dan sifat kerjanya adalah kompetitif.
7.3. Pemaknaan dan Respon
Aktif Petani Terhadap Aturan Dan Norma
Dari temuan di lapang ditemukan adanya “perang makna”, dimana
pemerintah dengan tenaga lapangnya menekankan kepada masyarakat bahwa
berkelompok adalah sesuatu yang baik dan bermanfaat. Pengetahuan yang terbentuk
saat ini di kalangan petani, tentang bagaimana jalan terbaik untuk menjalankan
usahanya, merupakan hasil dari konstruksi sosial. Ada banyak variasi pemaknaan
yang saat ini tumbuh di kalangan petani.
Petani membangun
sikap berbeda antara relasi dengan pasar dengan relasi dengan petugas
pemerintah. Komunikasi pasar berlangsung melalui transaksi dengan harga sebagai
message-nya, sementara negara mengandalkan kepada otoritas dan power.
Pasar memiliki legitimasi perhitungan komersial (comercial imperative),
bukan berupa imbauan moral (moral imperative). Implikasinya, petani
memenuhi tuntutan pasar dengan pragmatis, sedangkan untuk himbauan pemerintah
(misalnya himbauan untuk berorganisasi) dipenuhi sesuai dengan tingkat
pemaksaan yang dirasakan. “Pemaksaan” berorganisasi melekat pada prosedur,
dimana hanya melalui organisasi bantuan dari pemerintah bisa diterima oleh
petani.
Bagi petani, aktivitas
bertani tetap bisa berjalan tanpa organisasi, karena lembaga sesungguhnya telah
memberi cukup pedoman dan kesempatan. Dengan kegiatan
yang harus dijalankan dan pilihan yang harus diambil, tanpa berorganisasipun
petani merasa telah dapat menjalankan hidupnya. Dari hasil wawancara,
disimpulkan setidaknya alasan-alasan tidak berorganisasi, adalah: (1) Karena
merasa bukan sebagai petani yang sesungguhnya, (2) Merasa sebagai “orang bodoh”
dan tidak pantas berinteraksi secara langsung dengan petugas pemerintah, (3) Tidak
siap bertanggung jawab jika terjadi sesuatu, (4) Merasa tidak membutuhkan
organisasi untuk menjalankan usahanya, (5) Merasa tidak diajak. Intinya, bagi
petani, organisasi bukan lah social form yang dipandang lebih efektif dalam kehidupan sosial. Bagi petani organisasi bukan bentuk yang efektif.
7.4. Realitas Organisasi
bagi Petani
Organisasi dimaknai petani
sedemikian sehingga memiliki realitas yang berbeda dengan petugas (pemerintah).
Realitas berorganisasi bagi petani adalah:
1.
Organisasi sebagai wadah untuk berinteraksi dengan pemerintah. Petani akhirnya memahami, bahwa pemerintah memiliki prosedur
kerja, bahwa hanya petani yang tergabung dalam kelompok yang akan
“diperhatikan” oleh pemerintah. Kalimat seperti ini sudah sering mereka dengar
dalam berbagai pertemuan, yang diulang-ulang tidak hanya oleh petugas Dinas
Pertanian, bahkan juga oleh aparat pemerintah desa dan bahkan pengurus
Gapoktan.
2.
Prosedur yang harus dipenuhi untuk mengkases bantuan dari pemerintah. Salah satu hal pokok dalam hal berrelasi dengan pemerintah adalah
memperoleh bantuan. Baik petani sebagai anggota maupun pengurus organisasi,
semenjak awal sudah meniatkan bahwa masuk dalam organisasi adalah agar mendapat
bantuan langsung dari pemerintah. Hal ini terungkap dari banyak hasil wawancara
, misalnya adanya ancaman dari ketua kelompok peternak kelinci di Desa
Ciluengsi, bahwa ia akan mengundurkan diri jika Gapoktan tidak memberikan
bantuan kepada anggota kelompoknya. Ia mendapat tekanan oleh anggotanya
sendiri, yang juga mengancam akan membubarkan diri jika tidak memperoleh
bantuan. Bantuan selalu dalam makna uang atau materi sarana produksi biasanya
berupa bibit dan pupuk.
3.
Sebagai jalan untuk terlibat dalam pembangunan. Doktrin yang bertubi-tubi sejak era Orde Baru, menjadikan petani
berpandangan positif kepada pembangunan. Salah satu wujudnya adalah dimana
terlibat dalam pembangunan dipersepsikan sebagai sesuatu yang dihargai. Masuk
menjadi anggota organisasi dipersepsikan sebagai sebuah bentuk kesediaan
terlibat dalam pembangunan.
4.
Agar dianggap sebagai masyarakat yang partisipatif. Sebutan sebagai masyarakat yang partisipatif penting bagi petani,
dan merupakan kebanggaan kolektif. Dalam berbagai pertemuan, misalnya di
kecamatan dan kabupaten, disebut sebagai masyarakat yang partisipasinya tinggi
merupakan kebanggaan bagi warga se desa.
5.
Untuk mengkolektifkan kegiatan. Dari
sisi yang “ideal” menurut kerangka teoritis, pada sebagian diri petani ada
harapan bahwa masuk ke sebuah kelompok tani misalnya adalah agar lebih
mudah membeli sarana produksi atau
menjualkan hasil produksi. Dengan membeli secara bersama-sama, maka harga yang
harus dibayar menjadi lebih rendah. Sebaliknya, jika memasarkan hasil secara
kolektif, diharapkan harga jualnya menjadi lebih tinggi. Tujuan ini misalnya
sudah terwujud pada Gapoktan Rukun Tani, terutama untuk pemasaran hasil sayuran
dan palawija ke konsumen di Kota Bogor.
******
BAB VIII.
RANCANGAN FORMAT PENGORGANISASIAN PETANI
KE DEPAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KELEMBAGAAN BARU
Pendekatan blue print dengan mengembangkan organisasi yang seragam terbukti
kurang sesuai bagi petani. Akibatnya, petani menata ulang lagi manajemen dan
struktur di dalam organisasinya, meskipun dari luar tidak kelihatan. Apa yang
dimaksud dengan format pengorganisasian di sini adalah mencakup di luar
organisasi dan di dalam organisasi (formal).
8.1. Tantangan dan Kebutuhan Petani untuk
Beorganisasi
Prinsip yang paling pokok kenapa petani harus berorganisasi adalah
mengkolektifkan diri, sehingga menjadi lebih kuat dan dapat berrelasi dengan
pihak lain secara lebih seimbang. Selain itu, dengan berorganisasi secara
formal maka terbuka banyak peluang untuk berinteraksi dengan pelaku dunia
modern lain, dimana formalitas menjadi karakter pokoknya. Sesuaikan dengan kondisi yang dihadapi dan
persepsi petani berkenaan dengan kondisi tersebut, ada tiga bentuk organisasi
pokok yang dibutuhkan petani, yakni organisasi untuk merebut kembali lahan
mereka yang dicaplok pengusaha, organisasi untuk pemenuhan input usaha, serta
serta aktivitas untuk memasarkan hasil panennya.
Setidaknya ada tiga kebutuhan pokok petani untuk berorganisasi
secara formal, yaitu organisasi untuk
perebutan kembali lahan petani yang saat ini banyak
dikuasai oleh “usaha peternakan Tapos”, organisasi untuk mendapatkan
input yang berkualitas dan murah, serta
organisasi untuk pemasaran
hasil pertanian.
8.2. Fungsi-Fungsi Yang
Harus Dipenuhi Organisasi
Pada intinya, organisasi adalah alat, serta wadah atau jembatan yang
menghubungkan petani dengan berbagai pihak di luarnya. Keberadaan organisasi
adalah seuatu yang penting. Untuk merumuskan bagaimana bentuk organisasi
petani ke depan, maka pertimbangan utamanya adalah bagaimana agar fungsi-fungsi
yang dibutuhkan dari kehadiran organisasi formal selama ini, baik oleh pemerintah
maupun petani, masih tetap dapat dijalankan. Bentuknya tidak lagi kaku dan
seragam, namun sekurangnya mesti mampu menjalankan funsgi-fungsi administrasi,
komunikasi, partisipasi, kolektif, dan representatif. Fungsi administrasi lebih
untuk kepentingan pemerintah, sedangkan fungsi kolektif dan representatif
merupakan kebutuhan utama petani sendiri. Lalu, fungsi komunikasi dan
partisipasi merupakan kebutuhan kedua belah pihak.
8.3. Prinsip-Prinsip Pengorganisasian Petani
Untuk merumuskan format pengorganisasian petani dimasa mendatang perlu berlandaskan beberapa prinsip yang disusun dengan menempatkan petani sebagai aktor yang aktif dan
memiliki keinginan dan fikiran sendiri. Dalam makna “pengorganisasian”
ini, organisasi petani merupakan salah
satu strategi. Beberapa prinsip pokok adalah organisasi (formal) petani adalah
suatu strategi dan sebagai alat, petani adalah aktor yang rasional, organisasi dibangun
dan dikembangkan secara demokratis dan partisipatif, mempertimbangkan efisiensi
dan efektifitas, prinsip fleksibilitas, serta menerapkan prinsip keberlanjutan.
8.4. Langkah-Langkah Pengembangan Pengorganisasian Petani
Selain funsgi-fungsi yang harus dipenuhi dan prinsip-prinsip, maka dibutuhkan empat langkah
sehingga menghasilkan organisasi dan pengorganisasian yang matang yakni pahami permasalahan aktifitas agribisnis dan pilihan relasi yang tersedia, lalu tetapkan pilihan relasinya apakah melalui organisasi atau tidak, kemudia tetapkan peran organisasinya jika memilih menggunakan organisasi, dan terakhir
tetapkan peran pihak
pendukung agar pilihan tersebut dapat
berjalan baik.
8.5. Format Keorganisasian
Organisasi petani mencakup organisasi dalam bentuk individual (individual organization), yakni bagaimana
rancangan keorganisasian pada kelompok tani misalnya; namun juga mencakup
bagaimana rancangan antar organisasi petani, yang mencakup satu area tertentu secara horizontal
dan vertikal. Rancangan organisasi petani ke depan perlu mencakup semuanya.
8.5.1. Format Organisasi
Petani Secara Kewilayahan
Secara
umum, ada tiga level organisasi petani yang perlu dibangun, yakni level
organisasi individual (individual organization), organisasi koordinator (inter-group
organization), dan organisasi pendukung (supporting group).
Satu, organisasi individual
untuk petani kecil. Petani demikian beragam, sehingga organisasinya
pun beragam dan membutuhkan pemahaman baru tentang
bentuk keorganisasian untuk mereka. Salah satu kebijakan yang sangat menentukan
format organisasi petani selama ini adalah Peraturan Menteri Pertanian No 273
tahun 2007, namun aturan ini banyak
mengandung kelemahan dan perlu direvisi.
Dua, organisasi koordinator (inter-group organization). Dalam berbagai literatur berkembang apa yang
sering disebut dengan inter-group
organization (FAO, 2001), yakni suatu
organisasi yang berada di atas organisasi individual. Jenis organisasi yang disebut sebagai “intergroup association”, “representatives of groups”, atau “secondary level organization” ini adalah Gapoktan, koperasi, atau Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM). Organisasi koordinator adalah sebuah organisasi yang
posisinya berada di atas individual
organization, yang berperan sebagai koordinator, menyatukan kegiatan dan
sumberdaya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili segala kebutuhan
organisasi ke luar. Keberadaan organisasi koordinator sangat berguna karena memungkinkan untuk saling berbagi informasi
antar kelompok tani, melakukan pelatihan, dan mengumpulkan sumber-sumber daya
di masing-masing kelompok.
Tiga, Organisasi Pendukung. Ada banyak pihak di luar petani yang terkait dengan organisasi
petani, misalnya adalah petugas pendamping dan pelaksana program dari Dinas
Pertanian daerah, petugas penyuluhan, pendamping program lain sesuai dengan
masa kegiatan, serta dari NGO. Organisasi mereka terpisah satu sama lain. Agar lebih efektif,
semestinya mereka bergabung dalam satu tim yang dalam berbagai literatur
disebut dengan “supporting group”
atau “group promoters” (McKone, 1998).
8.5.2. Format Keorganisasian
Organisasi Petani
Bagaimana organisasi dan manajemen pengorganisasian petani yang
cocok pada setiap wilayah merupakan hasil dari experiential learning, baik pelajaran bagi individu maupun
kolektif. Formula yang umum sulit dirumuskan karena bergantung kepada konteks,
lokasi, dan komoditas, serta lemah atau kuatnya aktor dan stakeholder yang terlibat serta lingkungan bisnis yang ada. Dengan
demikian, menghadapi variasi kondisi yang dihadapi, maka menyusun karakter
keorganisasian yang sesuai tidaklah mudah, apalagi satu tipe umum yang dapat
berlaku di banyak kondisi. Sesuai dengan data dan informasi yang diperoleh dari
lapangan di lokasi penelitian di Kecamatan Ciawi ini, maka lebih kurang format
keorganisasian yang dibutuhkan dalah sebagai berikut.
Satu, ukuran organisasi (size
of the organization) kelompok tani disarankan sebanyak 20-25 orang. Sementara
untuk organisasi koordinator, jumlah organisasi individu
dalam satu organisasi koordinator seperti halnya Gapoktan semestinya 5-10
unit.
Dua, keanggotaan perlu direvisi dalam Permentan
273/2007 berkenaan dengan anggota di Gapoktan, terutama konsep “anggota Gapoktan”. Untuk organisasi individu permasalahan keseragaman
(homogenus) anggota perlu diperhatikan. Keanggotaan dapat bervariasi
menurut umur, jenis kelamin, skala usaha, motivasi dan kebutuhan.
Keanggotaan yang heterogen dapat menjadi kekuatan jika bisa dimanfaatkan,
karena adanya perbedaan kemampuan. Satu hal yang penting diperhatikan adalah
bagaimana mencakup petani-petani kecil dengan lahan sangat sempit dan bahkan
tidak berlahan (petani gurem) untuk juga masuk dalam organisasi. Di desa
Citapen dan Cileungsi, para petani yang hanya mengandalkan kerja sebagai buruh
tani tidak masuk ke dalam organisasi, karena berbagai alasan.
Tiga,
struktur organisasi, salah satu format keorganisasian yang dapat disusun
misalnya adalah pengembangkan struktur yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Struktur yang lebih fleksibel yang berkembang sesuai kebutuhan mungkin dapat
dijadikan sebagai solusi. Beban pekerjaan menjadi indikator untuk pembentukan
struktur, serta bagaimana memberikan pengahragaan (reward) untuk pengurus.
Empat, basis
pembentukan. Organisasi petani bisa disusun atas kesamaan komoditas yang
diusahakan (commodity based organization)
atau atas kesamaan tempat tinggal dan tempat usaha (community based organization). Untuk jenis pertama, anggota adalah
petani yang menjalankan usaha sejenis. Sedangkan pada tipe yang kedua,
anggotanya petani dengan usaha yang berbeda-beda. Penentuan pilihan, sekaligus
juga harus mempertimbangkan apa saja relasi yang dicakupnya, apakah relasi
horizontal ataukah juga mencakup relasi vertikal ? Pilihan lain adalah menyusun
organisasi individual berbasiskan komoditas untuk memperkuat relasi horizontal,
sedangkan untuk memperkuat relasi vertikal mengandalkan pada organisasi
koordinator. Kondisi dan perkembangan pasar merupakan satu hal yang harus
dipertimbangkan. Pasar yang terbuka dan semakin komersial (integrated supply chains)
memberi kondisi baru bagi organisasi petani, misalnya berupa tujuan pasar
supermarket dan pasar ekspor. Organisasi petani yang tumbuh di lokasi
penelitian belum memiliki pemahaman yang kuat untuk tujuan pasar ini.
Lima,
kepemimpinan dan manajemen. Pola kepemimpinan dapat dikembangkan bertahap,
dimana tipe individualistis mungkin dapat diterima sebagai permulaan. Organisasi
petani ke depan menghadapi pula dunia yang lebih luas (high-level
negotiations). Dalam lingkungan perdagangan global
dibutuhkan keterampilan berkomunikasi tertentu untuk pemimpinnya. Dibutuhkan
komunikasi yang selalu terjalin dengan berbagai pihak, mulai dari lokal sampai
nasional.
8.6. Kerangkan
Kelembagaan yang Dibutuhkan
Sesuai dengan Scott (2008) ada tiga elemen kerangka kelembagaan. Organisasi petani akan
berjalan bila kondisi lingkungan kelembagaannya mendukung. Perlu dibedakan
adanya dua fungsi lembaga bagi petani, yaitu: (1) sebagai sumberdaya untuk
menjalankan kegiatannya meskipun tanpa organisasi; dan (2) sebagai lingkungan
yang menentukan hidup matinya organisasi petani.
Satu, lingkungan kelembagaan yang
dibutuhkan untuk relasi-relasi individual tanpa organisasi formal
Pada hakekatnya, petani membutuhkan
pengorganisasian diri dalam makna luas, yakni
sebuah bangunan sosial yang mampu memberikan akses petani terhadap segala kebutuhannya, dan mampu membantu
berbagai hambatan yang dihadapinya
dengan berbagai pihak. Jika tidak dalam bentuk organisasi (formal), petani
menggunakan jaringan. Perhatian
petani adalah seberapa
efisien seluruh aktivitas agribisnis dapat dijalankannya. Aktivitas tersebut
mencakup relasi horizontal dengan sesama petani maupun vertikal dengan pelaku
usaha lain.
Saat ini, regulasi-regulasi yang disusun
pemerintah memiliki pendekatan yang sama, dimana petani hanya dapat menjalankan
aktivitasnya bila berorganisasi secara formal. Implikasi dari kondisi ini, maka
ada dua bentuk opsi yang dibutuhkan. Pertama,
adalah agar aspek regulasi (yang dikeluarkan pemerintah) memberi ruang agar
petani bisa tidak harus berorganisasi. Kedua,
mendayagunakan sedemikian rupa elemen normatif dan kultural kognitif petani.
Dua,
lingkungan kelembagaan untuk pengembangan organisasi petani
Dibutuhkan perubahan lingkungan kelembagaan sehingga
organisasi-organisasi petani dapat tumbuh dan berperan secara efektif. Kondisi
yang dibutuhkan terutama pada perubahan kebijakan, terutama revisi terhadap Permentan No. 273 tahun
2007 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompoktani dan Gabungan
Kelompoktani. Beberapa perubahan yang perlu dilakukan adalah: (1) memperbaiki penggunaan konsep; (2) perbaikan dalam
narasi yang masih dangkal, kurang detail dan longgar; (3) perubahan
pendekatan yang cenderung
memaksakan satu pendekatan tunggal yaitu pendekatan organisasi formal; (4) perbaikan indikator dalam
penilaian organisasi; (5) peningkatan partisipasi petani; dan (6) perubahan
konsep tentang formalitas organisasi.
Dukungan Kelembagaan Untuk Menjalankan Fungsi-Fungsi Agribisnis
Secara umum, untuk menjalankan agribisnis ada banyak perubahan
kelembagaan yang dibutuhkan. Dukungan kelembagaan yang dibutuhkan bagi petani
untuk menjalankan usaha agribisnisnya adalah: (1) kebijakan agraria yang lebih berpihak
kepada petani untuk mendapatkan lahan, (2) administrasi perbankan
yang sesuai dengan pertanian kecil yang non formal, (3) Penguatan kedaulatan petani untuk pemenuhan bibit dan benih,
(4) perbaikan sistem distribusi pupuk dengan melibatkan
petani, (5) keswadayaan dalam penggunaan dan pengelolaan air irigasi, (6) pemenuhan tenaga kerja melalui basis relasi sosial ketetanggaan,
(7) penguatan
relasi horizontal untuk meningkatkan daya tawar di pasar, dan (8) pemenuhan teknologi melalui dukungan sarana dan komunikasi yang efektif melalui berbagai metode.
8.7. Pasar Sebagai Basis
Pengorganisasian
Dalam ilmu pemberdayaan pasar adalah “lawan” dari organisasi.
Organisasi dibangun adalah untuk melawan pasar yang cenderung anarkis untuk
petani, terutama petani kecil. Namun,
melalui analisis kelembagaan, dimana relasi sosial sebagai pokok perhatiannya,
maka pada hakekatnya relasi-relasi berbasis pasar adalah sebuah organisasi dalam arti luas. Dalam bidang ilmu sosiologi pasar (sociology of markets) dipahami bahwa pasar adalah sebuah struktur
sosial yang merupakan relasi antar aktornya mencakup perusahaan, pekerja, suppliers, customers, and governments.
Pengorganisasian diri petani dengan
menggunakan bentuk pasar merupakan
sebuah pilihan pula. Secara sederhana, pasar adalah organization of
the exchange contract. Di dalamnya ada norma-norma yang melingkupi, namun
dalam konteks bilateral action antara
pemilik barang dan pembeli. Dalam konteks tertentu, relasi individual yang
berlangsung juga bersifat personal. Individu dalam pasar memperoleh kebebasan
otonomi yang besar untuk masuk dan memilih lingkup pasar yang disukainya. Dalam pasar
bertemu para aktor dengan ketertarikan yang sama (same interests). Dalam konteks ini, maka pasar dapat dipandang
sebagai sebuah keseimbangan dengan suatu permainan koordinasi yang berulang (repeated coordination game) (Cooper,
1999).
Agar petani dapat memperoleh keuntungan dalam mekanisme pasar, maka
ada beberapa strategi yang harus ditempuh petani yaitu membuka akses ke pasar, memanfaatkan dan mengakumulasikan modal sosial, menerapkan pola berlangganan, menjaga reputasi (reputation) and relasi (relationships)
yang bahkan bisa lebih penting dibandingkan akses kepada permodalan, serta berusaha memperoleh
dan memanfaatkan informasi.
*****
Bab
IX. SUMBANGAN PENELITIAN TERHADAP TEORI dan PENGETAHUAN TENTANG PEMBERDAYAAN
PETANI KECIL
9.1. Beberapa Sumbangan Keilmuan
Dengan mengkomparasikan hasil
temuan dari lapangan dengan pengetahuan yang telah berkembang selama ini, maka beberapa sumbangan yang diperoleh dari
studi ini adalah: (1). ditemukan kekaburan batas-batas
klasifikasi antara lembaga dan organisasi, (2) lembaga merupakan sumberdaya yang memadai bagi
petani untuk mengorganisasikan diri, (3) organisasi bersama lembaga sebagai
sumberdaya dalam pengorganisasian diri petani, (4) organisasi formal tidak efektif menjangkau petani marjinal, (5) mitos tentang
formalitas organisasi, (6) kejelasan keberadaan dan format inter
group associations, (7) modal sosial dan keberadaan organisasi
dimana modal sosial di satu komunitas bisa tinggi atau
rendah meskipun tidak ada organisasi formal dan modal sosial jauh lebih penting dari organisasi, (8) dilema antara aktor versus organisasi dalam konteks kepemimpinan, (9) serta gejala ”individualisasi organisasi” berakar pada pola
pengorganisasian diri tradisional yang berbentuk ”personalisasi-organisasi”.
9.2. Sumbangan terhadap Metodologi Penelitian
Beberapa catatan yang
dihasilkan dari selama proses pelaksanaan penelitian yang dapat menyumbang
kepada wacana metode penelitian kualitatif, khususnya yang dijalankan pada
masyarakat dengan tipologi yang serupa adalah: (1) dibutuhkan
penyesuaian asumsi dan objek penelitian, (2) saran untuk penelitian kualitatif dengan pendekatan institutional
etnografi adalah dengan penekanan
pada penggalian yang mendalam tentang bagaimana mereka
memaknai regulasi dan norma yang hidup, (3) untuk konteks sebagai studi kebijakan, dibutuhkan pendekatan yang bersifat
retrospektif, yakni mempelajari konsep dan teori yang diterapkan, dihadapkan
dengan aplikasi dan masalah di lapangan, (4). untuk penggalian infomrasi dan memperkuat validasinya, berkenaan dengan data yang ada dalam berbagai
dokumen formal, maka peneliti mesti mengkritisi informasi yang tercantum dalam berbagai laporan,
karena validitasnya beragam, (5) dalam konteks penelitian etnografi, maka peran peneliti dalam penelitian mesti melakukan observasi
langsung di lapangan (first hand observastion) untuk mengamati kehidupan
sehari-hari (daily behaviour), (6) penetapan dan penggalian data pada
gatekeepers, dimana
perlu kehati-hatian terhadap sikap yang tertutup dan
membiakan informasi yang seringkali terkait posisinya dalam masyarakat, dan ((7) aplikasi hasil
penelitian kualitatif dapat lebih
luas, bila memilih wilayah dengan karakteristik sosial
ekonomi yang lebih kurang sama (agregat) dan dapat dijumpai pada banyak wilayah lain.
*****
Bab
X. KESIMPULAN SERTA IMPLIKASI TEORITIS DAN KEBIJAKAN
10.1.
Kesimpulan
1.
Sangat sedikit petani yang secara resmi namanya masuk dalam anggota
organisasi, dan hampir tidak ada kebutuhan usaha pertanian petani yang
mengandalkan pada aksi kolektif dalam organisasi dimana mereka menjadi
anggotanya.
2.
Petani menjalankan usaha pertaniannya melalui pedoman norma dan
regulasi, dengan melakukan pemaknaan aktif terhadapnya. Petani menjalin
relasi-relasi sosial dengan berbagai pihak dengan berpedoman kepada panduan
normatif komunitas, norma ekonomi
dalam pasar, dan relasi dengan petugas pemerintah.
3.
Organisasi formal yang diintroduksikan pemerintah dimaknai dan direspon dalam kerangka lembaga tersebut. Salah satu responnya adalah gejala “individualisasi
organisasi”, yang manajemen nya lebih
kurang sama dengan “pengorganisasian secara personal”.
4.
Kehidupan organisasi petani cenderung menunggu
program dari pemerintah, dan intensitas aktivitasnya juga disesuaikan dengan
siklus program tersebut.
5.
Berlangsung fenomena
“sentralisasi tokoh”, dimana satu orang petani memiliki posisi pada banyak organisasi sekaligus; serta tumpang tindih peran organisasi.
10.2. Implikasi Teoritis
1.
Dalam bangun keilmuan paham
kelembagaan baru (New Institutionalism),
organisasi merupakan aktor yang pokok dalam masyarakat. Paham ini diadopsi kalangan
pemerintahan dan para pendamping
pemberdayaan lain. Namun, informasi dan hasil analisis dari lapangan
menunjukkan bahwa petani lebih menggunakan
relasi-relasi indivodual sebagai
pilihan dalam menjalankan usahanya.
2. Dalam teori, organisasi memiliki otoritas yang jelas, dan ada ranah
organisasi (organization field)
yang mempengaruhi lingkungan sekitarnya, dimana ia menjadi aktor yang akan memberi
pengaruh kepada masyarakat dimana ia hidup. Hal ini tidak ditemukan pada
organisasi petani di lapangan. Ciri umum organisasi petani yang
ditemui adalah batas organisasi (organization bordering) kabur karena peran sebagai agen pemerintah
yang tersubordinasi, terbuka dan terpengaruh oleh kultur
lingkungan secara kuat, ranah
organisasi (organization field) yang
dimilikinya sempit, berkembang
kultur pragmatis dalam organisasi,
serta menerapkan manajemen non formal.
3.
Pemberdayaan
petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum
tidak hanya di Indonesia, meskipun kurang berhasil. Eksistensi organisasi milik
petani bergantung terutama kepada kondisi lingkungan dimana ia hidup. Dua
kekuatan yang menentukan dalam konteks ini adalah negara dan pasar. Namun, dari
informasi dan analisis yang dilakukan dalam studi ini, tampaknya sikap yang mendikotomikan antara pendekatan negara dan pendekatan
pasar perlu direvisi lebih jauh. Prinsip-prinsip pengorganisasian pasar dapat
diadopsi oleh pelaku pemberdayaan, agar usaha pemberdayaan lebih efektif.
4.
Dari sisi
teori, relasi dalam organisasi merupakan bentuk ideal. Namun, dari kondisi
lapangan, relasi individual menjadi inti pengorganisasian diri petani, dengan
berbagai alasan. Dengan demikian, perhatian pada pengorganisasian diri petani menjadi
lebih penting dibandingkan memperhatikan “organisasi petani”.
5.
Relasi-relasi
berbasis pasar pada hakekatnya adalah sebuah organisasi dalam arti luas. Hal ini membutuhkan perhatian lebih jauh karena berimplikasi kepada
penerapan konsep “pasar” dan “organisasi” yang sudah biasa digunakan.
6.
Pemahaman terhadap “lembaga dan
organisasi” masih sangat membutuhkan perhatian untuk ditata ulang konsep,
teori, aplikasinya, serta bagaimana mengkajinya.
10.3. Implikasi Kebijakan
1.
Sikap pemerintah selama ini yang menjadikan
organisasi formal sebagai satu-satunya jalan untuk menggerakan dalam
pemberdayaan berdampak kepada banyak masalah di lapangan, dan perlu direvisi.
2. Sesuai dengan pendekatan Teori
Kelembagaan Baru, yang dibutuhkan adalah
pengorganisasian petani (dalam makna luas) yang efektif. Setiap transaksi dapat
dijalankan dengan biaya murah, dan tersedia jaringan antar pelaku dengan bentuk
terpola sehingga dapat menjadi wadah yang dapat diakses petani dengan mudah..
3. Tumpang tindih organisasi di
pedesaan perlu dibenahi, dan dibutuhkan pula bangun vertikal organisasi petani
untuk menghubungkan dengan pihak lebih tinggi.
4. Untuk mencapai organisasi yang
mandiri (maturity organization) maka pendekatan
proyek yang berjangka pendek dan tidak kontinyu perlu direvisi, dan dibutuhkan
pula revisi untuk indikator organisasi petani yang lebih menjamin reliabilitas
dan validitas.
5. Untuk format organisasi ke depan, bagaimana bentuk
organisasi sangat variatif namun mesti dapat memenuhi fungsi-fungsi
kolektifitas, perwakilan (representatif), komunikasi, partisipasi dan
administrasi. Format keorganisasian untuk organisasi indiviudal petani perlu
mempertimbangkan ukuran organisasi (size
of the organization) yakni berupa small
group, masalah keseragaman (homogenus)
anggota, pengembangkan struktur yang disesuaikan dengan kebutuhan, struktur
yang lebih fleksibel, bentuk dan pengembangan kepemimpinan secara bertahap.
*****
DAFTAR
PUSTAKA
Bourgeois, R.; F. Jesus; M. Roesch; N. Soeprapto;
A. Renggana; and A. Gouyon. (2003). Indonesia:
Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural
Resources East Asia and Pacific Region (EASRD).
Colignon, R.A. (2009). The Sociology of
Organization: 21st Century Sociology.
SAGE Publications. 8 Sep. 2009. http://sage-ereference.com/sociology/Article_n17.html
FAO. (2001). The Inter-group Resource Book: A Guide
to Building Small farmer Group Associations and Network. Food And Agriculture
Organization Of The United Nations, Rome.
Hellin, J.; M. Lundy;
and M. Meijer. (2007). Farmer Organization, Collective Action and Market Access
in Meso-America. Capri Working Paper No. 67, October 2007. Research Workshop on
Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 - Cali,
Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington.
McKone, C.E. (1990). FAO People's Participation
Programme - the First 10 Years: Lessons Learnt and Future Directions. Human
Resources Institutions and Agrarian
Reform Division, Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Meyer, J. and B. Rowan. (2006). Institutionalized
Organizations: Formal Structure as Myth and Ceremony. Chapter 2 from The New
Institutionalism. http://ssr1.uchicago.edu/PRELIMS/Orgs/orgs2.html
Nee,
V. (2005). The New Institutionalism in Economics and Sociology. In: The Handbook of Economic Sociology. 2nd ed.
Niel J. Smelser dan Richard Swedberg (eds.) Princeton University Press.
Nee, V. (2003).
The New Intitutionalism in Economic and Social. CSES Working Paper Series,
Paper 4.
Scott, R.W. (2008).
Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles, London, New
Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266 hal.
Scott, R.W. (1995). Institutions and Organizations
Foundations for Organizational Science: Foundations for
Organizational Science. A Sage Publications Series. SAGE Publications, Inc.
Stockbridge,
M.; A. Dorward; and J. Kydd. (2003). Farmer Organizations For Market Access: A
Briefing Paper. Wye Campus, Kent, England: Imperial College, London.
Saptana; T.
Pranadji; Syahyuti; dan R.M. Manurung.
2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional Untuk Memperkuat Jaringan
Ekonomi Kerakyatan Di Pedesaan. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
*******
1 komentar:
Halo semuanya
Nama saya Josephine jumawan caballo, saya tinggal di orion bataan, phillipine. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang baik kepada ibu karina roland karena telah membantu saya mendapatkan pinjaman yang baik setelah saya mengalami pinjaman pinjaman online palsu yang menipu saya untuk mendapatkan uang tanpa memberikan pinjaman, saya telah membutuhkan pinjaman selama 2 tahun yang lalu untuk memulai bisnis saya sendiri di kota orion bataan tempat saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di dubai yang menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman. dan saya sangat Frustras karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di dubai, karena saya berhutang bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya apa-apa untuk dijalankan, pada hari yang sangat setia itu teman saya menelepon susan Ramirez setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari ibu karina roland, jadi saya terpaksa menghubungi susan ramirez dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi ibu karina roland bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya terpaksa memberanikan diri dan saya menghubungi ibu karina roland dan saya terkejut dengan pinjaman saya yang diproses dan diluluskan dan dalam waktu 6 jam pinjaman saya ditransfer ke rekening saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah keajaiban dan saya harus memberikan informasi tentang pekerjaan baik ibu karina roland jadi saya menyarankan setiap orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi e-mail Nyonya karina roland: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau hanya whatsapp +15857083478 dan saya jamin Anda akan memberikan informasi seperti yang telah saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Ny. karina Rola nd email saya: (josephinejumawancaballo@gmail.com) semoga Tuhan terus memberkati dan mencintai karina roland 'ibu untuk merubah kehidupan finansial saya.
Posting Komentar