HARAPAN DARI TANAH OBJEK REFORMA AGRARIA (TORA) UNTUK PERLUASAN LAHAN
PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI
Oleh: Syahyuti
(Tulisan dalam buku Bunga Rampai “Ragam
Pemikiran Menjawab Isu Aktual Pertanian” PSEKP,
2018)
Pemerintah telah memprogramkan untuk melakukan
reforma agraria seluas 9 juta ha lahan untuk dibagikan ke petani dalam kurun
waktu lima tahun yakni dari tahun 2015 sampai 2019. Program landreform ini terbagi atas dua skema
yaitu berupa legalisasi aset seluas 4,5 juta ha ditambah redistribusi lahan seluas
4,5 juta ha. Berbagai persiapan telah dijalankan mulai dari penyusunan basis
hukumnya, penyiapan kelembagaan pelaksana, identifikasi lahan, serta
sosialisasi sampai ke daerah.
Kementerian Pertanian sesungguhnya sangat berkepentingan dengan program ini, karena akan dapat menyediakan lahan pertanian yang cukup yang selama ini menjadi pembatas utama pencapaian swasembada pangan. Pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani belum bisa berjalan karena pembangunan pertanian dijalankan tanpa landreform.
Hal ini merupakan terobosan yang sangat signifikan, di tengah sulitnya redistribusi lahan kepada petani. Jika ini bisa direalisasikan, maka selain secara makro mampu menyediakan luasan lahan nasional yang memadai, juga akan meningkatkan struktur penguasaan lahan di tingkat petani. Penguasaan lahan yang sempit dan bukan milik merupakan penyebab utama rendahnya pendapatan keluarga petani selama ini.
Tulisan ini memaparkan bagaimana perkembangan Program TORA, potensi perluasan lahan pertanian yang akan tersedia, serta bagaimana kesiapan jajaran Kementan untuk mengoptimalkan manfaat dari program ini. Bahan penulisan berasal dari berbagai sumber terbaru yang berupa laporan, dokumen kebijakan, serta berita resmi laman website institusi yang berperan langsung dalam Program TORA. Hal ini dilakukan karena topik tulisan ini menyampaikan suatu kondisi terbaru yang berkembang, tentu saja belum tersedia dalam bentuk laporan resmi yang terstruktur.
Reforma Agraria dan Urgensi Redistribusi Lahan
Redistribusi lahan merupakan inti dari reforma agraria, karena menjadi pendongkrak penting perubahan struktur penguasaan dan pada akhirnya akan menentukan kepada keberhasilan pembangunan pertanian secara nasional, serta memperbaiki struktur agraria di tingkat mikro. Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Sisi pertama berkenaan dengan hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya.
Sisi pertama disebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek nonlandreform”. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring dalam pembaruan agraria. Program TORA memfokuskan pada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform. Oleh karena itu, peran untuk pemenuhan aspek nonlandreformnya berasal dari Kementerian teknis yang terkait.
Penstrukturan terhadap konsep ini sangat penting, karena Kementerian Pertanian misalnya lebih memiliki otoritas pada aspek nonlandreform. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini sudah sering terjadi dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah lalu menjualnya kembali karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al. 2002).
Pentingnya distribusi lahan kepada petani juga disebutkan dalam UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Akses petani pada lahan dimungkinkan pada level yang maksimal, sehingga “hak sewa” dihilangkan. Secara umum, dalam UU ini tidak ada istilah “landreform”. Pasal 55-65 dari UU ini hanya mencantumkan istilah: “konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian”. Pemerintah menyediakan kemudahan dengan pemberian paling luas dua hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani, yang telah digarap paling sedikit 5 tahun berturut-turut. Lalu pada Pasal 59 terbaca: hak penggarapan hanya diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Artinya, pasal ini meniadakan peluang hak pemilikan untuk petani. Selanjutnya pada tanggal 5 November 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review atas UU No 19 tahun 2013. Keputusannya adalah bahwa “hak sewa” pada Pasal 59 bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 27 dan 28D ayat 1) dan merupakan praktik feodal Hindia Belanda, sehingga seluruh isi Pasal 59 tersebut dinyatakan tidak lagi memiliki hukum mengikat atau dibatalkan.
Kementerian Pertanian sesungguhnya sangat berkepentingan dengan program ini, karena akan dapat menyediakan lahan pertanian yang cukup yang selama ini menjadi pembatas utama pencapaian swasembada pangan. Pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani belum bisa berjalan karena pembangunan pertanian dijalankan tanpa landreform.
Hal ini merupakan terobosan yang sangat signifikan, di tengah sulitnya redistribusi lahan kepada petani. Jika ini bisa direalisasikan, maka selain secara makro mampu menyediakan luasan lahan nasional yang memadai, juga akan meningkatkan struktur penguasaan lahan di tingkat petani. Penguasaan lahan yang sempit dan bukan milik merupakan penyebab utama rendahnya pendapatan keluarga petani selama ini.
Tulisan ini memaparkan bagaimana perkembangan Program TORA, potensi perluasan lahan pertanian yang akan tersedia, serta bagaimana kesiapan jajaran Kementan untuk mengoptimalkan manfaat dari program ini. Bahan penulisan berasal dari berbagai sumber terbaru yang berupa laporan, dokumen kebijakan, serta berita resmi laman website institusi yang berperan langsung dalam Program TORA. Hal ini dilakukan karena topik tulisan ini menyampaikan suatu kondisi terbaru yang berkembang, tentu saja belum tersedia dalam bentuk laporan resmi yang terstruktur.
Reforma Agraria dan Urgensi Redistribusi Lahan
Redistribusi lahan merupakan inti dari reforma agraria, karena menjadi pendongkrak penting perubahan struktur penguasaan dan pada akhirnya akan menentukan kepada keberhasilan pembangunan pertanian secara nasional, serta memperbaiki struktur agraria di tingkat mikro. Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Sisi pertama berkenaan dengan hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya.
Sisi pertama disebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek nonlandreform”. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring dalam pembaruan agraria. Program TORA memfokuskan pada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan aspek landreform. Oleh karena itu, peran untuk pemenuhan aspek nonlandreformnya berasal dari Kementerian teknis yang terkait.
Penstrukturan terhadap konsep ini sangat penting, karena Kementerian Pertanian misalnya lebih memiliki otoritas pada aspek nonlandreform. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini sudah sering terjadi dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah lalu menjualnya kembali karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al. 2002).
Pentingnya distribusi lahan kepada petani juga disebutkan dalam UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Akses petani pada lahan dimungkinkan pada level yang maksimal, sehingga “hak sewa” dihilangkan. Secara umum, dalam UU ini tidak ada istilah “landreform”. Pasal 55-65 dari UU ini hanya mencantumkan istilah: “konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian”. Pemerintah menyediakan kemudahan dengan pemberian paling luas dua hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani, yang telah digarap paling sedikit 5 tahun berturut-turut. Lalu pada Pasal 59 terbaca: hak penggarapan hanya diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Artinya, pasal ini meniadakan peluang hak pemilikan untuk petani. Selanjutnya pada tanggal 5 November 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review atas UU No 19 tahun 2013. Keputusannya adalah bahwa “hak sewa” pada Pasal 59 bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 27 dan 28D ayat 1) dan merupakan praktik feodal Hindia Belanda, sehingga seluruh isi Pasal 59 tersebut dinyatakan tidak lagi memiliki hukum mengikat atau dibatalkan.
Kebutuhan Lahan untuk Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian membutuhkan lahan yang cukup untuk ekstensifikasi, terutama untuk tanaman pangan pokok. Agar dapat mencapai swasembada, maka untuk komoditas padi dibutuhkan lahan sawah seluas 14,98 juta ha, untuk jagung 6,21 juta ha, kedelai 2,27 juta ha, dan tebu 12,28 juta ha. Ketersediaan lahan baru sangat urgen, karena selama ini terpaksa hanya mengandalkan lahan sawah pada MT II dan MT III yang harus bersaing dengan berbagai tanaman lain. Karena itulah, misalnya Kementan mentargetkan untuk dapat mencetak sawah baru seluas 1 juta ha dalam 5 tahun ini (2015-2019), atau rata-rata 200.000 ha per tahun.
Sudaryanto et al. (2010) menganalisis kebutuhan pangan untuk beras, jagung, kedelai, ubi kayu dan gula pada tahun 2045, dimana masing-masing berturut-turut sebesar 46,8 juta ton, 23,6 juta ton, 3 juta ton, 12,6 juta ton dan 3,7 juta ton. Berdasarkan kebutuhan pangan tersebut, perlu perluasan lahan sawah sekitar 5,3 juta ha menjelang tahun 2045 dan lahan kering sekitar 10,3 juta ha (Sukarman dan Suharta 2010; Mulyani dan Agus 2017). Artinya, ada kekurangan 2,0 juta ha untuk sawah, serta 10,3 juta ha untuk lahan kering. Kebutuhan lahan ini dihitung dengan asumsi bahwa jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar ditanam sebagai tanaman musim kemarau di lahan sawah, sedangkan tebu ditanam terus-menerus dalam setahun, dan kebutuhan beras adalah jumlah kebutuhan konsumsi beras.
Untuk mencapai swasembada dan memposisikan Indonesia sebagai eksportir pangan, diperlukan sekitar 10,1 juta ha lahan sawah baku menjelang tahun 2045 (Ditjen Tanaman Pangan, 2016). Artinya, perlu ada penambahan 2 juta ha dari luas lahan sawah sekarang sekitar 8,1 juta ha, dengan asumsi konversi lahan sawah bisa dikendalikan. Padahal, pencetakan sawah hanya mampu sekitar 20.000-30.000 ha/tahun (Ditjen PSP 2013). Hasil audit Kementan tahun 2012, luas sawah yang ada hanya 8,1 juta ha, dimana 4,4 juta ha merupakan sawah beririgasi, sedangkan sisanya 3,7 juta ha bukan irigasi (Irianto 2013). Potensi sawah baru terutama ada di Provinsi Papua, Sumatera Selatan, Riau, serta Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Pembangunan pertanian membutuhkan lahan yang cukup untuk ekstensifikasi, terutama untuk tanaman pangan pokok. Agar dapat mencapai swasembada, maka untuk komoditas padi dibutuhkan lahan sawah seluas 14,98 juta ha, untuk jagung 6,21 juta ha, kedelai 2,27 juta ha, dan tebu 12,28 juta ha. Ketersediaan lahan baru sangat urgen, karena selama ini terpaksa hanya mengandalkan lahan sawah pada MT II dan MT III yang harus bersaing dengan berbagai tanaman lain. Karena itulah, misalnya Kementan mentargetkan untuk dapat mencetak sawah baru seluas 1 juta ha dalam 5 tahun ini (2015-2019), atau rata-rata 200.000 ha per tahun.
Sudaryanto et al. (2010) menganalisis kebutuhan pangan untuk beras, jagung, kedelai, ubi kayu dan gula pada tahun 2045, dimana masing-masing berturut-turut sebesar 46,8 juta ton, 23,6 juta ton, 3 juta ton, 12,6 juta ton dan 3,7 juta ton. Berdasarkan kebutuhan pangan tersebut, perlu perluasan lahan sawah sekitar 5,3 juta ha menjelang tahun 2045 dan lahan kering sekitar 10,3 juta ha (Sukarman dan Suharta 2010; Mulyani dan Agus 2017). Artinya, ada kekurangan 2,0 juta ha untuk sawah, serta 10,3 juta ha untuk lahan kering. Kebutuhan lahan ini dihitung dengan asumsi bahwa jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar ditanam sebagai tanaman musim kemarau di lahan sawah, sedangkan tebu ditanam terus-menerus dalam setahun, dan kebutuhan beras adalah jumlah kebutuhan konsumsi beras.
Untuk mencapai swasembada dan memposisikan Indonesia sebagai eksportir pangan, diperlukan sekitar 10,1 juta ha lahan sawah baku menjelang tahun 2045 (Ditjen Tanaman Pangan, 2016). Artinya, perlu ada penambahan 2 juta ha dari luas lahan sawah sekarang sekitar 8,1 juta ha, dengan asumsi konversi lahan sawah bisa dikendalikan. Padahal, pencetakan sawah hanya mampu sekitar 20.000-30.000 ha/tahun (Ditjen PSP 2013). Hasil audit Kementan tahun 2012, luas sawah yang ada hanya 8,1 juta ha, dimana 4,4 juta ha merupakan sawah beririgasi, sedangkan sisanya 3,7 juta ha bukan irigasi (Irianto 2013). Potensi sawah baru terutama ada di Provinsi Papua, Sumatera Selatan, Riau, serta Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Ketersediaan Lahan di Indonesia
Pada intinya, perluasan lahan pertanian memungkinkan dilakukan karena lahan yang tersedia di Indonesia sangat cukup. Indonesia memiliki luas lahan 516.757.300 ha, dimana 191.009.000 ha di antaranya merupakan daratan. Dari luasan daratan tersebut, sesungguhnya 95.810.000 ha atau lebih kurang setengahnya dapat dijadikan lahan pertanian dalam artian secara geofisik (bentuk wilayah, lereng dan iklim). Dalam buku Irianto (2013), luas lahan yang dapat dijadikan pertanian lebih luas yakni 100,7 juta ha, dimana 24,5 juta ha berpotensi dijadikan sawah. Artinya, masih ada potensi sawah seluas 16,3 juta ha.
Saat ini sebagian besar lahan tersebut merupakan kawasan hutan. Sesuai dengan peta tutupan lahan, dari seluruh lahan di Indonesia, sebagian besar (66,2 persen) merupakan hutan. Urutan kedua lahan terluas berupa lahan perkebunan 10,3 persen, sedangkan sisanya di bawah 10 persen untuk semak dan rumput, kosong dan perkampungan, tegalan, sawah, dan perairan.
Masih tersedia 34,7 juta ha lahan hutan yang berpotensi menjadi lahan pertanian, yang terbagi atas Area Penggunaan Lain (APL) seluas 7,5 juta ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 6,8 juta ha, dan sisanya ada di kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 20,5 juta ha.
Untuk sawah misalnya, saat ini luas lahan baku sawah existing hanya 8,1 juta ha, namun ada potensi pengembangan setidaknya 8,3 juta ha sawah lagi. Potensi lahan sawah tersebut terdiri dari lahan rawa 2,98 juta ha ditambah non-rawa 5,3 juta ha. Untuk lahan kering, ada potensi pula seluas 22,4 juta ha, yang terbagi atas lahan kering untuk pertanian tanaman semusim (7,1 juta ha) dan lahan kering yang sesuai untuk pertanian tanaman tahunan (15,3 juta ha). Demikian pula masih tersedia lahan gambut seluas 21,5 juta ha serta lahan rawa 33,5 juta ha.
Jika disilangkan antara struktur penguasaan dengan penggunaan, maka sebagian besar lahan dikuasai oleh negara dalam bentuk kawasan hutan. Dari total lahan di Indonesia, penguasaan oleh negara 70%, lalu diikuti oleh penguasaan perseorangan 16%, badan hukum privat 10%, dan hanya 4% saja yang dikuasai oleh para petani gurem (BPN 2016). Terkait bentuk hak penguasaan, Tabel 1 memaparkan bahwa sebagian besar hak penguasaan berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Milik (HM).
Tabel 1. Luas dan jumlah bidang tanah bersertifikat per jenis hak di Indonesia, 2016
Pada intinya, perluasan lahan pertanian memungkinkan dilakukan karena lahan yang tersedia di Indonesia sangat cukup. Indonesia memiliki luas lahan 516.757.300 ha, dimana 191.009.000 ha di antaranya merupakan daratan. Dari luasan daratan tersebut, sesungguhnya 95.810.000 ha atau lebih kurang setengahnya dapat dijadikan lahan pertanian dalam artian secara geofisik (bentuk wilayah, lereng dan iklim). Dalam buku Irianto (2013), luas lahan yang dapat dijadikan pertanian lebih luas yakni 100,7 juta ha, dimana 24,5 juta ha berpotensi dijadikan sawah. Artinya, masih ada potensi sawah seluas 16,3 juta ha.
Saat ini sebagian besar lahan tersebut merupakan kawasan hutan. Sesuai dengan peta tutupan lahan, dari seluruh lahan di Indonesia, sebagian besar (66,2 persen) merupakan hutan. Urutan kedua lahan terluas berupa lahan perkebunan 10,3 persen, sedangkan sisanya di bawah 10 persen untuk semak dan rumput, kosong dan perkampungan, tegalan, sawah, dan perairan.
Masih tersedia 34,7 juta ha lahan hutan yang berpotensi menjadi lahan pertanian, yang terbagi atas Area Penggunaan Lain (APL) seluas 7,5 juta ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 6,8 juta ha, dan sisanya ada di kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 20,5 juta ha.
Untuk sawah misalnya, saat ini luas lahan baku sawah existing hanya 8,1 juta ha, namun ada potensi pengembangan setidaknya 8,3 juta ha sawah lagi. Potensi lahan sawah tersebut terdiri dari lahan rawa 2,98 juta ha ditambah non-rawa 5,3 juta ha. Untuk lahan kering, ada potensi pula seluas 22,4 juta ha, yang terbagi atas lahan kering untuk pertanian tanaman semusim (7,1 juta ha) dan lahan kering yang sesuai untuk pertanian tanaman tahunan (15,3 juta ha). Demikian pula masih tersedia lahan gambut seluas 21,5 juta ha serta lahan rawa 33,5 juta ha.
Jika disilangkan antara struktur penguasaan dengan penggunaan, maka sebagian besar lahan dikuasai oleh negara dalam bentuk kawasan hutan. Dari total lahan di Indonesia, penguasaan oleh negara 70%, lalu diikuti oleh penguasaan perseorangan 16%, badan hukum privat 10%, dan hanya 4% saja yang dikuasai oleh para petani gurem (BPN 2016). Terkait bentuk hak penguasaan, Tabel 1 memaparkan bahwa sebagian besar hak penguasaan berupa Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Milik (HM).
Tabel 1. Luas dan jumlah bidang tanah bersertifikat per jenis hak di Indonesia, 2016
Jenis Hak Penguasaan Tanah
|
Luas (M2)
|
Jumlah Bidang
Tanah (Unit)
|
1.
Hak milik
|
361.320.562.301
|
22.838.590
|
2.
Hak guna usaha
|
336.896.121.067
|
10.368
|
3.
Hak guna bangunan
|
26.837.692.789
|
3.227.570
|
4.
Hak pakai
|
3.690.708.486
|
250.411
|
5.
Hak pengelolaan
|
761.398.580
|
3.504
|
6.
Hak wakaf
|
35.418.112
|
36.345
|
Sumber:
BPN (2016)
Dari potensi lahan yang ada, masih tersedia lahan gambut yang juga
berpotensi untuk dijadikan sawah dengan total luas 21,5 juta
ha. Saat ini lahan tersebut berada di luar kawasan hutan seluas 9,4 juta ha dan
di kawasan hutan seluas 12,1 juta ha. Dari lahan tersebut, yang bisa diolah
untuk lahan pertanian sepertiganya (6 juta ha). Total luas lahan gambut dan lahan mineral yang
sesuai dan tersedia untuk pengembangan pertanian serta berada di areal
penggunaan lain (APL) sekitar 8,0 juta ha, sisanya 7,8 juta ha berada di
kawasan hutan, yaitu berada di hutan produksi konversi (HPK), kawasan hutan
produksi (HP) dan kawasan hutan lainnya (hutan lindung, hutan produksi terbatas,
dan lainnya) (Mulyani et al. 2016).
Untuk lahan rawa, sesungguhnya tersedia berupa lahan pasang surut 20,2 juta ha, dimana yang potensial untuk sawah lebih kurang setengahnya (9,5 juta ha). Rawa lebak juga tersedia 13,3 juta ha, dan masih sangat sedikit yang sudah diusahakan (0,7 juta ha).
Lahan cadangan Indonesia yang saat ini terindikasi tersedia hanya 15,8 juta ha atau 18,7 juta ha jika moratorium tidak diberlakukan lagi. Dari 15,8 juta ha lahan telantar yang potensial tersedia, hampir 7 juta ha sudah memiliki ijin, terluas terdapat di APL seluas 3,4 juta ha dan di HP seluas 2,6 juta ha (Mulyani et al. 2016). Lahan yang sudah berijin ini pada umumnya akan digunakan untuk perkebunan. Artinya, peluang pengembangan pertanian di lahan telantar yang berada di APL sudah sangat terbatas (hanya tersisa 4,6 juta ha), terluas berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Seluruh lahan di APL yang belum memiliki ijin, kemungkinan besar telah dimiliki oleh perseorangan. Lahan ini biasanya sempit dan terpencar di seluruh Indonesia dan setiap pemilik lahan mempunyai rencana sendiri untuk penggunaan lahannya.
Menjelang tahun 2045 kompetisi penggunaan lahan untuk berbagai sektor akan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Peluang terbesar untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dari aspek legalitas adalah lahan negara yang belum berijin yang berada di areal HPK seluas 1,7 juta ha dan di areal HP seluas 1,6 juta ha.
Khusus untuk lahan terlantar, menurut perhitungan Mulyani dan Agus (2017), dari total 29,8 juta ha yang terlantar saat ini, ada 7,9 juta ha yang dapat dijadikan lahan pertanian; setelah disisihkan lahan yang berada dalam kebijakan moratorium, kawasan hutan, serta lahan yang sudah memiliki izin usaha. Namun demikian, lahan yang potensial ini ada di kawasan APL 4,6 juta ha, hutan produksi 1,6 juta ha dan di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 1,7 juta ha. Point nya adalah bahwa ada harapan besar untuk memanfaatkan lahan terlantar ini untuk pertanian.
Untuk lahan rawa, sesungguhnya tersedia berupa lahan pasang surut 20,2 juta ha, dimana yang potensial untuk sawah lebih kurang setengahnya (9,5 juta ha). Rawa lebak juga tersedia 13,3 juta ha, dan masih sangat sedikit yang sudah diusahakan (0,7 juta ha).
Lahan cadangan Indonesia yang saat ini terindikasi tersedia hanya 15,8 juta ha atau 18,7 juta ha jika moratorium tidak diberlakukan lagi. Dari 15,8 juta ha lahan telantar yang potensial tersedia, hampir 7 juta ha sudah memiliki ijin, terluas terdapat di APL seluas 3,4 juta ha dan di HP seluas 2,6 juta ha (Mulyani et al. 2016). Lahan yang sudah berijin ini pada umumnya akan digunakan untuk perkebunan. Artinya, peluang pengembangan pertanian di lahan telantar yang berada di APL sudah sangat terbatas (hanya tersisa 4,6 juta ha), terluas berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Seluruh lahan di APL yang belum memiliki ijin, kemungkinan besar telah dimiliki oleh perseorangan. Lahan ini biasanya sempit dan terpencar di seluruh Indonesia dan setiap pemilik lahan mempunyai rencana sendiri untuk penggunaan lahannya.
Menjelang tahun 2045 kompetisi penggunaan lahan untuk berbagai sektor akan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Peluang terbesar untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dari aspek legalitas adalah lahan negara yang belum berijin yang berada di areal HPK seluas 1,7 juta ha dan di areal HP seluas 1,6 juta ha.
Khusus untuk lahan terlantar, menurut perhitungan Mulyani dan Agus (2017), dari total 29,8 juta ha yang terlantar saat ini, ada 7,9 juta ha yang dapat dijadikan lahan pertanian; setelah disisihkan lahan yang berada dalam kebijakan moratorium, kawasan hutan, serta lahan yang sudah memiliki izin usaha. Namun demikian, lahan yang potensial ini ada di kawasan APL 4,6 juta ha, hutan produksi 1,6 juta ha dan di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 1,7 juta ha. Point nya adalah bahwa ada harapan besar untuk memanfaatkan lahan terlantar ini untuk pertanian.
Program Reformasi
Agraria dengan berbasis Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)
Program reforma agraria dengan membagikan TORA seluas 9 juta ha berpijak pada Nawacita Presiden Jokowi (berjudul Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian). Dari sembilan agenda, reforma agraria tertulis pada agenda ke-5 di bawah subjudul “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia”. Janji ini lalu tertuang dalam RPJMN 2015-2019 yakni “Reforma Agraria melalui redistribusi tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat”. Dengan dasar ini, maka lahirlah kesepakatan tiga menteri yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementrian Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ketiga Menteri sepakat membentuk “Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP)”.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden terus mengingatkan akan pentingnya persoalan ini. Dalam sidang kabinet terbatas yang membahas reforma agraria pada tanggal 24 Agustus 2016 misalnya, Presiden Jokowi memberi amanat yang intinya adalah bahwa reforma agraria harus dipercepat pelaksanaannya. “Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Reforma agraria juga harus bisa menjadi cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antar masyarakat dengan perusahaan, antar masyarakat dengan pemerintah” (Kantor Staf Presiden RI 2017).
Dalam bentuk yang lebih operasional, Kantor Staf Presiden juga telah mengeluarkan buku “Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017” (Kantor Staf Presiden RI 2017). Buku ini disusun atas Perpres No. 45 tahun 2016 tentang RKP Tahun 2017 yang memuat lima Program Prioritas Reforma Agraria. Disebutkan pula bahwa pelaksanaan Reforma Agraria ini secara khusus akan dikendalikan Kantor Staf Presiden (KSP), sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden.
Buku ini menjadi arahan bagi penyusunan Prioritas Nasional Reforma Agraria sebagaimana tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Kegiatan reforma agraria mencakup lima komponen utama, yakni:
Program reforma agraria dengan membagikan TORA seluas 9 juta ha berpijak pada Nawacita Presiden Jokowi (berjudul Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian). Dari sembilan agenda, reforma agraria tertulis pada agenda ke-5 di bawah subjudul “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia”. Janji ini lalu tertuang dalam RPJMN 2015-2019 yakni “Reforma Agraria melalui redistribusi tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat”. Dengan dasar ini, maka lahirlah kesepakatan tiga menteri yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementrian Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ketiga Menteri sepakat membentuk “Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP)”.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden terus mengingatkan akan pentingnya persoalan ini. Dalam sidang kabinet terbatas yang membahas reforma agraria pada tanggal 24 Agustus 2016 misalnya, Presiden Jokowi memberi amanat yang intinya adalah bahwa reforma agraria harus dipercepat pelaksanaannya. “Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Reforma agraria juga harus bisa menjadi cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antar masyarakat dengan perusahaan, antar masyarakat dengan pemerintah” (Kantor Staf Presiden RI 2017).
Dalam bentuk yang lebih operasional, Kantor Staf Presiden juga telah mengeluarkan buku “Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017” (Kantor Staf Presiden RI 2017). Buku ini disusun atas Perpres No. 45 tahun 2016 tentang RKP Tahun 2017 yang memuat lima Program Prioritas Reforma Agraria. Disebutkan pula bahwa pelaksanaan Reforma Agraria ini secara khusus akan dikendalikan Kantor Staf Presiden (KSP), sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden.
Buku ini menjadi arahan bagi penyusunan Prioritas Nasional Reforma Agraria sebagaimana tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Kegiatan reforma agraria mencakup lima komponen utama, yakni:
1. Penguatan
Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, ditujukan untuk menyediakan
basis regulasi yang memadai bagi pelaksanaan agenda-agenda reforma agraria dan
menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat
yang berada dalam konflik-konflik agraria.
2. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk mengidentifikasi subyek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan penguasaan dan kepemilikannya.
3. Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan ekonomi dengan meredistribusikan lahan menjadi milik rakyat.
4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan, dan Produksi atas Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru.
5. Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah, untuk memastikan tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.
2. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk mengidentifikasi subyek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan penguasaan dan kepemilikannya.
3. Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan ekonomi dengan meredistribusikan lahan menjadi milik rakyat.
4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan, dan Produksi atas Tanah Objek Reforma Agraria, ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru.
5. Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah, untuk memastikan tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.
Program reforma agraria seluas 9 juta ha terbagi atas dua bentuk
kegiatan yakni legalisasi aset dan redistribusi lahan (Tabel 2). Untuk program
redistibusi, lahannya berasal
dari bekas HGU, tanah terlantar, tanah negara, pelepasan kawasan hutan, hutan
produksi untuk konversi. Lahan ini diperuntukkan bagi buruh tani, petani gurem,
masyarakat adat, nelayan, pemuda, dan
perempuan. Pelepasan kawasan hutan (4,1 juta ha) merupakan alokasi 20% perusahaan perkebunan dari
pelepasan kawasan hutan, dan seluas 2,1 juta Ha dari HPK di kawasan hutan yang
tidak produktif.
Tabel 2. Kegiatan dan target luas lahan dalam program reforma agraria tahun
2015-2019
Bentuk program
|
luas (juta ha)
|
Legalisasi aset:
|
4,5
|
a.
Tanah transmigrasi yang belum bersertifikat
|
0,6
|
b.
Sertifikasi tanah (PRONA, lintas sektor,
dll)
|
3,9
|
Redistibusi tanah:
|
4,5
|
a.
HGU habis dan tanah terlantar
|
0,4
|
b.
Pelepasan kawasan hutan
|
4,1
|
Total
|
9,0
|
Sumber: KLHK (2018).
Menurut informasi dari Kementerian LHK, sesungguhnya jumlah lahan
hutan yang berpotensi didistribusikan sedikit lebih luas, yakni 4,8 juta ha
(Tabel 3). Lahan tersebut terbagi atas tujuh kriteria, dimana yang paling luas
merupakan bagian dari 20 persen kawasan hutan untuk perkebunan. Lahan-lahan ini
tersebar di 26 propinsi, dan yang
paling luas adalah di Pulau Kalimantan (Tabel 4).
Tabel 3. Alokasi
TORA sesuai dengan SK Menteri LHK No.180 tahun 2017
Kriteria
|
Luas (Ha)
|
1.
Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan
Hutan untuk Perkebunan
|
437.937
|
2.
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) berhutan tidak produktif
|
2.169.960
|
3.
Program pemerintah untuk pencadangan
pencetakan sawah baru
|
65.363
|
4.
Permukiman Transmigrasi beserta
fasos-fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip
|
514.909
|
5.
Permukiman, fasos dan fasum
|
439.116
|
6.
Lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat
|
379.227
|
7.
Pertanian lahan kering yang menjadi sumber
mata pencaharian utama masyarakat setempat
|
847.038
|
Jumlah
|
4.853.549
|
Sumber: KLHK (2018).
Tabel 4. Tabel potensi lahan TORA per
provinsi
Provinsi
|
Luas
(ha)
|
1.
NAD
|
44.736
|
2.
Sumatera Utara
|
272.343
|
3.
Sumatera Barat
|
122.446
|
4.
Riau
|
387.452
|
5.
Kepulauan Riau
|
151.345
|
6.
Jambi
|
13.389
|
7.
Sumatera Selatan
|
221.018
|
8.
Kep. Bangka Belitung
|
14.776
|
9.
Bengkulu
|
17.482
|
10.
Kalimantan Barat
|
113.172
|
11.
Kalimantan Tengah
|
990.996
|
12.
Kalimantan Utara
|
121.660
|
13.
Kalimantan Timur
|
230.246
|
14.
Kalimantan Selatan
|
182.212
|
15.
Sulawesi Tenggara
|
118.300
|
16.
Sulawesi Utara
|
14.389
|
17.
Sulawesi Tengah
|
99.180
|
18.
Sulawesi Barat
|
66.789
|
19.
Sulawesi Selatan
|
87.260
|
20.
Gorontalo
|
41.037
|
21.
NTB
|
6.075
|
22.
NTT
|
88.243
|
23.
Maluku
|
369.591
|
24.
Maluku Utara
|
263.790
|
25.
Papua
|
642.152
|
26.
Papua Barat
|
173.470
|
TOTAL
|
4.853.549
|
Sumber: KLHK (2018).
Dalam Rencana
Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Tahun 2015-2019 (Permen LHK No. P.39/MenLHK-Setjen/2015), pemanfaatan ruang di
Indonesia senantiasa menampilkan dua sisi yang saling berlainan yakni
pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Meskipun pertumbuhan ekonomi
Indonesia tumbuh, namun indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH), selama 3 tahun
terakhir justru menunjukkan penurunan, yakni
tahun 2011 sebesar 65,5, lalu turun menjadi 64,2, dan tahun 2013 turun lagi menjadi 63,1.
Pembangunan Kementerian LHK 2015-2019 di bawah payung pembangunan berkelanjutan memposisikan keberadaan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan Indonesia. Berkenaan dengan TORA, dalam Renstra KLHK ini terbaca bahwa tahun 2015 ditargetkan sebagai persiapan peningkatan akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan seluas 12,7 juta ha (Program Perhutanan Sosial), serta persiapan dan pelaksanaan reformasi agraria dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi berupa legalisasi aset seluas 0,6 juta ha dan redistribusi tanah seluas 3,5 juta ha. Dengan kata lain, luas kawasan hutan untuk pengembangan pertanian hasil reforma agraria seluas 4,1 juta ha.
Program TORA ini disambut pula di Kantor Kementerian ATR/BPN. Dalam Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 25 tahun 2015 tentang Renstra tahun 2015-2019, di bawah agenda ke lima yakni “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia” terdapat sub agenda “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Marginal melalui Pelaksanaan Program Indonesia Kerja”, dimana sasaran penyediaan adalah Sumber Tanah Objek Reforma Agraria. BPN telah menargetkan perannya berupa “Pemberian hak milik atas tanah (melalui redistribusi dan legalisasi aset)”. Redistribusi tanah melalui dua strategi yaitu: (1) koordinasi lokasi redistribusi tanah, dan (2) menjamin pelaksanaan distribusi hak atas tanah bagi petani, buruh lahan dan nelayan. Sedangkan legalisasi aset disertai dengan program pemberdayaan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, Kementerian ATR/BPN menyiapkan program TORA yang diawali dengan IP4T yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Bersama (ATR/BPN, Dalam Negeri, Kehutanan, PU‐Pera). Adapun obyek IP4T ini diprioritaskan pada Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung, sedangkan yang berada di Hutan Produksi yang dapat dikonversi menjadi prioritas berikutnya. Untuk redistribusi tanah, BPN menyiapkan program penataan hubungan hukum keagrariaan, dengan terwujudnya kepastian hukum hak atas tanah serta terwujudnya pemberdayaan masyarakat penerima redistribusi dan legalisasi aset.
Pembangunan Kementerian LHK 2015-2019 di bawah payung pembangunan berkelanjutan memposisikan keberadaan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan Indonesia. Berkenaan dengan TORA, dalam Renstra KLHK ini terbaca bahwa tahun 2015 ditargetkan sebagai persiapan peningkatan akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan seluas 12,7 juta ha (Program Perhutanan Sosial), serta persiapan dan pelaksanaan reformasi agraria dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi berupa legalisasi aset seluas 0,6 juta ha dan redistribusi tanah seluas 3,5 juta ha. Dengan kata lain, luas kawasan hutan untuk pengembangan pertanian hasil reforma agraria seluas 4,1 juta ha.
Program TORA ini disambut pula di Kantor Kementerian ATR/BPN. Dalam Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 25 tahun 2015 tentang Renstra tahun 2015-2019, di bawah agenda ke lima yakni “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia” terdapat sub agenda “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Marginal melalui Pelaksanaan Program Indonesia Kerja”, dimana sasaran penyediaan adalah Sumber Tanah Objek Reforma Agraria. BPN telah menargetkan perannya berupa “Pemberian hak milik atas tanah (melalui redistribusi dan legalisasi aset)”. Redistribusi tanah melalui dua strategi yaitu: (1) koordinasi lokasi redistribusi tanah, dan (2) menjamin pelaksanaan distribusi hak atas tanah bagi petani, buruh lahan dan nelayan. Sedangkan legalisasi aset disertai dengan program pemberdayaan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, Kementerian ATR/BPN menyiapkan program TORA yang diawali dengan IP4T yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Bersama (ATR/BPN, Dalam Negeri, Kehutanan, PU‐Pera). Adapun obyek IP4T ini diprioritaskan pada Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung, sedangkan yang berada di Hutan Produksi yang dapat dikonversi menjadi prioritas berikutnya. Untuk redistribusi tanah, BPN menyiapkan program penataan hubungan hukum keagrariaan, dengan terwujudnya kepastian hukum hak atas tanah serta terwujudnya pemberdayaan masyarakat penerima redistribusi dan legalisasi aset.
Instrumen
Pelepasan Kawasan Hutan untuk TORA
Kementerian LHK telah menyiapkan perangkat hukum untuk pelaksanaan TORA yakni untuk Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan dengan menggunakan Perpres No 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Sedangkan untuk Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak produktif dan program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru (2,8 juta ha) menggunakan PP.104/2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Khusus untuk Permukiman Transmigrasi beserta fasos-fasumnya; Permukiman, fasos dan fasum; lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; serta pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat berdasarkan kepada PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Perpres No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Untuk dua kementerian LHK dan ATR/BPN, juga telah dihasilkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 361/Kpts-Vii/90 dan 18 – XI – 1990 tentang Petunjuk Teknis Penataan Batas dan Pengukuran Kadastral dalam Rangka Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian.
Kementerian LHK telah menyiapkan perangkat hukum untuk pelaksanaan TORA yakni untuk Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan dengan menggunakan Perpres No 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Sedangkan untuk Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) tidak produktif dan program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru (2,8 juta ha) menggunakan PP.104/2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Khusus untuk Permukiman Transmigrasi beserta fasos-fasumnya; Permukiman, fasos dan fasum; lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; serta pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat berdasarkan kepada PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Perpres No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Untuk dua kementerian LHK dan ATR/BPN, juga telah dihasilkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 361/Kpts-Vii/90 dan 18 – XI – 1990 tentang Petunjuk Teknis Penataan Batas dan Pengukuran Kadastral dalam Rangka Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian.
Program Perhutanan Sosial
Di luar program TORA, sesungguhnya ada mekanisme lain yang juga memberi peluang besar untuk perluasan lahan pertanian, yakni program Perhutanan Sosial. Ada potensi seluas 12,7 juta ha, dimana sampai 2019 ditargetkan bisa terealisasi seluas 4,3 juta ha. Hutan dimaksud terdiri dari hutan desa 491.963 ha, hutan kemasyarakatan 244.404 ha, hutan tanaman rakyat 232.050 ha, kemitraan kehutanan 71.608 ha, hutan adat 8.746 ha, dan izin di areal Perhutani 4.675 ha. Peruntukan lahan tersebut diutamakan untuk dikelola oleh koperasi, kelompok tani, dan Gapoktan.
Di luar program TORA, sesungguhnya ada mekanisme lain yang juga memberi peluang besar untuk perluasan lahan pertanian, yakni program Perhutanan Sosial. Ada potensi seluas 12,7 juta ha, dimana sampai 2019 ditargetkan bisa terealisasi seluas 4,3 juta ha. Hutan dimaksud terdiri dari hutan desa 491.963 ha, hutan kemasyarakatan 244.404 ha, hutan tanaman rakyat 232.050 ha, kemitraan kehutanan 71.608 ha, hutan adat 8.746 ha, dan izin di areal Perhutani 4.675 ha. Peruntukan lahan tersebut diutamakan untuk dikelola oleh koperasi, kelompok tani, dan Gapoktan.
Program
ini telah berjalan lama sebagaimana kita kenal dengan program social forestry. Program ini menjadi keniscayaan
yang tidak bisa dihindari, dimana saat ini misalnya terdapat 25.683 desa yang
berada dalam kawasan hutan. Khusus untuk periode November 2014 sampai Agustus
2017, telah dilakukan perhutanan sosial seluas 604.373 ha untuk 239.341 KK. Pada bulan November 2017, Presiden menyerahkan
SK perhutanan sosial di Kabupaten Bekasi untuk 2.144 ha dan di Jatim 2.827 ha. Pada
4 November 2017, pemberian SK
perhutanan sosial dilanjutkan di Kabupaten Boyolali seluas 1.890 ha untuk 1.687
KK.
Perkembangan Kelembagaan Pelaksanaan TORA
Dari kesepakatan tiga menteri tentang reforma agraria antara Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada akhir Desember 2015 Mentan telah menemui Menteri LHK membahas kebutuhan lahan 2 juta ha untuk investasi komoditas jagung, sapi, dan tebu. Penanaman jagung direncanakan dengan Perhutani di Jatim dan Jateng, tebu di Lampung dan Sultra, sedangkan sapi di Sultra, Kaltim, dan Kalteng. Pada saat itu disetujui akan dibentuk tim teknis yang beranggotakan tiga kementerian berupa “Tim Percepatan Pengadaan Lahan Pertanian”, selanjutnya diwacanakan dirubah menjadi “Tim Percepatan Pencadangan Lahan Investasi Industri Gula dan Sapi”. Pengadaan lahan seluas 2 juta ha tersebut adalah untuk pengembangan lahan tebu seluas 1 juta ha sedangkan sisanya untuk jagung (600.000 ha) dan pembibitan sapi (400.000 ha). Lahan yang direncanakan adalah lahan HGU yang tidak sesuai peruntukan.
Pada 24 Januari 2017 diumumkan telah terbentuk Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP). Sesuai dengan Peraturan Menteri LHK P.81/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016tentang Kerja Sama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan, pasal 5 ayat (2): “...pengembangan tanaman pangan dan ternak di wilayah tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan di Areal Kerja Perum Perhutani dapat dilakukan dengan skema kerja sama antara KPH atau Perum Perhutani dengan mitra kerja sama“. Lalu pada Pasal 6 ayat (1): mitra kerja sama meliputi BUMN, BUMD, BUMS, atau koperasi. Direncanakan untuk PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) di Sampit; sedangkan untuk PTPN X, XI, dan PT Wahyu Daya Mandiri di Jawa Timur.
Pada 24 Februari 2017, Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP) memberi waktu kepada 11 perusahaan untuk mengajukan permohonan izin pemanfaatan lahan Perhutani guna kegiatan investasi pertanian kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hingga April 2017. Perusahaan harus melengkapi persyaratan seperti kepastian lahan, proposal, peta, nota kesepahaman, jaminan 20% (bank garansi), dan kelayakan usaha. Sesuai Permen LHK Nomor P.81/2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan, telah dicapai kemajuan untuk penanaman tebu oleh 9 perusahaan dan pengusahaan sapi oleh 2 perusahaan, sedangkan untuk jagung belum ada lahan yang sesuai. Perhutani menyiapkan lahan seluas 67.000 ha yang terbagi di Jawa Barat dan Banten seluas 22.001 ha, Jawa Tengah seluas 19.492 ha, dan Jawa Timur seluas 21.207 ha.
Saat ini sudah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja), yaitu: (1) Pokja I: pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial, diketuai KLHK; (2) Pokja II: redistribusi dan legalisasi TORA, diketuai Kementrian ATR/BPN, dan (3) Pokja III: pemberdayaan ekonomi masyarakat, diketuai oleh Kementrian Desa PDTT. Tahun 2018 aksi reforma agraria ini ini sudah memfokuskan diri di level propinsi dan kabupaten. Dengan demikian, Kementerian Pertanian dengan jajarannya di daerah perlu menjadi stakeholders yang berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan ini, terutama untuk menjamin bahwa lahan yang dibagikan sesuai untuk usaha pertanian.
Selama dua tahun terakhir hingga Desember 2017, khusus untuk skema redistribusi lahan telah berhasil direalisasikan lebih dari 1.457 ribu ha (Tabel 5). Namun, dari 7 kriteria lahan yang akan dibagikan, baru berhasil untuk 3 kriteria saja yakni dari 20% kawasan hutan untuk perkebunan, pemukiman transmigrasi dan pemukiman beserta Fasos dan Fasum nya.
Tabel 5. Perkembangan dan rencana penyelesaian TORA
Dari kesepakatan tiga menteri tentang reforma agraria antara Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada akhir Desember 2015 Mentan telah menemui Menteri LHK membahas kebutuhan lahan 2 juta ha untuk investasi komoditas jagung, sapi, dan tebu. Penanaman jagung direncanakan dengan Perhutani di Jatim dan Jateng, tebu di Lampung dan Sultra, sedangkan sapi di Sultra, Kaltim, dan Kalteng. Pada saat itu disetujui akan dibentuk tim teknis yang beranggotakan tiga kementerian berupa “Tim Percepatan Pengadaan Lahan Pertanian”, selanjutnya diwacanakan dirubah menjadi “Tim Percepatan Pencadangan Lahan Investasi Industri Gula dan Sapi”. Pengadaan lahan seluas 2 juta ha tersebut adalah untuk pengembangan lahan tebu seluas 1 juta ha sedangkan sisanya untuk jagung (600.000 ha) dan pembibitan sapi (400.000 ha). Lahan yang direncanakan adalah lahan HGU yang tidak sesuai peruntukan.
Pada 24 Januari 2017 diumumkan telah terbentuk Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP). Sesuai dengan Peraturan Menteri LHK P.81/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016tentang Kerja Sama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan, pasal 5 ayat (2): “...pengembangan tanaman pangan dan ternak di wilayah tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan di Areal Kerja Perum Perhutani dapat dilakukan dengan skema kerja sama antara KPH atau Perum Perhutani dengan mitra kerja sama“. Lalu pada Pasal 6 ayat (1): mitra kerja sama meliputi BUMN, BUMD, BUMS, atau koperasi. Direncanakan untuk PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) di Sampit; sedangkan untuk PTPN X, XI, dan PT Wahyu Daya Mandiri di Jawa Timur.
Pada 24 Februari 2017, Tim Percepatan Pencadangan Lahan untuk Investasi Pertanian (PPLIP) memberi waktu kepada 11 perusahaan untuk mengajukan permohonan izin pemanfaatan lahan Perhutani guna kegiatan investasi pertanian kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hingga April 2017. Perusahaan harus melengkapi persyaratan seperti kepastian lahan, proposal, peta, nota kesepahaman, jaminan 20% (bank garansi), dan kelayakan usaha. Sesuai Permen LHK Nomor P.81/2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan, telah dicapai kemajuan untuk penanaman tebu oleh 9 perusahaan dan pengusahaan sapi oleh 2 perusahaan, sedangkan untuk jagung belum ada lahan yang sesuai. Perhutani menyiapkan lahan seluas 67.000 ha yang terbagi di Jawa Barat dan Banten seluas 22.001 ha, Jawa Tengah seluas 19.492 ha, dan Jawa Timur seluas 21.207 ha.
Saat ini sudah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja), yaitu: (1) Pokja I: pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial, diketuai KLHK; (2) Pokja II: redistribusi dan legalisasi TORA, diketuai Kementrian ATR/BPN, dan (3) Pokja III: pemberdayaan ekonomi masyarakat, diketuai oleh Kementrian Desa PDTT. Tahun 2018 aksi reforma agraria ini ini sudah memfokuskan diri di level propinsi dan kabupaten. Dengan demikian, Kementerian Pertanian dengan jajarannya di daerah perlu menjadi stakeholders yang berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan ini, terutama untuk menjamin bahwa lahan yang dibagikan sesuai untuk usaha pertanian.
Selama dua tahun terakhir hingga Desember 2017, khusus untuk skema redistribusi lahan telah berhasil direalisasikan lebih dari 1.457 ribu ha (Tabel 5). Namun, dari 7 kriteria lahan yang akan dibagikan, baru berhasil untuk 3 kriteria saja yakni dari 20% kawasan hutan untuk perkebunan, pemukiman transmigrasi dan pemukiman beserta Fasos dan Fasum nya.
Tabel 5. Perkembangan dan rencana penyelesaian TORA
Kriteria
|
Luas Indikatif (Ha)
|
Luas Target (Ha)
|
Luas Realisasi S/D Desember 2016
|
Luas Realisasi S/D Des 2017
|
Rencana
|
|
2018
|
2019
|
|||||
Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk
Perkebunan
|
437.937 (*)
|
437.937
|
341.731
|
375.123
|
62.814
|
|
Hutan
Produksi yang dapat DiKonversi (HPK) berhutan tidak produktif
|
2.169.960
|
1.801.021
|
702.843
|
1.098.178
|
||
Program
pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru
|
65.363
|
65.363
|
30.517
|
34.846
|
||
Permukiman
transmigrasi beserta fasos-fasum
|
514.909
|
514.909
|
41.367
|
50.708
|
80.157
|
384.044
|
Permukiman,
fasos dan fasum
|
439.116
|
419.352
|
324.292
|
324.292
|
816.904
|
174.340
|
Lahan
garapan berupa sawah dan tambak rakyat
|
379.227
|
296.184
|
||||
Pertanian
lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat
|
847.038
|
600.000
|
||||
Jumlah
|
4.853.549
|
4.134.766
|
707.390
|
750.123
|
1.630.421
|
1.754.222
|
Sumber:
KLHK (2018)
Sementara,
untuk skema legalisasi aset, dari target sertifikasi 3,9 juta ha, realisasi sampai
Agustus 2017 telah berhasil dibagikan sebanyak 2.888.993 sertifikat mencakup
245.097 bidang, dari target sertifikasi sebanyak 5 juta sertifikat. Berikutnya
target 2018 ditingkatkan menjadi 7 juta sertifikat dan target tahun 2019 naik
lagi menjadi 9 juta sertifikat.
Penutup: Kementerian Teknis Harus Lebih Proaktif
Ada banyak pihak yang berkepentingan dengan keberhasilan Program TORA ini, terutama Kementerian Pertanian yang sangat membutuhkan perluasan lahan pertanian. Namun, dengan waktu yang berjalan, dapat dikatakan bahwa realisasi TORA belum berjalan mulus, padahal masa kerja Presiden Jokowi-JK tinggal dua tahun lagi. Program TORA (legalisasi dan redistribusi) juga baru sebatas aspek landreform (pembagian lahan), sedangkan aspek non-landreform (akses reform) nya belum terlihat. Optimalisasi lahan TORA membutuhkan kedua aspek ini sekaligus, dimana Kementerian Pertanian sebagai kementerian teknis mendukung berupa penyediaan prasarana dan sarana usaha agribisnis mulai dari penyediaan air irigasi, input usahatani, teknologi, permodalan, dan pasar.
Redistribusi lahan kehutanan untuk pertanian jelas merupakan terobosan besar dalam mengatasi kemandekan perluasan lahan pertanian selama ini, yang bahkan setiap tahun dihantui oleh konversi yang sulit dikendalikan. Keberhasilan Program TORA dalam bentuk redistribusi lahan memberikan pengaruh makro yang sangat positif, karena menyediakan lahan baru yang sangat signifikan dan sangat membantu pencapaian target-target swasembada pangan nasional. Sementara, legalisasi aset (pemberian sertifikat tanah) memberi pengaruh mikro yang baik bagi keluarga petani, karena akan mampu menjadi modal yang besar untuk petani dalam berusahatani dan mengembangkan agribisnis.
Di luar Program TORA, masih tersimpan ribuan konflik agraria yang juga membutuhkan perhatian, yang sebagian bisa diselesaikan dari program ini. Agar lebih berhasil maka reforma agraria yang genuine perlu dilakukan secara partisipatif sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga monev dan dampak. Kementerian Pertanian tentu harus lebih proaktif mulai dari Pusat sampai Daerah, sehingga program ini bisa efektif dan memberikan dampak secara optimal bagi tujuan-tujuan pembangunan pertanian.
Program TORA dapat diposisikan sebagai Reforma Agraria Abad ke 21. Reforma agraria pada era ini memiliki kondisi yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Bagaimana bentuk pelaksanaan reforma agraria yang ideal, misalnya ide tentang landreform oleh pasar mendapatkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pentingnya peran pasar dalam reforma agraria (market assisted land reform) misalnya didukung oleh de Janvry et al. (2001). Ia menyatakan betapa pentingnya akses atas tanah berupa kebijakan landreform dan aksi‐aksi kolektif untuk memerangi kemiskinan di pedesaan.
Namun, pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (2001) yang melihat pentingnya usaha pertanian skala kecil dan redistribusi tanah secara massal untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Sementara Bernstein (2002) mengkritik pendekatan pasar maupun neo‐populis. Artikel Griffin et al. (2002) juga melihat pentingnya landreform sebagai strategi memerangi kebijakan yang bias perkotaan (urban bias policies).
Lebih jauh, Cousins (2007) menyatakan bahwa landreform pada era sebelumnya sering hanya memperhatikan isu lahan untuk pertanian dan pertumbuhan ekonomi nasional, pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan; padahal semestinya juga berkaitan dengan keadilan sosial (social justice). Untuk saat ini, basis landreform kepada ekonomi membutuhkan reformulasi baru di tengah perubahan dunia yang cepat saat ini. Hak atas tanah bukan hak universal dalam HAM, namun berhubungan dengan hak untuk mempunyai milik, hak atas rasa aman dan tenteram, hak bebas atas ancaman ketakutan, hak tidak dirampas miliknya secara sewenang-wenang, hak hidup, hak mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup, dan hak berperan serta dalam pengambilan keputusan.
Ada banyak pihak yang berkepentingan dengan keberhasilan Program TORA ini, terutama Kementerian Pertanian yang sangat membutuhkan perluasan lahan pertanian. Namun, dengan waktu yang berjalan, dapat dikatakan bahwa realisasi TORA belum berjalan mulus, padahal masa kerja Presiden Jokowi-JK tinggal dua tahun lagi. Program TORA (legalisasi dan redistribusi) juga baru sebatas aspek landreform (pembagian lahan), sedangkan aspek non-landreform (akses reform) nya belum terlihat. Optimalisasi lahan TORA membutuhkan kedua aspek ini sekaligus, dimana Kementerian Pertanian sebagai kementerian teknis mendukung berupa penyediaan prasarana dan sarana usaha agribisnis mulai dari penyediaan air irigasi, input usahatani, teknologi, permodalan, dan pasar.
Redistribusi lahan kehutanan untuk pertanian jelas merupakan terobosan besar dalam mengatasi kemandekan perluasan lahan pertanian selama ini, yang bahkan setiap tahun dihantui oleh konversi yang sulit dikendalikan. Keberhasilan Program TORA dalam bentuk redistribusi lahan memberikan pengaruh makro yang sangat positif, karena menyediakan lahan baru yang sangat signifikan dan sangat membantu pencapaian target-target swasembada pangan nasional. Sementara, legalisasi aset (pemberian sertifikat tanah) memberi pengaruh mikro yang baik bagi keluarga petani, karena akan mampu menjadi modal yang besar untuk petani dalam berusahatani dan mengembangkan agribisnis.
Di luar Program TORA, masih tersimpan ribuan konflik agraria yang juga membutuhkan perhatian, yang sebagian bisa diselesaikan dari program ini. Agar lebih berhasil maka reforma agraria yang genuine perlu dilakukan secara partisipatif sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga monev dan dampak. Kementerian Pertanian tentu harus lebih proaktif mulai dari Pusat sampai Daerah, sehingga program ini bisa efektif dan memberikan dampak secara optimal bagi tujuan-tujuan pembangunan pertanian.
Program TORA dapat diposisikan sebagai Reforma Agraria Abad ke 21. Reforma agraria pada era ini memiliki kondisi yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Bagaimana bentuk pelaksanaan reforma agraria yang ideal, misalnya ide tentang landreform oleh pasar mendapatkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pentingnya peran pasar dalam reforma agraria (market assisted land reform) misalnya didukung oleh de Janvry et al. (2001). Ia menyatakan betapa pentingnya akses atas tanah berupa kebijakan landreform dan aksi‐aksi kolektif untuk memerangi kemiskinan di pedesaan.
Namun, pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (2001) yang melihat pentingnya usaha pertanian skala kecil dan redistribusi tanah secara massal untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan secara drastis. Sementara Bernstein (2002) mengkritik pendekatan pasar maupun neo‐populis. Artikel Griffin et al. (2002) juga melihat pentingnya landreform sebagai strategi memerangi kebijakan yang bias perkotaan (urban bias policies).
Lebih jauh, Cousins (2007) menyatakan bahwa landreform pada era sebelumnya sering hanya memperhatikan isu lahan untuk pertanian dan pertumbuhan ekonomi nasional, pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan; padahal semestinya juga berkaitan dengan keadilan sosial (social justice). Untuk saat ini, basis landreform kepada ekonomi membutuhkan reformulasi baru di tengah perubahan dunia yang cepat saat ini. Hak atas tanah bukan hak universal dalam HAM, namun berhubungan dengan hak untuk mempunyai milik, hak atas rasa aman dan tenteram, hak bebas atas ancaman ketakutan, hak tidak dirampas miliknya secara sewenang-wenang, hak hidup, hak mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup, dan hak berperan serta dalam pengambilan keputusan.
Daftar Pustaka
[BPN]
Badan Pertanahan Nasional. 2012. Peta penggunaan lahan skala 1:250.000. Jakarta
(ID): Badan Pertanahan Nasional.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Basis data statistik pertanian [internet]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. [diunduh .....thn, bulan, tgl]; Tersedia dari https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/ newkom.asp
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2013. Peta status kawasan hutan di Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Peta Spasial Tutupan lahan Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Kebijakan Penyediaan Lahan Pertanian Melalui Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Bahan Presentasi. Bogor, 30 Januari 2018. Jakarta (ID): Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Ben Cousins. 2007. Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments? [Internet] (cited 2017 Oct 23] Avalilable from: http://mokoro.co.uk/land-rights-article/land-and-agrarian-reform-in-the-21st-century-changing-realities-changing-arguments/
Bernstein. 2002. “Land Reform: taking a long(er) view”. Journal of Agrarian Change 2(4): 433-463. https://doi.org/10.1111/1471-0366.00042
de Janvry A, Sadoulet E. 2001. Access to land and land policy reforms. The UN World Institute for Development Economics Research (UNU/WIDER). [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: http://mokoro.co.uk/land-rights-article/land-and-agrarian-reform-in-the-21st-century- https://www.staff.ncl.ac.uk/david.harvey/AEF806/AccessToLand.pdf
Griffin K, Khan AR, Ickowitz A. 2001. Poverty and distribution of land. Department of Economics, University of California, Riverside. October 2001. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: https://pdfs.semanticscholar.org/5b73/35062a9ccf51f1eaf65cb51b97337fbd2cde.pdf
[IFAD] International Fund for Agricultural Development. 2001. Rural poverty report 2001: the challenge of ending rural poverty. Oxford University Press. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: https://www.ifad.org/documents/10180/4cc4c554-d652-4cf7-993a-a2ba5513237a
Irianto G. 2013. Kedaulatan lahan dan pangan: mimpi atau nyata. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Irianto G. 2014. Modernisasi pertanian Indonesia: solusi atasi problem utama pertanian. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Jokowi, Kala J. 2014. Jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. visi, misi, dan program aksi Jokowi-Jusuf Kala, 2014. Jakarta.
Kantor staf Presiden Republik Indonesia. 2017. Pelaksanaan reforma agraria. Arahan kantor staf presiden: prioritas nasional reforma agraria dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017. Jakarta.
Deininger K. 2003. Land policies for growth and poverty reduction (English). A World Bank policy research report. Washington, DC. World Bank Group. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: http://documents.worldbank.org/curated/en/485171468309336484/Land-policies-for-growth-and-poverty-reduction
Mulyani A, Agus F. 2017. Kebutuhan dan ketersediaan lahan cadangan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai penyedia pangan dunia tahun 2045. Analisis Kebijakan Pertanian 15(1): 1-17.
Mulyani A, Kuncoro D, Nursyamsi D, Agus F. 2016. Analisis konversi lahan sawah: penggunaan data spasial resolusi tinggi memperlihatkan laju konversi yang mengkhawatirkan. J Tanah dan Iklim. 40(2):43-55.
[Permen LHK] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.39/MenLHK-Setjen/2015 tentang rencana strategis kementerian lingkungan hidup dan kehutanan tahun 2015-2019.
Sudaryanto T, Kustiari R, Saliem HP. 2010. Perkiraan kebutuhan pangan tahun 2010-2050. Hal. 1-24 dalam Buku analisis kecukupan sumber daya lahan mendukung ketahanan pangan nasional hingga tahun 2050. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Sukarman, Suharta N. 2010. Kebutuhan lahan kering untuk kecukupan produksi bahan pangan periode 2010-2050: Analisis sumberdaya lahan menuju ketahanan pangan berkelanjutan. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Basis data statistik pertanian [internet]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. [diunduh .....thn, bulan, tgl]; Tersedia dari https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/ newkom.asp
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2013. Peta status kawasan hutan di Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Peta Spasial Tutupan lahan Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Kebijakan Penyediaan Lahan Pertanian Melalui Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Bahan Presentasi. Bogor, 30 Januari 2018. Jakarta (ID): Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Ben Cousins. 2007. Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments? [Internet] (cited 2017 Oct 23] Avalilable from: http://mokoro.co.uk/land-rights-article/land-and-agrarian-reform-in-the-21st-century-changing-realities-changing-arguments/
Bernstein. 2002. “Land Reform: taking a long(er) view”. Journal of Agrarian Change 2(4): 433-463. https://doi.org/10.1111/1471-0366.00042
de Janvry A, Sadoulet E. 2001. Access to land and land policy reforms. The UN World Institute for Development Economics Research (UNU/WIDER). [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: http://mokoro.co.uk/land-rights-article/land-and-agrarian-reform-in-the-21st-century- https://www.staff.ncl.ac.uk/david.harvey/AEF806/AccessToLand.pdf
Griffin K, Khan AR, Ickowitz A. 2001. Poverty and distribution of land. Department of Economics, University of California, Riverside. October 2001. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: https://pdfs.semanticscholar.org/5b73/35062a9ccf51f1eaf65cb51b97337fbd2cde.pdf
[IFAD] International Fund for Agricultural Development. 2001. Rural poverty report 2001: the challenge of ending rural poverty. Oxford University Press. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: https://www.ifad.org/documents/10180/4cc4c554-d652-4cf7-993a-a2ba5513237a
Irianto G. 2013. Kedaulatan lahan dan pangan: mimpi atau nyata. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Irianto G. 2014. Modernisasi pertanian Indonesia: solusi atasi problem utama pertanian. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Jokowi, Kala J. 2014. Jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. visi, misi, dan program aksi Jokowi-Jusuf Kala, 2014. Jakarta.
Kantor staf Presiden Republik Indonesia. 2017. Pelaksanaan reforma agraria. Arahan kantor staf presiden: prioritas nasional reforma agraria dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017. Jakarta.
Deininger K. 2003. Land policies for growth and poverty reduction (English). A World Bank policy research report. Washington, DC. World Bank Group. [Internet] (cited 2017 Oct 21] Avalilable from: http://documents.worldbank.org/curated/en/485171468309336484/Land-policies-for-growth-and-poverty-reduction
Mulyani A, Agus F. 2017. Kebutuhan dan ketersediaan lahan cadangan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai penyedia pangan dunia tahun 2045. Analisis Kebijakan Pertanian 15(1): 1-17.
Mulyani A, Kuncoro D, Nursyamsi D, Agus F. 2016. Analisis konversi lahan sawah: penggunaan data spasial resolusi tinggi memperlihatkan laju konversi yang mengkhawatirkan. J Tanah dan Iklim. 40(2):43-55.
[Permen LHK] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.39/MenLHK-Setjen/2015 tentang rencana strategis kementerian lingkungan hidup dan kehutanan tahun 2015-2019.
Sudaryanto T, Kustiari R, Saliem HP. 2010. Perkiraan kebutuhan pangan tahun 2010-2050. Hal. 1-24 dalam Buku analisis kecukupan sumber daya lahan mendukung ketahanan pangan nasional hingga tahun 2050. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Sukarman, Suharta N. 2010. Kebutuhan lahan kering untuk kecukupan produksi bahan pangan periode 2010-2050: Analisis sumberdaya lahan menuju ketahanan pangan berkelanjutan. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
*****
2 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Nama saya Sarnia Redzuan, saya menyangka bahawa semua syarikat pinjaman dalam talian menipu sehingga saya bertemu dengan syarikat pinjaman CHRISTABEL yang meminjamkan wang tanpa membayar terlebih dahulu.
Saya ingin menggunakan media ini untuk memberi amaran kepada orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia agar berhati-hati, kerana mereka menipu dan memberi pinjaman palsu di internet.
Saya ingin berkongsi kesaksian saya tentang bagaimana seorang rakan membawa saya ke pemberi pinjaman sebenar, selepas itu saya ditipu oleh beberapa pemiutang di internet. Saya hampir kehilangan harapan sehingga bertemu dengan pemiutang yang dipercayai ini yang bernama syarikat pelaburan pinjaman Christabel Missan. Syarikat Christabel meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebanyak 250 Billion RM (RM 250,000,000,000) dalam masa kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan gembira menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahawa saya akan menyampaikan berita baik agar orang ramai mendapat pinjaman mudah tanpa tekanan. Oleh itu, jika anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui e-mel: (Christabelloancompany@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi syarat. Anda juga boleh menghubungi Christabel ibu melalui nombor whatsApp +1561496019
Anda juga boleh menghubungi saya: (Redzuansarniaz@gmail.com) jika anda memerlukan bantuan atau maklumat lebih lanjut
Saya mengucapkan terima kasih kepada rakan saya yang memperkenalkan saya kepada syarikat pinjaman jujur Lady Lianmey Dian Pelangi melalui e-mel: lianmeylady@gmail.com
Posting Komentar